Anda di halaman 1dari 32

NAMA : FATIMAH AZZAHRA

KELAS: BIMBINGAN&KONSELING-4A
MATA KULIAH:PENDIDIKAN INKLUSI

“Literature Review”

1.JURNAL: “Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Tinggi Jarak Jauh di Perguruan Tinggi Swasta”

1. Pendahuluan
a. Dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015
tentang Kemenristek Dikti, dalam Pasal 2 bahwa Kemenristek Dikti mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset, teknologi, dan pendidikan tinggi. Salah
satu penyelenggara pendidikan tinggi tersebut adalah Universitas Terbuka (UT). UT sebagai
penyelenggara pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ), memberikan kesempatan kepada masyarakat
luas dengan ijazah minimal setingkat SLTA atau Paket C (setara SLTA), untuk mengikuti
program pendidikan tingginya melalui program belajar jarak jauh (BJJ). UT menerapkan sistem
belajar terbuka dan jarak jauh. Makna terbuka adalah UT tidak memberlakukan pembatasan usia,
tahun ijazah, masa belajar, waktu registrasi, dan frekuensi mengikuti ujian. Lalu istilah jarak jauh
berarti pembelajaran tidak melakukan secara tatapmuka, melainkan menggunakan media, baik
media cetak (modul) maupun noncetak (audio, video, computer, internet, siaran radio, dan televisi
(Katalog UT, Sistem Penyelenggaraan FE, FHISIP, FKIP, FMIPA, 2017/2018). Telah begitu
banyak kontribusi UT untuk meningkatkan mutu dan kualifikasi SDM (baik S-1 maupun S-2) di
seluruh Indonesia, dan masyarakat Indonesia di luar negeri. UT telah memberikan patokan dasar
dalam menyelenggarakan sistem PTJJ (baik di PTN maupun di PTS).
b. Adapun ketentuan dan peraturan PJJ adalah sebagai berikut.
 UU Sistem Pendidikan Nasional 20/2003.
 UU Pendidikan Tinggi 12/2012.
 Permendikbud 109/2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh di Pendidikan
Tinggi.
 Permendikbud 4/2014 Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
 Permendikbud 50/2014 tentang SPMI.
 Permendikbud 87/2014 tentang Akreditasi.
 Permenristekdikti 44/2015 tentang Stantar Nasional Pendidikan Tinggi.
VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
 Permenristekdikti 50/2015 tentang Pembukaan dan Pendirian PT.
 Permenristekdikti 2/2016 tentang Registrasi Dosen
c. Pengertian Pendidikan Jarak Jauh (Prof.Dr. Pauline Pannen, 2016) adalah:
 Proses pendidikan yang terorganisasi yang menjembatani keterpisahan antara siswa
dengan pendidik dan dimediasi oleh pemanfaatan teknologi, dan pertemuan tatapmuka
yang minimal.
 Pendidikan jarak jauh ditawarkan lintas ruang dan waktu sehingga siswa memperoleh
fleksibilitas belajar dalam waktu dan tempat yang berbeda, serta menggunakan beragam
sumber belajar.
 Biasanya berbentuk pendidikan massif Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) berevolusi dari bentuk
pendidikan koresponden sampai pendidikan melalui e-learning lintas ruang dan waktu.
 Dalam UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Bagian Ketujuh Pendidikan Jarak
Jauh Pasal 31 butir 1) Pendidikan jarak jauh (PJJ) merupakan proses belajar mengajar
yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi. 2)
Pendidikan jarak jauh (PJJ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a.
memberikan layanan pendidikan tinggi kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat
mengikuti Pendidikan secara tatapmuka atau reguler; dan b. memperluas akses serta
mempermudah layanan pendidikan tinggi dalam pendidikan dan pembelajaran . 3)
Pendidikan jarak jauh (PJJ) diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan
yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin
mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. 4) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (PJJ) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri Ristek Dikti.
2. Isi
a. Dalam rangka upaya peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pemerintah melakukan terobosan
baru dengan diperbolehkannya perguruan tinggi (selain Universitas Terbuka/UT) untuk
menyelenggarakan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Jarak Jauh pada Perguruan Tinggi. PJJ bertujuan untuk meningkatkan perluasan dan pemerataan
akses terhadap pendidikan yang bermutu dan relevan sesuai kebutuhan. Semakin banyaknya
masyarakat yang masuk ke perguruan tinggi (baik PTN maupun PTS), APK-PT bisa terdongkrak
meningkat signifikan. Payung hukum bagi penyelenggara perguruan tinggi (baik PTN maupun PTS),
antara lain adalah Permendikbud 109/2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) di
Pendidikan Tinggi. Kenyataan lapangan yang terjadi dalam menyelenggarakan PJJ (baik PTN
maupun PTS), masih sangat sedikit sekali dari segi jumlah (baru sembilan lembaga). Belum lagi
VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
dievaluasi dari segi kualitas penyelenggaraan sistem dan manajemennya, apakah telah optimal sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan dan peraturan dalam menyelenggarakan sebuah PJJ? Karena
itu, sangatlah menarik gagasan ini untuk dianalisis antara peraturan perundangan yang berlaku,
dengan realita lapangan, yang seyogyanya dilakukan penyesuaian-penyesuaian (fleksibilitas) dalam
penyelenggaraan sistem dan manajemen PJJ-nya di perguruan tinggi (semacam keleluasan
pengelolaan yang fleksibel). Oleh sebab itu menurut penulis, penyelenggara PJJ kenyataannya masih
didominasi oleh PTN yang memiliki kapasitas besar, dan berskala nasional
b. Guna menganalisis “Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Tinggi Jarak Jauh/PTJJ di Perguruan
Tinggi Swasta/PTS”. (suatu gagasan dan analisis sistem dan manajemen pendidikan tinggi melalui
PJJ pada suatu program studi), perlu diperhatikan apa-apa sajakah yang menjadi komponen
penyelenggaraan sistem PTJJ? Lalu apa sajakah keterkaitan antarsuatu sistem dengan sistemnya
dalam penyelenggaraan PJJ? Kemudian kemungkinan pilihan program studi, apakah yang akan
dilakukan dan diselenggarakan melalui PJJ? Lalu pilihan modus PJJ (tunggal, ganda, konsorisum)
yang manakah yang akan diselenggarakan? Kemudian dari hal-hal di atas, perlu dilakukan pemilihan
metode apakah yang dimungkinkan relevan untuk masing-masing pertanyaan atas sistem dan
manajemen PJJ-nya?
c. Definisi Modus tunggal PJJ, diselenggarakan pada semua proses pembelajaran pada matakuliah atau
program studi. Sedangkan definisi Modus ganda PJJ merupakan penyelenggaraan PJJ pada
matakuliah atau program studi secara tatapmuka dan jarak jauh. Lalu Modus konsorsium PJJ
diselenggarakan oleh beberapa program studi dalam bentuk jejaring kerja sama dengan lingkup
perguruan tinggi yang bersangkutan atau antarperguruan tinggi dalam wilayah nasional dan/atau
internasional.
Dalam konteks gagasan dan analisis yang penulis kemukakan dalam karya ini, adalah hanya pada
Modus ganda PJJ merupakan penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi secara
tatapmuka dan jarak jauh.
Karena itu metode analisis yang digunakan penulis adalah berpijak pada analisis “deskriptif
penyelenggaraan” yaitu analisis:
 komponen penyelenggaraan;
 sistem penyelenggaraan;
 manajemen SDM, dan NonSDM dalam penyelenggaraan;
 pilihan program studi yang akan diselenggarakan dalam PJJ di PTS; dan
 Modus ganda PJJ merupakan penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi
secara tatapmuka dan jarak jauh.

3. Kesimpulan
VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
a. Berdasarkan analisis 8 (delapan) komponen penyelenggaraan, analisis sistem penyelenggaraan,
analisis manajemen SDM, dan NonSDM dalam penyelenggaraan, analisis pilihan program studi
yang akan diselenggarakan dalam PJJ di PTS, dan pilihan analisis modus ganda dalam
penyelenggaraan PJJ di PTS, maka penulis menarik simpulan, bahwa kemungkinan besar PJJ dapat
diselenggarakan di PTS. Hanya saja diperlukan diskusi-diskusi yang intensif dalam tim, dengan
pendampingan para pakar dalam bidang PJJ yang ekspertis berpengalaman dalam praktik
menyelenggarakan PJJ (misalnya pakar dari UT).
b. Tidak ada kekurangan
c. Dari 3 (tiga) subkomponen di atas, yang terpenting adalah komponen SDM pembuat kebijakan dan
pelaksana kebijakan tersebut, yang memiliki kompetensi mumpuni, terjamin, jujur, terbuka, disiplin,
bertanggungjawab, dan ingin menyempurnakan sistem dan manajemennya. Disinilah perlunya
kaderisasi SDM yang mesti disiapkan untuk jangka panjang dalam menerapkan PJJ yang lebih
sempurna lagi ke depannya dengan pemanfaatan optimalisasi TIK dan SDM yang terintegrasi dan
terpadu dalam melaksanakannya. Juga pemilihan SDM yang memiliki kompetensi untuk menduduki
suatu jabatan, dengan pengamatan yang direncanakan secara berkelanjutan, proses dan prosedur
pemilihan yang telah sesuai kaidah, dan sustainable guna memilih subjek pemimpin yang memiliki
kompetensi dan tangguh dalam menghadapi tantangan yang ada di depan mata (problem solving.

2.JURNAL : “Rengthening Deeper Learning through Virtual Teams in e-Learning: A Synthesis of


Determinants and Best Practices” Joyline Makani, Martine Durier-Copp, Deborah Kiceniuk, and
Alieda Blandford
1. Pendahuluan

a. Secara global, e-learning semakin populer sebagai kontribusinya yang potensial bagi ekonomi dan
sosial. pengembangan diakui. Namun, potensi penuhnya belum terwujud, karena sebagian besar
praktik e-learning hanya meniru metode pengajaran tradisional yang ada dan belum sepenuhnya
mengeksploitasi komponen interaktif dan sosial dari pembelajaran sebaya. Baru-baru ini, ada
peningkatan fokus pada pembelajaran yang lebih dalam di lingkungan pendidikan tinggi, khususnya,
fokus pada keterampilan dan pengetahuan yang saling menguatkan dan bersama-sama
mempromosikan pembelajaran yang lebih dalam (Chow, 2010). Dengan kata lain penelitian
menunjukkan bahwa untuk menjadi sukses semua siswa harus memiliki akses ke peluang pendidikan
yang menumbuhkan pembelajaran yang lebih dalam.
b. E-learning telah mengubah cara pembelajaran tradisional dalam pendidikan tinggi. Ini didefinisikan
sebagai:
Suatu pendekatan untuk pengajaran dan pembelajaran, mewakili semua atau sebagian dari model
pendidikan yang diterapkan, yang didasarkan pada penggunaan media dan perangkat elektronik
VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
sebagai alat untuk meningkatkan akses ke pelatihan, komunikasi dan interaksi dan memfasilitasi
adopsi model baru. cara memahami dan mengembangkan pembelajaran. (Sangrà, Vlachopoulos, &
Cabrera, 2012, hlm. 152) Khususnya, e-learning mencakup beberapa karakteristik kunci dari
pembelajaran jarak jauh dan pembelajaran online dan menggarisbawahi integrasi "pedagogi,
teknologi pengajaran dan Internet dalam lingkungan belajar-mengajar" ( Carter & Salyers, 2015).
Secara global, e-learning semakin populer karena kontribusinya yang potensial terhadap
pembangunan ekonomi dan sosial diakui. Di Kanada, penyediaan e-learning tentang fleksibilitas
yang dibutuhkan (yaitu, kapan saja, di mana saja) diakui sebagai kendaraan mendasar untuk
membina masyarakat pembelajar seumur hidup (Canadian Council on Learning, 2009). Menurut
laporan Contact North 2012, diperkirakan bahwa antara 875.000 dan 950.000 siswa online terdaftar
di perguruan tinggi dan universitas di Kanada mengambil kursus murni online pada satu waktu. Di
AS, pada tahun 2012, lebih dari 6,7 juta siswa mengambil setidaknya satu kursus online, meningkat
570.000 siswa dari jumlah yang dilaporkan pada tahun sebelumnya (Allen & Seaman, 2013). Namun
laporan baru-baru ini mengungkapkan .beberapa negara tidak melakukan ekspektasi dalam upaya e-
learning mereka.
c. Pertanyaan kuncinya adalah apakah tim virtual yang digunakan dalam ruang e-learning efektif dalam
menghasilkan hasil belajar siswa yang lebih baik? Oleh karena itu berguna untuk
mempertimbangkan pelajaran apa yang dapat dipelajari dari literatur tentang tim virtual yang dapat
diterapkan dan digunakan dalam lingkungan e-learning untuk mempromosikan pembelajaran yang
lebih dalam. Untuk menarik kesimpulan ini, ada kebutuhan untuk meta-review mendalam temuan
dalam literatur tentang tim virtual mengenai dampak / hasil dari kerja tim virtual, yang dapat
berguna atau ditransfer ke e-learning umum. Oleh karena itu penelitian ini meninjau dan
mensintesis temuan dalam literatur tentang tim virtual dan e-learning yang diterbitkan dalam
dekade terakhir. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi keterampilan inti dan pengetahuan dari
tim virtual dan penelitian e-learning yang saling menguatkan dan bersama-sama mempromosikan
pembelajaran yang lebih dalam; juga diusulkan adalah kerangka kerja e-learning, yang dapat
berfungsi sebagai dasar studi empiris di masa depan dalam e-learning, dan dapat berkontribusi
untuk meningkatkan desain pedagogis. Hasil dari penelitian ini akan memperkuat perencanaan dan
pengiriman program e-learning di pusat-pusat pendidikan tinggi yang sudah terlibat dalam e-
learning, serta menyampaikan praktik-praktik terbaik yang penting untuk pusat-pusat pembelajaran
di tahap awal pengembangan e-learning. Makalah ini disusun sebagai berikut. Pertama, kami
menyajikan ikhtisar metode sintesis pengetahuan kami, yang mencakup pencarian sistematis
literatur dan sintesis interpretif penelitian yang ada,

2. Isi

VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
a. Pendidikan pengembangan e-learning di Kanada, mencatat, antara lain, perlunya upaya bersama
untuk mengisi kesenjangan dalam penelitian dan memanfaatkan potensi teknologi untuk memenuhi
kebutuhan peserta didik (ibid.) Ini dinyatakan dengan tepat, karena tampaknya ada kelangkaan
penelitian tentang e-learning di Kanada (Salyers, Carter, Carter, Myers, & Barrett, 2014;
Kaznowska, Rogers, & Usher, 2011). Pemahaman yang lebih kuat tentang pembelajaran online
sangat penting untuk keberhasilan pendidikan dan pelatihan di masa depan. Sejak awal, e-learning
telah dipuji sebagai menawarkan "potensi untuk memungkinkan pembelajaran yang berpusat pada
siswa melalui realisasi prinsip pengajaran konstruktivis" (Edwards & Bone, 2012, p. 2). Namun,
potensi ini belum terwujud karena sebagian besar penelitian menggambarkan kegiatan saat ini dalam
e-learning sebagai sebagian besar mereplikasi atau mentransfer pendekatan pengajaran dan
pembelajaran tradisional yang ada ke dalam lingkungan e-learning (Salmon, 2005). Di Kanada salah
satu hambatan utama untuk pengembangan e-learning tercatat sebagai "desain dan kualitas yang
buruk dari beberapa kursus online tahap awal dan rendahnya tingkat keterlibatan siswa yang
ditimbulkan" (Contact North, 2012, p. 17). Dengan kata lain, pendidik berusaha untuk membuat
konsep bagaimana pengajaran dan pembelajaran dapat diberlakukan dalam pengaturan e-learning
dimana data, informasi, pengetahuan, dan kapasitas untuk secara sosial membentuk data, informasi
dan pengetahuan seperti itu cenderung untuk menentukan pengalaman belajar banyak siswa
( Edwards & Bone, 2012). Selain itu, ada peningkatan fokus pada pembelajaran yang lebih dalam di
lingkungan pendidikan tinggi, khususnya, fokus pada keterampilan dan pengetahuan yang saling
menguatkan dan bersama-sama mempromosikan pembelajaran yang lebih dalam (Chow, 2010).
Pembelajaran yang lebih dalam, seperti yang disampaikan oleh Hewlett Foundation, mempersiapkan
siswa untuk menguasai konten inti akademik, berpikir kritis dan menyelesaikan masalah yang
kompleks, bekerja secara kolaboratif, berkomunikasi secara efektif, memiliki pola pikir akademik,
dan belajar melalui pengarahan diri sendiri. Namun demikian, untuk menjadi sukses, semua siswa
harus memiliki akses ke peluang pendidikan yang mendorong pembelajaran yang lebih dalam.
Akibatnya ada kebutuhan yang berkembang untuk pemahaman yang lebih kuat tentang e-learning
yang mencakup pemeriksaan cara di mana e-learning mempromosikan pembelajaran yang lebih
dalam.
b. Artikel yang dimasukkan elain itu, ada bukti praktis yang berkembang bahwa salah satu faktor kunci
untuk keberhasilan e-learning adalah pemahaman tentang komponen sosial pembelajaran, yaitu,
pentingnya interaksi orang-ke-orang, dan kelompok / tim, dalam Kerangka belajar. Aspek sosial
pembelajaran sebaya dianggap untuk membangun motivasi siswa, meningkatkan koneksi sosial dan
meningkatkan akses siswa untuk umpan balik tentang pembelajaran mereka (Morrison, 2006). Oleh
karena itu, tidak mengherankan, sebagian besar pelatihan di tempat kerja dan pengajaran
pascasarjana di lingkungan e-learning memanfaatkan kerja kelompok. Kerja kelompok atau tim,

VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
sesuai dengan ajaran pendidikan orang dewasa, menumbuhkan pembelajaran yang lebih dalam,
dalam produksi bersama model pengetahuan, dan juga memberikan keterampilan yang dibutuhkan
siswa program profesional di tempat kerja, di mana tim merupakan norma saat ini dan tim bekerja
keterampilan yang diperlukan set. Tim virtual adalah salah satu contoh bentuk tim tempat kerja
dengan implikasi potensial untuk e-learning
c. Tim virtual adalah kelompok orang yang berkomitmen untuk tujuan atau tujuan bersama yang
terpisah secara geografis, yang menggunakan berbagai teknologi komunikasi yang memungkinkan
mereka melampaui batas waktu dan jarak, agar dapat bekerja sama (Ale, Ahmed, & Taha, 2009;
Green & Roberts, 2010; Martins, Gilson, & Maynard, 2004). Selain kemampuan mereka untuk
memungkinkan individu yang sangat terampil tetapi tersebar secara geografis untuk bekerja
bersama, ulasan sebelumnya telah menyoroti studi yang mengklaim manfaat lain dari tim virtual.
Sebagai contoh, manfaat ini dapat mencakup: peningkatan kohesi tim dan rasa tanggung jawab yang
lebih besar di antara anggota tim (Ale et al., 2009); peningkatan partisipasi di antara anggota dan
pengurangan efek dari ketidaksetaraan status (Martins et al., 2004) dan peluang yang lebih besar
bagi siswa untuk memperoleh perspektif internasional melalui pembelajaran mereka (Green &
Roberts, 2010). Ada semakin banyak pengetahuan tentang bagaimana mengembangkan tim virtual
yang efektif dalam konteks profesional (Faizuniah & Chan, 2014; Parke & Campbell, 2014; Berry,
2011).
3. Kesimpulan
a. Hasil penelitian nya sangat bagus untuk mengetahui pendidikan jarak jauh di luar negeri
b. Tidak ada
c. peserta individu membawa pengalaman hidup mereka ke lingkungan pendidikan dan pengalaman-
pengalaman itu membantu membentuk bagaimana siswa dan guru memproses dan menafsirkan
pengetahuan. Dari perspektif konstruktivisme sosial, “pembelajar membangun pengetahuan melalui
wacana dengan anggota masyarakat lainnya. . . . Belajar diproduksi oleh tim ”(Savin-Baden &
Major, 2004, hlm. 71). Ketika ada lingkungan kolaboratif untuk belajar, lebih banyak pengalaman
dibagikan dan pengetahuan dapat diproses dari berbagai perspektif; konsep yang dipelajari dengan
memeriksanya dari sejumlah perspektif yang berbeda dapat meningkatkan pembelajaran. Dari dasar
teori konektifisme, interaksi sosial dalam kelompok membantu membangun jaringan, membantu
dalam pengambilan keputusan, dan meningkatkan kolaborasi antar kelompok yang meningkatkan
kemampuan siswa untuk melihat konsep dari berbagai sudut pandang, sehingga meningkatkan
kemampuan individu untuk memahami dan memproses informasi . Selain itu, membawa perspektif
yang berbeda ke lingkungan belajar juga dapat membantu dalam menerapkan pengetahuan ke
berbagai pengaturan, dan karenanya dapat memperluas penerapan pengetahuan itu ke berbagai
bidang.

VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Tinggi Jarak Jauh di
Perguruan Tinggi Swasta
Irwansyah1

Abstrak
Dalam rangka upaya peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pemerintah melakukan terobosan baru dengan
diperbolehkannya perguruan tinggi (selain Universitas Terbuka/UT) untuk menyelenggarakan Pendidikan Jarak Jauh
(PJJ). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Perguruan Tinggi. PJJ bertujuan untuk meningkatkan
perluasan dan pemerataan akses terhadap pendidikan yang bermutu dan relevan sesuai kebutuhan. Semakin
banyaknya masyarakat yang masuk ke perguruan tinggi (baik PTN maupun PTS), APK-PT bisa terdongkrak
meningkat signifikan. Payung hukum bagi penyelenggara perguruan tinggi (baik PTN maupun PTS), antara lain
adalah Permendikbud 109/2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) di Pendidikan Tinggi.
Kenyataan lapangan yang terjadi dalam menyelenggarakan PJJ (baik PTN maupun PTS), masih sangat sedikit sekali
dari segi jumlah (baru sembilan lembaga). Belum lagi dievaluasi dari segi kualitas penyelenggaraan sistem dan
manajemennya, apakah telah optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan peraturan dalam
menyelenggarakan sebuah PJJ? Karena itu, sangatlah menarik gagasan ini untuk dianalisis antara peraturan
perundangan yang berlaku, dengan realita lapangan, yang seyogyanya dilakukan penyesuaian-penyesuaian
(fleksibilitas) dalam penyelenggaraan sistem dan manajemen PJJ-nya di perguruan tinggi (semacam keleluasan
pengelolaan yang fleksibel). Oleh sebab itu menurut penulis, penyelenggara PJJ kenyataannya masih didominasi oleh
PTN yang memiliki kapasitas besar, dan berskala nasional. Pertanyaannya, apakah dimungkinkan bagi PTS untuk
menyelenggarakan PJJ-nya?

Kata Kunci: APK-PT, Peraturan dan Perundang-undangan yang berlaku, Jumlah penyelenggara PJJ yang masih
sedikit, kemungkinan penyelenggaraan PJJ di PTS

VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
Pendahuluan
Dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kemenristek Dikti, dalam
Pasal 2 bahwa Kemenristek Dikti mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang riset,
teknologi, dan pendidikan tinggi. Salah satu penyelenggara pendidikan tinggi tersebut adalah Universitas Terbuka
(UT). UT sebagai penyelenggara pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ), memberikan kesempatan kepada masyarakat
luas dengan ijazah minimal setingkat SLTA atau Paket C (setara SLTA), untuk mengikuti program pendidikan tingginya
melalui program belajar jarak jauh (BJJ). UT menerapkan sistem belajar terbuka dan jarak jauh. Makna terbuka
adalah UT tidak memberlakukan
pembatasan usia, tahun ijazah, masa belajar, waktu registrasi, dan frekuensi mengikuti
ujian. Lalu istilah jarak jauh berarti pembelajaran tidak melakukan secara tatapmuka,
melainkan menggunakan media, baik media cetak (modul) maupun noncetak (audio,
video, computer, internet, siaran radio, dan televisi (Katalog UT, Sistem
Penyelenggaraan FE, FHISIP, FKIP, FMIPA, 2017/2018). Telah begitu banyak kontribusi
UT untuk meningkatkan mutu dan kualifikasi SDM (baik S-1 maupun S-2) di seluruh
Indonesia, dan masyarakat Indonesia di luar negeri. UT telah memberikan patokan
dasar dalam menyelenggarakan sistem PTJJ (baik di PTN maupun di PTS).
Mungkinkah penyelenggaraannya di PTS? Bagaimana sistem dan
manajemen/pengelolaannya?
Adapun ketentuan dan peraturan PJJ adalah sebagai berikut.
 UU Sistem Pendidikan Nasional 20/2003.
 UU Pendidikan Tinggi 12/2012.
 Permendikbud 109/2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh di
Pendidikan Tinggi.
 Permendikbud 4/2014 Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi.
 Permendikbud 50/2014 tentang SPMI.
 Permendikbud 87/2014 tentang Akreditasi.
 Permenristekdikti 44/2015 tentang Stantar Nasional Pendidikan Tinggi.
 Permenristekdikti 50/2015 tentang Pembukaan dan Pendirian PT.
 Permenristekdikti 2/2016 tentang Registrasi Dosen

VOL. 2 NO. 1 2018, pp. 39-50 | JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI |
JAS-PT
JURNAL ANALISIS SISTEM PENDIDIKAN TINGGI
ISSN 2580 – 5339
eISSN 2620 – 5718
Volume 2
Nomor 1
JULI 2018
Hal 39– 50

FORUM DOSEN INDONESIA


Pengertian Pendidikan Jarak Jauh (Prof.Dr. Pauline Pannen, 2016) adalah:
1) Proses pendidikan yang terorganisasi yang menjembatani keterpisahan antara siswa dengan pendidik dan
dimediasi oleh pemanfaatan teknologi, dan pertemuan tatapmuka yang minimal.
2) Pendidikan jarak jauh ditawarkan lintas ruang dan waktu sehingga siswa memperoleh fleksibilitas belajar dalam
waktu dan tempat yang berbeda, serta menggunakan beragam sumber belajar.
3) Biasanya berbentuk pendidikan massif Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) berevolusi dari bentuk pendidikan
koresponden sampai pendidikan melalui e-learning lintas ruang dan waktu.
Dalam UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Bagian Ketujuh Pendidikan Jarak Jauh Pasal 31 butir 1)
Pendidikan jarak jauh (PJJ) merupakan proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui
penggunaan berbagai media komunikasi. 2) Pendidikan jarak jauh (PJJ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertujuan: a. memberikan layanan pendidikan tinggi kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti
Pendidikan secara tatapmuka atau reguler; dan b. memperluas akses serta mempermudah layanan pendidikan
tinggi dalam pendidikan dan pembelajaran . 3) Pendidikan jarak jauh (PJJ) diselenggarakan dalam berbagai
bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang
menjamin mutu lulusan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi. 4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penyelenggaraan pendidikan jarak jauh (PJJ) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Menteri Ristek Dikti.
Media komunikasi. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) pendidikan jarak jauh (PJJ) adalah proses belajar
mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi (Permendikbud
No. 109/2013).
Pengertian e-learning adalah:
1) Pembelajaran individu/mandiri atau kelompok menggunakan Teknologi Informasi, dan Komunikasi (TIK) dan
jejaring.
2) Memberikan fleksibilitas untuk siswa belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja.
3) Dapat dikombinasikan dengan tatapmuka, pembelajaran blended, tetapi memiliki nilai inovatif karena memberikan
nuansa baru dalam proses belajar mengajar yang berbeda dengan pembelajaran tatapmuka biasa.
E-learning is defined as flexible learning experiences delivered through the use of information and computer
technologies to be accessible anytime, anywhere, by anyone (pengalaman belajar yang fleksibel yang
memanfaatkan TIK dan dapat diakses kapan saja, di mana saja, oleh siapa saja).

Prinsip Pendidikan Terbuka Prinsip 1: Pendidikan Terbuka.


Bahwa setiap individu memiliki kesempatan belajar tanpa hambatan apapun ( Bates, 1995). Implementasi praktisnya:
siapapun bisa mendaftar menjadi mahasiswa kapanpun, bebas mengambil matakuliah, bebas menyelesaikan
pendidikannya tanpa batas waktu.
Prinsip 2: Pendidikan Jarak Jauh Prinsip PJJ.
a. Adanya keterpisahan antara pendidik dan peserta didik lintas ruang dan waktu sehingga lebih menekankan pada
belajar secara mandiri.
b. Interaksi pembelajaran berbasis TIK menggunakan berbagai sumber belajar TIK dan media lain.
c. Diorganisasikan secara sistematis dalam satu organisasi sesuai aturan yang berlaku.
d. Dimungkinkan adanya tatapmuka secara terbatas.
Implikasi praktis: (1) Memiliki jangkauan yang luas lintas ruang dan waktu. (2) Menyediakan keluwesan belajar bagi
peserta didik lintas ruang dan waktu. (3) Massal dan terorganisasi. (4) Memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi (TIK).
Prinsip 3: Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran Tatapmuka – Terpadu - Online
Proporsi Online Deskripsi Tipe
0% Tatapmuka sepenuhnya, Tatapmuka tradisional.
pembelajaran dengan bahan ajar
cetak atau lisan.
1 % s.d. 29% Menggunakan teknologi internet Web-enhanced
untuk memfasilitasi pola tatapmuka, (pembelajaran
mungkin menggunakan LMS atau diperkaya dengan
situs web untuk mem-poskan bahan akses Internet).
ajar dan tugas.
30% s.d. 79% Mengombinasikan cara online dan Blended/Hybrid
tatapmuka. Ada proporsi pengantaran
bahan ajar yang online, biasanya (e- learning).
dilengkapi dengan diskusi online, dan
ada pengurangan frekuensi
tatapmuka.
> 80% Sebagian besar atau seluruh bahan Fully Online
ajar diantarkan secara online, bisa (e- learning).
tanpa porsi tatapmuka sama sekali.
Penyelenggaraan PJJ di Indonesia.

a. Pelatihan guru tertulis.

b. Universitas Terbuka (UT).


c. Hybrid Learning for Indonesian Teachers (HYLITE: PJJ S1 PGSD - 23 LPTK) pada
Kemdikbud.
d. PJJ untuk Politeknik oleh PENS (Surabaya State Politechnics for Electronics).

e. GDLN - Universitas Indonesia (UI).


f. Dual Mode Education Model pada Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

g. Model Universitas Negeri Semarang (Unnes).


h. ITB – Seamolec.

i. Distance education for Contonuing Vocasional Education – Seamolec.


Paparan di atas memberikan pemahaman bahwa antara peraturan perundangan yang
berlaku dengan realisasi penyelenggaraan PJJ di perguruan tinggi, memiliki dinamika
masing-masing kesulitan dalam menerapkan PJJ di perguruan tingginya masing-
masing. Karena itu, tidaklah berlebihan bahwa tulisan gagasan dan analisis ini penulis
kemukakan mengenai “Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Tinggi Jarak Jauh/PTJJ di
Perguruan Tinggi Swasta/PTS”. (suatu gagasan dan analisis sistem dan manajemen
pendidikan tinggi melalui PJJ pada suatu program studi).
Metode
Guna menganalisis “Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Tinggi Jarak Jauh/PTJJ di Perguruan Tinggi
Swasta/PTS”. (suatu gagasan dan analisis sistem dan manajemen pendidikan tinggi melalui PJJ pada suatu
program studi), perlu diperhatikan apa-apa sajakah yang menjadi komponen penyelenggaraan sistem PTJJ? Lalu
apa sajakah keterkaitan antarsuatu sistem dengan sistemnya dalam penyelenggaraan PJJ? Kemudian
kemungkinan pilihan program studi, apakah yang akan dilakukan dan diselenggarakan melalui PJJ? Lalu pilihan
modus PJJ (tunggal, ganda, konsorisum) yang manakah yang akan diselenggarakan? Kemudian dari hal-hal di atas,
perlu dilakukan pemilihan metode apakah yang dimungkinkan relevan untuk masing-masing pertanyaan atas sistem
dan manajemen PJJ-nya?
Definisi Modus tunggal PJJ, diselenggarakan pada semua proses pembelajaran pada matakuliah atau program
studi. Sedangkan definisi Modus ganda PJJ merupakan penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi
secara tatapmuka dan jarak jauh. Lalu Modus konsorsium PJJ diselenggarakan oleh beberapa program studi dalam
bentuk jejaring kerja sama dengan lingkup perguruan tinggi yang bersangkutan atau antarperguruan tinggi dalam
wilayah nasional dan/atau internasional.
Dalam konteks gagasan dan analisis yang penulis kemukakan dalam karya ini, adalah hanya pada Modus ganda
PJJ merupakan penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi secara tatapmuka dan jarak jauh.
Karena itu metode analisis yang digunakan penulis adalah berpijak pada analisis “deskriptif penyelenggaraan” yaitu
analisis:
1) komponen penyelenggaraan;
2) sistem penyelenggaraan;
3) manajemen SDM, dan NonSDM dalam penyelenggaraan;

4) pilihan program studi yang akan diselenggarakan dalam PJJ di PTS; dan

5) Modus ganda PJJ merupakan penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi secara tatapmuka
dan jarak jauh.
Keadaan saat ini
Sepengetahuan penulis, dalam rangka menyiapkan konsep dan rencana menerapkan
“Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Tinggi Jarak Jauh/PTJJ di Perguruan Tinggi
Swasta/PTS”. (suatu gagasan dan analisis sistem dan manajemen pendidikan tinggi
melalui PJJ pada suatu program studi), dugaan penulis adalah masih belum
terpublikasikannya atas hasil suatu seminar ataupun workshop-nya. Karena itu,
sangatlah menarik untuk dijadikan suatu gagasan ataupun model analisis PJJ dalam
jurnal sistem dan manajemen pendidikan tinggi, dan lebih khusus lagi
penyelenggaraannya di suatu PTS.
Keadaan yang Diharapkan
Diharapkan dengan adanya analisis ini, akan diperoleh suatu kecenderungan alternatif
model PJJ suatu program studi di PTS untuk diselenggarakan PJJ-nya. Tentunya
memerlukan pendalaman dalam suatu diskusi akademis yang terbuka, dan pada
akhirnya menemukan modelnya. Semoga saja terwujud.

Hasil dan Pembahasan


Analisis komponen penyelenggaraan.
1. Komponen “manajemen/pengelola kebijakan” PJJ.
Komponen ini memberikan arahan kepada manajemen internal perguruan tinggi (dhi. PTS) yang menerapkan PJJ
agar menyiapkan konsep (berdasarkan fakta dan pengalaman yang diperoleh, serta definisi yang diyakini) yang
dibuat oleh pengelola kebijakan PJJ perguruan tinggi (dhi. PTS yang bersangkutan). Sebagai contoh, kebijakan
sistem pengelolaan standar registrasi pebelajar (yang merupakan komitmen semua pihak untuk melaksanakannya),
yang dibuat oleh tim yang mengembangkan standar-standar dan pedoman serta panduan-panduan pelaksanaannya
(baik bagi “manajemen/pengelola kebijakan” PJJ, maupun bagi “manajemen/pengelola pelaksana” kebijakan PJJ di
suatu wilayah). Lalu bagaimana caranya menerapkannya di suatu wilayah, agar sistem dan prosedur yang dibakukan
dioperasikan/dijalankan oleh “manajemen/pengelola pelaksana” kebijakan PJJ di suatu wilayah. Tentunya harus
melalui suatu proses a) pengembangan berdasarkan pengalaman, b) integrasi konsep,
c) penyempurnaan konsep, d) uji coba konsep, e) revisi konsep, f) siap implementasi konsep, dan g) evaluasi dan
umpan balik (feed back), dari kondisi di lapangan guna lebih menyempurnakan sistem dan prosedur yang baku atas
konsep sistem, prosedur, pedoman, dan panduan instruksi kerja.
Selain subkomponen sistem, prosedur, pedoman, dan panduan instruksi kerja, diperlukan subkomponen teknologi,
informasi, dan komunikasi (TIK) yang dikembangkan oleh tenaga terampil TIK yang membuat dukungan
pemercepatan proses dalam pencapaian tujuan, dengan meminimalisir tenaga manusia. TIK memegang peran pokok
dan penting dalam menyiapkan “manajemen/pengelola kebijakan” PJJ untuk diselenggarakan oleh semua pemangku
kepentingan (stake holders).
Selain 2 (dua) hal subkomponen yakni 1) sistem, prosedur, pedoman, dan panduan instruksi kerja, dan 2)
subkomponen teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK), yang juga tidak kalah pentingnya adalah subkomponen
sarana dan prasarana guna mendukung “manajemen/pengelola kebijakan” PJJ. Sebagai contoh adalah pengadaan
gedung atau ruang kerja (termasuk meja dan kursi), instalasi kelistrikan, komputerisasi,
jaringan, dan sebagainya, demi kelancaran terselenggaranya “manajemen/pengelola kebijakan” PJJ bagi semua
pihak pemangku kepentingan ( stake holders). Juga dukungan keuangan/finansial yang sangat vital dalam
keberhasilan pelaksanaan “manajemen/pengelola kebijakan” PJJ, yang perlu diatur sistem dan prosedurnya dalam
a) perencanaan program, b) pelaksanaan kemajuan dan realisasi program, serta yang belum terealisasi
programnya, c) pertanggungjawaban keuangan atas program yang diselenggarakan.
Dari 3 (tiga) subkomponen di atas, yang terpenting adalah komponen SDM pembuat kebijakan dan pelaksana
kebijakan tersebut, yang memiliki kompetensi mumpuni, terjamin, jujur, terbuka, disiplin, bertanggungjawab, dan
ingin menyempurnakan sistem dan manajemennya. Disinilah perlunya kaderisasi SDM yang mesti disiapkan untuk
jangka panjang dalam menerapkan PJJ yang lebih sempurna lagi ke depannya dengan pemanfaatan optimalisasi
TIK dan SDM yang terintegrasi dan terpadu dalam melaksanakannya. Juga pemilihan SDM yang memiliki
kompetensi untuk menduduki suatu jabatan, dengan pengamatan yang direncanakan secara berkelanjutan, proses
dan prosedur pemilihan yang telah sesuai kaidah, dan sustainable guna memilih subjek pemimpin yang memiliki
kompetensi dan tangguh dalam menghadapi tantangan yang ada di depan mata ( problem solving).
2. Komponen “manajemen/pengelola pelaksana” kebijakan PJJ di suatu wilayah. Komponen ini, merupakan
tataran manajemen/pengelola pelaksana di suatu wilayah, yang siap untuk melaksanakan tugas, kebijakan dari
pusat. Subkomponennya paling tidak, terdiri atas wakil kelompok a) fungsional dosen perwakilan masing-masing
fakultas, dan program studi, b) peneliti, c) pustakawan, d) TIK ( ICT), e) Teknologi Pembelajaran (TP), f) desain
komunikasi visual, dan g) marketing. Kemudian ditambah lagi tenaga teknisi a) kelistrikan, b) kehumasan, c)
administrator, d) ilustrator dan karikatur, e) dan lainnya sesuai kebutuhan wilayah.

3. Komponen “pengembangan sistem dan manajemen PJJ”.


Komponen ini, tugas pokoknya adalah mengembangkan dan menganalisis, serta dapat mengidentifikasi
kemungkinan risiko yang minimal diterima bagi pengelola (jika mungkin zero defect), dan bisa diterima oleh
pengelola, dengan melakukan formulasi model sistem PJJ suatu program studi yang diinginkan, dan sangat
mungkin bisa diterapkan. Dalam konteks analisis PJJ ini, penulis memilih program studi yang sifatnya umum,
tatapmuka, dan telah diselenggarakan di suatu PTS, yaitu program studi S-1 Manajemen. Tentunya memiliki
kemiripan kurikulum (antarPTS dengan PTS yang lainnya) dengan standar kompetensi lulusan S-1 Manajemen bagi
suatu PTS yang minimal berakreditasi B. Hendaknya dilakukan pemilihan matakuliah-matakuliah yang serumpun,
misalnya rumpun SDM (untuk matakuliah-matakuliah manajemen SDM, perencanaan manajemen SDM,
pengembangan SDM, dan audit SDM), untuk kemudian disepakati mana yang dilakukan tatapmuka, dan mana yang
dilakukan jarak jauh? Hal ini mempertimbangkan pengembangan bahan ajar cetak, dan bahan ajar multimedianya,
yang memerlukan ahli profesionalnya masing-masing (baik substansi isi maupun kemenarikan tampilannya, dan
enak, serta nyaman untuk dilihat dengan mata normal).
4. Komponen “pengembangan bahan ajar dan media”.

Komponen ini merupakan komponen sangat vital dan sangat penting. Karena pengembangan bahan ajar (cetak
maupun noncetak), dan media pembelajarannya, memerlukan keahlian dan keterampilan tersendiri. Karena itu
diperlukan penulis ahli bidang studi suatu bahan ajar yang profesional dalam mengembangkan substansinya, sesuai
dengan format instruksional standar, komunikatif (pengemasan antara deskripsi
substansi dan desain komunikasi visual yang integratif) dengan pembaca bahan ajarnya.

Bahan ajar cetak, merupakan dosennya bagi PJJ. Sedangkan bahan ajar noncetak merupakan pelengkap bahan ajar
cetak yang dapat membantu peningkatan pemahaman pebelajar. Kemudian pendamping belajar mahasiswa, adalah
tutor (baik tutor tatapmuka, maupun tutor online), dengan tetap berpijak pada sistematika instruksional bahan ajar
suatu matakuliah yang standar. Karena itu memerlukan pemikiran integratif sistem dalam pengembangan bahan ajar,
dan pemilihan multimedianya. Belum lagi penggandaannya memerlukan waktu, pemeriksaan kualitas substansi yang
standar. Termasuk delivery dan pengemasan yang menarik paket bahan ajarnya, yang akan dikirim ke mahasiswa
selaku pebelajar.

5. Komponen “pengembangan teknologi informasi, dan komunikasi” (TIK). Komponen ini, menganalisis
pemanfaatan TIK dalam kemasan PJJ. Pemilihan bahan ajar cetak prodi yang dipilih (misalnya, prodi S-1
manajemen), dan telah ditentukannya matakuliah-matakuliah mana yang melalui kuliah tatapmuka dan melalui PJJ,
hendaknya tidak terpisahkan (terintegratif) dengan multi medianya, yang nyata-nyata memanfaatkan TIK, dan
sumber-sumber belajar lainnya (sebagai pengayaan).
6. Komponen “registrasi, dan pengujian”.

Komponen ini, memerlukan sistem dan manajemen tersendiri yang juga hendaknya memadukan antara registrasi
manual, dan registrasi online. Karena itu diperlukan pedoman standar operasional, dan petunjuk (instruksi) kerja bagi
petugas sebagai kelengkapan dari pedoman standar operasional tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan
bagaimana data calon mahasiswa (dan pencatatannya sebagai mahasiswa/pebelajar), dapat direkam oleh sistem
informatika, guna pemanfaatan komunikasi antara manajemen/pengelola PJJ dengan mahasiswa ketika a) melakukan
layanan delivery bahan ajar (baik secara fisik bahan ajar, maupun media sosial lainnya), b) layanan bantuan belajar
(baik melalui tatapmuka maupun online, ataupun dengan pendampingan bantuan belajar lainnya), c) layanan ujian
dan hasil ujian, d) layanan wisuda dan pengiriman ijazah, e) layanan informasi perguruan tinggi, misalnya tawaran
meningkatkan strata pendidikannya yang lebih tinggi, ataupun program sertifikasi per matakuliah tertentu, yang pada
suatu waktu bisa diakui dalam suatu kurikulum program studi tertentu, dan f) keperluan lainnya.
7. Komponen “distribusi bahan ajar, dan bantuan belajar,”.

Subkomponen distribusi bahan ajar ini, memerlukan sistem dan manajemen internal tersendiri lagi, yakni mulai
prediksi jumlah mahasiswa pebelajar sebagai peserta program (misalnya S-1 Manajemen), pada semester berikutnya
(Sem. +1), Sem. +2, Sem. +3, dan seterusnya. Hal prediksi jumlah mahasiswa ini, dimaksudkan untuk proyeksi jumlah
penggandaan bahan ajar/modul, dan multimedianya. Lalu sistem pemaketan bahan ajar dalam suatu semester
berjalan, dan penyiapan pemaketan semester berikutnya, serta pemaketan setiap semesternya. Pengalaman penulis,
ternyata tidak semudah apa yang dibayangkan oleh sebagai pengelola PJJ. Kemudian pengaturan sistem dan
manajemen (dengan pemanfaatn TIK) yang dimulai dari pemesanan pemaketan bahan ajar (beserta multi medianya)
oleh mahasiswa (melalui online), dan sistem layanan pembelian secara langsung ke perguruan tinggi. Inipun tidak
semudah yang dibayangkan dalam pengaturan manajemennya. Hal ini memerlukan pengendapan konsep yang
dipadukan dengan pengalaman lapangan, yang diformulasikan (dibuat modelnya) secara tersendiri.
Selanjutnya adalah subkomponen layanan bantuan belajar, yakni bagaimana perguruan tinggi memberikan layanan
bantuan belajar (baik melalui tatapmuka, maupun secara jarak jauh (online), beserta cara mendapatkan bantuan
belajar, dan
Analisis Sistem Penyelenggaraan
Berdasarkan 8 (delapan) komponen penyelenggaraan yang dianalisis di atas di dalam sistem penyelenggaraan PJJ
pada suatu program studi tertentu (misalnya, S-1 Manajemen) di PTS, maka diperlukan pedoman “payung” yang
disepakati pimpinan PTS secara bersama-sama. Lalu perlu pula pedoman standar (baik sistem tahapan dan
prosedur yang semestinya dilaksanakan oleh semua pihak secara konsisten dan memiliki komitmen tinggi). Yang
tidak kalah pentingnya dalam mengembangkan sistem dan manajemen PJJ di PTS, adalah leadership dan
komitmen para stakeholders dalam merencanakan, dan mengelolanya, serta tercapainya tujuan penyelenggaran
PJJ di PTS, dengan kreativitas dan inovasinya.
Analisis manajemen SDM, dan NonSDM dalam penyelenggaraan
Berdasarkan analisis 8 (delapan) komponen penyelenggaraan yang dianalisis di atas, maka sangatlah diperlukan
SDM yang berkompeten dalam mengembangkan sistem dan manajemen PJJ tersebut, sampai
terselenggarakannya program PJJ di PTS, baik yang diawali dari perencanaan sistem dan manajemen (SDM dan
NonSDM), pelaksana sistem dan pengelolaannya, yang memerlukan simulasi dan pelatihan tersendiri. Apabila telah
terencana dan terprogram dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin, dan pasti dapat dilaksanakan, walaupun
mungkin disana-sini masih terdapat kekurangan dalam penyelenggaraannya. Disinilah peran monitoring dan
evaluasi, guna menyempurnakan sistem dan manajamen perguruan tinggi, dalam mengembangkan sistem dan
manajemennya. Tak ada gading yang tak retak, dan jangan berputus harapan, untuk menyiapkan SDM dan
NonSDM-nya yaitu sarana dan prasarana penunjang dalam penyelenggaraan PJJ di PTS. Misalnya, a) ruang kerja
beserta perlengkapannya, b) lalu jaringan komputer beserta perangkat lainnya, c) ATK, d) tenaga terampil bidang
TIK, e) rekrutmen SDM yang sesuai kompetensinya, f) arahan
Analisis pilihan program studi yang akan diselenggarakan dalam PJJ di PTS.
Definisi Modus tunggal PJJ, diselenggarakan pada semua proses pembelajaran pada
matakuliah atau program studi. Sedangkan definisi Modus ganda PJJ merupakan
penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi secara tatapmuka dan jarak
jauh. Lalu definisi Modus konsorsium PJJ diselenggarakan oleh beberapa program
studi dalam bentuk jejaring kerja sama dengan lingkup perguruan tinggi yang
bersangkutan atau antarperguruan tinggi dalam wilayah nasional dan/atau
internasional.
Dalam konteks analisis yang penulis kemukakan, adalah hanya pada Modus ganda PJJ
merupakan penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi secara
tatapmuka dan jarak jauh. Artinya kita mesti mengelompokkannya terlebih dahulu
matakuliah-matakuliah yang serumpun dalam kurikulum S-1 Manajemen di PTS,
misalnya rumpun 1) manajemen, 2) rumpun SDM, 3) rumpun eksakta dan noneksakta,
4) dan seterusnya.
Pemanfaatan TIK dalam Pembelajaran Tatapmuka–Terpadu–Online, dalam hal
proporsi online seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. Pauline Pannen, 2016, perlu
mendapatkan fokus pertimbangan untuk dilaksanakan secara konsisten yaitu:

Proporsi Online Deskripsi Tipe

30% s.d. 79% Mengombinasikan cara online dan Blended/Hybrid (e-


tatapmuka. Ada proporsi pengantaran learning).
bahan ajar yang online, biasanya

dilengkapi dengan diskusi online, dan


ada pengurangan frekuensi tatapmuka.
Oleh sebab itu, berdasarkan rumpun matakuliah pada program studi S-1 Manajemen pada PTS,
hendaknya dipilih matakuliah-matakuliah , mana yang penyelenggaraan kuliahnya melalui tatapmuka, dan
mana yang melalui online? Format isiannya perlu diciptakan sedemikian rupa, sehingga memudahkan tim
untuk mengidentifkasi dan mengolahnya.
Analisis Modus ganda PJJ merupakan penyelenggaraan PJJ pada matakuliah atau program studi secara
tatapmuka dan jarak jauh.
Dalam rangka upaya peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pemerintah melakukan terobosan baru
dengan diperbolehkannya perguruan tinggi (selain Universitas Terbuka/UT) untuk menyelenggarakan
Pendidikan Jarak Jauh (PJJ). Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 24 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Jarak Jauh pada Perguruan
Tinggi.
Fungsinya adalah sebagai bentuk pendidikan bagi peserta didik yang tidak dapat mengikuti pendidikan
tatapmuka tanpa mengurangi kualitas pendidikan. PJJ bertujuan untuk meningkatkan perluasan dan
pemerataan akses terhadap pendidikan yang bermutu dan relevan sesuai kebutuhan.
Dengan semakin banyaknya masyarakat yang masuk ke perguruan tinggi (baik PTN maupun PTS), APK-
PT dimungkinkan terdongkrak meningkat signifikan.
Perundang-undangan mengenai pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) telah memberikan payung hukum
bagi penyelenggara perguruan tinggi (baik PTN maupun PTS), antara

Penutup
Berdasarkan analisis 8 (delapan) komponen penyelenggaraan, analisis
sistem penyelenggaraan, analisis manajemen SDM, dan NonSDM dalam
penyelenggaraan, analisis pilihan program studi yang akan
diselenggarakan dalam PJJ di PTS, dan pilihan analisis modus ganda
dalam penyelenggaraan PJJ di PTS, maka penulis menarik simpulan,
bahwa kemungkinan besar PJJ dapat diselenggarakan di PTS. Hanya saja
diperlukan diskusi-diskusi yang intensif dalam tim, dengan pendampingan
para pakar dalam bidang PJJ yang ekspertis berpengalaman dalam praktik
menyelenggarakan PJJ (misalnya pakar dari UT).

Daftar Pustaka
ALA. (1989). Presidential Committee on Information Literacy. Chicago:
American Library Association.

Katalog UT, 2017/2018, Sistem Penyelenggaraan FE, FHISIP, FKIP, FMIPA.


Panduan Pelaksanaan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) 2016, Direktorat
Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Paulina Pannen, 2016, Kebijakan Pendidikan Jarak Jauh dan E-learning di


Indonesia, Kemenristek Dikti
S. Udin Winataputra, dkk, 2008, Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakata:
Universitas Terbuka.

Strengthening Deeper Learning through Virtual Teams in e-Learning: A


Synthesis of Determinants and Best Practices 

Joyline Makani, Martine Durier-Copp, Deborah Kiceniuk, and Alieda Blandford 

Abstract: Globally, e-learning is gaining popularity as its potential contributions to economic and
social development are recognised. However, its full potential has not been realised, as most e-
learning practices merely replicate traditional existing teaching methods and have not fully
exploited the interactive and social components of peer learning. Recently, there has been an
increased focus on deeper learning in higher educational settings, in particular, a focus on the skills
and knowledge that reinforce each other and together promote deeper learning (Chow, 2010). In
other words research shows that to be successful all students must have access to educational
opportunities that foster deeper learning. Virtual teams (VT) are said to foster "deeper" learning, but
have not been empirically studied in the academic sphere, and little is known about their effectiveness as a learning mechanism in e-
learning. In this paper the findings of a systemic review and interpretive synthesis of the body of
literature on e-learning and VT are presented. The objective of the study was to identify the core
skills and knowledge from research that reinforce each other and together promote deeper
learning. The results from this study will strengthen e- learning program planning and delivery
within higher education centres that are already engaged in e-learning, as well as convey important best practices for learning
centres at the beginning stages of e-learning development. Presented is an e-learning framework, which may
serve as the foundation of future empirical studies in e-learning. 

Keywords: e-learning; online education; distance education, virtual teams; deeper


learning; instructional design 

Résumé : À l'échelle mondiale, l'apprentissage en ligne gagne en popularité puisque ses


contributions éventuelles au développement économique et social sont reconnues. Cependant, son
plein potentiel n'a pas été réalisé, car la plupart des pratiques d'apprentissage en ligne ne font que
simplement reproduire les méthodes d'enseignement traditionnelles existantes et n’ont pas pleinement exploité les composantes
interactives et sociales de l'apprentissage par les pairs. Récemment, il y a eu une focalisation
accrue sur l’apprentissage plus approfondi dans des milieux d'enseignement supérieur, en
particulier, l'accent sur les compétences et les connaissances qui se renforcent mutuellement et,
ensemble, favorisent un apprentissage plus approfondi (Chow, 2010). Autrement dit, la recherche
montre que pour réussir, tous les étudiants doivent avoir accès à des possibilités éducatives qui favorisent un
apprentissage plus approfondi. Les équipes virtuelles (EV) sont dites de favoriser l'apprentissage « plus approfondi », mais
elles n'ont pas été empiriquement étudiées dans la sphère académique, et on en sait peu sur leur
efficacité en tant que mécanisme d'apprentissage en apprentissage en ligne. Dans cet article, les
résultats d'une revue systématique et d’une synthèse interprétative de la littérature sur
l'apprentissage en ligne et les équipes virtuelles sont présentés. L'objectif de l'étude était
d'identifier les compétences de base et les connaissances issues de la recherche qui se renforcent mutuellement et, ensemble, favorisent
un apprentissage plus approfondi. Les résultats de cette étude permettront de renforcer la
planification de programme et la livraison d’apprentissage en ligne dans les centres
d'enseignement supérieur qui sont déjà impliqués dans l'apprentissage en ligne, ainsi que de
transmettre d'importantes meilleures pratiques pour les centres d'apprentissage qui en sont aux
premiers stades du développement de l'apprentissage en ligne. On présente un cadre de référence
d'apprentissage en ligne, qui peut servir de base à de futures études empiriques en apprentissage en ligne. 

Mots clés : apprentissage en ligne, enseignement


supérieur 
Introduction E-learning has transformed traditional ways of learning in higher education. It
is defined as: 
An approach to teaching and learning, representing all or part of the educational model applied, that is based
on the use of electronic media and devices as tools for improving access to training, communication and interaction and facilitates the
adoption of new ways of understanding and developing learning. (Sangrà, Vlachopoulos, & Cabrera,
2012, p. 152) Notably, e-learning encompasses some key characteristics of both distance
learning and online learning and underscores the integration of “pedagogy, instructional
technology and the Internet in teaching and learning environments” (Carter & Salyers, 2015).
Globally, e-learning is gaining popularity as its potential contributions to economic and social
development are recognised. In Canada, e-learning’s provision of the needed flexibility (i.e.,
any time, any place) is recognized as a fundamental vehicle for fostering a lifelong learning
society (Canadian Council on Learning, 2009). According to the Contact North 2012 report, it is
estimated that between 875,000 and 950,000 registered online students at colleges and
universities in Canada take a purely online course at any one time. In the US, in 2012, over 6.7
million students were taking at least one online course, an increase of 570,000 students over
the number reported in the previous year (Allen & Seaman, 2013). However recent reports
have revealed some countries are not performing to expectations in their e-learning
endeavours. For example Canada is reported as trailing behind the efforts of other countries in
e-learning, with Canadian post-secondary institutions lagging behind those in many other
countries in incorporating online components into their programs, and e- learning in workplace
training is not yet a standard feature (Canadian Council on Learning, 2009). The same report,
however, highlighted the importance of e-learning to Canadian social and economic
development and called for a coherent framework to shape e-learning’s development in
Canada, noting, among other things, the need for concerted efforts to fill gaps in research and
harness the potential of technology to meet the needs of learners (ibid.). This is aptly stated,
as there appears to be a scarcity of research on e-learning in Canada (Salyers, Carter, Carter,
Myers, & Barrett, 2014; Kaznowska, Rogers, & Usher, 2011). A stronger understanding of
online learning is therefore essential for the future success of education and training. From the
outset, e-learning has been hailed as offering the “potential to enable student centred learning
through the realisation of constructivist teaching principles” (Edwards & Bone, 2012, p. 2).
However, this potential has not been realized since most studies describe current activities in
e-learning as mostly replicating or transferring traditional existing teaching and learning
approaches into e-learning environments (Salmon, 2005). In Canada one of the major barriers
to the development of e-learning is noted as “the poor design and quality of some early stage
online courses and the low level of student engagement these engendered” (Contact North,
2012, p. 17). In other words, educators are striving to conceptualize how teaching and learning
can be enacted in e-learning settings whereby data, information, knowledge, and the capacity
to socially shape such data, information and knowledge tends to define the learning
experiences of many students (Edwards & Bone, 2012). Moreover, there has been an
increased focus on deeper learning in higher educational settings, in particular, a focus on the
skills and knowledge that reinforce each other and together promote deeper learning (Chow,
2010). Deeper learning, as presented by the Hewlett Foundation, prepares students to master
core academic content, think critically and solve complex problems, work collaboratively,
communicate effectively, have an academic mindset, and learn through self- direction.
Nevertheless, to be successful all students must have access to educational opportunities that
foster deeper learning. As a result there is a growing need for a stronger understanding of e-
learning that encompasses the examination of ways in which e-learning promotes deeper
learning. 
2
 
In addition, there is growing practical evidence that one of the key factors for e-learning
success is an understanding of the social component of learning, i.e., the importance of
person- to-person, and group/team, interactions within the e-learning framework. Social
aspects of peer learning are considered to build student motivation, enhance social
connections and increase student access to feedback about their learning (Morrison, 2006).
Not surprisingly, therefore, most workplace training and graduate teaching in e-learning
environments utilize group work. Group or team work, according to precepts of adult education,
fosters deeper learning, in a co-production of knowledge model, and also provides skills that
professional programme students require in the workplace, where teams are the norm today
and team work a required skill set. Virtual teams are one such example of a form of a
workplace team with potential implications for e-learning. Virtual teams are groups of people
committed to a common purpose or goal that are separated geographically, that use a variety
of communication technologies that allow them to transcend the limits of time and distance, in
order to work together (Ale, Ahmed, & Taha, 2009; Green & Roberts, 2010; Martins, Gilson, &
Maynard, 2004). Aside from their ability to allow highly skilled but geographically dispersed
individuals to work together, past reviews have highlighted studies that claimed other benefits
of virtual teams. For example, these benefits may include: increased team cohesion and a
greater sense of responsibility among team members (Ale et al., 2009); increased participation
among members and reduction in the effects of status inequalities (Martins et al., 2004) and
greater opportunity for students to acquire an international perspective through their learning
(Green & Roberts, 2010). There is a growing body of knowledge on how to develop effective
virtual teams in the professional context (Faizuniah & Chan, 2014; Parke & Campbell, 2014;
Berry, 2011). As well, there is some discussion in academic circles of possible relationships
between e-learning and virtual teams (Erez et al., 2013; Shea, Sherer, Quilling, & Blewett
2011). As Hunt, Smith, & Chen, (2010) observed, academicians need to challenge students to
engage, and one way to accomplish this is by using active collaborative teaching scenarios.
However, virtual teams have not been extensively empirically studied in the academic sphere,
and little is known about their effectiveness as a learning mechanism in e-learning. The key
question is whether virtual teams used in the e-learning space are effective in producing better
student learning outcomes? It is useful therefore to consider what lessons can be learned from
the literature on virtual teams which can be applied and used within e-learning environments to
promote deeper learning. In order to draw these conclusions, there is a need for an in-depth
meta- review of findings in the literature on virtual teams concerning the impact/results from
virtual teamwork, which can be useful or transferred to general e-learning. This study therefore
reviewed and synthesised the findings in the literature on virtual teams and e-learning
published within the past decade. The objective was to identify core skills and knowledge from
the virtual team and e-learning research that reinforce each other and together promote deeper
learning; also proposed is an e-learning framework, which may serve as the foundation of
future empirical studies in e-learning, and may contribute to enhanced pedagogical design.
The results from this study will strengthen e-learning program planning and delivery within
higher education centres that are already engaged in e-learning, as well as convey important
best practices for learning centres at the beginning stages of e-learning development. This
paper is organized as follows. First, we present an overview of our knowledge synthesis
methods, which includes a systematic search of the literature and an interpretive synthesis of
existing research. We then present an analysis and discussion of our findings and our
proposed e-learning framework. The final section indicates the limitations of our research and
provides recommendations. 
1. What instructional activities were facilitated in the lab sessions? 2. Were
the instructional activities helpful for students to achieve the course 
competencies

3
 
Methods Our review was underscored by rigor and transparency (Mays, Pope, & Popay,
2005) to enable the study to be replicated by others. We conducted a systematic search and
review of the literature to identify the key determinants of effective learning in an e-learning
educational delivery model, effective virtual teams, and the additional impact of an e-learning
framework that incorporates a virtual teamwork component within the program model. One of
the key advantages of a systematic over a narrative literature review is that it allows for the
synthesis of the research in a systematic, transparent, and reproducible manner. In other
words, adopting a systematic review methodology helped in counteracting bias by making
explicit the values and assumptions underpinning our review process. In addition, comparative
and thematic synthesis methods, rather than quantitative analysis, were selected to uncover
contextual issues identified in the studies and provide educators and policy-makers with a
reliable basis to formulate program model frameworks and take evidence-informed action. We
adapted an interpretive review method, an approach that provides a useful structure within
which to conduct a synthesis of the literature. Notably, the goal of the synthesis was not to
produce an aggregation of data, but theory grounded in the studies included in the review
(Dixon-Woods, et al., 2006). 
Study Questions It was not possible nor desirable for us to specify in advance the precise
review question, a priori definitions, or categories under which the data will be summarised.
The precise formulation of review questions in advance of the synthesis, as Dixon-Woods et al,
(2006) noted, is successful in instances “where the phenomenon of interest, the populations,
interventions, and outcomes are all well specified – i.e. if the aim of the review is aggregative”.
For our study the aim was to allow the definition of the phenomenon of virtual teams and e-
learning to emerge from our analysis of the literature (Jensen & Allen, 1996). However, it
should be noted that, although at the outset we did not have a specific hypothesis that we were
going to explore, three general questions were used to frame our project. These project review
questions, which could best be described as “tentative, fuzzy and contested” (Greenhalgh et
al., 2005), were: What drives effective e-learning? What makes virtual teams effective? What
lessons can be learned from the literature on virtual teams which can be applied and used
within e-learning environments? We then employed a highly iterative approach to specify our
review questions, i.e., we modified the questions in response to search results and findings
from retrieved items. The multidisciplinary nature of our research team was of great benefit to
this process of refining the questions, as it allowed a range of perspectives to be incorporated
into the process. 
Study Eligibility Our focus was to include many different forms of evidence with the aim of
generating a comprehensive framework, thus we conducted an interpretive synthesis
(Sandelowski et al., 1997) of all types of evidence relevant to our understanding of the
mechanisms that underlie effective e-learning and virtual team environments, and for whom
virtual teams work and in what circumstances. However, we limited the date range to the
past 10 years in adherence to the grant funding call to focus on the state of research
knowledge emerging over the past decade. Because we sought to include only the most
recent decade of published evidence in our report, we therefore excluded studies published
prior to 2005. Non-English language materials were also excluded because of the cost and
time involved in material translation. Thus, potential relevant studies might have been
missed due to our exclusion criteria. 
Study Identification As stated above, our research focus was to be as comprehensive as
possible in identifying studies relevant to our understanding of the criteria that underlie
effective e-learning and 

4
 
virtual team environments, and for whom virtual teams work and in what circumstances. We
therefore used purposive sampling initially to include only those studies published within the
past ten years that investigate (e-learning OR virtual teams) AND (success* OR effective* OR
best practice*) in multidisciplinary environments. To achieve this we adopted a number of
strategies, including searching for relevant evidence in electronic databases; reference
chaining; searching grey literature websites; and contacts with experts. During the month of
May 2015 two librarians (the co-investigator and the research assistant) developed and ran
combinations of search strategies in electronic databases: ERIC, ABI/Inform, Business Source
Complete, Web of Science, Academic Search Premier, Science Direct, and Research Library.
Appendix A presents the combinations of search terms used in the study. We also checked the
reference list of studies retrieved from databases to ensure that we had included all the
relevant studies fitting our search criteria. In addition, since there are numerous official reports,
studies, theses, dissertations and working papers on these topics we included relevant
materials retrieved through searching gray literature sources, including the Canadian Research
Index, ProQuest Dissertation & Theses, and Google Scholar. Further, in May 2015 we created
a research project website. We utilized expertise within the team of policy makers and
educators participating on our website to identify relevant literature. Our website received 435
unique visitors (740 page views) during the months of July and August 2015. Pingbacks and
referrals came from other blogs, and social media sites, including Twitter, Facebook, Reddit,
Scoop.It, LinkedIn, and Google. Social media and website participants suggested articles that
could be included in our literature sample. We organized the articles in RefWorks. 
Study Selection Our research team drafted a mechanism to help us eliminate studies that were
not relevant to our research. We tested the draft relevancy criteria on a subset of fifty abstracts
and discussed the differences in interpretation among the researchers. A high level of
agreement was reached by the team of researchers (kappa = 0.80). The researchers
discussed the discrepancies and settled on final inclusion/exclusion criteria. More importantly,
the final inclusion/exclusion criteria that we applied to all citations to determine their relevance
was developed post hoc (Arkesey & O’Marlley, 2005) as researchers became more familiar
with the literature. The exclusion criteria included: not condition of interest (E-Learning and
Virtual Teams); not outcomes of interest (best practices, success factors, effectiveness);
published prior to 2005; and not written in English. All titles and abstracts of potential articles
were screened by the researchers independently and in duplicate for inclusion. The
researchers applied the inclusion and exclusion criteria to all the retrieved citations by reading
the abstracts. At this stage, the full-text of the article was retrieved and read only in situations
where the relevance of a study was unclear from the abstract. We resolved any conflicts by
consensus. Our aim was to prioritise papers that appeared to be relevant, rather than particular
study types or research that met specific methodological standards. 
Data Extraction We conducted a bibliometric analysis to describe the structure and
dynamics of the research literature. We developed a data classification form to assist in
systematically identifying characteristics of each article. We classified articles based on the
following classification scheme: 
• Web of Science subject area (based on journal content specific fields of study,
e.g., Business, Education, Health) 
• Number of times cited 
• Year of publication 
• Journal and journal impact factor 

5
 
• Geographic focus (i.e., did the paper have a Canadian, North American, or
global/general focus?) 
• Article Focus (i.e., was ELearning and VT a major focus of the
paper?) 
• Article type (Empirical or non-empirical) 
• Study method (e.g., quantitative, qualitative, literature review, policy/management
development) 
• Sector (e.g., higher education, business/professional training). A fundamental
issue in reviewing qualitative and quantitative research is the appraisal of study quality (Mays
et al., 2005). Our research team gave the articles a quality rating using two quality rating
matrices, one for empirical and one for non-empirical articles, developed by the researchers.
We used a 15-point scale for empirical articles that included assessment of the quality of the
literature review, research questions and design, population and sampling, data collection and
capture, and analysis and results reporting (see Appendix B). We also used a 15- point scale
for non-empirical articles (see Appendix C). Two members of the research team first rated a
subset of the articles (n = 20). A high level of agreement was reached (kappa = 0.82). The two
members discussed the discrepancies and a consensus was reached in all the cases. One
member of the research team then rated the remainder of the articles. In an effort to limit the
pool of articles to those deemed of higher quality, the research team agreed from the outset to
include only those articles that had an overall score higher than 10/15. We thus, focussed our
initial study synthesis on 110 highly rated studies. As shown in Figure 1 most of the studies
relevant to our study were published in highly cited journals as indicated by impact factor. For
our study journal impact refers to impact factor as calculated and published in the Thomson
Reuters Journal Citation Reports and relevance was calculated by measuring the number of
times that jornal populated in our literature sample. Figure 1: Study most relevant and
impactful journals. Further we identified and reviewed a number of relevant reports and
dissertations from the grey literature. It should be noted that we did not formally rate the grey
literature reports. Nevertheless, we reviewed the reports for information that we perceived was
a novel addition to the knowledge presented in the peer-reviewed literature and would greatly
contribute to our e-learning framework as a whole. 
Analysis and Synthesis Data handling and analysis was facilitated through the use of
Dedoose, an online qualitative analysis software that facilitates coding, sorting, and displaying
data. The complete texts of all 
6
 
included studies were loaded into Dedoose and analysed following the basic premises of
Glaser and Strauss (1967)’s grounded theory and Miles and Huberman (1994)’s data reduction
methods, methods we deem well suited to our focussing, reinterpretation and analysis of the
evidence, primarily text-based forms of evidence (Pope at al., 2007). The data synthesis was
conducted in several overlapping stages. In the first stage the research assistant and the first
author read the selected studies and noted key ideas following the marginal coding process
according to Miles and Huberman (1994). In the second stage, the researchers employed a
constant comparison method to group and organize the marginal codes conceptually, resulting
in a hierarchical organized codebook of codes and sub-codes that emerged from the data
itself. The study texts were line-by-line coded, a process that enabled the researchers to
undertake the translation of concepts from one study to another. The use of Dedoose added to
the transparency of our data analysis. We used Dedoose to assess inter-coder reliability. A
random selection of a third of the lines coded was assessed and a few discrepancies were
noted, mostly the discrepancies involved omissions. All discrepancies were discussed by the
researchers and a consensus approach was used to assign the final codes. Importantly, we
constantly compared the theoretical structures we were developing against the data in the
papers. Although onerous, line-by-line coding provided key advantages to our research, i.e., it
revealed gaps and puzzles, identified core themes, illuminated theoretical components and
uncovered potential sources of bias (Miles & Huberman, 1994). Line-by-line coding of the texts
resulted in 601 excerpts abstracted into 133 preliminary codes and subcodes. As relationships
became apparent, preliminary codes were refined and integrated into groups representing
emerging thematic areas of effective e-learning and virtual teams. As patterns of relationships
emerged the groups of thematic areas were refined and synthesized into domains of deeper
learning in e-learning. Data saturation was reached when domain codes were densely
distributed across the literature. 

Results 
Overall Structure Our systematic search of nine key databases yielded 12,802 studies in
English. Of these, 11,225 were removed on the basis of our exclusion criteria (2,383 were
duplicates, 1,051 were published before 2005, and 7,791 were deemed irrelevant by
consensus) (see Figure 2). In other words, of the 12,802 studies originally identified, 1,577
were selected as potential relevant studies. On the basis of examining the abstracts and full
text of all these 1,577 articles during the classification process we further eliminated 720
articles. Our final sample included 857 studies. Of the 857 studies selected for inclusion in the
synthesis, 500 were classified as empirical studies, 275 as non-empirical (e.g., editorials) and
22 as dissertations. Study characteristics including first author, year, focus and subject area
are detailed in Table 1 in Appendix D, which includes a bibliography of the highly rated studies
included in our initial study synthesis. The process of interpreting evidence in this synthesis
revealed three thematic domains of deeper learning in e-learning: contextual, behavioral, and
resource. In addition, two learning theories were identified as underscoring the domains
deeper learning: social constructivism theory (Vygotsky, 1978) and connectivism theory
(Siemens, 2005). Further, a core process inherent in deeper learning promotion emerged:
conversation. Conversation emerged as the primary social process through which the
processes of deeper learning and effective e-learning was made possible (see Figure 3). The
following is a detailed description of the learning theories and process revealed in this
interpretive-synthesis and the underlying themes.
Search Workflow. 
Learning Theories The synthesis revealed two learning theories that underscore the domains
of the core phenomenon of deeper learning in virtual teams and e-learning. Table 2 presents
a summary of the two learning theories; the social constructivism theory (Vygotsky, 1978)
and connectivism theory (Siemens, 2005). 
Table 2. Learning Theories Underpinning Deeper Learning in e-
Learning 

Authors Learning Theory Main Components/Issues Raised 

Vygotsky, 1978 
s construct knowledge based on their experiences. 

• This theory emphasizes the collaborative nature of learning. 

• Knowledge is constructed within a social context. 

Siemens, 2005 
s a product of the digital age. 

• Learning can be achieved through networks, decision-making,


collaboration, and diversity. 

• Emphasizes the ability to connect ideas, and to find and apply


knowledge when it is needed. 

These two theories help explain why learners and teachers can achieve a deeper
understanding of concepts through higher levels of communication processes. For
instance, 

8
 
individual participants bring their life experiences to an educational setting and those
experiences help shape how students and teachers process and interpret knowledge. From a
social constructivism perspective “learners construct knowledge through discourse with other
members of the community . . . . Learning is produced by the team” (Savin-Baden & Major,
2004, p. 71). When there is a collaborative environment for learning, more experiences are
shared and knowledge can be processed from different perspectives; concepts learned by
examining it from a number of different perspectives can enhance learning. From a
connectivism theoretical basis, social interaction within groups helps build networks, aids in
decision-making, and increases collaboration between groups that enhances the ability of
students to view concepts from diverse points of view, thereby increasing an individual’s ability
to understand and process information. In addition, bringing different perspectives to a learning
environment can also help in applying knowledge to a variety of settings, and therefore can
broaden that application of knowledge to various fields. 
Conversation Process The synthesis revealed that underpinning deeper learning in virtual
teams and e-learning environments is the core phenomenon of conversation. Conversation is
the all-embracing term that describes socialization as well as communication processes within
the learning environment. Conversation is identified as allowing learners to experience social
presence and develop a feeling of belonging and psychological closeness, which is crucial to
the development of deeper learning. For instance, within the e-learning literature concepts
such as collaboration, community and connectedness dominated the results pointing to student
satisfaction and success (Bolliger, Supanakorn, & Boggs, 2010). Among the studies included
in this synthesis, several authors cited conversation processesto describe vehicles for effective
virtual teams and e-learning. In their study, Tseng and Yeh (2013) identified conversation
process factors such as relationship conflict and lack of communication as the most serious
problems for virtual teams’ effectiveness in collaborative learning environments. Lin, Standing,
and Liu (2008), in their triangulated study (meta-analysis, field experiment and survey),
revealed social dimensional factors, such as developing successful social relationships, as pre-
requisite to effective task coordination in virtual teams resulting in effective task
accomplishment. Brown, and Voltz (2005) identified a participatory design and implementation
approach as the key to effective e-learning design, “where the e-learning system is a two-way
street, allowing early and ongoing communications between designer and users, rather than a
conduit directed at the learner or educator” (p. 8). Notably, the synthesis revealed a change in
how, through conversation processes, “knowledge” transfer is viewed in learning
environments. In other words focus is moved from individual to social/shared learning; from a
passive to an active process; and from top-down to learner-centered. More importantly,
knowledge transfer, acquisition or creation is not achieved by the transmission or formalization
of tacit knowledge but “through its coordination aimed at pursuing a common objective” (Ditillo,
2004). It is not considered as a simple transfer of a fixed entity but as involving learners and
instructors actively inferring and constructing meaning from a process of interaction (Hislop,
2010). In other words, learning is maximized in- context and through interaction with others
(Greenhow, Robelia & Hughes, 2009). Social learning strengthens the development of tacit
knowledge (Tee & Karney, 2010). Not surprising, a number of authors considered social
presence an important factor in student satisfaction and success (Bolliger, Supanakorn, &
Boggs, 2010; Swan & Shih, 2005). Shen, Cho, Tsai, and Marra, (2013) observed students’
self-efficacy as related to social interactions among students and between students and
instructors. According to Shen et al.: 
The nature of online learning requires students to interact actively with both
instructors and classmates. Especially those students with less experience may experience anxiety about
interacting with others and may feel social isolation if they perceive lack of
support from others. (p. 16) 

9
 
Instructors are thus encouraged to create social presence and teaching presence to foster a
sense of a learning community. This may be accomplished through: participating in discussion
boards; providing guidelines for social interaction; recognizing students' contribution to online
learning community; and, monitoring students' social interaction processes (Shen et al., 2013).
Also through engaging in conversation students and teachers share and discuss ideas, a
process that promotes critical thinking and reflection. In addition collaborative problem- solving
promotes the externalization and internalization of information (e.g., teaching others, or having
ideas vetted and analyzed in-context). Thus, the socialization process of learning, which can be
aptly summed up as conversation, allows for deeper learning of subject material in online
environments. Additionally, it allows for contributions in learning that are in a way “hidden” from
that found in direct face-to-face interaction. In short, the community may contribute in a manner
that is more authentic or free from bias. The following sections contain an overview of the three
thematic domains underlying conversation processes supporting deeper learning in e-learning
revealed in this synthesis, along with a framework that details the three domains within an e-
learning educational delivery model. 
Domains of the Core Phenomenon of Deeper Learning in e-Learning:
Conversation The synthesis identified the core phenomenon of conversation as described
within three fundamental domains: contextual dimensions; behavioral dimensions; and resource
dimensions (see Table 3 for details). 
Table 3. Domains of the Core Phenomenon of Deeper Learning in e-Learning: Conversation 
THEMATIC DOMAIN WHAT IT ENTAILS CHARACTERISTICS 
Contextual Dimensions 
Establishing or developing a shared context, an environment where learners and instructors effectively
engage in conversations. Social environments are integral to effective conversation. 
• Individual (Self-efficacy, Motivation, Interest, Task focus / goal commitment, Tech familiarity, Learning
preferences) 
• Group dynamics (Structure / size, Task distribution, Group awareness, Trust, Leadership, Conflict,
Interdependence) 
• Course design (Pedagogy, Incentives, Expectations, Delivery method) Behavioral Dimensions 
Enabling or facilitating dynamic practices that create empowered continuous conversations.
Strengthening networks of interpersonal relationships 
• Individual Learner (Planning, Participation, Reflection, Persistence, Communication, Task completion) 
• Group (Social interaction, Collaboration, Discussion and feedback, Problem solving, Decision making,
Task coordination) 
• Instructor (Communication, Intervention, Information management, Setting expectations, Completing and implementing
training) Resource Dimensions 
Deploying or encouraging use of multiple tools/vehicles/supports for effective and timely conversations 
• Technology (Tools, Media), Time, Course content / materials, Training 
These domains were distilled and organized through a deductive process from the 133 codes
identified on the basis of the highest frequency of appearance in the literature as well as, in the
researchers’ views, the fundamental drivers for effective e-learning and virtual teams. While 
10 
these three domains are certainly interrelated and have some overlap, the following
sections highlight and describe the domains in greater depth. 
Thematic Domain 1: Contextual Dimensions Contextual dimensions are described as elements
enabling the creation of learning environments with a shared context, an environment where
learners and instructors effectively engage in conversation. This entails the development of a
learning environment that has, as observed by Wickersham and McGee (2008), “a learner-
centric design as opposed to content- centric, in which the learner proceeds in a lock-step
fashion through content with little or no adaptation or deviation from a content-driven script” (p.
74). Purposefully developing a shared context is considered a “useful approach to facilitating
online learning, creating a strong potential to support learning processes necessary for
students to cultivate tacit knowledge” (Tee & Karney, 2010, p. 1). Notably, the learning design
considers the social context, i.e., the learner’s context of practice, ways of learning, and
experience in the world. Social environments are integral to effective conversation and deeper
learning. Importantly, to be social, learning requires feedback and interaction between learners
and instructor. Contextual dimensions thus include the consideration of individual, group and
course design intrinsic factors, such as learning preferences, technological familiarity and
experience; task design; task complexity; goal clarity; and delivery methods. For instance the
literature brought to light that task design is important, as is clarity of mandate. Early and
focused goal setting and preparation are important, as are team agreements and team
regulation policies. Consistently illuminated across the findings of the study are the notions that
clear team norms, timeliness of response, and instructor attitude support team effectiveness
and a learner- centered environment leads to greater participation, teamwork, respect, and
commitment. Courses that are designed to foster peer-interaction, encourage collaborative and
socially- negotiated learning contribute to active learning and critical reflection that is key to
deeper learning. All in all, as Johnson, Hornik, and Salas (2008) concluded: 
Creating and maintaining a shared learning space within an e-learning
environment is important for enhancing learning, value, and satisfaction for participants. In addition, simply
exchanging information may not create the shared social context
necessary; instead the evidence suggests that social presence is also
important. (p. 364) 

Thematic Domain 2: Behavioral Dimensions Behavioral dimensions are described as factors


that enable or facilitate dynamic practices that create empowered continuous conversation.
The focus is on strengthening networks of interpersonal relationships. Behavioral
characteristics were identified at individual learner, group and instructor levels. These include
behavioral elements such as self-reflection, individual accountability, commitment to task,
motivation, and sense of community, which are considered key to establishing trust in virtual
teams for example. In a virtual context, trust is critical to the functioning of a team (Kim, Lee, &
Kang, 2012). For instance, the synthesis revealed that the early collaborative phase is the
most important in virtual teams for establishing the trusting relationship among its members.
As Haines (2014) suggested: 
Like face-to-face teams, virtual teams evolve over time. A sense of belonging is important early in the
formation of a virtual team, which in turn builds commitment to the team’s goals. This in turn is linked
with trust in peers, which in turn is linked with performance, and finally overall satisfaction with the team. (p. 217) Trust is also
identified as a mediating role in team performance in e-learning. Self-regulation, team
regulation, and the establishment of team norms are also identified as key behavioral factors
that drive effective virtual teams and e-learning. As Kwon, Hong, and Laffey, (2013)
suggested “visualization of group activities relative to a group norm enhances coordination of 

1

collaborative behavior” (p. 1273). In addition, instructor roles that produce positive outcomes
include: fostering relationships and collaboration; fostering a collaborative learning
environment; and, promoting peer interaction, active learning and critical reflection. As such,
behaviours which contribute to establishing collaborative patterns, through channels of
communication, sharing and exchanging information, and building knowledge together, are
essential. Establishing a strong sense of community, high team cohesion, has been shown to
result in higher levels of motivation, satisfaction among team members, in persistence,
engagement and higher order thinking. 
Thematic Domain 3: Resource Dimensions Resource dimensions are described as
encompassing the deployment or use of multiple tools/vehicles/supports enabling effective and
timely conversation. Resource elements include deployment and use of technology as well as
institutional and instructor supports such as training, time, and content design. Learners and
instructors need supporting and effective communication technology to allow them to
communicate seamlessly. For instance research reveals that integrating social media in
learning management systems provides another way of communication that allows users to
easily share information. Social presence and pedagogy grounded in the practices of
interactivity and engagement leads to student satisfaction and learning success (Carter &
Salyer, 2015). In addition, training support is fundamental to success in e-learning. Training in
how to use the technology and new media vehicles allows for more effective and more rapid
conversation. Moreover, consideration should be given to the preparation and training involved
in in establishing cooperative patterns and behaviours. The role of the instructor is therefore
paramount with regard to content design. As Toven- Lindsey, Rhoads, and Lozano (2015)
observed “intentional course design that facilitates structured peer interaction, including
discussion boards, wikis, and video conferencing, contributes to active learning and critical
reflection” (p. 3). The use of social technologies and the designing of course materials and
content that create relationships and enable constructivist/connectivist learning are mentioned
by researchers as important aspects of e- learning success. 

The Framework Based on the synthesis of the knowledge in our sample of studies, we
developed a framework that details the three fundamental domains within an e-learning
educational delivery model (see Figure 3). 

Figure 3: E-Learning
Framework. 

1

Underpinning the framework are the Social Constructivism and Connectivism theories of
learning. As presented in Figure 3 above, a learning environment in which conversation drives
the contextual, behavioral and resources dimensions describing the knowledge and skills that
promote deeper learning, results in e-learning effectiveness at individual, group and networking
levels. For example, it is evident from the synthesis that conversation leads to effective
problem-solving competencies among students in e-learning environments and contributes to
increased positive self-evaluation on individual capabilities. In other words students, through
peer feedback and interaction between learners and instructor, develop enhanced individual
feelings of competence. As Krause, Stark, & Mandl, (2009) confirmed, externalization makes
students become aware of their own knowledge, which in turn leads to greater feelings of
competence. It is therefore particularly important that, to achieve e-learning effectiveness, e-
learning instructors’ focus be expanded from enhancing individual cognition to encouraging
conversation, i.e., develop and build the contexts, behaviors and resources that encourage
conversation, knowledge sharing and building through social interactions among students
(Kwon et al., 2013). This will result in positive outcomes for students to successfully function in
society at individual, group or network levels. Social aspects of peer learning can contribute to
student motivation, build effective collaborative skills, enhance social connections, and lead to
increased engagement required in the workplace and lifelong learning society. 

Discussion and Conclusion This study advances understanding of e-learning by


synthesizing the literature on effective virtual teams and e-learning practices and proposing a
framework by which a conversation driven e-learning environment can promote deeper
learning and positively influence the learning environment and outcomes. The proposed e-
learning framework describes what is needed in developing an e-learning environment that
facilitates conversation (communication, collaboration, teamwork, and student engagement),
and promotes deeper learning, all of which ultimately enhances the effectiveness of the
learning environment and improves individual, group and network outcomes. From this
synthesis exercise the following conclusions can therefore be drawn. The core phenomenon
that promotes deeper learning in e- learning is conversation. In other words conversation
drives the skills and knowledge that reinforce each other and together promote deeper
learning. Such knowledge and skills are best described within the contextual, behavioural, and
resource dimensions of the e-learning environment. In short, conversation allows learners to
experience social presence and develop a feeling of trust, belonging and psychological
closeness, which is crucial to the promotion of deeper learning. In line with social presence,
the learner-centred approach to education is identified as the essence of ensuring students’
participation and promoting a sense of community. The study findings will strengthen e-
learning program planning and delivery within educational centres that are already engaged in
e-learning, as well as convey important best practices for learning centres at the beginning
stages of e-learning development. As stated above a stronger understanding of the
determinants of effective e-learning is therefore essential for the future success of education
and training in countries like Canada where research on e-learning is reported as lacking and
is not yet a standard feature of workplace training. The study also has broad societal
implications. It has the potential to fuel social and economic development and innovation, and
to foster lifelong learning in our society. 
Limitations and Recommendations From this interpretive-synthesis a number of important
practice implications and areas in need of further research can be derived. Perhaps the most
significant is related to the finding that conversation is the basic process that promotes deeper
learning in e-learning. To support deeper learning, learning centre administrators and
instructors need to encourage maximal 

1

conversation with and among students. Nevertheless, some study limitations need to be
pointed out. It is recognized that synthesis is an interpretive endeavour and therefore other
interpretations of the data are possible. Further, our synthesis did not include unpublished case
studies or conference presentations which could have enriched the data. Thus, despite the
study rigour and diligent attempts that have been made to gain insight and knowledge about
the fundamental knowledge and skills drawn from the virtual team and e-learning research that
reinforce each other and together promote deeper learning, important information is still
lacking. More empirical research may be needed to substantiate the findings of this study. For
instance, empirical research is needed to support the e-learning framework proposed in this
study to evaluate its practicality and efficacy. One study could explore, for example, individual
learner characteristics or teaching styles so as to find out if there are specific types that are
better suited to drive conversation in e-learning environments and promote deeper learning. 

References Ale, E. N., Ahmed, S., & Taha, Z. (2009). Virtual teams: A literature review. Australian Journal of
Basic and Applied 
Sciences, 3(3), 2653-2669. Berry, G. R. (2011). Enhancing effectiveness on virtual teams. Journal of
Business Communication, 48(2), 186-206. 
doi:10.1177/0021943610397270. Bolliger, D. U., Supanakorn, S., & Boggs, C. (2010). Impact of
podcasting on student motivation in the online 
learning environment. Computers & Education, 55(2), 714-722. Brown, A. R., & Voltz, B. D. (2005).
Elements of effective e-learning design. The International Review of Research in 
Open and Distributed Learning, 6(1), 1-10 Canadian Council on Learning. (2009). State of e-
learning in Canada. Ottawa: Canadian Council on Learning. Retrieved February 3, 2015, from
http://www.ccl-cca.ca/pdfs/E-learning/E-Learning_Report_FINAL- E.PDF Carter, L., & Salyers, V. (2015). A
Model for Meaningful E-learning at Canadian Universities. In J. Keengwe 
(Ed.), Handbook of research on educational technology integration and active learning (pp. 78-113).
Hershey, PA: Information Science Reference Chow, B. (2010). The quest for deeper learning. Education
Week, 30(6), 1-3 Contact North. (2012). Online learning in Canada: At a tipping point: A cross-country
check-up 2012. Sudbury, 
Ontario, Canada, 1-30. Retrieved from http://teachonline.ca/sites/default/files/tools-
trends/downloads/online_learning_in_canada_at_a_tipping_point_-_a

Anda mungkin juga menyukai