ARDS
I. Konsep Penyakit
I.1 Definisi ARDS
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membrane
alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar
difus, dan akumulasi cairan dalam p arenkim paru yang mengandung protein.
ARDS adalah sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandungan
oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. (Brunner & Suddarth,
2001, hal : 615). ARDS adalah bentuk khusus gagal napas yang ditandai dengan
hipoksemia yang jelas dan tidak dapat diatasi dengan penanganan konvensional.
(Sylvia A. price. 2005. Hal: 835).
Bila PaO2 / FIO2 antara 200-300 mmHg, maka disebut Acute Lung Injury (ALI).
Konsensus juga mensyaratkan terdpatnya factor resiko terjadinya ALI dan tidak
adanya penyakit paru kronik yang bermakna.
1
I.2 Etiologi
ARDS dapat terjadi akibat cedera langsung kapiler paru atau alveolus. Namun, karena
kapiler dan alveolus berhubungan sangat erat, maka destruksi yang luas pada salah
satunya biasanya menyebabkan estraksi yang lain. Hal ini terjadi akibat pengeluaran
enzim-enzim litik oleh sel-sel yang mati, serta reaksi peradangan yang terjadi setelah
cedera dan kematian sel. Contoh-contoh kondisi yang mempengaruhi kapiler dan
alveolus disajikan di bawah ini.
Destruksi kapiler, apabila kerusakan berawal di membran kapiler, maka akan terjadi
pergerakan plasma dan sel darah merah ke ruang interstisium. Hal ini meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbon dioksida untuk berdifusi, sehingga
kecepatan pertukaran gas menurun. Cairan yang menumpuk di ruang interstisium
bergerak ke dalam alveolus, mengencerkan surfaktan dan meningkatkan tegangan
permukaan. Gaya yang diperlukan untuk mengembangkan alveolus menjadi sangat
meningkat. Peningkatan tegangan permukaan ditambah oleh edema dan
pembengkakan ruang interstisium dapat menyebabkan atelektasis kompresi yang luas.
Destruksi Alveolus apabila alveolus adalah tempat awal terjadinya kerusakan, maka
luas permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas berkurang sehingga kecepatan
pertukaran gas juga menurun. Penyebab kerusakan alveolus antara lain adalah
pneumonia, aspirasi, dan inhalasi asap. Toksisitas oksigen, yang timbul setelah 24-36
jam terapi oksigen tinggi, juga dapat menjadi penyebab kerusakan membran alveolus
melalui pembentukan radikal-radikal bebas oksigen.
Tanpa oksigen, jaringan vaskular dan paru mengalami hipoksia sehingga semakin
menyebabkan cedera dan kematian sel. Apabila alveolus dan kapiler telah rusak, maka
reaksi peradangan akan terpacu yang menyebabkan terjadinya edema dan
pembengkakan ruang interstitium serta kerusakan kapiler dan alveolus di sekitarnya.
Dalam 24 jam setelah awitan ARDS, terbentuk membran hialin di dalam alveolus.
Membran ini adalah pengendapan fibrin putih yang bertambah secara progesif dan
semakin mengurangi pertukaran gas. Akhirnya terjadi fibrosis menyebabkan alveolus
lenyap. Ventilasi, respirasi dan perfusi semuanya terganggu. Angka kematian akibat
ARDS adalah sekitar 50%. (Elisabeth J. Cowin, 2001, hal. 420-421)
2
Selain itu, adapun penyebab lain dari ARDS adalah :
1. Syok karena berbagai sebab ( terutama hemorragik,pancreatitis acut hemorragik,
sepsis gram negative )
2. Sepsis tanpa syok, dengan atau tanpa koagulasi intravascular diseminata (DIC ).
3. Pneumonia virus yang berat.
4. Trauma yang berat ( cedera kepala, cedera dada langsung, trauma pada berbagai
organ dengan syok hemorragik, fraktur majemuk dimana emboli lemak terjadi
berkaitan dengan fraktur femur )
5. Cedera aspirasi / inhalasi ( aspirasi isi lambung, hampir tenggelam, inhalasi asap,
inhalasi gas iritan ).
6. Toksik O2 overdosis narkotika.
7. Post perfusi pada pembedahan pintas kardiopulmonar.
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala
pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa
gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis
respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH).
Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip
dengan edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal.
Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan
penyakit sebab perubahan anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi
melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.
3
Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-
sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
I.4 Patofisiologi
ALI/ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskular.
Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua hal
tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam 3 fase yang dapat
dijumpai secara tumpang tindih : insiasi, amplifikasi, dan injury.
Pada fase insiasi, kondisi yang menjadi factor resiko akan menyebabkan sel-sel imun
dan non imun melepaskan mediator-mediator dan modulator-medulator inflamasi di
dalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil
teraktivasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam rongga target tersebut
mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara
langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut
fase injury.
4
2. Fase poliferatif paling cepat timbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai poliferasi
sel epitel pneumosit tipe II
3. Fase fibrosis : kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.
Sinar x dada: tak terlihat pada tahap awal atau dapat menyatakan sedikit normal,
infiltrasi jaringan parut lokasi terpusat pada region perihiliar paru. Pada tahap lanjut,
interstisial bilateral difus dan alveolar infiltrate menjadi bukti dan dapat melibatkan
semua lobus paru. Infiltrate ini sering digambarkan sebagai kaca-tanah atau whiteouts.
Ukuran jantung normal (berbeda dari edema paru kardiogenik).
Tes fungsi paru: komplain paru dan volume paru menurun, khususnya FCR.
Peningkatan ruang mati (Vd/Vt) dihasilkan oleh area dimana vasokontriksi dan
mikroemboli telah terjadi.
Pengukuran pirau (Qs/Qt): mengukur aliran darah pulmonal versus aliran darah
sistemik, yang memberikan ukuran klinis pirau intrapulmonal. Pirau kanan ke kiri
meningkat.
5
I.6 Komplikasi
Kegagalan pernapasan dapat timbul seiring dengan perkembangan penyakit dan
individu harus bekerja lebih kerja untuk mengatasi penurunan compliance paru.
Akhirnya individu kelelahan dan ventilasi melambat. Hal ini menimbulkan asidosis
respiratorik karena terjadi penimbunan karbon dioksida di dalam darah. Melambatnya
pernapasan dan penurunan PH arteri adalah indikasi akan datangnya kegagalan
pernapasan dan mungkin kematian.
Pneumonia dapat timbul setelah ARDS, karena adanya penimbunan cairan di paru dan
kurangnya ekspansi paru. Akibat hipoksia dapat terjadi gagal ginjal dan tukak saluran
cerna karena stress (stress ulcers). Dapat timbul koaguiasi intravaskular diseminata
akibat banyaknya jaringan yang rusak pada ARDS. (Elizabeth J. Cowin, 2001, hal.
422)
I.7 Pentalaksanaan
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena ARDS tidak pernah
merupakan penyakit primer tetapi timbul setelah penyakit lain yang parah. Apabila
ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah:
1. Diuretik untuk mengurangi beban cairan, dan obat-obat perangsang jantung untuk
meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume sekuncup agar penimbungan
cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan cairan dan obat-obat jantung digunakan
untuk mengurangi kemungkinan gagal jantung kanan.
2. Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan.
3. Kadang-kadang digunakan obat-obat anti-inflamasi untuk mengurangi efek
merusak dari proses peradangan, walaupun efektifitasnya masih dipertanyakan.
6
I.8 Pathway
7
Hal ini harus di ingat, karena sianosis merupakan tanda awal dan nyata dari
hipoksemia. Berdasarkan pada pemeriksaan auskultasi dada didapatkan bunyi
nafas. Ronkhi sekunder terhadap sekresi jalan nafas besar, tidak terjadi.
Pemeriksaan auskultasi jantung biasanya bunyi jantung normal tanpa gallop
atau murmur, kecuali bila ada penyakit jantung atau mengalami trauma.
8
b. Agitasi
c. Gemetar
d. mudah terangsang
e. perubahan mental.
5. Nutrisi dan cairan
Gejala :
a. Kehilangan selera makan
b. mual/muntah
Tanda :
a. Edema
b. Perubahan berat badan.
c. Berkurangnya bunyi usus.
6. Neurosensori
Gejala/tanda :
a. Adanya trauma kepala.
b. Mental lamban, disfungsi motor.
7. Pernapasan
Gejala :
a. Adanya aspirasi, inhalasi asap/gas, infeksi disfus paru.
b. Timbul tiba-tiba atau bertahap, kesulitan napas, lapar udara.
Tanda :
a. Pernapasan: cepat, mendengkur, dangkal.
b. Peningkatan kerja napas; penggunaan otot aksesori pernapasan, contoh
retraksi interkostal atau substernal, pelebaran nasal, memerlukan
oksigen konsentrasi tinggi.
c. Bunyi napas : pada awal normal. Krekels, ronki, dan dapat terjadi bunyi
napas bronchial.
d. Perkusi dada: bunyi pekak di atas area konsolidasi.
e. Ekspansi dada menurun atau tak sama.
f. Peningkatan fremitus (getar vibrasi pada dinding dada dengan
palpatasi).
g. Sputum sedikit, berbusa.
h. Pucat atau sianosis.
i. Penurunan mental, bingung.
9
8. Keamanan
Gejala :
Riwayat trauma ortopedik/fraktur, sepsis, transfuse darah, episode
anafilaktik.
9. Seksualitas
Gejala/tanda :
Kehamilan dengan adanya komplikasi eklampsia.
10
- Takipnea
2.2.3 Faktor yang berhubungan
- Ansietas
- Cedera medulla spinalis
- Deformitas dinding dada
- Deformitas tulang
- Disfungsi neuromuscular
- Gangguan musculoskeletal
- Gangguan neurologis (mis., elektroensofalogram [EEG] positif, trauma
kepala, gangguan kejang)
- Hiperventilasi
- Imaturitas neurologis
- Keletihan
- Keletihan otot pernapasan
- Nyeri
- Obesitas
- Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
- Sindrom hipoventilasi
11
- Pola pernapasan abnormal (mis., kecepatan, irama, kedalaman)
- Sakit kepala saat bangun
- Somnolen
- Takikardia
- Warna kulit abnormal (mis., pucat, kehitaman)
2.2.6 Faktor yang berhubungan
- Ketidak seimbangan ventilasi perfusi
- Perubahan membrane alveolar-kapiler
12
- Perubahan status mental
- Perubahan tekanan arteri pulmonal
- Refleks hepatojugularis positif
2.2.9 Faktor yang berhubungan
- Gangguan mekanisme regulasi
- Kelebihan asupan cairan
- Kelebihan asupan natrium
2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Pola nafas tidak efektif
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pasien
dapat mempertahankan pola pernapasan yang efektif, dengan kriteria hasil :
pasien menunjukkan :
- Frekuensi, irama dan kedalaman pernapasan normal (16-20 x/menit)
- Adanya penurunan dispneu
- Kepatenan jalan napas
2.3.2 Intervensi keperawatan dan rasional
a. Independen
1. Kaji frekuensi, kedalaman dan kualitas pernapasan serta pola
pernapasan.
Rasional : Takipneu adalah mekanisme kompensasi untuk hipoksemia
dan peningkatan usaha nafas
2. Kaji tanda vital dan tingkat kesadaran setiap jam.
Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien
3. Pantau dan catat gas-gas darah sesuai indikasi : kaji kecenderungan
kenaikan PaCO2 atau kecendurungan penurunan PaO2
Rasional : Mengetahui kecenderungan gagal nafas
4. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap 1 jam. Catat
ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti
crakles, dan wheezing.
Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan.
Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler.
Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada
jalan nafas
13
5. Pertahankan tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30
sampai 45 derajat
Rasional : untuk mengoptimalkan pernapasan
6. Berikan dorongan untuk batuk dan napas dalam, bantu pasien untuk
mebebat dada selama batuk
7. Instruksikan pasien untuk melakukan pernapasan diagpragma atau
bibir
b. Kolaboratif
1. Monitor pemberian trakeostomi bila PaCO2 50 mmHg atau PaO2 < 60
mmHg - Berikan bantuan ventilasi mekanik bila PaCO > 60 mmHg.
PaO2 dan PCO2 meningkat dengan frekuensi 5 mmHg/jam. PaO2
tidak dapat dipertahankan pada 60 mmHg atau lebih, atau pasien
memperlihatkan keletihan atau depresi mental atau sekresi menjadi
sulit untuk diatasi.
Rasional : Memaksimalkan pertukaran oksigen secara terus menerus
dengan tekanan yang sesuai
2. Berikan obat-obat jika ada indikasi seperti steroids, antibiotik,
bronchodilator dan ekspektorant
Rasional : Untuk mencegah kondisi lebih buruk pada gagal nafas
14
2. Catat ada tidaknya suara nafas dan adanya bunyi nafas tambahan seperti
crakles, dan wheezing
Rasional : Suara nafas mungkin tidak sama atau tidak ada ditemukan.
Crakles terjadi karena peningkatan cairan di permukaan jaringan yang
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membran alveoli – kapiler.
Wheezing terjadi karena bronchokontriksi atau adanya mukus pada jalan
nafas
3. Kaji adanya cyanosis
Rasional : Selalu berarti bila diberikan oksigen (desaturasi 5 gr dari Hb)
sebelum cyanosis muncul. Tanda cyanosis dapat dinilai pada mulut, bibir
yang indikasi adanya hipoksemia sistemik, cyanosis perifer seperti pada
kuku dan ekstremitas adalah vasokontriksi.
4. Observasi adanya somnolen, confusion, apatis, dan ketidakmampuan
beristirahat
Rasional : Hipoksemia dapat menyebabkan iritabilitas dari miokardium
5. Berikan istirahat yang cukup dan nyaman
Rasional : Menyimpan tenaga pasien, mengurangi penggunaan oksigen
15
3. Hitung intake, output dan balance cairan. Amati “insesible loss”
Rasional : Memberikan informasi tentang status cairan. Keseimbangan
cairan negatif merupakan indikasi terjadinya deficit cairan.
4. Timbang berat badan setiap hari
Rasional : Perubahan yang drastis merupakan tanda penurunan total body
water.
5. Berikan cairan IV dengan observasi ketat
Rasional : Mempertahankan/memperbaiki volume sirkulasi dan tekanan
osmotik. Meskipun cairan mengalami deficit, pemberian cairan IV dapat
meningkatkan kongesti paru yang dapat merusak fungsi respirasi
6. Monitor/berikan penggantian elektrolit sesuai indikasi
Rasional : Elektrolit khususnya pottasium dan sodium dapat berkurang
sebagai efek therapi deuritik.
16
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN JUDUL ARDS TELAH DI SETUJUI OLEH :
17