Anda di halaman 1dari 9

1.

PENDAHULUAN
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Caplak dan Klasifikasinya
Caplak adalah ektoparasit pengisap darah obligat pada vertebrata terutama mamalia,
burung dan reptil di seluruh dunia. Dilaporkan terdiri atas dua famili dari caplak, yaitu
Ixodidae (caplak keras) dan Argasidae (caplak lunak). Keduanya vektor penting bagi agen
patogen yang menyebabkan timbulnya berbagai agen pada manusia dan hewan di seluruh
dunia (Leliana dan Rizaisyah, 2015).
Menurut Ismanto dan Bina (2009), caplak (ticks) atau sengkenit, berdasarkan morfologi
tubuhnya bisa dibagi menjadi dua, yaitu caplak keras (hard ticks) dan caplak lunak (soft
ticks). Secara taksonomi caplak termasuk dalam:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Chelicerata
Class : Arachnida
Sub class : Acarina
Ordo : Parasitiformes
Sub ordo : Ixodida
Super family : Ixodoidea
Family : Ixodidae
Pada caplak lunak merupakan family Argasidae. Salah satu ciri utama yang membedakan
keduanya adalah scutum (lapisan kitin yang menebal dank eras) pada caplak keras stadium
dewasa, sedangkan pada caplak lunak tidak memiliki scutum (Ismanto dan Bina, 2009).
2.2 Fase Kehidupan Caplak
Siklus hidup yang dijalani caplak berupa telur-larva-nimfa-caplak dewasa. Caplak
dewasa setelah kawin akan menghisap darah sampai kenyang, lalu jatuh ke tanah dan
disinilah caplak bertelur. Larva yang baru menetas segera akan mencari inangnya dengan
pertolongan benda-benda sekitarnya serta bantuan alat olfaktoriusnya. Setelah mendapatkan
inangnya, caplak akan menghisap darah inang hingga kenyang (enggorged) lalu akan jatuh ke
tanah atau tetap tinggal pada tubuh inang tersebut dan segera berganti kulit (molting) menjadi
nimfa. Nimfa menghisap darah kembali, setelah kenyang akan jatuh ke tanah dan berganti
kulit menjadi caplak dewasa. Caplak betina setelah kenyang menghisap darah dapat
membesar sampai 20-30 kali ukuran semula. Satu siklus hidup berkisar antara 6 minggu
sampai tiga tahun. Caplak dewasa dapat bertelur sekitar 100-18.000 butir/caplak. Caplak
memerlukan ± 1 tahun untuk menyelesaikan satu siklus hidup di daerah tropis dan lebih dari
satu tahun di daerah lebih dingin (Suparmin, 2015).
2.3 5 Jenis Caplak Beserta Patogenesa dan Pengobatannya
2.3.1 Ixodes ricinus
Ixodes ricinus mengisap darah dan, kadang-kadang, infestasi berat yang dapat
menyebabkan anemia. Gigitan caplak dapat merusak inang di lokasi perlekatan yang
menyebabkan cedera lokal, yang dapat menyebabkan infeksi bakteri sekunder. Lesi yang
disebabkan selama makan dapat menyebabkan miasis (Taylor et al., 2016).
2.3.2 Ixodes hexagonus
Pada anjing dan kucing, dan wanita dewasa biasanya menempel di belakang telinga,
pada rahang, leher dan pangkal paha, menyebabkan dermatitis lokal dan risiko infeksi luka.
Caplak ini sering ditemukan bertanggung jawab ketika anjing berulang kali terinfeksi caplak,
khususnya di sekitar area kepala. Ini juga bisa menjadi hama yang lebih signifikan di tempat-
tempat di mana I. ricinus terdapat. Ixodes hexagonus adalah vektor biologis Borrelia spp. dan
ensefalitis tickborne (Taylor et al., 2016).
2.3.3 Dermacentor andersoni
Dermacentor andersoni yang tingkat infestasi tinggi dapat menyebabkan anemia.
Dermacentor andersoni dapat menyebabkan kelumpuhan, terutama pada anak sapi, dan
mungkin bertanggung jawab untuk transmisi anaplasmosis sapi, disebabkan oleh Anaplasma
marginale. Caplak ini juga mentransmisikan Colorado fever virus dan bakteri yang
menyebabkan tularaemia. Dermacentor andersoni adalah vektor utama dari Rickettsia
rickettsia di Amerika Serikat bagian barat (Taylor et al., 2016).
2.3.4 Dermacentor reticulatus
Dermacentor reticulatus adalah vektor untuk transmisi berbagai patogen. Ini sangat
penting sebagai ektoparasit ternak dan dapat ditemukan di punggung mereka pada awal
musim semi. Pada sapi merupakan vektor untuk Babesia divergens (redwater), B. ovis,
Theileria ovis, Coxiella burnetii (Q fever), Francisella tularensis (tularaemia), Brucella,
Rickettsia conorii dan Anaplasma ovis. Pada kuda itu adalah vektor dari Babesia caballi,
Theileria equi dan infeksius ensefalomielitis dari kuda. Pada anjing itu adalah vektor untuk
Babesia canis (Taylor et al., 2016).
2.3.5 Rhipicephalus appendiculatus
Caplak ini dianggap sebagai hama utama di daerah endemis. Infestasi yang parah pada
ternak dapat menyebabkan kerusakan parah telinga dan toksaemia. Darah berlebih
diekskresikan oleh caplak ini dapat menarik lalat yang mengarah ke myiasis sekunder. Gigitan
caplak dapat terinfeksi bakteri. Cairan saliva dan racun saliva bisa menghasilkan reaksi inang
seperti toksikosis. Infestasi berat dapat menyebabkan toksaemia fatal dan hilangnya resistensi
terhadap infeksi lain serta kerusakan parah pada telinga inang dan ekor. Rhipicephalus
appendiculatus adalah vektor dari East coast fever (Theileria parva), T. lawrencei, Nairobi
disease, Ehrlichia bovis, Hepatozoon canis, Rickettsia conorii dan Thogoto virus (Taylor et
al., 2016).
Pengobatannya adalah gigitan caplak harus dilepaskan dari tempat gigitannya dengan
hati-hati agar tidak ada bagian tubuh dari caplak, misalnya kepala, yang tertinggal di dalam
jaringan kulit di tempat gigitan. Untuk itu caplak dapat dilepaskan dengan menetesi tubuh
caplak dengan bahan-bahan kimia, misalnya kloroform, eter, iodium tincture atau benzene.
Pemberantasan caplak dilakukan dengan menggunakan isektisida yang sesuai. Hewan-hewan
yang sakit atau terinfeksi dengan parasit harus diobati dengan sempurna (Suparmin, 2015).
2.4 5 Jenis Pinjal Beserta Penyakit yang ditimbulkan dan Penanganannya
2.5 Fase Kehidupan Pinjal
Pinjal mengalami metamorfosis sempurna (holometabolous) yaitu telur, larva, pupa dan
dewasa. Pada kondisi ideal seluruh tahapan siklus tersebut bisa dicapai dalam waktu dua
sampai tiga minggu. Siklus dapat berkisar enam sampai 12 bulan. Panjang waktu siklus hidup
tergantung pada kondisi lingkungan, khususnya suhu dan kelembaban saat tahap larva dan
pupa. Pinjal betina bertelur tiga sampai 18 butir telur setiap harinya. Pinjal betina biasanya
bertelur di tubuh inang kemudian telur tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva akan
muncul setelah dua sampai 6 hari. Larva pinjal akan memakan sisa protein organik seperti
rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa. Larva hidup sesuai dengan tempat peristirahatan
seharihari inang definitifnya seperti sarang, tempat persembuyian di lantai, reruntuhan
gudang, padang-padang rumput dan tempat sampah. Larva akan mengalami dua sampai tiga
kali pergantian kulit instar menjadi pupa yang terbungkus kokon setelah 10 sampai 21 hari.
Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan, meskipun sedikit bergantung pada
kelembaban yang tinggi dibandingkan tahap sebelumnya. Setelah muncul kutikula pada
kokon, pinjal dewasa biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat rangsangan suhu atau
rangsangan lain yang disebabkan oleh inang. Pinjal yang sudah mendapatkan inang akan
mengisap darah inang sebelum melakukan perkawinan (Bashofi, 2013).
2.6 Siklus Hidup Tungau
Siklus hidup tungau mirip dengan pinjal, kecuali bahwa tungau dapat menjalani lebih dari
satu tahap nimfa. Tahap perkembangan tungau adalah tahap telur diikuti oleh tahaplarva
berkaki enam, tahap nimfa berkaki delapan, dan akhirnya tahap dewasa berkaki delapan
(Saphiro, 2011).
Tungau dan kutu adalah merupakan bagian dari Acarina, subkelas dari Kelas Arachnida.
Mayoritas klasifikasi membagi tungau dan kutu menjadi tiga subordo dan tujuh ordo.
Mayoritas Acarinae yang terkait dengan ruminansia kecil bersifat telur, bertelur di mana
embrio berada pada tahap awal perkembangan. Hingga empat tahap aktif (instar) terjadi
antara telur dan dewasa, bagian ini termasuk larva berkaki enam dan dua nimfa berleher
delapan (protonymph dan tritonymph) (Bates, 2012).
Siklus hidup dasar Acarinae telah dimodifikasi dengan berbagai cara. Sebagai contoh,
tritonymph tidak terjadi di Mesostigmatad dan hanya ada satu tahap nymphal dalam kutu
keras, sedangkan gen kutu lunak Argas dan Ornithodoros memiliki beberapa nimfa,
tergantung pada kualitas dan jumlah sebelumnya makan darah. Moulting berlangsung antara
masing-masing instar, berlangsung 12 -36 jam untuk tungau kudis domba (Psoroptes ovis)
(Bates, 2012).
2.7 3 Jenis Tungau (Morfologi, Patogenesa, Penyakit yang ditimbulkan dan Hewan
yang diserang)
2.7.1 Otodectes cynotis
Nama umum Otodectes cynotis adalah ear mite (Psoroptidae) yang merupakan kutu
yang menyerang hewan anjing dan kucing. Morfologi dengan ukuran dewasa 500-800
mikrometer. Siklus hidupnya berlangsung selama 18-21 hari. Penyakit yang ditimbulkan
adalah pruritus intens saluran telinga yang dapat diikuti oleh mutilasi diri, otitis media, dan
infeksi bakteri. Cara diagnosa tungau ini dengan melihat tungau pada pemeriksaan otoskopik
atau usap telinga. Tungau dapat dilihat di bawah mikroskop bedah atau ditempatkan pada
slide di bawah mikroskop (dewasa, nimfa, larva, dan telur). Tungau ini bersarang pada telinga
dan sesekali pada tubuh (Foreyt, 2001).

Gambar 2. Otodectes cynotis (Foreyt, 2001).


Otodectes cynotis sangat menular dan sangat lazim pada remaja. Patogenisis dari
Otodectes cynotis belum dijelaskan, namun hipersensitivitas mungkin terlibat dan pembawa
asimptomatik ada. Kadang-kadang infestasi ektopik terjadi ketika tungau menyebabkan
dermatitis lokal pada kulit terutama pada leher, pantat dan ekor (Wall dan Shearer, 2001).
2.7.2 Cheyletiella sp.
Nama umum tungau Cheyletiella sp. adalah tungau bulu yang menyerang hewan anjing
dan kucing. Tungau permukaan (Cheyletidae) terdapat pada beberapa hewan dengan nama C.
parasitavorax pada kelinci, C. yasgllri pada anjing, C. blakei pada kucing. Morfologi dengan
ukuran dewasa : 300-500 mikrometer. Siklus hidup adalah 18-21 hari. Penyakit yang
ditimbulkan alopecia ringan dan pruritus, namun banyak hewan tanpa gejala, serta dapat
menyebabkan dermatitis pada manusia. cara diagnosa adalah dengan mengikis kulit
superfisial, pemeriksaan visual dekat bulu rambut, menyikat binatang dengan kasar, dan
memeriksa bulu (Foreyt, 2001).

Gambar 3. Cheyletiella sp. (Foreyt, 2001).


Cheyletiella sangat banyak menyerang anjing dan kucing. Patogenesa dari tungau ini
menyebabkan scaling, kering atau berminyak, terjadi pada punggung dan kepala bersama
dengan ruam papular dalam beberapa kasus. Pembawa asimptomatik terjadi dan hewan in-
contact apa pun harus diperiksa untuk tungau dan diobati jika perlu (Wall dan Shearer, 2001).
2.7.3 Sarcoptes scabiei
Kudis sarcoptic disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang menyerang hewan
ternak di seluruh dunia. Sarcoptes scabiei merupakan penyebab penyakit dermatosis pruritus
dengan papula, kerak, eksoriasi, alopesia sekunder, dan likenifikasi. Tungau betina menggali
lubang di stratum korneum epidermis yang sejajar dengan permukaan dan menyimpan telur
dan kotoran di dalam lubang. Patogenesis lesi kulit diduga melibatkan reaksi kulit bawaan dan
reaksi hipersensitivitas, kemungkinan besar antigen tinja. Lesi cenderung terjadi pada wajah,
leher, bahu dan di pantat. Diagnosis ditegaskan dengan mengidentifikasi tungau, telur dan
pelet tinja pada kerokan kulit (Wall dan Shearer, 2001).

Gambar 4. Sarcoptes scabiei (Foreyt, 2001).


Morfologi ukuran dewasa adalah 400-600 mikrometer dengan larva (6 kaki) dan nimfa
(8 kaki) lebih kecil. Diagnosisnya adalah mengikis kulit dalam pada pinggiran lesi hewan
orang dewasa, nimfa, larva (6 kaki), dan telur. Pedikel pada kaki panjang tanpa sambungan.
Sarcoptes seringkali sulit didiagnosis. Tungau adalah tungau yang membajak kulit (Foreyt,
2001).
2.8 5 Jenis Kutu pada Hewan, Penyakit yang ditimbulkan dan Penanganannya
2.8.1 Goniocotes gallinae
Nama umum adalah kutu penggigit (Insecta-Mallophaga). Merupakan spesies kutu
yang menggigit pada burung, namun kutu yang menghisap tidak ada. Ukuran dewasa: 2-4
mm. Penyakit yang ditimbulkan adalah menyebabkan Iritan dan mungkin melemahkan.
Diagnosa dengan cara pemeriksaan kulit dan bulu. Pengobatan atau penanganan yang
dilakukan adalah Carbaryl, semprotan roost Coumaphos, semprotan roost Malathion, bulu
dan debu serasah (unggas) Pyrethrin, debu bulu Cnemidocoptes (Foreyt, 2001).
2.8.2 Bovicola
Bovicola ada sejumlah spesies kutu pada inang spesifik yang serupa secara morfologis,
bovicola adalah parasit yang menyerang hewan ternak, yang mana terdapat Bovicola ovis
pada domba dan Bovicola bovis pada ternak. selain itu, terdapat pula juga Bovicola equi untuk
kuda dan Bovicola caprae untuk kambing (Wall dan Shearer, 2001).
Menyebabkan penyakit iritasi dan penurunan berat badan, dengan gejala terus-menerus
menggaruk, menjilat, dan menggigit daerah yang terkena. Paling umum menyerang di musim
gugur dan musim dingin. Pada sapi biasanya di leher, Sandung lamur, kepala, dan di antara
kedua kaki. Diagnosis kutu ini dengan pemeriksaan kulit dan rambut untuk telur, nimfa, dan
kutu dewasa. Pengobatan yang dilakukan biasanya dengan pencelupan atau semprotan
tekanan tinggi Coumaphos bubuk pembasah 2,5% pada 0,06%, Diazinon bubuk pembasah
50% pada 0.03%, Cypermethrin 2,5% tuangkan pada Ivermectin 0,2 mg/kg SC, Eprinomectin
0,5 mg/kg tuangkan Moxidectin 0,5 mg/kg tuangkan pada semua hewan dan harus
diperlakukan secara rutin (Foreyt, 2001).
2.8.3 Haematopinus suis
Haematopinus sp. menjadi parasit dengan mengambil makanan darah kecil tapi sering.
Setiap kali mereka makan, mereka menusuk kulit di tempat yang berbeda. Haematopinus suis
adalah satu-satunya spesies kutu yang ditemukan pada babi dan sangat umum. Infestasi ringan
hanya menyebabkan iritasi ringan. pediculosis pada babi menyebabkan cedera yang diderita
sendiri pada kulit dan rambut mereka seperti eksoriasi, luka dan terjadi penebalan, akibat
garukan dan gesekan. Dalam kasus yang paling parah, babi dapat menggosok sebagian besar
rambut dari tubuh mereka dan, jika terdapat pada anak babi, infestasi H. suis dapat menunda
pertumbuhan. Transfer biasanya melalui kontak, tetapi H. suis dapat bertahan hingga 3 hari
dari tuan rumahnya. Kutu ini dapat dibasmi oleh sebagian besar organofosfat tradisional
(coumaphos, chlorfenvinphos, diazinon, dioxathion, fenchlorvos, malathion, phosmet,
stirofos, trichlorfon.mIvermectin dan moxidectin sistemik juga efektif dalam pengobatan
pediculosis babi dan telah menjadi bentuk standar perawatan di banyak negara. (Wall dan
Shearer, 2001).
2.8.4 Haematopinus asini
Pada kuda, H. asini paling sering ditemukan di kepala, leher, punggung dan permukaan
bagian dalam kaki bagian atas. Gejala-gejalanya termasuk ketombe berat dan kulit berminyak
dan akhirnya bintik-bintik botak dengan pusat-pusat merah mentah. Infestasi ringan mungkin
asimtomatik tetapi, jika ada dalam jumlah yang cukup, mereka diketahui menyebabkan
anemia, penurunan berat badan dan hilangnya vitalitas dan nafsu makan. Perawatan topikal
menggunakan organofosfat (coumaphos, malathion, methoxychlor), organochlorine g-BHC
atau kapur belerang yang dioleskan dua kali, 2 minggu terpisah, efektif. (Wall dan Shearer,
2001).
2.8.5 Trichodectes canis
T. canis dapat menjadi ektoparasit berbahaya pada anjing, terutama pada anak anjing
dan anjing tua atau lemah. Paling sering ditemukan di kepala, leher, dan ekor yang menempel
di pangkal rambut. Kutu ini memakan puing-puing jaringan. Kutu ini adalah spesies yang
sangat aktif dan infestasi menghasilkan iritasi hebat di sekitar lokasi predileksi. Kutu sering
berkumpul di sekitar lubang atau luka tubuh, mencari kelembaban. Pruritus yang intens,
menggaruk, menggigit, sulit tidur, gugup, dan rambut kusut adalah tipikal dari infestasi T.
canis. Kerusakan pada kulit akibat goresan menyebabkan peradangan, eksoriasi, alopesia, dan
keterlibatan bakteri sekunder. Trichodectes canis juga dapat bertindak sebagai inang perantara
dari cacing pita Dipylidium caninum. Kutu dapat hidup selama 3 hingga 7 hari jika
dihilangkan dari host dan, oleh karena itu, dapat ditransfer melalui sisir dan sikat bersama
serta melalui kontak langsung (Wall dan Shearer, 2001).
Ada banyak insektisida yang dapat digunakan untuk membasmi kutu. Perawatan harus
cukup lama, dan semua anjing dalam rumah tangga harus dirawat pada waktu yang sama.
Tempat tidur anjing dan tempat-tempat lain di mana ia menghabiskan banyak waktu harus
dibersihkan secara mekanis (Saari et al., 2019).
2.9 Pengawetan Basah
Pengambilan spesimen kutu dilakukan menggunakan kuas yang telah dicelupkan ke
dalam alkohol 70%. Kuas beralkohol ini digunakan untuk membuat kutu tidak bergerak
(pingsan) sehingga memudahkan dalam proses pengambilan kutu. Kutu yang diperoleh
kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi alkohol 70% (Setiawati, 2014).
Kutu hasil koleksi dimasukkan ke dalam KOH 10% dalam tabung reaksi dan dipanaskan
dengan suhu kurang lebih 60 °C. Tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan air selama
3–4 kali pembilasan. Bagian abdomen yang masih menggembung ditusuk dengan jarum halus
dan ditekan secara perlahan dengan ujung jarum yang dibengkokkan untuk membersihkan isi
abdomen yang masih tersisa (Setiawati, 2014).
Tahap dehidratasi dengan alkohol bertingkat dimulai dari 70%, 80%, 90%, 96% dan
masing-masing dilakukan selama 10 menit. Tahap penjernihan dilakukan dengan cara
merendam spesimen ke dalam minyak cengkeh selama 15–30 menit. Spesimen dicuci dengan
xylol secara berulang untuk menghilangkan kabut. Spesimen kutu yang telah siap untuk
diletakkan pada gelas objek, diatur letaknya lalu ditetesi canada balsam, dan ditutup dengan
gelas penutup yang telah diolesi xylol. Spesimen tersebut kemudian disimpan ke dalam
autoclave selama 2-3 hari sampai kering. Preparat kaca yang telah kering kemudian diberi
lapisan kuteks di sekitar gelas penutup, sedangkan pada gelas objek diberi label (Setiawati,
2014).
3. MATERI DAN METODE
3.1 Materi
Praktikum ini dilakukan di Klinik Hewan Pendidikan Unhas. Alat yang digunakan pada
praktikum kali ini adalah tabung tahan panas, slide, cover glass, object glass dan mikroskop.
adapun bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah larutan KOH 10%, alkohol
dengan konsentrasi berturut-turut 30%, 50%, 70%, 95% dan 96%, canada balsam serta hewan
yang digunakan adalah pinjal dan kutu.
3.2 Metode
Preservasi ektoparasit seperti pinjal dan kutu sebagai sediaan preparat kaca menggunakan
metode pengawetan basa. Tahap pertama yaitu tahap clearing, dimana pinjal atau kutu yang
telah diperoleh dimasukan ke dalam KOH 10% pada suhu kamar selama 1-10 jam atau
dipanaskan pada air yang mendidih selama 30-60 menit untuk menipiskan lapisan khitin.
Pengeringan pinjal dan kutu dilakukan dengan dehidratasi ke dalam alkohol dengan
konsentrasi bertingkat, yaitu 30%, 50%, 95% dan 96% masing-masing selama 5 menit. Pinjal
dan kutu yang telah jernih direndam dalam xylol untuk mengeringkan sisa-sisa alkohol
selama 1 menit.
Tahapan selanjutnya adalah tahap mounting, dimana pinjal dan kutu yang telah diproses
diletakkan di atas gelas objek yang sebelumnya telah diberi satu sampai dua tetes Canada
balsam sebagai mounting. Object glass ditutup dengan cover glass. Identifikasi pinjal
dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 40-100x diberi label.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambar dan Hasil Praktikum

Gambar 5. Tahap Clearing (Laboratorium Ektoparasit PSKH FK-UH, 2019)

Gambar 6. Tahap Dehidratasi (Laboratorium Ektoparasit PSKH FK-UH, 2019)

Gambar 7. Tahap Mounting (Laboratorium Ektoparasit PSKH FK-UH, 2019)

Gambar 8. Mengidentifikasi ektoparasit dibawah mikroskop (Laboratorium Ektoparasit


PSKH FK-UH, 2019)
Gambar 9. Ctenocephalides felis (Laboratorium Ektoparasit PSKH FK-UH, 2019)

Gambar 10. Trichodectes canis (Laboratorium Ektoparasit PSKH FK-UH, 2019)


4.2 Pembahasan
4.2.1 Pinjal
Setelah preparat pinjal diamati dibawah mikroskop, dapat kita ketahui bahwa pinjal
yang diamati adalah pinjal kucing atau Ctenocephalides felis berdasarkan morfologi yang
diamati dimana pada pinjal kucing mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil, mempunyai
kepala yang cukup memanjang kedepan dan mempunyai kaki lompat yang agak berambut.

Gambar 11. Ctenocephalides felis (Saari et al., 2019).


Hal ini sudah sesuai dengan teori bahwa morfologi dari Ctenocephalides felis adalah
font kepala yang miring dan memanjang adalah ciri khas kutu kucing adalah pada betina
mempunyai kepala dua kali lebih panjang dan runcing ke depan. Pada jantan C. felis kepala
sepanjang lebar tetapi juga sedikit memanjang anterior. Pinjal dewasa cukup kecil, betina
biasanya 2,5mm panjang, sedangkan jantan sedikit lebih kecil, kadang-kadang kurang dari
1mm. Mempunyai memiliki warna coklat / hitam (Wall dan Shearer, 2001).
4.2.2 Kutu
Dari hasil pengamatan dibawah mikroskop, dapat kita identifikasi bahwa kutu ini adalah
Trichodectes canis berdasarkan morfologi yang telah diamati dimana kutu ini mempunyai
bentuk kepala seperti trapezium, mempunyai 3 pasang kaki yang diujung mempunyai 2 cakar,
serta mempunyai tubuh yang bersegmen-segmen.

Gambar 12. Heterodoxus spinigera (Kristianty et al., 2018).


Hal ini sudah sesuai dengan teori bahwa, Heterodoxus spinigera adalah kutu kutu besar
berwarna kekuningan, ukutran kutu dewasa sekitar 5mm, dengan penutup sete yang tebal. Ia
dapat dengan mudah dibedakan dari kutu lain yang menginfestasi mamalia domestic seperti
anjing, karena tarsi berakhir dalam dua cakar (Wall dan Shearer, 2001).

Anda mungkin juga menyukai