Anda di halaman 1dari 4

Penyakit Kusta yang Menderita Masyarakat Jawa Timur

Kusta ialah salah satu penyakit endemik yang dapat menimbulkan kekhawatiran. Tak
jarang merebaknya penyakit kusta ini bisa menimbulkan kejadian luar biasa di suatu daerah.
Kusta juga dikenal sebagai penyakit kuno yang ada dalam pelajaran sekolah dasar tahun
1980-an. Kusta adalah suatu penyakit kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae
yang menyebabkan kecacatan jika tidak diobati. Menurut WHO (World Health
Organization), penyakit ini dikategorikan sebagai salah satu penyakit tropis yang terabaikan
(Neglected Tropical Disease). Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah kompleks, tidak hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah
sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.

Berdasarkan data Depkes (2010), jumlah kasus baru tercatat 10.706 orang dan jumlah
kasus terdaftar sekitar 20.329 orang dengan prevalensi 0,86 per 10.000 penduduk. Jawa
Timur merupakan provinsi dengan kasus kusta tertinggi di Indonesia, terdaftar pada
Desember 2010 sebanyak 5.496 kasus dengan 7,13% kasus PB (Pauci Bacilier) dan sisanya
92,87% adalah kasus MB (Multi Bacilier). Dan prevalensi kasus kustanya adalah sebesar
1,47 per 10.000 penduduk. Tuban merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang
memiliki kasus kusta tertinggi yaitu, penderita baru bulan Januari-Desember 2010 ada
sebanyak 245 kasus dengan tipe PB (Pauci Bacilier) sebesar 12,65% dan tipe MB (Multi
Bacilier) ada sebesar 87,35%.

Di Indonesia sendiri terdapat 60 kampung kusta, dan sampai tahun 1950-an mulailah
dibangun panti pengobatan dan perawatan kusta dan layanan sosial yang lebih baik.
Kampung kusta merupakan sebutan warga sekitar karena awalnya seluruh warga dusun
mengalami kusta. Orang yang mengalami kusta dari berbagai daerah dikumpulkan, diisolasi
dalam suatu tempat terpencil untuk memutuskan mata rantai penularan. Tidak diketahui
dengan pasti sejak kapan dimulainya budaya ini (isolasi penderita kusta). Tetapi menurut
sejarah pengasingan, penistaan dan diskriminasi orang yang mengalami kusta telah dilakukan
sejak zaman sebelum masehi. Khususnya di Jawa Timur, terdapat tiga tempat kampung kusta
yaitu, Dusun Sumberglagah di Mojokerto, Dusun Nganget di Tuban, dan terakhir Dusun
Babat Jerawat di Surabaya.

Seperti di dusun Sumberglagah, kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk tinggal


di dusun tersebut dari pada kembali ke daerah asalnya yang kemungkinan akan mendapat
penolakan dan sikap diskriminatif. Mereka juga lebih nyaman berinteraksi dan bersosialisasi
dengan sesama penderita penyakit kusta. Faktor lain yang menyebabkan mereka menetap di
dusun tersebut adalah perhatian dari pemerintah yang memberikan fasilitas berupa lahan
pemukiman, sawah, dan sembako. Untuk sehari-harinya masyarakat bertani, kerja serabutan,
menjaga warung/toko, serta melakukan pengajian rutin. Masyarakat di dusun tersebut hampir
tidak pernah melakukan kegiatan dengan desa sekitar. Beberapa pemuda kadang
menyamarkan identitas sebagai warga dusun Sumberglagah ketika keluar dusun, karena
mereka takut akan menerima penolakan.

Sumber perekonomian masyarakat disana berasal dari pertanian, perdagangan serta


bantuan rutin pemerintah berupa sembako per-bulan. Pemuda disana banyak yang
menganggur lantaran stigma penyakit kusta yang berbahaya sehingga menyebabkan mereka
sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang mengemis secara
sembunyi-sembunyi. Aktivitas mengemis sebagai wujud budaya kemiskinan ini disebabkan
oleh minimnya peran pemerintah dalam menangani penyakit kusta. Juga kurangnya
sosialisasi tentang penyakit kusta, yang hanya gencarkan saat hari kusta sedunia saja.
Terbatasnya akses sosial dusun Sumberglagah dengan lingkungan sekitar pun juga
mengakibatkan terhambatnya perkembangan sistem ekonomi, peningkatan kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kesehatan yang buruk, dan berbagai persoalan lainnya. Pemerintah
seharusnya juga mengadakan pelatihan kerja yang berkelanjutan, karena bantuan sembako
per-bulan bukanlah solusi jitu dalam menyelesaikan persoalan mereka dibidang ekonomi.

Masyarakat penderita kusta harusnya selalu memiliki sikap optimis. Karena penyakit
kusta ini jika dikaji secara mendalam merupakan suatu masalah yang kompleks dan
menyangkut permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Karena masyarakat yang menderita kusta
pasti akan mengalami masalah psikososial akibat penyakitnya. Dan masalah psikososial ini
mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan masyarakat penderita kusta, seperti
menjadi tuna sosial, tuna karya, tuna wisma, dan mungkin saja bisa menyebabkan mereka
untuk melakukan kejahatan atau mengganggu lingkungan masyarakat. Dampak sosial
penyakit ini sangat besar, tidak hanya penderita sendiri, tapi pada keluarganya, masyarakat
dan negara. Hal ini karena masih banyak penderita yang menganggap kusta sebagai penyakit
menular, penyakit keturunan, tidak dapat diobati, kutukan Tuhan, najis dan menyebabkan
kecacatan. Anggapan yang salah ini mengakibatkan penderita kusta merasa putus asa
sehingga tidak tekun untuk berobat.
Seperti kehidupan di dusun Ngaget, Tuban, dusun ini dialiri air hangat yang
mengandung belerang. Sejak tahun 1935, dusun tersebut digunakan sebagai tempat
penampungan penderita kusta. Sementara penduduk asli dusun tersebut pindah dan mendapat
ganti rugi. Penghuni di dusun Nganget semakin hari semakin bertambah, karena bukan hanya
mantan pasien rumah sakit kusta tetapi juga dari penderita kusta yang telah dikucilkan oleh
lingkungannya. Di dusun tersebut, mereka tidak mau menyianyiakan potensi yang ada untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat memanfaatkan kayu hutan menjadi komoditas
yang memiliki nilai tinggi dipasaran seperti, mebel, kayu ukir hingga kusen pintu rumah.
Jaringan usaha ini sudah sampai daerah Jakarta, Surabaya, Malang dan beberapa daerah di
Jawa Timur. Kerajinan kayu ini telah berhasil mengangkat taraf hidup masyarakat penderita
kusta. Para pengrajin kayu ini dari segi ekonomi memang lebih menonjol dibanding
masyarakat kusta lainnya.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa, orang yang menderita penyakit
kusta memiliki masalah yang kompleks, tidak hanya dari segi medis tetapi meluas sampai
masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. Masalah-masalah itulah
yang akan menimbulkan rasa tidak optimis dalam hidup mereka untuk sembuh. Masyarakat
penderita kusta harusnya selalu memiliki sikap optimis. Masyarakat juga harus bisa lebih
semangat dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di dusun yang ditinggali untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan menjadi pelopor penggerak perekonomian bersama.

Daftar Pustaka/Referensi :

Akbar, Akmaludin. 2010. Optimisme Hidup Penyandang Kusta di Dusun Nganget Tuban
Jawa Timur. Surakarta: Skripsi Sarjana, Universitas Muhammadiyah, Fakultas
Psikologi.

Astutik, Erni., Kiptiyah, Nuning Maria. 2016. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Perilaku Perawatan Diri Eks-Penderita Kusta di Unit Pelaksana Teknis Rehabilitasi
Sosial Eks-Penderita Kusta Nganget, Tuban, Jawa Timur. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Indonesia, Volume 1, Nomer 1.
Sulaiman, Muhamad Reza. 2017. Infografis: Kondisi Terkini Penyakit Kusta di Indonesia.
Jakarta. https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-3582757/infografis-kondisi-
terkini-penyakit-kusta-di-indonesia (Diakses tanggal 16 Maret 2020)

Solider, id. 2018. Seklumit Catatan dari Ragam Persoalan Sosial di Kampung Kusta.
Malang. https://www.solider.id/baca/4209-sekelumit-catatan-ragam-persoalan-
sosial-kampung-kusta (Diakses tanggal 16 Maret 2020)

Anda mungkin juga menyukai