Terhitung sejak 25 Desember 2019 atau hari natal, perbincangan yang menyangkut wabah virus corona dan
segala hal yang berkaitan dengannya naik ke permukaan kehidupan sosial Indonesia, terlebih kehidupan media
sosial. Perbincangan yang awalnya berada dalam ranah medis, semakin lama meluas pada ranah lainnya, seperti
ranah militer, politik, sosial, dan budaya. Spekulasi-spekulasi dari berbagai sudut pandang dilemparkan ke
berbagai media sosial. Spekulasi-spekulasi tersebut menyangkut sebab yang melatar-belakangi terjadinya
wabah virus corona serta akibatnya ke berbagai bidang kehidupan.
Terhitung sejak 23 April 2020 pukul 06:33, mesin pencarian Google menunjukkan angka 2,2 miliar untuk
jumlah konten yang memuat kata “coronavirus”. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi corona telah menjadi
arus utama pembicaraan di dunia. Di Indonesia, hari ini, konten-konten perihal pandemi corona mayoritas berisi
himbauan untuk tetap di rumah, menjaga kebersihan dan nutrisi, serta melakukan physical distancing. Hal-hal
tersebut bertujuan untuk memutus penyebaran virus corona.
Akan tetapi, sikap peduli terhadap pandemi corona pada masyarakat Indonesia dan dunia tidak terbentuk
tanpa melalui proses tertentu. Hari ini, kepedulian terhadap pendemi corona dan kasadaran untuk melawannya
secara kolektif dapat dikatakan sebagai arus utama, bahkan mendominasi ruang publik di Indonesia. Namun,
bila kita menilik kembali ruang publik di Indonesia beberapa bulan lalu, kita akan menemukan keadaan yang
berbeda. Pada waktu itu, konten-konten terkait pandemi corona belum seluruhnya berisi dan mengarah pada
kepedulian terhadap bahaya virus corona.
Antonio Gramsci, dalam Prison Notebooks, menyatakan bahwa dalam struktur masyarakat terjadi
dialektika antara kebudayaan dan masyarakat. Pernyataan tersebut bertentangan dengan konsep Karl Marx yang
menyatakan bahwa kebudayaan hanya sebatas dampak yang dihasilkan masyarakat tanpa berdampak apapun
terhadap masyarakat. Menurut Gramsci, kebudayaan dan segala instrumennya adalah jalan yang ditempuh oleh
golongan intelektual dalam menyebarkan nilai atau ideologi tertentu. Ideologi yang tersebar dengan baik dan
berhasil menjadi common sense berarti telah merebut hegemoni. Dengan merebut hegemoni, maka kelompok
pengusung ideologi tersebut telah “menguasai” pemikiran masyarakat. Salah satu upaya penyebaran ideologi
adalah dengan menguasai media massa.
Dalam studi hubungan internasional dan media massa, Eytan Gilboa, dalam tulisannya yang berjudul The
CNN Effect: The Search for a Communication Theory of International Relations, menjelaskan peran media
massa (dalam kasusnya CNN dan BBC) dalam mengonstruksi persepsi masyarakat dunia, bahkan
mempengaruhi pengambilan kebijakan negara di luar Amerika. Hal semacam itu juga patut dicurigai terjadi
dalam ruang publik Indonesia yang dilakukan oleh media dalam negeri.
Tulisan ini bertujuan untuk menilik ulang kondisi ruang publik Indonesia sebelum pendemi corona virus
telah mencapai 1000 kasus positif di Indonesia. Dalam tulisan ini, ruang publik Indonesia dipahami dengan
menganalisis muatan ideologi dalam beberapa narasi. Untuk memahami dan mengetahui nilai atau ideologi
yang dimuat oleh pihak laman tersebut, maka perlu dilakukan pembacaan dengan metode hermeneutika
objektif. Metode hermeneutika objektif melibatkan latar belakang produsen dan analisis wacana dalam rangka
memahami teks sebagaimana maksud asli produsennya.
Tapi yang mengejutkan, tiba-tiba sebuah virus, turun di Wuhan, merebak dengan cepat
membuat orang berjatuhan.”
“Wabah virus dan kedigdayaan China ini, mengingatkan kita tentang sejarah kaum Firaun
sang pembangkang, dan Abrahah Sang Pasukan Bergajah.”
Dalam dua narasi di atas, penulis menghubungkan kasus kekerasan pada Muslim Uyghur dengan
terjadinya wabah virus corona di Wuhan. Kemudian, terdapat pula sebuah narasi sebagai berikut:
“Sekarang di depan mata dipertontonkan pada kita semua, China — yang raksasa Asia paling
ditakuti — itu galau hanya karena sebuah hewan kecil ciptaan Allah. Mungkin ini pelajaran
bagi manusia, bahwa kita perlu bukti bahkan makhluk kecilpun menjadikan kita percaya bahwa
adzab itu ada. Jadi tak ada lagi alasan meremehkan Allah dan merasa aman dari bala tentara-
Nya.”
Melalui narasi-narasi di atas, dapat diketahui bahwa laman yang memuat tulisan tersebut memiliki sebuah
nilai atau ideologi tertentu.
Produsen tulisan tersebut adalah pihak laman Hidayatullah.com. Hidayatullah.com berdiri pada 1996 di
bawah naungan PT Lentera Jaya Abadi. PT Jaya abadi juga menerbitkan Majalah Suara Hidayatullah. Laman
tersebut terafiliasi dengan organisasi masyarakat (ormas) bernama Hidayatullah. Berdasarkan “Piagam
Gunung Tembak” yang termuat dalam Hidayatullah.or.id, ormas tersebut berdiri pada 24 Juni 2013 di Gunung
Tembak, Balikpapan. Pada piagam tersebut, Hidayatullah dinyatakan berideologi islam.
Berdasarakan paparan singkat tentang latar belakang produsen tulisan berjudul “China, Virus Corona dan
Pasukan Gajah!” di atas, dapat disimpulkan bahwa tulisan tersebut bertujuan untuk menyebarkan perspektif
islam dalam menanggapi pandemi corona.
“Pelabelan citra negatif terhadap suatu lokasi, kaum atau golongan, suku, bangsa, maupun
binatang tertentu akan terasa menyudutkan pada hal yang terdampak tersebut. Stigma tersebut
juga akan memberikan respon beragam dari masyarakat seperti penolakan-penolakan secara
langsung. Inilah yang juga ditemui di Indonesia dalam menanggapi Covid-19…”
“...Isu Covid-2019 harus ditanggapi serius oleh pemerintah tentu dengan langkah preventif yang
kuat dan juga pemberian informasi secara masif kepada masyarakat. Apalagi banyaknya berita-
berita yang ‘menyesatkan’ opini publik yang terus bermunculan, khususnya di media online.”
Pada narasi-narasi di atas, virus corona dibicarakan bersama dengan dampaknya terhadap stigma
masyarakat. Bahwa wabah virus corona yang diduga berasal dari suatu lokasi geografis tertentu (Wuhan) telah
menciptakan stigma masyarakat dalam memandang segala hal yang berkaitan dengan lokasi geografis tersebut.
Bahkan, sebuah stereotipe telah hidup di tengah masyarakat. Melalui narasi-narasi di atas, penulis bermaksud
memberi dorongan kepada pemerintah untuk memberikan informasi yang masif, ilmiah, serta tanpa didasari
oleh kepentingan selain sosialisasi.
Selanjutnya, perihal dampak sosial yang diakibatkan oleh adanya stigma negatif masyarakat terhadap virus
corona dibicarakan pada narasi-narasi berikut:
“Hal-hal inilah yang dapat menyebabkan seseorang ataupun kelompok merasa tertekan atas
pandangan terhadap dirinya. Fatalnya, bila berakhir dengan depresi.”
“...Beberapa wilayah di Indonesia yang memiliki pekerja migran dari Tiongkok apabila sedang
menderita flu dicurigai sebagai pembawa virus.”
Stigma negatif tersebut telah menjadi stimulan terhadap berbagai tindakan yang diperlakukan oleh
masyarakat terhadap individu atau kelompok yang, berdasarkan stigma tersebut, pembawa virus corona. Maka
dari itu, dalam narasi-narasi berikut, pemerintah dan masyarakat perlu melakuakn hal sebagai berikut:
“Isu Covid-2019 harus ditanggapi serius oleh pemerintah tentu dengan langkah preventif yang
kuat dan juga pemberian informasi secara masif kepada masyarakat…”
“...langkah preventif yang benar harus menjadi prioritas dibanding memberikan pelabelan
stigma yang kurang tepat.”
“Masyarakat harus diberikan kesadaran secara utuh meliputi kesehatan jiwa, bagaimana
membangun lingkungan masyarakat yang suportif , membangun pola sauh (koreksi: asuh) yang
tepat, dan dibutuhkan fasilitas layanan kesehatan jiwa.”
“...’positive think’ akan melahirkan pandangan untuk menyikapi hal-hal dengan perspektif yang
lebih luas dan masuk akal. Mulailah dari langkah yang terkecil yaitu ‘care atau peduli’ maka
jarak dengan stigma akan sangat jauh.”
“Stigma Dan Virus” ditulis oleh M. Agung Akbar, seorang Magister Keperawatan Universitas Padjadjaran.
Dengan menilik latar belakang penulis, maka dapat disimpulkan bahwa tulisan berjudul “Stigma Dan Virus”
bertujuan untuk menyebarkan pemahaman bahwa sikap yang logis, objektif, penuh rasa empati serta
menghindari stigmatisasi dapat membantu mengurangi dampak psikis terkait wabah virus corona.