Anda di halaman 1dari 10

PEMIKIRAN ASYARIAH

Makalah disusun guna memenuhi tugas akhir semester

Mata Kuliah : Sejarah Pemikiran Kalam

Dosen Pengampu :

Drs. H. Nasihun Amin, M. Ag.

Disusun oleh :

Fatimataz Zahro’

Nim : 1904036031

PRODI STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS NEGERI ISLAM WALISONGGO SEMARANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paska wafatnya Rasulullah saw umat islam mengalami banyak goncangan dari dalam
dan luar diantaranya adalah adanya ketidak selarasan antara satu sama lain baik dari segi
sosial, politik hingga sampai pada ranah pemikiran teologi Islam. Seakan mereka
kehilangan arah setelah Rasul wafat.

Peristiwa ini kemudian menjadi awal mula dari pecahnya umat Islam. Mereka mulai
kebingungan mencari pemimpin penganti Rasul, diadakan lah musyawarah mufakat yang
akhirnya menunjuk Abu Bakar as-Syidiq menjadi khalifah pertama penganti Rasul.
Namun walaupun Abu Bakar diangkat menjadi khalifah berdasarkan hasil musyawarah,
masih ada beberapa orang yang tidak setuju. Tampuk kepemimpinana terus bergulir
hingga sampai kepada khalifah terakhir yaitu Ali bin Abi Thalib. Saat proses pemilihan
khalifah Ali bin Abi Thalib megalami peristiwa pelik yang melatar belakanginya, yaitu
peristiwa pembunuhan khalifah Utsman bin Affan.

Pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib bani Umayyah selaku keluarga
Khalifah Utsam bin Affan mendesak khalifah Ali untuk segera menuntaskan kasus
pembunuhan khalifah Utsman bin Affan, namun khalifah Ali lebih berfokus untuk menata
ulang struktur pemerintahan baik di pemerintahan pusat maupun di pemerintahan daerah.
Bani Umayyah tidak terima atas tindakan yang dilakukan oleh khalifah Ali, karena selain
menuntut untuk segera menuntaskan kasus pembunuhan khlifah Utsman mereka juga
tidak terima banyak anggota keluarganya yang dilengserkan dari kursi pemerintahan
(pada masa pemerintahan khalifah Utsman, khalifah banyak mengangkat anggota
keluarganya menjadi penjabat pemerintahan sehingga menimbulkan KKN ).

Puncaknya terjadinya perang siffin yaitu perang antara kubu khalifah Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan (dari bani Umayyah) perang ini berlangsung
secara sengit dan sampai pada pertengahan perang kemenangan hampir dicapai oleh kubu
khalifah Ali bin Abi Thalib namun dari kubu Muawiyyah bin Abu Sofyan meniggikan
(mengangkat) al-Quran, sehingga perang ini pun berakhir. Berakhirnya perang ini tidak
disambut baik oleh beberapa orang dari kubu Ali bin Abi Thalib, mereka beranggapan
kalau khalifah Ali lemah dalam menghadapi bani Umayyah dan memutuskan keluar dari
kubu khalifah Ali bin Abi Thalib, kemudian mereka disebut dengan kaum Khawarij.
Peristiwa keluarnya khawarij dari kubu Ali bin Abi Thalib menjadi awal dari munculya
beberapa golongan teologi islam. Salah satu dari golongan teologi islam tersebut adalah
Asyariah, golonga ini muncul karena adanya perbudaan pendapat antara pendiri yaitu
Abu Hasan al-Asyari terhadap gurunya yang berpaham Mu’tazilah. Selengkapnya akan
dijelaskan sebagaimana berikut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah lahir dan berdirinya golongan Asyariah ?
2. Siapakah tokoh-tokoh dalam golongan Asyariah ?
3. Bagaimana doktrin / pemikiran dari golongan Asyariah ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah lahir dan berdirinya golongan Asyariah.
2. Untuk mengenal siapa saja tokoh-tokoh dalam golongan Asyariah.
3. Untuk mengetahui doktrin / pemikiran dari golongan Asyariah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Lahir dan Berdirinya Asyariah


Kemunculan golongan Asyariah tidak terlepas dari pemikiran Abu Hasan al-Asyari
yaitu seorang tokoh sekaligus pendiri dari golongan Asyariah. Abu al-Hasan bin Ismail
al-Asyari, atau lebih dikenal sebagai Imama Asyari merupakan seorang muttakalim yang
berperan penting sebagai filsuf muslim dan juga pendiri dari Mahzab Asyariah. Beliau
lahir di Basrah, Irak 874 M/260 H dan meninggal di Baghdad, Irak 936 M/330 H, beliau
berkebangsaan Abbasiyah1.

Awal mula perjalanan spiritual Abu Hasan al-Asyari dimulai ketika beliau mengikuti
madzhab Mu’tazilah yang diajarkan oleh ayah tirinya yaitu; Imam Ali al-Juba’i al-
Mu’tazili, bahkan al-Asyari sering menggantikan itu untuk menghadiri majlis perdebatan,
dan semua orang mengakui semua ilmunya.sampai pada umur 40 tahun al-Asyari
memutuskan keluar dari madzhab Mu’tazilah karena timbul sebuah pertanyaan yang tidak
bisa dijawab oleh al-Juba’i guru sekaligus ayah tirinya.

Imam al-Asyari bertanya kepada Ali al-Juba’i bagaimana tanggapan tentang tiga
bersaudara ini ?

Pertama : Orang yang mati dalam keadaan taat.


Kedua : Orang yang mati dalam keadaan bermaksiat.
Ketiga : Anak kecil (belum baligh) yang sudah mati.

Ali al-Juba’i menjawabnya : “Orang yang mati dalam keadaan taat masuk syurga,
sedangkan yang kedua masuk neraka karena bermaksiat, dan yang ketiga anak yang
mati masih kecil tidak masuk syurga tidak pula neraka”.

Kemudian timbul pertanyaan kembali dibenak Imam Asyari, jika orang yang mati
dalam keadaan kecil kemudian dia menggugat kepada Allah swt : “Wahai Tuhanku

1
Harun Nasution, teologi Islam
kenapa engkau tidak mematikan saya dalam keadaan besar saja, maka aku akan
selalu berbuat ta’at kepada Mu, sehingga aku bisa masuk syurga ?”.

Ali al-Juba’i menjawabnya : “Maka Allah akan menjawab : “Sesungguhnya Aku


lebih mengetahu dari pada engkau, jika Aku besarkan engkau niscaya engkau akan
bermaksiat sehingga engkau akan masuk neraka, maka alangkah baiknya Aku
wafatkan dirimu dalam keadaan kecil”.

Kemudian Imam Asyari bertanya lagi : “Jika orang yang kedua yaitu orang yang
mati dalam keadaan bermaksiat, kemudian dia juga menggugat kepada Allah :
“Wahai Tuhanku kenapa engkau tidak mematikan diriku dalam keadaan kecil saja,
sehingga aku dan para ahli neraka tidak masuk neraka”.

Ali al-Juba’i menjawab : “Wahai Asyari kamu sudah menyalahi aturan aqidah yang
sudah ada”.

Setelah perdebatan yang tidak bisa terpecahkan oleh ayah tiri sekaligus gurunya Ali
al-Juba’i, Asyari keluar menuju masjid jami’ Basrah, naik ke mimbar seraya berkata dengan
keras :

“Wahai para manusia, barangsiapa yang kenal kepadaku sungguh aku telah
mengenalnya dan barang siapa yang tidak kenal kepada diriku maka aku akan
perkenalkan diriku siapa aku sebenarnya, aku adalah Ali bin Ismail bin Abi Basyar
Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin
Shohib Rasulullah Sollallahu Alaihi Wasallam Abi Musa Abdullah bin Qais al-
Asyari, dan aku adalah orang yang mengatakan bahwa al-Quran al-karim adalah
makhluk dan Allah tidak bisa dilihat diakhirat dengan suatu pandangan, begitupun
seorang hamba yang menjadikan pejerjaannya dengan kehendaknya sendiri. Semua
perkataanku ini aku cabut dan aku bertaubat dari madzhab Mu’tazilah,dan aku telah
membantah mereka (Mu’tazilah) dengan kejelekan-kejelekan mereka”.

“Wahai para manusia, jika diantara kalian yang tidak hadir pada saat ini sungguh
aku telah mempunyai Dalil yang mencukupi untuk bekal hidup. Dan aku tidak
mengunggulkan suatu apapun dengan suatu yang lain. Dengan Dalil ini Allah telah
memberikan petunjuk kepadaku menuju aqidah yang lurus. Dan sungguh aku telah
mencabut baju yang dipenuhi kotoran dan telah kau buang jauh-jauh itu, dan yang
kau ikuti sekarang adalah Madzhab yang benar yang merupakan Madzhabnya para
Fuqaha dan Muhaddisin”.2

Dengan pernyataan ini Abu Hasan al-Asyari pun resmi keluar dari madzhab
Mu’tazilah dan kemudian Abu Hasan al-Asyari hijrah ke Bagdad, Irak dan mendirikan
madzab baru yang berdasarkan pada wahyu dan juga akal. Bukan hanya mengedepankan
salah satunya seperti madzhab Mu’tazilah yang lebih menggunakan rasio atau akal
dibanndingkan dengan wahyu atau kalamullah.

Secara lebih mendalam madzhab Asyariah bertumpu pada al-Quran dan al-Sunnah,
dalam mensitir ayat dan hadist yang hendak dijadikan argumentasi, kaum Asyariah bertahap
dalalam pemaknaannya dan biasanya mereka mengambil makna lahir dari nas (teks al-Quran
dan hadist), mereka berhati-hati dan tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas
tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bisa diambil dari makna lahirnya, tetapi
harus ditakwilkan untuk mengetahui pengertian yang dimaksud. Seperti yang sudah di
ungkapkan diatas bahwa kaum Asyariah tidak menolak akal, karena bagaimana mereka
menolak akal padahal Allah menganjurkan umat Islam untuk melakukan kajian rasional. Pada
prinsipnya kaum Asyariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti
Madzhab Mu’tazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal didalam
naql (teks agama).akal dan naql saling membutuhkan , naql bagaikan matahari sedangkan
akal laksana mata yang sehat. Dengan akal kita bisa meneguhkan naql dan membela agama.

B. Tokoh-Tokoh dalam Asyariah


Berikut adalah tokoh-tokoh penting dalam golongan Asyariah, diantaranya :
 Abu Hasan al-Asyari (260-330 H/ 874-936 M)
 Al-Ghozali (450-505 H/1050-1111 M)
 Al- Imam Fakhrurrazi (544-606 H/ 1150-1210)
 Abu Ishaq al-Isfirayini (w418 H/1027 M)
 Al-Qadi Abu Bakar al- Baqilani (328-402 H/ 950-1013 M)
 Abu Ishaq asy-Syirahi (293-476 H/ 1003-1083 M)

2
Santrinews.com, Abu Hasan al-Asyari, Imam Besar Aswaja.
C. Doktrin atau Pemikiran Asyariah
Madzhab Asyariah bertumpu pada al-Quran dan as-Sunnah. Mereka dengan teguh
berpegang pada al-ma’sur, (ittiba’ lebih bai dari pada ibtida’ (membuat bid’ah) ). Al-
Asyari mengatakan : “ Pendapat yang kami ketengahkan dan aqidah yang kami pegangi
sikap berpegang teguh kepada kitab Allah swt, sunnah Nabi-Nya dan apa yang
diriwayatkan para sahabat, Tabi’in dan Imam-imam hadits. Kami mendukung semua itu,
kami juga mendukung pendapat Imam Ahmad bin Hambal. Sebaiknya kami menjauhi
orang-orang yang menyalahi pendapatnya”. Pernyataan ini secara tidak langsung
menunjukan hubungan antara Imam Asyari dan Imam Ahmad bin Hambal. Berikuta
adalah beberapa pemikiran Imam Asyari yang dipengang dalam menjalankan madzhab
Asyariah :

1. Tuhan dan Sifat-Sifat Nya


Menurut Imam Asyariah allah swt mempunyai sifat, seperti al-ilm (mengetaahui),
al-Hayah (hidup), as-Sama’ (mendengar), dan al-Basar (melihat). Keempat sifat
tersebut termasuk kedalam 20 sifat jais yang harus dimiliki oleh Allah swt.
2. Tentang Kedudukan al-Quran
Al-Quran adalah fitman Allak swt atau kalamullah dan bukanlah makhluk dalam
arti baru (hadits) dan diciptakan. Dengan demikian, al-Quran bersifat (qadim).
Kedudukan al-Quran sendiri sebagai tumpuan utama sebelum as-Sunnah.
3. Tentang Melihat Allah di Akhirat
Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai sifat
wujud, jadi memungkinkan untuk dilihat. Tentang bagaimana cara melihatnya,
tidaklah seperti kita melihat saat di dunia, tentu hal ini tidak memungkinkan
bahkan mustahil untuk difikirkan. Pendapat Asyariah ini beerdasarkan pada
firman Allah swt dalam surah al-Qiyamah ayat 22-23. Yang artinya “Wajah-wajah
(orang-orang maukmin) pada hari itu berseri-seri, kepeda Tuhannyalah mereka
melihat”.
4. Tentang Kebebasan Manusia dalam Berkehendak
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan mementukan serta
mengaktualisasi perbuatannya.
5. Tentang Akal Wahyu, dan Kriteria Baik dan Buruk
Menurut Imam Asyari, Allah mempunyai mata, muka, dan tangan, sebagaimana
disebutkan dalam surah al-Qamar ayat 14 dan surah ar-Rahman ayat 27 akan
tetapi bagaimana bentuk Allah tidak dapat diketahui.
6. Tentang Dosa Besar
Orang mukmin yang berdosa besar masih dianggap mukmin selama ia masih
beriman kepada Allah swt dan Rsul-Nya. Tidak seperti aliran Khawarij yang
berpendapat seseorang dihukumi kafir apabila dia melakukan dosa besar
meskipun masih ada iman di hatinya.
7. Tentang Keadilan Allah
Allah adalah pencipta seluruh alam. Dia pemilik kehendak mutlak atas ciptaan-
Nya3.

3
Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kemunculan madzhab Asyariah tidaklah lepas dari pemikiran Abu Hasan al-Asyari, yaitu
seorang tokoh madzhab Mu’tazilah yang memutuskan keluar dari Mu’tazilah karena tidak
sepaham dengan ajaran/ doktrin Mu’tazilah yang lebih mengedepankan rasio atau akal.terdapat
beberapa tokoh hebat yang berasal dari madzhab Asyariah salah satunya Imam al-Ghozali seorang
ulama Fiqih, Hadits, dan juga kalam. Dalam ajarannya Asyariah menentang al-Quran sebagai
makhluk, dan lebih mendahulukan wahyu dibandingkan dengan akal, karena menurut mereka
wahyu dijadikan sebahai landasan utama sedangkan akal digunakan sebagai alat untuk
mengemukakan wahyu.

B. Daftar Pustaka
 Harun Nasution, Teologi Islam
 Nasihun Amin, Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam
 Santrinews.com , Abu Hasan Al-Asyari, Imam Besar Aswaja

Anda mungkin juga menyukai