Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pendahuluan
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi manusia yang menjalaninya, tujuan
perkawinan diantaranya untuk membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya
ketenangan, kenyamanan bagi suami isteri serta anggota keluarga.
Dewasa ini kemajuan sekarang ini, semakin banyak persoalan-persoalan baru
yang melanda rumah tangga, semakin banyak pula tantangan yang di hadapi sehingga
bukan saja berbagai problem yang dihadapi bahkan kebutuhan rumah tangga semakin
meningkat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya tuntutan
terhadap setiap pribadi dalam rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan semakin jelas
dirasakan. Kebutuhan hidup yang tidak terpenuhi akan berakibat menjadi satu pokok
permasalahan dalam keluarga, semakin lama permasalahan meruncing sehingga dapat
menjadikan kearah perceraian bila tidak ada penyelesaian yang berarti bagi pasangan
suami isteri. Seperti kasus Andreas Dwi Prasetyo dan Suryani sebagai berikut
Duduk Perkara atau Kasus Posisi
Dalam kasus perdata ini yang menjadi penggugat adalah Andreas Dwi Prasetyo
yang beralamat di Kebon Kosong Gg. XII/149 RT 04 RW 02 Kelurahan Kebon Kosong,
Kecamatan Kemayoran, Jakarta Pusat. Dan tergugat bernama Suryani yang beralamat
di Kebon Kosong Gg. XII/149 RT 04 RW 02 Kelurahan Kebon Kosong, Kecamatan
Kemayoran, Jakarta Pusat.
Duduk perkara dalam kasus ini adalah penggugat dengan surat gugatannya
tertanggal 21 Maret 2017 yang telah terdaftar di Panitera Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada 21 Maret 2017 di bawah register 166/Pdt/G/2017/PNJktPst telah
mengajukan gugatan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
1. Bahwa antara Penggugat dengan Tergugat adalah suami istri yang sah yang
telah melangsungkah pernikahan di Gereja Wates Yogyakarta pada tanggal
6 September 2000 sesuai dengan Kutipan Akte Perkawinan Nomor
167/Cs.B.1933/2000
2. Bahwa dari perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah dilahirkan 3
(tiga) orang anak yang bernama
a. Maria Navyta Putri Andriani, lahir di Kulon Progo 03 Juli 2001
b. Tamara Di Andriani, lahir di Jakarta 23 Juni 2003.
c. Natasya Amanda Putri, lahir di Jakarta 27 November 2007
Dikarenakan hampir setiap hari terjadi percekcokan terus-menerus yang
disebabkan adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh Tergugat dengan
seorang laki-laki yang bernama Zainal Arifin.
3. Bahwa awalnya kehidupan rumah tangga antara Penggugat antara Tergugat
sebagai suami isteri harmonis, tetapi sekira tahun 2007 yaitu setelah memiliki
anak yang ketiga kehidupan rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak
harmonis dikarenakan hampir setiap hari terjadi percekcokan terus menerus
yang disebabkan adanya perselingkuhan yang dilakukan oleh Tergugat dengan
seorang laki-laki yang bernama Zainal Arifin.
4. Bahwa antara Penggugat dan Tergugat serta Zainal Arifin telah membuat surat
pernyataan bahwa persoalan perselingkuhan antara Tergugat dan Zainal Arifin
diselesaikan secara kekeluargaan yang isinya Penggugat dan Tergugat akan
bercerai, Penggugat telah merelakan Tergugat menikah dengan Zainal Arifin.
5. Bahwa percekcokan tersebut semakin hari semakin berkepanjangan, tidak ada
jalan keluarnya yang membuat tidak lagi rasa kasih sayang dan cinta kasih
antara Penggugat dan Tergugat, sehingga sejak 2007 sampai sekarang sudah
pisah ranjang tidak pernah melakukan hubungan badan layaknya suami istri
lagi.
6. Bahwa persoalan rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sudah sering
dimediasi untuk dirukunkan kembali baik dari keluarga Penggugat maupun
Tergugat tergugat tetap pada pendirian untuk bercerai dengan alasan sudah tidak
ada kecocokan lagi dalam membina kehidupan keluarga yang baik.
7. Bahwa berdasarkan Berita Acara Pendapat Perwira Rohani pihak Kesatuan
dimana Penggugat berdinas juga telah memanggil Penggugat dan Tergugat
untuk dilakukan upaya menyelesaikan permasalahan kehidupan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat. Dalam kesimpulan kehidupan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat tidak dapat dipertahankan lagi sesuai dengan Surat
Rekomendasi Permohonan Peresmian Pelaksanaan Cerai dari Komandan
Detasemen Markas Lantamall III Nomor R/238/XII/2016 tanggal 6 Desember
2016.
8. Bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan akan tapi hal tersebut tidak terdapat dalam
rumah tangga Penggugat dan Tergugat.
Tinjauan Pustaka
Pengertian Perkawinan
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
undang Perkawinan, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, hlm.40
Kedua: digunakannya ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa
perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu
rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.
Ketiga: dalam definisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus
perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan
perkawinan tahlil.
Keempat: disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan
bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
memenuhi perintah agama.
2
Moch. Isnaeni, Hukum Perkaawinan Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2016, hlm.35-38.
3
Rie. G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1998, hlm.97.
perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil 4.
Adapun tujuan substansial yang lain dari pernikahan adalah sebagai berikut 5:
Pertama: Pernikahan bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan seksualitas manusia
dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah dan mengendalikan hawa nafsu dengan cara
yang terbaik yang berkaitan dengan peningkatan moralitas manusia sebagai hamba
Allah.
Kedua: Tujuan pernikahan adalah mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Ketiga: Tujuan perkawinan adalah memproduksi keturunan, agar manusia tidak punah
dan hilang ditelan sejarah.
Syarat-Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 12 UndangUndang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Prawirohamidjojo, syarat-syarat
perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat intern (materiil) dan syarat-syarat ekstern
(Formal) Undang-undang secara lengkap mengatur syarat-syarat perkawinan baik yang
menyangkut orangnya, kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya dan
mekanismenya 6. Adapun syarat-syarat yang lebih dititik beratkan kepada orangnya
diatur di dalam Pasal 6 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan:
1) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat
(2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang
4
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, CV Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm.19-42. 53 Khoiruddin Nasution,
ISLAM tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I),
5
Khoiruddin Nasution, ISLAM tentang Relasi Suami dan Istri (Hukun Perkawinan I), Academia dan
Tazzafa,Yogyakarta, 2004, hlm. 47.
6
R.Soetojo Prawirohamidjojo,Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga
University Press,1988, hlm. 39.
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat
(2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak
menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal
orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut
dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang tersebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain 7.
Dalam hal ini Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur sebagai berikut:
1) Perkawinan hanya dizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.
2) Dalam hal pemyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam
hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi
yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6) 8.
Perceraian
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim
pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Perceraian
merupakan terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan
untuk saling meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai
suami isteri 9.
7
Ahmad Ahzar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Pers, Yogyakarta, 2000, hlm.1.
8
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.40-43.
9
Muhammad Syaifudin, Hukum Perceraian, 2012, Palembang, Sinar Gravika, hlm 20
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975 hanya
mengatur perceraian secara umum yaitu pada pasal 38 tentang sebab-sebab putusanya
perkawinan, pasal 39 jo pasal 14- 36 PP Nomor 9 tahun 1975 mengatur tentang tata
cara perceraian, dan pasal 41 mengatur tentang akibat putusnya perceraian. Sedangkan
Perceraian di Indonesia secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 pasal 38-44, PP Nomor 9 tahun 1975 pasal 14-36, dan Kompilasi Hukum Islam
pasal 113 sampai dengan pasal 148 (Purwaningsih, 2015).
Alasan-Alasan Perceraian
Walaupun pada mulanya para pihak dalam suatu perkawinan bersepakat untuk
mencari kebahagiaan dan melanjutkan keturunan dan ingin hidup bersama sampai akhir
hayat, seringkali hasrat serupa itu kandas ditengah jalan oleh adanya berbagai hal
(Rasjidi, 1983:4). Melalui pasal 38, Undang-undang Perkawinan nomor 1/1974
mengemukakan tiga sebab yang dapat mengakibatkan terputusnya suatu perkawinan
yaitu kematian, perceraian, dan atas keputusan Pengadilan. Akibat meninggalnya salah
satu pihak dengan sendirinya perkawinan terputus. Kejadian serupa bagaimanapun
adalah merupakan sebuah takdir Ilahi, cepat atau lambat semua manusia itu akan
mengalami kematian, dan setiap manusia tidak bisa lari dari takdir yang telah ditetapkan
10
oleh sang penciptanya . Lain halnya dengan terputusnya perkawinan karena
perceraian dan putusan Pengadilan. Seringkali undang-undang mengaturnya secara
ketat, oleh karena itu tujuan diberlakukannya undang-undang itu sendiri ialah justru
untuk kekalnya perkawinan dan membatasi perceraian. Pasal 39 Udang-undang
Perkawinan mensyaratkan bahwa untuk melakukan perceraian harus terdapat cukup
alas an, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri. Adapun
alas an-alasan yang dapat dipergunakan untuk menuntut perceraian terurai dalam
Penjelasan pasal tersebut dan pasal 19 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Faktor-
faktor penyebab tersebut itu diantaranya:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pecandu obat-obatan
terlarang, penjudi dan lain-lain yang sulit untuk disembuhkan;
10
Ibid hlm 25.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemauannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5(lima) tahun atau hukuman lebih
berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Prosedur Perceraian
Prosedur Pengajuan Gugatan Perceraian di Pengadilan Negeri
a. Gugatan Cerai dapat diajukan oleh pihak suami maupun pihak istri yang
nantinya akan berkedudukan sebagai penggugat. Gugatan cerai tersebut dapat
diajukan langsung oleh pihak penggugat maupun dengan menggunakan jasa
kuasa hukum yaitu pengacara;
b. Gugatan didaftarkan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal pihak tergugat. Jika pasangan suami istri tersebut masih tinggal bersama
maka diajukannya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan bersama suami istri tersebut
c. Namun jika penggugat dan tergugat sudah tidak tinggal bersama dan tempat
kedudukan tergugat tidak diketahui pasti, gugatan dapat diajukan ke pengadilan
yang masuk dalam wilayah hukum tempat tinggal penggugat;
d. Gugatan dapat diajukan ke pengadilan dalam wilayah tempat tinggal penggugat
berlaku juga dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri.
Analisis
Mengenai sudah pisah ranjang dan tidak pernah melakukan hubungan badan
layaknya suami istri lagi, menurut kami kriteria tersebut masih kurang lengkap. Apakah
hal ini dikarenakan sakit atau ada urusan pekerjaan. Seharusnya kriteria yang kelima
menyebutkan “salah satu pihak sering tidak pulang ke rumah tempat kediaman
bersama”. Jadi di sini maksudnya jelas bahwa salah satu dari suami-istri itu sering tidak
pulang kerumah tempat mereka tinggal bersama, apalagi jika kertidakpulangannya itu
disebabkan alasan yang tidak jelas maka dapat menimbulkan rasa curiga terhadap
pasangannya. Sebuah perkawinan yang selalu diliputi rasa curiga maka perkawinannya
tidak akan langgeng, padahal untuk mewujudkan sebuah perkawinan yang langgeng
dibutuhkan rasa saling percaya satu sama lain. Mengenai kriteria yang keempat ini,
menurut kami tidak berlaku bagi pasangan yang tinggalnya saling terpisah karena
kondisi tertentu, misalnya seorang tentara yang ditugaskan ke daerah lain selama
beberapa bulan. Pada kasus seperti ini tidak dapat dikatakan bahwa dalm rumah tangga
itu telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus karena si suami
sering tidak pulang ke rumah. Jadi menurut kami, dalam menafsirkan pengertian pisah
ranjang tidak pernah melakukan hubungan badan layaknya suami istri lagi., harus
melihat dulu bagaimana kenyataannya di lapangan.
Dasar Hukum Yang Digunakan Oleh Hakim Dalam Memutuskan Perkara Cerai
Gugat
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam keterangan para saksi, dalam perkara
ini ternyata Penggugat terbukti telah selingkuh dengan laki-laki lain. Alasan ini menjadi
salah satu faktor terjadinya perselisihan antara Penggugat dan Tergugat. Sedangkan
dalam undang-undang, tidak ada satupun Pasal yang menyebutkan tentang alasan gugat
cerai karena istri selingkuh. Perkara yang dasar-dasarnya tidak terdapat dalam kitab-
kitab fikih atau perundang-undangan Indonesia tidak boleh menjadi suatu alasan bagi
Hakim untuk tidak mau memutuskan perkara yang telah diajukan di Pengadilan. Jika
perkara gugat cerai karena istri ini bisa diputuskan oleh Majelis Hakim. Hal ini
dilatarbelakangi oleh dasar-dasar hukum yang ada serta pertimbangan-pertimbangan
Majelis Hakim dalam menganalisa perkara gugat cerai karena istri selingkuh.
Mengingat bahwa pada awal proses persidangan sampai akhir persidangan, Penggugat
tidak dapat dirukunkan lagi dengan Tergugat, dan Penggugat bersikeras untuk bercerai
dari Tergugat. Tergugat pun menyatakan tidak keberatan atas permintaan Penggugat
untuk bercerai dengan Tergugat, maka sudah menunjukkan bahwa keutuhan rumah
tangga benar-benar tidak dapat dipertahankan lagi. Apabila dipaksakan untuk tetap
bersatu akan dikhawatirkan menimbulkan masalah bagi Penggugat dan Tergugat. Oleh
karena itu penyelesaian yang dipandang adil dan mengandung bagi Penggugat dan
Tergugat adalah perceraian.
Seperti yang telah dijabarkan dalam paparan data mengenai dasar hukum yang
digunakan hakim dalam menjatuhkan putusan cerai gugat karena istri selingkuh, maka
secara ringkas dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Rumah tangga Penggugat dan Tergugat sudah tidak bisa dirukunkan lagi,
sehingga maksud dan tujuan perkawinan sebagaimana yang dikendaki oleh
Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI sudah
sangat sulit diwujudkan dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.
2. Karena antara Penggugat dan Tergugat terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran yang berakibat Penggugat dan Tergugat pisah tempat tinggal dan
sudah tidak ada harapan untuk rukun lagi, maka hal ini telah memenuhi pasal
19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI.
Untuk landasan hukum yang pertama mengenai Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1
Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI yang menyebutkan tentang maksud dan tujuan
perkawinan, menjadi landasan bagi setiap putusan perceraian, baik permohonan cerai
gugat. Dalam pasal-pasal tersebut membicarakan tentang maksud, tujuan serta hak dan
kewajiban suami istri yang harus dipenuhi dalam membangun sebuah rumah tangga.
Dalam pasal-pasal ini secara tegas menekankan bahwa pintu terjadinya perkawinan
telah tertutup karena pada dasarnya perundang-undangan Indonesia yang mengatur
tentang perkawinan menganut asas mempersulit perceraian. Jadi, selama dalam kondisi
rumah tangga kemudian didukung oleh alasanalasan yang dibenarkan syariat, maka
peluang untuk bercerai tetap terbuka. Adapun mengenai kasus cerai gugat ini, apabila
dilihat melalui sudut pandang undang-undang terutama pada Pasal 1 dan Pasal 33 UU
No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI ini bahwa fakta antara suami istri
tersebut sudah tidak bisa dirukunkan lagi dalam satu ikatan perkawinan. Meski pada
dasarnya yang berbuat salah adalah istri, namun berdasarkan pasal-pasal ini tujuan
perkawinan sudah tidak dapat dicapai dan hak serta kewajiban suami istri tidak bisa
dipenuhi, maka perceraian dianggap solusi yang paling adil. Selanjutnya mengenai
dasar hukum yang merujuk pada pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf (f) KHI yang membicarakan tentang alasan perceraian yaitu antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan lagi
untuk hidup rukun dalam rumah tangga, hal ini masih bersifat umum. Bunyi huruf (f)
dalam kedua pasal tersebut merupakan implikasi dari gejolak rumah tangga yang
dilatarbelakangi oleh berbagai macam faktor sehingga menimbulkan perselisihan
diantara suami dan istri. Jadi menurut kami dalam hal ini yang menjadi faktor
perselisihan adalah selingkuhnya istri yang memiliki pria idaman diluar pernikahan.
Oleh karena alasan selingkuh secara khusus tidak diatur dalam pasal yang
mengklasifikasikan alasan-alasan perceraian, maka selingkuh dianggap masuk dalam
salah satu faktor yang menjadikan pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116
huruf (f) KHI terpenuhi. Maka dari itu dalam membahasakan alasan perselingkuhan,
hakim menggunakan kedua pasal ini sebagai alasan perceraian yang dijadikan landasan
dalam memutus perkara cerai gugat karena istri selingkuh.
Penutup
Simpulan
1. Berdasarkan uraian pembahasan yang penulis sampaikan, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan. Bahwasanya ada beberapa alasan hukum yang dapat dijadikan sebagai
dasar mengajukan perceraian menurut Undang-undang yang berlaku tentang
perselisihan dan pertengkaran yang terus-menerus yaitu:
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat (2) yang ditegaskan lagi dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 19 :
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 15 K.AG/1980 tanggal 2
Desember 1981:
f. Terjadi keributan atau pertangkaran yang terus menerus antara suami istri.
2. Bahwa dasar hukum yang digunakan Hakim dalam memutus perkara cerai gugat karena
istri selingkuh adalah sebagai berikut:
a. Pasal 1 dan Pasal 33 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 dan pasal 77 KHI.
b. Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) KHI
Saran
Basyir, Ahmad Ahzar. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Pers.
Darmaputera, Eka. “Trilogi Perkawinan Kristiani”. http://www.glorianet.org
/ekadarmaputera/ekadtril.html. Diakses 28 April 2019.
Isnaeni, Moch. 2016. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Kartasapoetra, Rie. G.. 1998. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Jakarta: Bina Aksara
Marzuki, Peter. 2009.Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Matondang, Armansyah. 2014. “Faktor-faktor yang Mengakibatkan Perceraian dalam
Perkawinan”. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik, 2 (2) (2014): 141-150
Nasution, Khoiruddin. 2004. ISLAM Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukun Perkawinan I).
Yogyakarta: Academia dan Tazzafa
Oiladang, Chris. 2012. Perceraian Sebagai Pilihan Rasional: Kasus Perceraian Di Desa Tanah
Merah, Kupang – NTT. Jurnal Sosiohumaniora, Volume 14, No. 3, November 2012 :
235 – 247
Prawirohamidjojo. 1988. Soetojo Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press.
Purwaningsih. Prihatini. 2015. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gugat Cerai Di
Pengadilan Agama Kota Bogor”. Jurnal Yustisi – Vol. 1 No. 1 – Oktober 2015.
Syarifuddin, Amir. 2014. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Saebani, Beni Ahmad. 2013. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia
Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
Susilo, Budi. 2007. Prosedur Gugatan Cerai. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Syaifudin, Muhammad. 2012. Hukum Perceraian. Palembang: Sinar Gravika
Wasman & Wadah Nuromiyah. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (perbandingan
Fiqh dan Hukum Positif). Yogyakarta: Teras.
https://kantorpengacara.co/bagaimana-prosedur-gugatan-cerai-di-pengadilan/
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, khususnya buku III.
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun
1974 Tentang Perkawinan, TLN No. 3050.
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan, TLN No. 3019.
Yusuf, Kadar M, Tafsir Ayat Ahkam. 2013. Jakarta: Amzah.