Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS

ABSES TUBA OVARIUM

Oleh:

Made Nindya Prahasari Wismawan 1902611070


Made Martha Pradnyana 19026110xx

Pembimbing
dr. Wayan Indriani Eka Putri, M.Biomed, Sp.OG

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DEPARTEMEN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARANGASEM
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya, maka laporan kasus dengan topik “Abses Tuba
Ovarium” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini dibuat dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Departemen/KSM Obstetri dan
Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUD Karangasem.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. I Made Wenata Jembawan, Sp.OG, selaku Ketua Departemen/KSM
Obstetri dan Ginekologi RSUD Karangasem.
2. dr. Wayan Indriani Eka Putri, M.Biomed, Sp.OG, selaku pembimbing
dan penguji laporan kasus ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari
para pembaca.

Karangasem, November 2019

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Sampul.............................................................................................................i
Kata Pengantar...............................................................................................................ii
Daftar Isi........................................................................................................................iii
Daftar Gambar...............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................3
2.1 Definisi ..................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi .........................................................................................................3
2.3 Etiologi ..................................................................................................................4
2.4 Patofisiologi............................................................................................................4
2.5 Klasifikasi ............................................................................................................11
2.6 Diagnosis..............................................................................................................12
2.7 Diagnosis Banding................................................................................................14
2.8 Komplikasi............................................................................................................16
2.9 Penatalaksaan........................................................................................................18
2.10 Prognosis..............................................................................................................28
BAB III LAPORAN KASUS........................................................................................30
3.1 Identitas................................................................................................................30
3.2 Anamnesis............................................................................................................30
3.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................................................32
3.4 Diagnosis..............................................................................................................35
3.5 Penatalaksanaan Kasus.........................................................................................36
3.6 Perjalanan Penyakit..............................................................................................37
BAB IV PEMBAHASAN..............................................................................................38
BAB V KESIMPULAN.................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR GAMBAR

Gambar . Anatomi Genitalia Wanita………................................................... 8


Gambar . Hubungan antara puncak gejala mual dan muntah pada kehamilan
dengan kadar human chorionic gonadotropin ................................................... 8
Gambar . Mekanisme patofisiologi hiperemesis gravidarum ......................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
Abses tubo ovarial adalah sebulah massa adnexa akibat infeksius yang
kompleks dimana merupakan akibat jangka panjang dari infeksi panggul. Ini akan
mengenai terutama wanita pada usia produktif dan dengan riwayat kehamilan yang
berulang. ATO ditandai dengan adanya kumpulan nanah (pus). Penyebab utama dari
ATO biasanya karena ascending infeksi, mengenai tuba hingga pada rongga
peritoneal, selain itu juga bisa disebabkan oleh endometriosis. Infeksi radang panggul
ini juga bisa disebabkan oleh infeksi sekunder dari rongga intra abdomen contoh nya
infeksi appendiks, infeksi jaringan pyelum, juga infeksi secara hematogen.
Mekanisme terjadinya ATO sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang berbeda
dan derajat kerusakan tuba saat infeksi ditemukan. Abses Tubo Ovarial umumnya
disebabkan oleh mikroorganisme umum yang menjadi penyebab STD (sexually
transmitted diseases), berhubungan seks dengan pasangan yang memiliki agen
infeksius ini merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam terjadinya Abses
Tubo Ovarial. Selain itu kanker organ genital (genital malignancy) dan apendisitis
yang mengalami perforasi juga diketahui menjadi penyebab ATO. Penegakan
diagnosis ATO berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan
penunjang untuk mendapatkan terapi yang tepat. Pada ATO biasanya didapatkan
massa pada adnexa, demam, peningkatan sel darah putih, nyeri pada simfisis, serta
adanya pengeluaran dari vagina. Terapi pada absess tubo ovari pada dasarnya sama
dengan terapi pada infeksi radang panggul, dimana diawali dengan pengobatan
medikamentosa berupa antibiotika, baik antibiotika oral maupun antibiotika secara
jalur intravena, drainage, serta tindakan bedah, berupa pengangkatan rahim secara
keseluruhan. Abses Tubo Ovari ini memiliki angka kematian yang tinggi,
mengancam jiwa, hingga dilaporkan angka kematian ini bisa mencapai 5- 10 %, jika
terjadi sepsis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Tuba Fallopi dan Ovarium

Tuba fallopi adalah sebuah saluran yang menghubungkan antara kandung


rahim dengan ovari (sel telur) bersifat seromuscular, berjalan secara medial dari
kornus uterus hingga sel telur secara lateral. Panjang setiap saluran ini +10 cm
dengan variasi panjang dari 7- 14 cm. Tuba fallopi memiliki 2 bagian yaitu isthmus
(bagian yang sempit, tebal, dekat uterus), ampulla (bagian yang lebar, panjang, dekat
ovarium), terdapat infundibulum dan fimbriae pada ujung ampulla dekat sel telur.
Tuba Fallopi berfungsi memfasilitasi sperma menuju sel telur serta memfasilitasi sel
telur yang sudah Ovarium merupakan bagian dari organ reproduksi wanita bagian
dalam. Ovarium berjumlah dua buah dan terletak di kiri dan kanan. Ovarium ke
arah uterus bergantung pada ligamentum infundibulo pelvikum dan melekat
pada ligamentum latum melalui mesovarium. Dinding tuba fallopi terdapat 4
lapisan, yaitu : serosa, subserosa, propia, mucosa.
Ovarium adalah organ reproduksi wanita bagian dalam. Ovarium
berjumlah dua buah dan terletak di kiri dan kanan. Ovarium melekat dengan uterus
melalui ligamentum ovarium yang berjalan dalam mesovarium. Ligamen ini
merupakan sisa bagian superior ovarian gubernaculum fetus serta menghubungkan
bagian ujung proximal (uterine) end ovarium ke sudut lateral uterus, di sebelah
inferior tempat masuknya. Ovarium berada dalam peritoneal caviti, namun
permukaannya tidak ditutupi oleh peritoneum
Abses adalah infeksi yang bersifat fokal, berbentuk rongga akibat
kerusakan jaringan setelah proses infeksi. Proses infeksi menyebabkan Inflamasi

bersifat supuratif, berisi neutrofil, terdapat jaringan purulent.


Gambar 2.1 Organ Reproduksi Internal Wanita

2.2 Abses Tubo Ovarial (ATO)

Abses Tubo Ovarial adalah pembengkakan yang terjadi pada tuba ovarial
yang ditandai dengan radang bernanah, baik di salah satu tuba ovarial maupun
keduanya. ATO merupakan komplikasi jangka panjang dari salfingitis akut, tetapi
biasanya akan muncul dengan infeksi berulang atau kerusakan kronis dari jaringan
adnexa. Biasanya dibedakan dengan ada tidaknya rupture, dapat terjadi bilateral
walaupun 60% dari kasus abses yang dilaporkan merupakan kejadian unilateral
dengan atau tanpa penggunaan IUD dan abses biasanya polimikroba. Penyebab utama
dari ATO adalah ascending infeksi dari saluran genitalia atas menuju ke rongga
peritoneal menyebabkan Infeksi radang panggul dan menyebabkan Absess Tuba
Ovari. Infeksi ini biasanya meluas hinggal ke usus dan kandung kemih. ATO
disebabkan oleh infeksi berulang dari infeksi radang panggul, keterlambatan dalam
pengobatan, serta keterlibatan faktor virulensi dari kuman pathogen. ATO paling
banyak disebabkan oleh infeksi yang bersifat ascending menuju tuba fallopi
menyebabkan kerusakan pada endothelial sehingga menyebabkan edema pada
infundibulum dan menghasilkan blockade pada tuba. Pada ATO terdapat massa yang
bersifat necrosis, disertai dengan pertumbuhan bakteri yang bersifat anaerob

Epidemiologi Abses Tubo Ovarial

Menurut penelitian CDC tahun 2002, terdapat sekitar 17 % hingga 20 %


wanita penderita PID yang mengalami komplikasi hingga ATO. Pada penelitian
teserbut, juga disebutkan bahwa yang yang memiliki resiko HIV yang mengalami
infeksi radang panggul, memiliki resiko yang kecil hingga mencapai Abses Tubo
Ovari. Pada penelitan di sebuah Negara di Asia, didapatkan 10 – 15 % pasien yang
menjalani pengobatan infeksi radang panggul memiliki komplikasi abses tubo ovari,
didominasi oleh kelompok umur usia reproduktif yaitu lebih dari 30 tahun, serta
didominasi oleh suku bangsa yang memiliki laju pertumbuhan penduduk yang tinggi
yaitu china, didapatkan 40- 45 % pada wanita dengan multipara.

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko Abses Tubo Ovarial

Pada umumnya, abses ini merupakan komplikasi jangka panjang dari


infeksi radang panggul. Patogen penyebab abses ini dapat berasal dari infeksi serviks,
infeksi vagina, hingga mengenai endometrium, ke tuba faloppi hingga mencapai
rongga peritoneal membentuk sebuah massa terfiksasi berisi nanah. Pada kebanyakan
kasus, abse ini bisa menyebabkan peritonitis. Abses ini juga dapat disebabkan oleh
infeksi dari organ sekitar sepertiks appendiks, atau dari penyebaran secara
hematogen.

Faktor resiko pada kasus ATO, hampir sama dengan faktor resiko pada
infeksi radang panggul, seperti wanita usia reproduktif, riwayat sosi- ekonomi yang
rendah, kebersihan yang kurang. penggunaan IUD, heteroseksual, torsi indung telur,
kehamilan ektopik, serta kista ovarium yang pecah, dan infeksi pada pyelum serta
saluran kencing.

Abses Tubo Ovarial maupun Infeksi Radang Panggul bisa disebabkan


oleh berbagai mikroba organisme, seperti yang disebutkan pada tabel 1

Agen penyebab Abses Tubo Ovari


Chlamydia Trachomatis Sexual Transmitted
Neisseria Gonorrhea Sexual transmitted
Escherichia Coli Enterbacteriacease
Bacteroides Anaerob
Peptococcus Anaerob
Peptostreptococcus Anaerob
Actinomyces Berhubungan dengan penggunaan
IUD
Pelvic tuberculosis Berhubungan dengan HIV
Garcinerella vaginalis
Streptococcus agalactiae
Mycoplasma genitalium
Haemophilus influenzae
Streptococcus pyogenes

Penggunaan alat kontrasepsi spiral (IUD) memiliki hubungan yang erat


terhadap kejadia Infeksi radang panggul, dimana didapatkan pada penggunaan
levonorgestrel IUD memiliki resiko infeksi radang panggul lebih sedikit
disbandingkan copper IUD, hal ini disebabkan karena pada levonorgestrel IUD ini
akan memiliki efek penebalan mucus pada dinding serviks dibandingkan copper IUD.
Pada penggunaan IUD juga didapatkan adanya kemungkinan infeksi oleh
organisme actinomyces israelii dimana organisme ini akan membentuk multiple
abses, jaringan granulasi, dan fibrosis. Bakteri ini sangat berespon baik terhadap
pemberian penicillin.
Faktor yang menyebabkan virulensi bakteri misalnya Bacteroides adalah
kapsul polisakaridanya dan enzim yang dihasilkan oleh bakteri. Enzim yang
dihasilkan antara lain Kollagenase, hialuronidase, dan heparinase yang menyebabkan
pembekuan pada pembuluh darah kecil dan menyebabkan berkurangnya aliran darah
pada jaringan yang terinfeksi. Superoksida dismutase juga dapat menyebabkan
kuman patogen dapat bertahan pada kondisi aerob.
Dikatakan bahwa nekrosis tuba fallopi dan kerusakan epitel terjadi
dikarenakan bakteri patogen menciptakan lingkungan yang diperlukan untuk invasi
dan pertumbuhan anaerob. Salfingitis dapat melibatkan ovarium dan ada juga yang
tidak. Proses inflamasi ini dapat terjadi spontan atau merupakan respon dari terapi.
Hasilnya dapat terjadi kelainan anatomis yang disertai dengan perlengketan ke organ
sekitar. Keterlibatan ovarium biasanya terjadi di tempat ovulasi yang sering menjadi
tempat masuk infeksi yang luas dan pembentukan abses. Apabila eksudat purulen itu
ditekan maka akan menyebabkan ruptur dari abses yang dapat disertai oleh peritonitis
berat serta diperlukan tindakan laparotomi. Perlengketan yang lambat dari abses akan
menyebabkan abses cul de sac. Biasanya abses ini muncul ketika penggunaan IUD,
atau munculnya infeksi granulomatous seperti TB.

2.4 Patofisiologi Abses Tubo Ovarial


Mekanisme pembentukan ATO secara pasti masih sulit ditentukan,
tergantung sampai dimana keterlibatan infeksi pada tuba. Pada awal terjadinya
infeksi, tuba fallopi msih masih terbuka dan mengeluarkan reaksi inflamasi berupa
eksudat yang bersifat purulent dari bagian fimbriae, sehingga menyebabkan infeksi
pada bagian ovarium menyebar hingga ke mengenai ligamentum penghubung antara
ovarium dan uterus dan menyebabkan reaksi inflamasi. Hal ini menyebabkan abses
yang hanya terbatas pada tempat masuk infeksi. Lumen tuba masih terbuka
mengeluarkan eksudat yang purulent dari fimbriae dan menyebabkan peritonitis,
ovarium dan struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi. Abses masih terbatas
mengenai tempat masuk infeksi. Abses hanya mengenai tuba dan ovarium saja, dapat
pula melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau adneksa
yang lain. Abses adalah reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah perluasan
atau penyebaran infeksi ke bagian lain tubuh. sel-sel lokal dibunuh oleh organisme
atau benda asing yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin
memicu sebuah respon inflamasi, yang menarik sejumlah besar sel-sel darah putih
(leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat. Abses
mempunyai struktur akhir berupa terbentuknya dinding abses atau kapsul oleh sel-sel
sehat disekelilingnya abses agar mencegah pus menginfeksi struktur lain disekitar.
Namun, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel
imun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan
melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam pus. Abses merupakan suatu
penimbunan nanah, biasanya disebabkan suatu infeksi bakteri. Jika bakteri memasuki
ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan
hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel
darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, lalu bergerak
ke dalam rongga tersebut. Setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati. Sel
darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah sebagai pengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan
pada akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas abses. Hal
ini merupakan mekanisme tubuh untuk mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut.
Apabila suatu abses pecah di dalam maka infeksi bisa menyebar di dalam tubuh
maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses. Proses
peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan, keadaan ini
biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin terhadap organ
terdekatnya. Apabila prosesnya cepat dan hebat maka abses akan pecah.

Ovarium dapat melekat dengan fimbria dari tuba yang terinfeksi


(pyosalphing) dan menjadi dinding abses, atau infeksi ovarium primer, yang dapat
berlanjut menjadi abses. Usus, peritoneum parietale, uterus dan omentum biasanya
menjadi melekat. Abses dapat membesar dan mengisi kavum douglas, atau bocor dan
menimbulkan abses metastasis.
Jika pertahanan tubuh mampu mengatasi, maka tidak akan terjadi infeksi.
Proses ini mencakup drainase spontan ke dalam celah viskus. Akan tetapi, jka terjadi
ruptur intraperitoneal, infeksi dapat menyebar cepat dan timbul bakteremia.
Pembentukan abses merupakan keadaan terakhir pertahanan tubuh dan infeksi yang
mencapai keadaan ini sangat berat dan berbahaya. Abses Tubo Ovarial merupakan
bentuk paling berbahaya dari PID

2.5 Diagnosis Abses Tubo Ovarial


A. Anamnesis
Pasien mengeluh nyeri perut atau nyeri pinggang (> 90%) memiliki
keluhan tersering, lalu diikuti dengan demam (50 %), keputihan sebanyak 28
%, diikuti degan mual 25 %, serta perdarahan pervaginam yang tidak normal
21 %. Pasien juga memiliki riwayat sering ganti pasangan, riwayat sosio-
ekonomi yang rendah, penggunaan alat kontrasepsi yang lama serta
kebersihan yang kurang.
B. Pemeriksaan fisik
Status present
 Pireksia (> 36.7)
 Takikardia (>100 x /menit)
 Peningkatan Laju Nafas (> 20 x/menit)
Status general
Pada pemeriksaan mata, jantung, paru- paru serta ekstremitas masih
dalam batas normal
Status ginekologi
a) Abdomen
Pada pemeriksaan inspeksi ditemukan tanda- tanda inflamasi
seperti kemerahan, terlihat massa, teraba panas. Pada pemeriksaan
palpasi didapatkan nyeri tekan lepas, nyeri tekan pada bagian simfisis,
nyeri tekan pada adnexa.

b) Pada pemeriksaan dalam


Pada pemeriksaan Inspeksi ditemukan sekresi cairan vagina
(28 %), osteum uterus eksternum- kanalis servikalis berwarna kuning
atau putih seperti susu, dan berbau tidak sedap, kadang disertai dengan
perdarahan pervaginam (21%) Papa pemeriksaan vaginal toucher,
didapatkan nyeri daerah parametrium dan adneksa, nyeri goyang portio
dan forniks massa pada adneksa baik unilateral maupun bilateral
dengan ukuran 5-15 cm, konsistensi irregular multikistik, sulit
digerakkan/ perlekatan dengan jaringan sekitar dan juga pada saat
menggerakkan serviks terasa lunak, terasa penekanan pada saat
menggoyangkan serviks. Namun hal ini sulit dibedakan dengan massa
pada appendicular, endometrioma (kista ovarium), kehamilan
extrauterina. Pada ATO yang pecah didapatkan penonjolan yang
lembut kavum douglas kea rah vagina

C. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari laboratorium kurang
bermakna. Bisa terdapat peningkatan maupun penurunan dari sel darah
putih, didapatkan peningkatan dari laju endap darah lebih dari sama
dengan 19.5 mm setiap 30 menit, serta peningkatan dari C- reactive
protein lebih dari 11.5 mg/L. Dimana peningkatan dari C- reactive
protein merupakan pemeriksaan penunjang laboratorium paling akurat
untuk abses tubo ovari, hal ini juga sebagai pertimbangan keberhasilan
terapi medikamentosa pada abses tubo ovari. Selain peningkatan C-
Reactive Protein, juga didapatkan peningkatan dari marker Ca-125
dimana hal ini merupakan laboratorium paling akurat dari abses tubo
ovari.

b) USG
Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti
terjadinya progressi, regresi, ruptur atau pembentukan pus.. Pada USG
didapatkan pembesaran gambaran pembesaran volume sel telur dan
bersifat polikistik, penebalan dari isi cairan sel telur dengan septum
yang tidak lengkap atau gambaran “cog wheel sign”,dan adanya
gambaran cairan yang bebas pada cul- de- sac. Pada perjalanan lebih
lanjut, didapatkan, sel telur dan dinding tuba fallopi tidak dapat
dibedakan, dan hal ini sudah menunjukkan adanya abses tubo ovari.
Pada abses tubo ovary didapatkan kompleks masa kistik yang
multiocular dengan penebalan dinding yang irregular, disertai partisi
dan bagian echoic pada bagian dalam.
Pada uterus yang inflamasi terdapat gambaran polikistik yang
reaktif (karena edema), dan ketika menjadi satu dengan tuba, hal ini
disebut tubo-ovari kompleks
c) CT (computed tomography)
Gambaran CT- SCAN sangat berguna ketika adanya kelainan
patologi pada gastrointestinal. Pada ATO didapatkan, penebalan
dinding, dan terdapat massa yang berisi cairan padat pada adnexa
dengan inter septa. Jika terdapat gelembung gas yang bersifat interna
ini sangat berhubungan dengan abses pada usus bukan pada abses
tubo ovari. Pada ATO, penggunaan modalitas penunjang CT Scan
memiliki sensitivitas 94 % dan spesifisitas 100 %, dimana hal ini
baik untuk membedakan ATO dengan abses lain di daerah pelvis.
Tampilan paling sering dari ATO adalah lokasi unilateral (73%),
multilokular (89%), dinding yang tebal dan seragam. Beberapa hal
yang jarang ditemukan adalah penebalan usus (59%), penebalan
ligament uteroscaral (64%) dan pylosalpinx (50%).

d) MRI
Pada abbess tubo ovari , MRI memiliki intensitas sinyal
yang rendah pada T1- weighted imaging, dan intensitas sinyal
yang tinggi pada T2, dan penggunaan modalitas MRI didapatkan
memiliki tingkat sensitivitas dan spesifitas yang tinggi yaitu 95
% dan 89 % dibandingkan modalitas ultrasonografi.

2.6 Penatalaksanaan Abses Tubo Ovari


a. ATO Utuh
1. Konservatif
2. Masuk rumah sakit dengan resusitasi cairan
3. Tirah baring semi fowler
Dimana hal ini diharapkan cairan akan terkumpul pada
daerah cul- de- sac sehingga memudahkan untuk
drainase kolpotomi
4. Regimen Antibiotika
 Kombinasi I :
Ampisilin 4 x 1- 2 gram/ hari IV selama 5- 7
hari
Gentamisin 5 mg / kg BB IM/IV 2x/hari selama
5- 7 hari
Metronidazole1 gram / rectal sup 2x/hari selama
5- 7 hari
 Kombinasi II :
Sefalosporin generasi III 2-3 x 1 gram/ hari
selama 5- 7 hari
Metronidazole 1 gram rectal sup 2 x/ hari
selama 5- 7 hari
5. Laparotomi
Pemilihan tindakan operatif dilakukan jika besar abses
> 8 cm, dan tidak membaik setelah pemberian regimen
antibiotika pada 48 jam Pilihan tindakan operatif untuk
abses tubo ovari mulai dari drainase,
Salpingoopherectomy yang unilateral hingga total
abdominal histerektomi dan bilateral
salphingoopherectomu. Dimana didapatkan tindakan
yang lebih agresif, menyebabkan tingkat penyembuhan
yang lebih tinggi, namun memiliki kompikasi operasi
yang lebih tinggi, serta tingkat infertilitas yang lebih
tinggi.
b. ATO pecah
ATO pecah merupakan kasus darurat:
Laparotomi (salpingoooforektomi_, kultur pus, dan pasang drainase.
Setelah dilakukan laparatomi, diberikan
 Sefalosporin generasi III, 2-3x 1gr/hari selama 5-7 hari
 Metronidazol 2 x 1 gr rektal supp selama 5-7 hari

2.7 Komplikasi
a. ATO utuh:
Pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari (jangka pendek)
Ileus, infertile, kehamilan ektopik dan nyeri (jangka panjang)
b. ATO pecah:
Syok sepsis
Abses intraabdominal, abses prenikus, abses paru/otak
Penyulit terkait laparotomi

2.8 Prognosis
a. ATO utuh
Pada umumnya prognosis baik, apabila dengan pengobatan tidak ada
perbaikan keluhan dan gejala maupun pengecilan tumor, lebih baik
dikerjakan laparatomi, sehingga abses tidak menjadi pecah yang
mungkin perlu tindakan lebih luas. Namun, terdapat efek samping
berupa infertilitas setelah tindakan laparotomi
b. ATO pecah
Pada abses yang pecah, akan terjadi septicemia, dan hal ini bisa
menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan segera

Anda mungkin juga menyukai