Anda di halaman 1dari 17

PANDANGAN DEWESTERNISASI SAINS NAQUIB AL-ATTAS

ISLAMISASI SAINS RAJI’ AL-FARUQI DAN SAKRALISASI


SAINS SAYED HUSSEIN NASHR
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Falsafah Kesatuan Ilmu
Dosen Pengampu: Lis Setiyo Ningrum, M.Pd.

Oleh Kelompok 5:
Az-Zafira Syairul Faizah (1808076060)
Khoerul Ummah (1808076062)
Ismi Yaomil Aulia (1808076067)

PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2020

1
DAFTAR ISI
COVER.....................................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................2
A. Latar Belakang................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................3
C. Tujuan.............................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
A. Pengertian Ilmu Sains.....................................................................................................4
B. Dasar Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas..................................5
C. Relevansi Pemikiran dengan Pendidikan Sekarang........................................................6
D. Al-Faruqi dan Proyek Islamisasi Sains...........................................................................7
E. Mengkritisi Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang Dewesternisasi Sains......................12
F. Pemikiran Raji’ Al-Faruqi Tentang Islamisai Sains.....................................................13
G. Pemikiran Sayyed Hussen Nasr Tentang Sakralisasi Sains......................................14
BAB III PENUTUP................................................................................................................15
A. Simpulan.......................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................16

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagasan awal Islamisasi pada konferensi dunia pertama tentang pendidikan
muslim di Makkah, pada tahun 1977 yang diprakarsai oleh King Abdul Aziz
University. Ide dilontarkan oleh Ismail Raji al Naquib al-Attas. Menurut al yang
dihadapi umat Islam disebarkan keseluruh dunia Menurut al-Faruqi bahwa sistem
pendidikan dicetak dalam sebuah karikatur Barat, dan telah terlepas dari nilai dan
harkat manusia dan nilai spiritual dan harkat dengan Tuhan.
Islamisasi sains berarti mensterilkan ilmu sains yang bersumber dari barat
yang mana ilmu pengetahuan dalam pandangan mereka telah teracuni oleh nilai-nilai
ideologi dan fisiologi barat yang bertentangan dengan ajaran islam. Ismail Raji al-
Faruqi adalah seorang pemikir islam yang menggunakan tauhid sebagai prinsip
penentu pertama dalam islam, kebudayaannya, dan sainsnya. Berpegang pada prinsip
tauhid berarti mematuhi perintah-perintah Tuhan sebagai kewajiban, dan
melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.
Islamisasi ilmu pengetahuan mempunyai tujuan mewujudkan kemajuan
peradaban yang juga tidak menghendaki terpuruknya kondisi umat Islam di tengah-
tengah akselerasi perkembangan iptek. Dengan usaha gerakan diharapkan problem
dikotomi keilmuan antara ilmu agama dan ilmu modern dapat dipadukan dan dapat
diberikan secara integral dalam proses pendidikan.
Pengetahuan ilmu sains sangat penting kehidupan manusia tanpa adanya ilmu
sains manusia tidak bisa mengenal alam semesta dan seluruh isi permukaan bumi ini.
Pada makalah kali ini akan membahas review terhadap pandangan dewesternisasi
sains al- naquib al-attas, islamisasi sains Raji’ al-Faruqi, dan sakralisasi sains Sayed
Hussein Nashr.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pengertian ilmu sains?
2. Apa saja pemikiran Naquib al-attas tentang dewesternisasi sains dan pemikiran
Raji’ al-Faruqi tentang islamisasi sains?
3. Bagaimana mengkritisi pemikiran Naquib al-attas tentang dewesternisasi sains
dan pemikiran Raji’ al-Faruqi tentang islamisasi sains, dan pemikiran Sayed
Hussen Nashr tentang sakralisasi sains?

3
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian ilmu sains
2. Mengetahui pemikiran Naquib al-attas tentang dewesternisasi sains dan pemikiran
Raji’ al-Faruqi tentang islamisasi sains.
3. Mampu mengkritisi pemikiran Naquib al-attas tentang dewesternisasi sains dan
pemikiran Raji’ al-Faruqi tentang islamisasi sains, dan pemikiran Sayed Hussen
Nashr tentang sakralisasi sains.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Sains
Secara bahasa, sains adalah keadaan atau fakta mengetahui. Sains juga sering
digunakan untuk arti pengetahuan yang dikontraskan dengan intuisi dan
kepercayaan. Dalam arti etimologi ini, sains berarti sama dengan ‘ilmu yang
didegradasikan menurut Islam dari yaqin, zdan (dugaan), dan syak (keraguan).
Menurut islam, Sains merupakan ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai
sarana ibadah kepada Allah. Hal tersebut disebabkan, ilmu pengetahuan yang
diciptakan oleh Allah merupakan alat untuk memperkuat ibadah kepada Allah
SWT. Seperti halnya sajadah masjid, alat ini adalah sebagai tempat sujud terhadap
Allah. Merupakan tempat sujud bagi Nabi SAW yang dulunya memberikan ilmu
kepada umatnya akan salawat.
Kata sains lalu mengalami perkembangan dan perubahan pemaknaan sehingga
berarti “pengetahuan yang sistematis yang berasal dari obervasi, kajian, dan
percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menentukan sifat dasar atau prinsip
dari apa yang dikaji.” Perubahan makna sains dan ‘ilmu itu sudah terjadi didalam
dunia Islam saat mengalami era kejayaan (abad ke-7 s/d ke-10 M).
Pada masa kejayaan peradaban Arab sekitar tahun 1000, ketika bangsa Eropa
Barat masih merangkak keluar dari zaman kegelapan, mereka pertama kalinya
merumuskan metode ilmiah modern. Inilah ide-ide dasar metode ilmiah modern.
Ilmu dimulai dari observasi dan pengukuran sistematis, namun tidak berhenti
hanya sampai di situ, seperti seorang kolektor informasi tentang alam. Tindakan
kreatifnya adalah bagaimana melakukan generalisasi dari data yang ada, untuk
membuat hipotesa tentang suatu proses fisis yang mungkin terjadi dan untuk
membuat gambaran proses itu dalam rumus metematis.
Dengan demikian sejak masa keemasan peradaban Islam telah terjadi
pergeseran arti sains dari semula “pengetahuan” menjadi “pengetahuan yang
sistematis berdasarkan observasi inderawi”. Pergeseran makna sains menjadi
pengetahuan inderawi ini menyebabkan spesifikasi sains dalam Webster’s dibatasi
menjadi “pengetahuan yang sistematis tentang alam dan dunia fisik”.

5
B. Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang Dewesternisasi Sains Dan Pemikiran Raji’
Al-Faruqi Tentang Islamisasi Sains
1. Dasar Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al Attas
Pemikiran Syed Naquib al-Attas dalam bidang pendidikan didasarkan pada
keprihatinannya terhadap penyempitan makna-makna istilah ilmiah Islam yang
disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologisasi, pemasukan hal-hal yang gaib dan
sekularisasi. Al-Attas mengenalkan dan mengemukakan tentang proses dewesternisasi
dan islamisasi sebagai langkah awal pembangunan paradigma pemikiran islam
kontemporer. dilanjutkan Metafisika dan Epistemologi sebagai dasar pendidikannya.
a. Dewesternisasi
Dewesternisasi adalah pembersihan islam dari westernisasi. westernisasi adalah
pembaratan, meniru atau mengambil alih gaya hidup barat. Jadi dewesternisasi
adalah proses pemurnian sesuatu dari pengaruh barat. Dalam pandangan al-Attas,
dewesternisasi adalah proses mengenal, memisahkan unsur-unsur sekuler berupa
subtansi, ruh, watak dan kepribadian kebudayaan serta peradaban barat dari tubuh
pengetahuan yang akan mengubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran
konseptual isi pengetahuan yang disajikan seperti sekarang.
b. Metafisika dan Epistemologi
Selain dewesternisasi, al-Atas juga mengemukakan tentang dasar pendidikannya
yaitu metafisika dan epistemologi. Istilah metafisika, al-Attas berangkat dari
paham teologisnya. dalam tradisi tasawuf Islam, dikenal beberapa istilah yaitu
mubtadi, mutawasith, dan muntahi.

Mubtadi adalah seorang sufi hanya terbatas pada moral dan adab; mutawasith
adalah seorang sufi sudah mendalami dan mengamalkan wirid dan dzikir yang
mengenai kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensinya ditentukan oleh sang mursyid
(guru); sedangkan muntahi adalah calon sufi sudah memasuki dunia filsafat dan
metafisik. Pada tingkat ini calon sufi diwajibkan mengenal tiga ilmu, yaitu
kebijaksanaan ketuhanan (alhikmah ilahiyah), ilmu naqliyah atau syari’ah(al-ulum al-
syari’ah), dan ilmu rasional (al- ‘ulum al-‘aqliyah). Tasawuf ini dikenal dengan
sebutan tasawuf falsafi .

Upaya penghidupan kembali tasawuf falsafi al-Attas merupakan keniscayaan


untuk menghapuskan pandangan barat tentang ilmu pengetahuan melalui tiga ilmu
tersebut. Selain itu, krisis kebudayaan barat dengan paham sekularisme berawal dari

6
landasan filusufis yang tidak mau mengenal atau menerima paradigma pemikiran
alternatif. Hal ini dapat dilihat pada landasan epistemologi barat yang hanya mengacu
pada pendekatan rasional empiris filusufis. justru paradigma pemikiran islam yang
menggunakan rasional, empiris, filusufis, intuitif, dan meta empiris merupakan
paradigma alternatif yang menjanjikan.1

2. Relevansi Pemikiran dengan Pendidikan Sekarang


Menurut al-Atas, ilmu pengetahuan masa kini dan modern, secara keseluruhan
dibangun, ditafsirkan dan diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan
persepsi psikologis dari kebudayaan dan peradaban Barat. Al-atas menjelaskan lebih
lanjut, jiwa utama kebudayaan dan peradaban ini dapat diringkas menjadi lima
karakteristik yang saling berhubungan,yaitu:
a. Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi
kehidupan.
b. Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan
kebenaran.
c. Membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan
dunia sekuler
d. Pembelaan terhadap doktrin humanisme.
e. Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal
dalam kehidupan spiritual/transendental/ kehidupan batin manusia yaitu dengan
menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati
diri dan eksistensi manusia.

Masuknya aspek-aspek yang berasal dari pandangan filsafat barat ke dalam


pemikiran elite terdidik umat islam tersebut sangat berperan terhadap timbulnya
sebuah fenomena yang oleh al-atas disebut “Deislamisai Pemikiran Umat Islam” yang
begitu merasuk dan membahayakan.
Deislamisasi ini berlangsung melalui proses penyamarataan kategori dasar
pengetahuan yaitu fardhu ain (penetahuan ma’rifah) dan fardhu kifayah (pengetahuan
ilmiah) yang dapat mendorong pada kebingungan terhadap hakikat masin-gmasing
dan metode pendekatan kita terhadap keduanya.

1
Abudin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat (Jakarta: Grafindo Persada,2012), hal. 335-337

7
Pada tingkat pendidikan rendah, di kalangan Islam tradisional, hubungan
paedagogis anatara Al-Quran dan berbagai bahasa lokal umat Islam telah terputus dan
sebagai gantinya adalah kultur sekuler, nasional, etnis dan tradisional yang lebih
ditekankan. Sedangkan pada tinngkat pendidikan tinnggi, studi terhadap bahasa dan
kebudayaan menggunakan perangkat metodologi linguistik dan antropologi,
sementara studi literatur dan sejarah Islam menggunakanan nilainilai dan model –
model Barat. Oleh karena itu pada saat konferensi di Mekkah, al-Attas mengimbau
dan menjelaskan gagasan “Islamisasi Ilmu Pengetahuan Masa Kini”.
Pada tingkat individu dan pribadi, islamisasi berkenaan dengan pengakuan terhdap
Nabi saw sebagai pemimpin dan pribadi teladan bagi pria maupun wanita, pada
tingkat kolektif, sosial dan historis ia berkenaan dengan perjuangan umat ke arah
realisasi kesempurnaan moralitas dan etika yang telah dicapai pada zaman Nabi saw.
Secara epistemologi, islamisasi berkaitan dengan pembebasan akal manusia dari
keraguan, prasangka dan argumentasi kosong menuju pencapaian keyakinan dan
kebenaran mengenai realitas-realitas spiritual, penalaran dan material. Proses
pembebasan ini pada mulanya bergantung pada ilmu pengetahuan tetapi pada
akhirnya selalu dibangun dan dibimbing oleh bentuk ilmu pengetahuan fardhu ain
(ma’rifah/ilmu pengenalan) dan bentuk ilmu pengetahuan fardhu kifayah
(pengetahuan ilmiah). Khusus dalam kaitanya dengan ilmu pengetahuan masa kini,
islamisasi berarti “pembebasan ilmu pengetahuan dari penafsiran yang berdasarkan
ideeologi, makna-makna dan ungkapan-ungkapan sekuler”.2
3. Al-Faruqi dan Proyek Islamisasi Sains
Gagasan tentang islamisasi sains pertama kali dilontarkan oleh al-Faruqi pada
saat pembentukan The International Institute of Islamic Thought di Washington pada
tahun 1981 dan forum The First International Conference of Islamic Thought dan
Islamization of Knowledge di Islamabad pada tahun 1982. Islamisasi sains inilah
yang menjadi inti visi dari al-Faruqi. Ia menganggap kelumpuhan politik, ekonomi,
dan religio-kultural umat Islam utamanya merupakan akibat dualisme sistem
pendidikan di dunia Islam, ditambah hilangnya indentitas dan pudarnya visi Islam.
Al-Faruqi menyakini bahwa solusi atas problem ini adalah mengkaji peradaban Islam
dan islamisasi pengetahuan modern (sains).
Al-Faruqi berpandangan bahwa pengetahuan modern mengakibatkan adanya
pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi
2
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidik Islam, (Ciputat: Ciputat Press Group,2005),hal.124

8
serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena itu diperlukan islamisasi sains
yang berpijak dari ajaran tauhid. Sains menurut tradisi Islam tidak menerangkan dan
memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dan independen dari realitas absolut
(Allah), tetapi melihatnya sebagai bagian integral dari eksistensi Allah. Oleh karena
itu, islamisasi sains menurut al-Faruqi harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan
sintesis tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan pola hukum Tuhan
(divine pattern).3
Al-Faruqi percaya bahwa Islam adalah solusi bagi problematika yang dihadapi
manusia sekarang ini. Karenanya, ia tidak pernah bosan mengingatkan orang-orang
Islam yang menerima secara utuh westernisasi dan modernisasi Barat untuk
melakukan reformasi pemikiran Islam. Ini berarti bahwa umat Islam tidak saja harus
menguasai ilmu-ilmu warisan Islam saja, melainkan juga harus menguasai disiplin
ilmu modern. Sangat perlu bagi umat Islam melakukan integrasi pengetahuan-
pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan penghilangan, perubahan, penafsiran
kembali dan adaptasi komponen-komponennya, sehingga sesuai dengan pandangan
dan nilai-nilai Islam. Dalam bukunya, Islamization of Knowledge: General Principles
and Work Plan, al-Faruqi mengelaborasi gagasannya, dan gagasan al-Faruqi ini tidak
hanya bersifat teoretis, namun justru cenderung kepada perencanaan praktis.
Islamisasi sains dilakukan dengan mensintesakan Islam dan ilmu pengetahuan
modern. Proses ini harus menempuh dua belas tahapan, yakni:
a) Pertama, penguasaan disiplin ilmu pengetahuan modern. Disiplin modern
harus dipecah-pecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-
metodologi, problem-problem, dan tema-tema, yang kesemuanya ini
merupakan pemilahan yang mencerminkan daftar isi suatu buku teks klasik.
b) Kedua, survei disiplin ilmu. Jika kategori-kategori dari disiplin ilmu telah
dipilah-pilah, suatu survei menyeluruh harus ditulis untuk suatu disiplin ilmu.
Langkah ini diperlukan agar sarjana-sarjana muslim mampu menguasai setiap
disiplin ilmu modern.
c) Ketiga, penguasaan khazanah Islam, dalam arti bahwa khazanah Islam harus
dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi yang diperlukan di sini adalah
antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan
disiplin ilmu.

3
Zainal Habib, Islamisasi Sains: Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Perspektif, (Malang: UIN Malang
Press, 2007, hlm. 54.

9
d) Keempat, penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisis. Jika
antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisis
dari perspektif masalah-masalah masa kini.
e) Kelima, penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi
dapat ditetapkan dengan mengajukan 3 persoalan, yaitu: (1) apa yang telah
disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran
kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam
disiplin-disiplin modern. (2) seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan
dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. (3)
apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali
tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, ke arah mana umat Islam harus
mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasi masalah-
masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f) Keenam, penilaian kritis terhadap disiplin modern. Jika relevansi Islam telah
disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisis dari titip pijak Islam.
g) Ketujuh, penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam
untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisis dan relevansi
kontemporernya harus dirumuskan.
h) Kedelapan, survei mengenai permasalahan yang dihadapi umat Islam. Suatu
studi sistematis harus dibuat tentang masalahmasalah politik, sosial, ekonomi,
intelektual, kultural, moral dan spiritual dari umat Islam.
i) Kesembilan, survei mengenai permasalahan yang dihadapi umat manusia.
Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia harus
melaksanakan.
j) Kesepuluh, analisis kreatif dan sintesis. Pada tahap ini sarjana muslim harus
sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin
modern, serta untuk menjembatani jurang kemandegan berabad-abad. Dari sini
khazanah pemikiran Islam harus berjalan beriringan dengan prestasi-prestasi
modern, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison
yang lebih luas daripada yang sudah dicapai disiplin-disiplin modern.
k) Kesebelas, penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam.
Sekali keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin modern telah
dicapai, buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuang kembali
disiplin-disiplin modern dalam bingkai Islam.

10
l) Kedua belas, penyebarluasan ilmu yang telah diislamisasikan tersebut.

Penuangan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam memiliki


relevansi dengan tiga sumbu tauhid. Sumbu pertama yaitu kesatuan pengetahuan (The
unity of knowledge). Berdasarkan kesatuan pengetahuan ini segala disiplin harus
mencari obyektif yang rasional, pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran. Dengan
demikian, tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa sains bersifat aqli (rasional) dan
beberapa sains lainnya bersifat naqli (supra-rasional); bahwa beberapa disiplin ilmu
bersifat mutlak, sedang disiplin-disiplin lainnya bersifat dogmatis dan relatif. Sumbu
kedua adalah kesatuan hidup (the unity of life). Berdasarkan kesatuan ini segala
disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian,
tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedangkan disiplin yang
lain bebas nilai atau netral. Ketiga, kesatuan sejarah (the unity of history).
Berdasarkan kesatuan sejarah ini segala disiplin akan menerima sifat kemasyarakatan
dari seluruh aktifitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan umat di dalam
sejarah. Dengan demikian tiada lagi pembagian pengetahuan ke dalam sains yang
bersifat individual dan sains yang bersifat sosial, sehingga disiplin tersebut bersifat
humanistis dan kemasyarakatan.4
Adapun sasaran atau target yang dikehendaki dari islamisasi sains ini adalah: (1)
menguasai disiplin-disiplin ilmu modern. (2) menguasai khazanah Islam. (3)
menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern. (4) mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam
dengan khazanah ilmu pengetahuan modern. (5) mengarahkan pemikiran Islam ke
lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Senada dengan al-Faruqi, Naguib al-Attas yang melebarkan sayap The
International Institute of Islamic Thought di Kuala Lumpur sejak tahun 1991, juga
berpandangan perlunya membersihkan unsur-unsur yang menyimpang sehingga ilmu
pengetahuan yang ada bisa benar-benar bernilai Islami. Namun perbedaannya adalah,
jika al-Faruqi lebih menekankan pada islamisasi ilmu-ilmu sosial, maka al-Attas lebih
memfokuskan pada islamisasi ilmu-ilmu humaniora. Demikian pula dengan Ziauddin
Sardar, yang berpendapat perlunya menciptakan sistem Islam yang berbeda dengan
sistem Barat yang dominan saat ini. Ia sependapat dengan gagasan al-Faruqi tentang

4
Al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas M. (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. xii; Zainal Habib, op.cit.,hlm.
52.

11
perlunya islamisasi sains, hanya saja tahapan islamisasi yang ditawarkan al-Faruqi—
menurut Sardar—mengandung cacat fundamental. Sardar sebagaimana dikutip Ancok
& Habib mengisyaratkan bahwa langkah islamisasi sains al-Faruqi yang menekankan
adanya relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu pengetahuan modern justru
menjadikan kita terjebak dalam westernisasi Islam, yang mengantarkan pada
pengakuan ilmu Barat sebagai standar, atau dalam istilah Sardar putting the car
before the horse. Dengan demikian, upaya islamisasi ini akan sia-sia mengingat
seluruh standarnya pada akhirnya dikembalikan kepada ilmu pengetahuan Barat.
Bukan Islam yang perlu dibuat relevan dengan sains modern, melainkan sains modern
yang harus dibuat relevan dengan Islam. Untuk menghindari ini, Sardar menawarkan
upaya islamisasi yang diawali dengan membangun world view Islam dengan titik
pijak utama membangun epistemologi Islam. Pembangunan epistemologi Islam harus
didasarkan pada al-Qur’an dan hadis serta dengan memahami perkembangan
kontemporer umat manusia. Ini artinya, pembangunan epistemologi Islam tidak dapat
dimulai dengan menitikberatkan pada disiplin-disiplin ilmu yang sudah ada, tetapi
dengan mengembangkan paradigma-paradigma di mana ekspresi-ekspresi eksternal
peadaban Islam-sains dan teknologi, politik dan hubungan-hubungan internasional,
struktur sosial dan kegiatan ekonomi, pembangunan desa dan kota dapat dipelajari dan
dikembangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan dan realitas
kontemporer. Melalui langkah ini, Sardar yakin umat Islam akan bisa benar-benar
menghasilkan sistem ilmu pengetahuan yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam.
Selanjutnya mengeksplorasi bahwa dua langkah upaya islamisasi antara al-Faruqi
dan Sardar masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Cara Sardar jika
benar-benar direalisasikan maka akan mampu menghasilkan peradaban yang lebih
mampu memandang, memperlakukan, dan mengembangkan manusia dan alam
semesta ini dengan lebih tepat. Namun cara ini juga mengandung kelemahan bahwa
kita seakan-akan harus mampu membangun peradaban modern mulai dari nol dan
ilmu pengetahuan modern yang telah dihasilkan pemikir selama ini menjadi
terabaikan. Sedangkan langkah yang ditawarkan alFaruqi memiliki keunggulan secara
praktis agar umat Islam tidak terus-menerus ketinggalan dan semakin jauh
ketinggalan, maka ilmu pengetahuan modern juga harus dipelajari dan setelah itu
disintesakan dengan Islam, sehingga umat Islam tidak akan kalah dengan bangsa
Barat dalam hal penguasaan sains, hanya saja secara esensial umat Islam tetap akan
sulit melepaskan diri dari ilmu pengetahuan modern yang notabene sekular.

12
Gagasan al-Faruqi ini tidak selalu mendapatkan reaksi positif dari sesama
cendekiawan muslim. Fazlur Rahman misalnya, ia tidak setuju dengan gagasan
islamisasi sains karena menurutnya yang lebih penting untuk dilakukan umat Islam
adalah mencetak para pemikir yang memiliki ide-ide brillian, positif, dan konstruktif.

C. Mengkritisi Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang Dewesternisasi Sains Dan


Pemikiran Raji’ Al-Faruqi Tentang Islamisasi Sains, Dan Pemikiran Sayed
Hussen Nashr Tentang Sakralisasi Sains.
1. Mengkritisi Pemikiran Naquib Al-Attas Tentang Dewesternisasi Sains
Salah satu aspek dari ilmu pengetahuan yang dibahas secara substansial oleh al-
Attas yaitu sifat dan kegunaan ilmu pengetahuan yang berbeda dengan kegunaan dan
sifat ilmu dalam pandangan hidup Barat terutama dalam memandang realitas dan
hakikat kebenaran. Pandangan hidup Barat tersebut telah menyebabkan pengaburan
antara yang benar dan yang salah “yang sebenarnya” dengan “yang palsu”,
karenailmu telah terlepas dari iman atau Tuhan dan hal-hal yang besifat metafisik
akibat sekularisasi. Padahal dalam pandangan hidup Islam, iman mengandung unsur
ilmu yang memahamkan tentang kebenaran pada akal manusia.
Semua penjelasan di atas sebenarnya yang membedakan antara epistimologi
dalam Islam dan Barat ialah faham tentang kemampuan inderawi, autoritas, akal, dan
intuisi. Perbedaan ini akhirnya menjadi titik tolak kekeyakinan wujudi masing-
masing. Bagi pemahaman umum wujud meliputi ‘alam al-syahadah (alam yang
tampak) dan ‘alam al-gaib (alam tidak tampak), dan kedua alam ini berpadu dalam az-
zat al-Wajib al-Wujud, dan manusia mampu mencapai ilmu sekedar kemampuannya
tentang ketiga kategori wujudi ini.
Bagi saintis modern, wujud dibatasi pada alam yang tampak, yaitu alam fenomena
ini semata, maka ilmu manusia hanya mencapai alam tampak karena hanya itu yang
wujud. Tetapi kini pembatasan dogmatis terhadap bidang kemampuan ilmu manusia
menimbulkan banyak masalah, karena sains empiris sendiri sedang berhadapan
dengan hakikat yang melampaui dan menguasai alam yang tampak.

13
2. Pemikiran Raji’ Al-Faruqi Tentang Islamisai Sains
Al-Faruqi berusaha menuangkan ide-ide pemikiran islamisasi sains berangkat dari
ras keprihatinannya terhadap kondisi empiris umat Islam yang dilanda berbagai krisis
multidimensi, antara lain krisis politik, ekonomi, region-kultural, sistem pendidikan
dan krisi dalam bidang visi Islam, yakni kepercayaan akan identitas keislaman. Tetapi
menurut al-Faruqi diantara beragam krisis yang multikompleks tersebut, masalah
system pendidikan yang berkembang di dunia Islam, yang dianggap inti dari segala
krisis yang ada. Berangkat dari rasa keprihatinan yang dalam tersebut al-Faruqi
mengajukan alternatif untuk melakukan Islamisasi berbagai disiplin ilmu-ilmu
modern, dengan tetap mengedepankan prinsip-prinsip tauhid yaitu konsep ke-Esaan
Tuhan, kesatuan makhluk, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan kehidupan,
dan kesatuan kemanusiaan atau umat manusia. Berdasarkan prinsip-prinsip tauhid
tersebut kemudian dilakukan upaya konkrit dalam proses kerja Islamisasi ilmu
pengetahuan melalui dua belas langkah operasional yang sistematis. Tentunya
langkah-langkah sistematis tersebut diformulasikan ole al-Faruqi secara mendalam
melaluipemikiran dan perenungan, sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang
pemikir modern Islam.
Inti dari beragam krisis yang sesungguhnya menurut al-Faruqi sebenarnya terletak
pada system pendidikan yang berkembang di dunia Islam. Dengan demikian
pemikiran Islamisasi sains Ismail Raji’ al-Faruqi tidak bisa dilepaskan dari konsep-
konsepnya tentang paradigm pendidikan. Hal ini semakin tampak ketika mencermati
langkah-langkah gagasan Islamisasi sains al-Faruqi, yang pada akhirnya berusaha
membenahi dunia pendidikan terutama pendidikan tinggi Islam sebagai basis
pengembangan pemikiran Islam. Selanjutnya menurut al-Faruqi untuk mempercepat
program Islamisasi sains, harus dilakukan berbagai kegiatan ilmiah, seperti konferensi
tingkat dunia, seminar-seminar, lokarya-lokarya yang biasa digunakan di dunia
akademis.
Namun demikian sebenarnya gagasan Islamisasi sains menurut al-Faruqi dengan
segala konsepsi dan langkah konkritnya tidak lepas begitu saja dari kritikan. Karena
sebenarnya fenomena spiritualisasi sains atau sains yang theistic sebenarnya sudah
menjadi perhatian pada filosuf Barat sebelum gagasan Islamisasi sains menurut al-
Faruqi tersebut.

14
3. Pemikiran Sayyed Hussen Nasr Tentang Sakralisasi Sains
Hakikat pendidikan Islam yang dapat disimpulkan dari pemikiran Sayyed Hussein
Nasr adalah pendidikan yang tidak boleh mengesampingkan keterjagaan tatanan alam.
Tatanan alam berhubungan dengan suatu tatanan di luar itu sendiri. Realita alam
mempunyai signifikansi di luar tampilannya, ada sifat suci di dalam alam, namun
istilah suci dapat dipahami, termasuk manifestasi- manifestasi formalnya dalam
agama-agama yang berbeda.
Dengan pendidikan akan terbentuklah proses memanusiakan manusia yang
sempurna serta dapat memberikan pemecahan masalah-masalah umat pada era
globalisasi serta dapat menjaga tatanan kosmos (lingkungan) menjadi lingkungan
yang madani, karena tatanan kosmos yang ada sekarang telah rusak dan hal ini salah
satunya disebabkan oleh karena tujuan pendidikan yang ada tidak mengindahkan
tatanan alam dan cenderung merusaknya. Sehingga menurut beliau tujuan pendidikan
tersebut harus menyangkut tentang pelestarian alam, tidak hanya mengeklspoitasinya.

15
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
1. Secara bahasa, sains adalah keadaan atau fakta mengetahui. Sains juga sering
digunakan untuk arti pengetahuan yang dikontraskan dengan intuisi dan
kepercayaan. Dalam arti etimologi ini, sains berarti sama dengan ‘ilmu yang
didegradasikan menurut Islam dari yaqin, zdan ((dugaan), dan syak (keraguan).
2. Pemikiran Syed Naquib al-Attas dalam bidang pendidikan didasarkan pada
keprihatinannya terhadap penyempitan maknamakna istilah-istilah ilmiah Islam
yang disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologisasi, pemasukan hal-hal yang
gaib dan sekularisasi. Untuk itu, al-Attas mengenalkan dan mengemukakan
tentang proses dewesternisasi dan islamisasi sebagai langkah awal pembangunan
paradigma pemikiran islam kontemporer. Al-Faruqi berpandangan bahwa
pengetahuan modern mengakibatkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam
diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural
dan religius. Karena itu diperlukan islamisasi sains yang berpijak dari ajaran
tauhid. Sains menurut tradisi Islam tidak menerangkan dan memahami realitas
sebagai entitas yang terpisah dan independen dari realitas absolut (Allah), tetapi
melihatnya sebagai bagian integral dari eksistensi Allah.
3. Pemikiran Naquib Al-Attas Pandangan hidup Barat tersebut telah menyebabkan
pengaburan antara yang benar dan yang salah “yang sebenarnya” dengan “yang
palsu”, karenailmu telah terlepas dari iman atau Tuhan dan hal-hal yang besifat
metafisik akibat sekularisasi. Al-Faruqi berusaha menuangkan ide-ide pemikiran
islamisasi sains berangkat dari ras keprihatinannya terhadap kondisi empiris umat
Islam yang dilanda berbagai krisis multidimensi, antara lain krisis politik,
ekonomi, region-kultural, sistem pendidikan dan krisi dalam bidang visi Islam,
yakni kepercayaan akan identitas keislaman. pemikiran Sayyed Hussein Nasr
adalah pendidikan yang tidak boleh mengesampingkan keterjagaan tatanan alam.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abudin, Nata. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. Jakarta: Grafindo
Persada.
Al-Faruqi. 1995. Islamisasi Pengetahuan. Terjemahan Anas M. Bandung:
Pustaka.
Hasan, Fuad. 1996. Pengantar Filsafat Barat. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Khun, Thomas. 1993. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung:
Rosdakarya.
Ravertz, Jerome R. 2004. Filsafat Ilmu Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan.
terjemahan oleh Pasaribu, Saut. dari judul aslinya, “The Philosophy of
Science”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidik Islam. Ciputat:
Ciputat Press Group.
Zainal, Habib. 2007. Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan
Perspektif: Malang: UIN Malang Press.

17

Anda mungkin juga menyukai