Anda di halaman 1dari 45

HUKUM ADAT SEBAGAI PERWUJUDAN KEARIFAN LOKAL DAN PEKERJAAN

RUMAH DALAM PENGEMBANGAN ILMU HUKUM ADAT1


Oleh:
Dr. I Ketut Sudantra,SH.MH.2
sudantra01@yahoo.co.id;
WA: 081239070767

PENDAHULUAN

Topik seminar yang diselenggarakan oleh Jurusan Dharma Sastra STAHN-TP kali
ini adalah ”Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Hukum Adat”. Topik ini menarik dan sangat
relevan untuk dibahas, sebab akan dapat mengangkat ”mutiara-mutiara” lokal yang tak
ternilai harganya, berupa kebijaksanaan yang dilandasi nilai-nilai kebaikan yang dipercaya
dan diyakini serta diimplementasikan oleh suatu masyarakat tertentu dalam melakoni
kehidupannya. Mutiara-mutiara ini terbentuk dari nilai-nilai luhur yang berlaku dalam
suatu masyarakat tertentu yang teruji dan terbukti keunggulannya dalam perkembangan
masyarakat yang bersangkutan, sehingga menjadi ciri khas dalam kebudayaan
masyarakatnya. Topik ini menjadi semakin relevan untuk dibahas, terutama jika dikaitkan
dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang dilanda arus globalisasi yang sangat
deras. Globalisasi sebagai integrasi global yang terjadi karena pertukaran aspek-aspek
kebudayaan, seperti ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, produk, dan
sebagainya; menyebabkan meningkatnya interaksi budaya antar bangsa sehingga dapat
mempengaruhi eksistensi nilai-nilai budaya lokal. Pengaruhnya bisa positif atau bisa
negatif. Kita maklum, dewasa ini kita dengan mudah dapat mengetahui dan menilai
budaya-budaya daerah lain sebagai akibat kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan
transportasi. Orang Bali hanya dalam perjalanan beberapa jam sudah bisa menjumpai

1
Makalah disampaikan dalam Seminar Regional dengan tema: Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam
Hukum Adat, yang diselenggarakan oleh Jurusan Dharma Sastra Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri
Tampung Penyang (STAHN-TP) Palangkaraya, 17 Oktober 2017
2
Penulis adalah dosen hukum adat pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
dan bertukar pikiran dengan orang Dayak di Kalimantan Tengah. Untuk bertukar pikiran
dan gagasan, orang-orang dimanapun berada dimuka bumi ini, tidak perlu lagi harus
bertemu tatap muka untuk berdiskusi, berseminar dan lain-lain karena teknologi
menyediakan kemudahan-kemudahan untuk itu. Melalui televisi, handphone, dan
sebagainya, nilai-nilai budaya luar dengan mudah masuk dan mungkin merasuk ke dalam
suatu masyarakat, bahkan ke tengah-tengah ruang privat suatu keluarga, seperti ruang
keluarga, ruang makan, bahkan kamar tidur. Tak pelak, cepat atau lambat, situasi itu
dapat mempengaruhi nilai-nilai budaya suatu masyarakat, termasuk nilai-nilai kearifan
lokal yang selama ini dipercaya keunggulannya dan senantiasa dipertahankan oleh
masyarakat yang bersangkutan.
Nilai-nilai kearifan lokal tersebut, antara lain terwujud dalam norma-norma hukum
adat yang digunakan oleh masyarakat untuk mewujudkan ketertiban dan kedamaian
dalam pergaulan hidupnya. Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah
eksistensi hukum adat dalam sistem hukum nasional serta perkembangan ilmu hukum
adat di Indonesia. Untuk sampai pada pembahasan itu, tentu saja harus dipahami terlebih
dahulu hakikat hukum adat itu sendiri, baik pengertiannya, bentuknya, unsur-unsurnya
serta karakternya.

PENGERTIAN HUKUM ADAT

Untuk menjawab pertanyaan: apa itu hukum adat, mungkin berbagai difinisi dapat
dideretkan di sini. Tapi itu tidak penting, karena yang lebih penting adalah pemahaman
terhadap hukum adat itu sendiri. Dilihat dari peristilahannya, ”hukum adat” berasal dari
dua kata ”hukum” dan ”adat”, sehingga mudah dipahami bahwa hukum adat itu
berhubungan erat dengan adat kebiasaan, yaitu tingkah laku dalam masyarakat yang
dilakukan secara berulang-ulang, dirasa patut untuk diikuti dan bersifat ajeg. Hukum adat
bersumber dari adat kebiasaan ini. Apakah semua adat kebiasaan itu hukum adat? Tentu
saja tidak. Soekanto mendifinisikan hukum adat itu sebagai ”kompleks adat-adat yang
tidak dikitabkan, tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, jadi mempunyai akibat hukum”3.
Dengan demikian, kreteria yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi hukum adat
diantara adat kebiasaan yang berlangsung di masyarakat adalah ada atau tidak adanya
akibat hukum. Wujud akibat hukum itu ada tiga: (1) lahirnya, berubahnya, atau hapusnya

3
Soleman Biasane Taneko, 1981, Dasar-dasarHukum Adat & Ilmu Hukum Adat, Alumni, Bandung,
h.20
suatu keadaan hukum; (2) lahirnya, berubahnya atau hapusnya suatu hubungan hukum;
dan (3) sanksi. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa adat kebiasaan meliputi dua
aspek, yaitu aspek adat yang bersifat hukum yang disebut hukum adat; dan aspek adat
yang tidak bersifat hukum yang disebut adat-istiadat.
Untuk memahami bentuk dan unsur-unsur hukum adat, kiranya cukup
representatif dipinjam difinisi hukum adat yang disepakati oleh para ahli dalam Seminar
Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta Tahun 1975. Dalam
kesimpulan hasil seminar tersebut dinyatakan bahwa hukum adat adalah ”…hukum
Indonesia asli, yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia, yang di sana-sini mengandung unsur agama”4..
Dari rumusan tersebut, dapat dipahami bahwa hukum adat dapat dikwalifikasikan
ke dalam bentuk hukum tidak tertulis, dalam pengertian sebagai hukum yang tidak
tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Pemahaman
mengenai bentuk hukum adat yang tidak tertulis sudah dikemukakan oleh para peneliti
hukum adat jauh sebelum seminar ini dilakukan. Pada jaman kolonial Belanda, Cornelis
van Vollenhoven yang dikenal sebagai Bapak Hukum Adat dalam bukunya yang terkenal
“Het Adatrecht van Nederland Indie” telah menulis bahwa hukum adat adalah hukum
yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia
Belanda atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi sendinya5. Kemudian, pada masa
kemerdekaan, seperti dikutip oleh Djaren Saragih, Soepomo juga mengemukakan bahwa
hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif
(unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan
oleh yang berwajib, toh dihormati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan
bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum6
Dengan mengkwalifikasikan hukum adat ke dalam bentuk hukum tidak tertulis,
bukan berarti semua norma-norma hukum adat tidak ada yang dituangkan dalam wujud
tulisan. van Vollenhoven sendiri dalam bukunya yang berjudul “Orientatie in het adatrevht
van Nederlandsch-Indie”, mengakui adanya hukum adat dalam wujud yang tertulis.
Beliau, misalnya, menunjuk contoh: peraturan-peraturan desa di Bali yang disebut awig-
awig7. Pernyataan van Vollenhoven mengenai awig-awig sebagai contoh hukum adat

4
BPHN, 1976, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, h. 250.
5
Soleman Biasane Taneko, op.cit., h. 23.
6
Djaren Saragih, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Edisi II, Penerbit Tarsito, Bandung, h. 13.
7
C. van Vollenhoven, 1981, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, terjemahan Koninklijk Instituut
voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penerbit
Djambatan bekerjasama Inkultra Foundation Inc, Jakarta, h. 101-124.
yang tertulis sesuai dengan kenyataan yang kini berlangsung di Bali, sebab hampir semua
desa adat di Bali sekarang ini mempunyai awig-awig dalam bentuk yang tertulis dengan
sistematika yang baku8. Dengan pemahaman demikian maka pernyataan bahwa hukum
adat sebagai hukum yang tidak tertulis harus diletakkan dalam makna bahwa hukum adat
itu tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Jadi,
penyebutan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis semata-mata untuk membedakan
hukum adat dengan ”hukum tertulis” yang mempunyai konotasi sebagai hukum negara
yang berbentuk peraturan perundang-undangan (statuter).
Dari rumusan pengertian hukum adat dalam Seminar Yogyakarta (1975) di atas
dapat pula diketahui unsur-unsur hukum adat sekaligus dapat dipahami relasi antara
hukum adat dengan hukum agama. Difinisi di atas menyebutkan dua unsur pembentuk
hukum adat, yaitu: (1) unsur hukum asli orang Indonesia; dan (2) unsur agama. Soleman
B. Taneko pernah membuat skema yang menunjukkan bahwa bagian terbesar dari unsur
hukum adat itu adalah hukum asli, sedangkan unsur agama hanyalah bagian kecilnya
saja9. Frasa yang digunakan dalam difinisi hukum adat menurut Seminar Yogyakarta
adalah hanya ”disana-sini dipengaruhi oleh unsur agama”.
Pengaruh agama ke dalam hukum adat memang tidak dapat diabaikan, namun
untuk mengatakan bahwa hukum adat itu identik dengan hukum agama juga bukan
pandangan yang tepat. Sesungguhnya, pandangan mengenai adanya pengaruh unsur-
unsur agama dalam hukum adat bukanlah hal baru. Cornelis van Vollenhoven telah lama
menyatakan bahwa: pada awalnya di kepulauan Indonesia ini hanya ada hukum yang asli
dari orang-orang Melayu-Polinesia. Kemudian, ketika agama-agama besar masuk ke
Indonesia, Hindu abad ke delapan dan Islam abad keempatbelas, kemudian agama-
agama itu menambahkan bahan-bahan dari luar pada hukum Melayu Polinesia10.
Dari sejarah penggunaan istilah, dapat juga dilihat bagaimana perkembangan
pandangan mengenai relasi antara hukum adat dan hukum agama. Pada masa kolonial
Belanda, pada awalnya pemerintah memandang hukum yang berlaku bagi golongan
penduduk pribumi adalah hukum agama yang dianutnya, sehingga Pemerintah Hindia
Belanda dalam Pasal 75 ayat (3) R.R. (Reglement op de belieid der regering van
Nederland Indie) (Staatsblad Tahun 1854 No. 129) menyebut hukum pribumi itu dengan
sebutan: godsdienstiege wetten, volksinstellingen en gebruiken (undang-undang agama,

8
I Ketut Sudantra, Wayan P. Windia dan Putu Dyatmikawati, 2011, Penuntun Penyuratan Awig-awig,
Udayana University Press, h. 19-20.
9
Soleman B. Taneko, 1987, Hukum Adat suatu pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang, PT
Ererco, Bandung, h. 11.
10
C. van Vollenhoven, op.cit., h. 3.
lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan). Penyebutan demikian dipengaruhi oleh
kuatnya pengaruh teori receptio in complexu. Teori yang diperkenalkan oleh C.F. Winter
dan Salomon Keyzer dan kemudian diikuti oleh L.W.C. van den Berg itu pada prinsipnya
mengemukakan bahwa adat istiadat dan hukum suatu masyarakat adalah resepsi
seluruhnya dari agama yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan
teori ini, sepanjang tidak dibuktikan sebaliknya, hukum yang berlaku bagi golongan
pribumi tidaklah dibentuk oleh hukum asli (inheems volksrecht) melainkan oleh hukum
agamanya, karena dengan masuknya seseorang ke dalam suatu agama, ia menerima
sepenuhnya dan tunduk pada hukum agamanya yang bersangkutan.
Pengadopsian teori reception in complexu ke dalam R.R. kemudian mendapat
kritikan dari Piepers yang menyatakan bahwa dasar dari berlakunya hukum untuk orang
Indonesia (pribumi) adalah adatnya (grondtoon van het recht is de adat). Sedangkan
hukum agama, sepanjang telah diresepsi, merupakan pengecualian. Tidak diketahui
pengaruh pendapat Piepers ini terhadap perumusan kebijakan pemerintah kolonial, tetapi
yang pasti kemudian terjadi perubahan redaksi Pasal 75 RR melalui Staatsblad Tahun
1906 (berlaku di Indonesia melalui Staatsblaad Tahun 1907 No 204). Berbeda dengan
Pasal 75 RR lama yang menonjolkan hukum agama (undang-undang agama) sebagai
hukum yang berlaku bagi golongan pribumi, Pasal 75 RR baru tidak tampak penonjolan
hukum agama. Rumusan “hukum agama, lembaga-lembaga dan kebiasan-kebiasaan”
yang disebutkan dalam Pasal 75 RR lama berubah dalam Pasal 75 RR baru menjadi
“peraturan hukum yang berhubungan dengan agama dan kebiasaan-kebiasaan”11
Perkembangannya kemudian, muncul teori baru berkaitan dengan relasi hukum
adat dengan agama, yaitu teori resepsi (receptie), yang dikembangkan oleh Snuouck
Hurgronje, C. van Vollenhoven dan Ter Haar, sebagai kritik terhadap teori reseptio in
complexu. Pada intinya teori resepsi menyatakan bahwa hukum yang hidup dan berlaku
bagi rakyat Indonesia –terlepas dari agama yang dianutnya– adalah hukum adat.
Sedangkan hukum agama dituruti sepanjang hukum agama telah diresepsi oleh hukum
adat setempat12. Dengan demikian, berdasarkan teori resepsi ini, yang berlaku bagi
masyarakat Indonesia adalah hukum adat sedangkan agama hanya memberi pengaruh
terhadap hukum adat. Sebagaimana dikutip oleh Soleman B. Taneko, Snouck Hurgronye
berpendapat bahwa agama memberi pengaruh hanya pada bagian-bagian kehidupan
manusia yang bersifat mesra dan yang erat hubungannya dengan kepercayaan dan

11
H.R. Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonsptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung, h. 77.
12
Ibid., h. 78.
kehidupan batin. Bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinan, dan
hukum waris. Pendapat Snouck Hurgronye ini dikoreksi lagi oleh Ter Haar, yang
menunjuk Minangkabau sebagai contoh, di mana hukum waris tidak dipengaruhi oleh
Islam, tetapi hukum adat yang asli13. Munculnya teori baru ini kemudian mempengaruhi
pembentuk undang-undang Hindia Belanda, sehingga tidak lagi menyebut hukum yang
berlaku bagi masyarakat pribumi dengan sebutan hukum agama (godsdienstiege wetten)
dalam peraturan perundang-undangannya, melainkan disebut dengan istilah adatrecht
(hukum adat). Hal ini terjadi ketika R.R diganti dengan I.S. (Indische Staatsregeling)
melalui penbgundangan Staatsblad Tahun 1925 No 415, 416, dan 447, dimana dalam
Pasal 131 I.S. (pengganti Pasal 75 R.R.) dengan tegas disebutkan bahwa hukum yang
berlaku bagi penduduk pribumi adalah hukum adat (adatrecht)14

KARAKTER HUKUM ADAT

Hukum adat adalah hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat15,
sehingga di samping sifatnya yang tradisional karena diwariskan secara turun temurun
dari nenek moyang, hukum adat juga mempunyai sifat yang dinamis dan fleksibel, dapat
berubah dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri16 . Dengan begitu, di satu
sisi hukum adat mampu melestarikan keunggulan-keunggulan nilai-nilai hukum yang
diwariskan oleh nenek moyang, namun juga senantiasa bersifat responsif terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi disekelilingnya. Pernyataan mengenai sifat hukum
adat yang dinamis itu sesungguhnya bukanlah pernyataan yang baru, sebab sebagaimana
dikutip oleh Satjipto Rahardjo, C. van Vollenhoven sendiri menyatakan bahwa hukum adat
adalah suatu fenomena dalam kehidupan masyarakat yang senantiasa bergerak, yang
senantiasa berada dalam proses berhubungan timbal balik, proses dorong mendorong,
dengan fenomena lain dalam masyarakat. Pengertian demikian, jelas mengarah pada
pengertian tentang hukum sebagai suatu kenyataan yang hidup, dapat berubah (dinamis)
dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan jaman (fleksibel)
Di samping sifat-sifat di atas, hukum adat juga mempunyai karakter-karakter
khusus yang dipengaruhi oleh corak masyarakat pendukungnya, yaitu, magis religius

13
Soleman B. Taneko, op.cit., h. 12.
H.R. Otje Salman Soemadiningrat, op.cit., h. 79
14
15
Satjipto Rahardjo, 1976, “Pengertian Hukum Adat, Hukum Yang Hidup dalam Masyarakat (Living
Law) dan Hukum Nasional”, dalam BPHN, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, ,
h. 25..
16
R. Van Dijk, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur Bandung, h. 10
(magisch-religieus), komunal (commun), kongkret dan kontan (kontante handeling)17.
Sifat magis religius adalah suatu pola pikir yang didasarkan pada religiusitas, yakni
keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral. Sifat ini sudah
dianut oleh masyarakat Indonesia sebelum masyarakat adat bersentuhan dengan sistem
agama, yang diwujudkan dalam cara berpikir yang prelogika, animistis dan kepercayaan
pada alam gaib yang menghuni suatu benda. Setelah masyarakat Indonesia bersentuhan
dengan agama, perasaan religius itu juga diwujudkan dalam bentuk kepercayaan kepada
Tuhan18.
Mengenai sifat kebersaman, Soepomo menggambarkannya dengan sangat jelas
dalam kalimat sebagai berikut:
Di dalam hukum adat yang primer bukanlah individu, melainkan masyarakat. Masyarakat
berdiri di tengah-tengah kehidupan hukum. Individu-individu terutama dianggap sebagai
suatu anggota masyarakat, suatu mahluk yang hidup pertama untuk mencapai tujuan-tujuan
masyarakat. Karena itu menurut tanggapan hukum adat, kehidupan individu ialah kehidupan
yang terutama diuntukkan buat mengabdi kepada masyarakatnya 19.

Perwujudan sifat komunal hukum adat ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat adat
sehari-hari yang selalu diwarnai oleh asas tolong menolong yang kuat, gotong royong,
asas fungsi sosial manusia dan milik, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum,
dan asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan20
Mengenai sifat hukum adat yang serba kongkrit dan kontan, dapat dilihat dari
corak masyarakat adat yang sederhana, selalu menghendaki segala sesuatunya serba
jelas atau nyata. Misalnya, dalam transaski-transaksi, seperti misalnya jual-beli, selalu
dilakukan dengan perbuatan serba nyata, yakni setiap kesepakatan selalu diiringi dengan
adanya pemindahan benda objek transaski atau objek kesepakatan. Sedangkan sifat
kontan mengandung arti kesertamertaan, terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap
pemenuhan prestasi selalu diiringi dengan kontra prestasi yang diberikan secara serta
merta (seketika). Misalnya, dalam transaksi jual beli, setelah terjadinya kesepakatan
selalu disertai dengan pembayaran dan penyerahan barang pada saat yang bersamaan21.
Di samping karakter-karakter hukum adat yang disebutkan di atas, hukum adat
juga bersifat terbuka, artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datang dari
luar sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri. Keterbukaan
17
Otje Salman Soemadiningrat, op.cit., h. 29
18
Otje Salman Soemadiningrat, op.cit., h. 30.
19
R. Supomo, 1978, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Pradnya Paramita,
Jakarta, h. 10.
20
R. Soerojo Wignjodipoero, 1982, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah
Kemerdekaan, PT Gunung Agung, Jakarta, h. 40,61, 66, 69.
21
Otje Salman Soemadiningrat, op.cit., h. 32.
hukum adat menerima unsur-unsur lain sudah terjadi sejak lama, ketika masuknya
pengaruh Hindu dan Islam ke dalam hukum adat. Otje Salman menyebutkan bahwa
perkembangan sifat ini terjadi sebagai hasil dari interaksi antara sistem-sistem hukum
yang berlaku dalam masyarakat Indonesia –antara hukum adat dengan hukum agama,
antara hukum adat dengan hukum barat, antara hukum adat yang tidak tertulis dengan
hukum tertulis– yang sekarang dipertahankan melalui kekuasaan badan-badan
peradilan22.

HUKUM ADAT SEBAGAI PERWUJUDAN DARI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL

Melihat karakter-karakter hukum adat seperti diuraikan di atas, tak pelak lagi
bahwa seungguhnya hukum adat adalah perwujudan dari nilai-nilai kearifan lokal. Gobyah
dalam Mariane menyatakan bahwa kearifan lokal terbentuk dari keunggulan-keunggulan
budaya setempat yang merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus
menerus dijadikan pegangan hidup23, sementara hukum adat adalah hukum yang lahir,
tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat setempat. Sebagai aspek dari
kebudayaan, hukum adat terwujud dari nilai-nilai kearifan lokal yang dipercaya dan
diyakini kebaikannya sehingga menjadi pedoman dalam bertingkah laku dalam
masyarakat dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat yang tertib, aman dan damai.
Aktivitas-aktivitas para fungsionaris hukum adat (kepala-kepala adat) dalam menjaga,
memelihara dan menegakkan hukum adat ketika hukum dilanggar senantiasa didasarkan
kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum adat agar kehidupan yang tertib, tentram dan
damai di dalam masyarakat tetap dapat terpelihara.
Nilai-nilai yang melandasi hukum adat merupakan keunggulan-keunggulan lokal
yang sudah terseleksi secara alami dan teruji kemampuannya dalam menghadapi setiap
tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat sehingga eksistensi
masyarakat adat yang bersangkutan dapat bertahan selama berabad-abad. Masyarakat-
masyarakat adat di Indonesia mempunyai nilai-nilai yang kuat dalam menjaga harmoni
atau kesimbangan-keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama manusia, keseimbangan hubungan dengan alam lingkungan, maupun
keseimbangan hubungan dengan alam gaib (Tuhan dan atau mahkluk gaib). Nilai-nilai

22
Otje Salman Soemadiningrat, op.cit., h. 36.
23
Irene Mariane, 2014, Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
h. 112
itu, misalnya terkandung dalam filosofi belom bahadat pada masyarakat suku Dayak24
dan filosofi tri hita karana dalam masyarakat Bali.

EKSISTENSI HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Secara yuridis, sejak dulu sampai sekarang keberadaan dan daya berlaku hukum
adat tetap diakui. Pada jaman kolonial, berlakunya hukum adat dapat diketahui dari
penggolongan-penggolongan hukum yang ada pada waktu itu. Berdasarkan Pasal 163 jo
Pasal 131 I.S. (Indissche Staatsregeling), penduduk di Hindia Belanda pada waktu itu
dibedakan dalam tiga golongan hukum (rechtsgroep) yang masing-masing tunduk kepada
hukumnya sendiri. Tiga golongan penduduk tersebut adalah: (1) penduduk golongan
Eropa, (2) golongan Bumiputra (Indonesia asli), dan (3) penduduk golongan Timur Asing
(orang Asia lainnya, yaitu Cina, India, Arab, Pakistan). Terhadap golongan-golongan
penduduk tersebut berlaku hukumnya masing-masing, yaitu bagi penduduk golongan
Eropa berlaku Hukum Barat (hukum Eropa), sedangkan bagi penduduk golongan
Bumiputra dan Timur Asing berlaku hukum adatnya25. Masing-masing golongan penduduk
tersebut juga mempunyai badan peradilan sendiri, dimana terhadap penduduk golongan
Bumiputra berlaku sistem peradilan sendiri yang mengadili berdasarkan hukum adat.
Kondisi hukum yang pluralis –yaitu berlakunya sistem-sistem hukum yang berbeda
bagi golongan-golongan penduduk– dalam beberapa bidang kehidupan tetap
dipertahankan setelah kemerdekaan dengan pintu masuk Pasal II Aturan Peralihan UUD
194526 walaupun tidak dikenal pembedaan warganegara dalam golongan-golongan
penduduk. Hal itu disebabkan, disatu sisi masyarakat Indonesia memang pluralistik dari
segi suku, agama, dan lain-lain, juga karena bangsa Indonesia belum mampu membentuk
unifikasi hukum (satu kesatuan hukum yang berlaku bagi semua warga negara) dalam
semua bidang kehidupan. Memang, perlahan-lahan unifikasi hukum dalam berbagai
bidang hukum telah diupayakan oleh Pemerintah, dimulai dengan melakukan unifikasi
hukum dibidang hukum pertanahan (agraria) melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun
1960, unifikasi dibidang hukum perkawinan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, dan lain-lain; tetapi sampai kini tidak semua bidang hukum dalam kehidupan

24
Abubakar HM, 2016, ”Huma Betang dan Aktualisasi Nilai Kearifan Lokal dalam Budaya Dayak”,
Humanika, Vol, 1, No. 2, Juli-Desember 2016.
25
E. Utrecht/Moh. Saleh Djindang, 1983, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesepuluh,
Penerbit PT Ichtiar Baru-Sinar Harapan, Jakarta, h. 167-169
26
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (sebelum diamandemen):”Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”
masyarakat dapat diatur dalam satu kesatuan hukum (unifikasi). Selain itu, tidak semua
bidang kehidupan masyarakat dapat diatur dalam hukum negara (peraturan perundang-
undangan), sehingga hukum adat tetap berlaku dalam bidang-bidang kehidupan yang
belum diatur dalam hukum negara itu. Misalnya, dalam bidang hukum keluarga, bangsa
Indonesia sampai hari ini belum mempunyai hukum keluarga nasional kecuali di bidang
perkawinan. Hukum waris masih sepenuhnya tunduk kepada hukum adat, sedangkan di
bidang perkawinan, walaupun sudah ada Undang-undang Perkawinan (UU Nomor 1
Tahun 1974) tetapi undang-undang ini masih memberi peluang yang sangat besar
berlakunya hukum adat dan agama27.
Dewasa ini, secara konstitusional eksistensi hukum adat diakui keberadaannya
dalam sistem hukum nasional karena diakui dalam Undang-undang Dasar yang secara
hirarkis merupakan peraturan peundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya. Pasal
18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menentukan bahwa: ”Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Pengakuan negara
terhadap eksitensi kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya ini sekaligus
mengakui eksistensi hukum adat, sebab tanpa adanya norma-norma hukum adat, maka
suatu kesatuan masyarakat hukum adat tidak dapat lagi diakui keberadaannya. Dengan
begitu, hukum adat mempunyai tempat tersendiri dalam sistem hukum nasional
berdampingan dengan hukum negara. Namun demikian, berdasarkan Pasal 18B ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 kedudukan hukum adat lebih lemah dari hukum negara, sebab
pengakuan terhadap hukum adat disertai dengan syarat-syarat tertentu, yaitu (1) hukum
adat itu masih hidup; (2) hukum adat itu sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3)
hukum adat itu sesuai dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia; dan (4) diatur
dalam undang-undang. Dengan penafsiran acontrario dapat dikatakan bahwa apabila
syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi maka hukum adat tidak diakui eksistensinya.
Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) ini, seungguhnya negara juga mengakui hak
otonomi dari kesatuan masyarakat hukum adat, yaitu hak membentuk hukumnya sendiri;
hak melaksanakan pemerintahan sendiri dalam kerangka Negara Kesatuan RI, hak
menjaga keamanannya sendiri, dan melakukan peradilan sendiri. Sebagai contoh dapat
dilihat implementasi otonomi kesatuan masyarakat hukuim adat tersebut di Bali. Secara

27
I Ketut Sudantra, et.al., 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press, h.
2.
de jure dan de fakto, desa adat di Bali (sekarang disebut: desa pakraman) mempunyai
hak membentuk hukumnya sendiri yang disebut awig-awig; mempunyai hak
menyelenggarakan pemerintahan adat sendiri yang dilakukan oleh kepala adat (disebut:
prajuru); mempunyai hak menjaga keamanan wilayahnya sendiri yang dilakukan oleh
petugas keamanan tradisional (disebut pecalang); dan mempunyai hak melaksanakan
sistem peradilan adat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi di
wilayahnya menyangkut adat dan agama (disebut kertha desa). Dalam pelaksanaan hak-
haknya itu, desa adat melakukannya secara mandiri tanpa campur tangan kekuasaan
negara, namun tetap tidak boleh melanggar rambu-rambu yang ditentukan oleh Negara
dalam berbagai peraturan perundang-undangan28.

PENGEMBANGAN ILMU HUKUM ADAT

Hukum adat sudah lama dipelajari dan dikembangkan sebagai bidang ilmu
tersendiri, yaitu ilmu hukum adat. Dilihat dari persyaratan-persyaratan ilmu pengetahuan,
ilmu hukum adat memenuhi persyaratan-persyartan itu, yaitu: (1) mempunyai obyek
tersendiri dan mempunyai metode. Obyek dari ilmu hukum adat adalah hukum adat itu
sendiri sedangkan metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang
hukum adat adalah dengan melakukan penelitian-penelitian ilmiah. Hasil-hasil penelitian
itu kemudian disajikan secara sistematis dalam rangka menemukakan kebenaran yang
obyektif.
Untuk memahami ilmu hukum adat sebagai bidang ilmu dan hubungannya dengan
ilmu hukum, penting diketahui cakupan ilmu hukum itu sendiri. Iilmu hukum mencakup:
(1) ilmu tentang kaidah hukum (normwissenschaft atau sollenwissenschaft); (2) ilmu
tentang pengertian; (3) ilmu tentang kenyataan (tatsachhenwuschaft atau
seinwissenchaft) yang meliputi: sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum,
perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Ilmu tentang kaedah sering disebut sebagai
ilmu hukum normatif karena mempelajari hukum sebagai sistem norma (kaedah);
sedangkan ilmu tentang kenyataan disebut sebagai ilmu hukum empiris karena
mempelajari sikap-tindak atau tingkah laku manusia29.

28
I Ketut Sudantra, Ni Nyoman Sukerti, dan A.A. Istri Ari Atu Dewi, 2015, ”Identifikasi Lingkup Isi
dan Batas-batas Otonomi Desa Pakraman dalam Hubungannya dengan Kekuasaan Negara”, Jurnal Magister
Hukum Udayana, Vol. 4 No. 1 Mei 2015, tersedia di URL:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/view/13052/10829. Diakses: 10 Oktober 2017.
29
Soleman B Taneko, 1981, op.cit., h. 80-83.
Di dalam penggolongan ilmu hukum di atas tidak disebutkan poisisi hukum adat,
baik dalam ilmu hukum normatif maupun empiris, sehingga menjadi pertanyaan dimana
letak ilmu hukum adat dalam rumpun ilmu hukum. Untuk menjawab pertanyaan itu tidak
mudah, sebab mesti dilihat perkembangan ilmu hukum adat itu sendiri. Hingga saat ini,
perjalanan ilmu hukum adat mengalami perkembangan yang cukup lama, lebih dari satu
abad. Bahkan, kalau dikuti pendapat Moh. Koesnoe, ilmu hukum adat sudah dimulai jauh
sebelum itu, yang sulit ditentukan secara pasti kapan dimulainya30. Uraian berikut ini
mencoba mendiskripsikan perkembangan ilmu hukum adat modern yang ditandai oleh
kesadaran orang-orang Barat (Eropa) terhadap adanya hukum yang berbeda dengan
hukum di negeri asalnya. Kesadaran tersebut sering disebut ”kesadaran Barat terhadap
hukum adat”.
Sejak kedatangan orang-orang Eropa di bumi Nusantara, muncul kesadaran dari
orang-orang Eropa tersebut bahwa di bumi yang mereka datangi terdapat masyarakat
yang sudah mempunyai tatanan hukum yang berbeda dengan hukum yang selama ini
mereka kenal. Dalam catatan Cornelis van Vollenhoven – seorang doktor bidang ilmu
politik dan Jurisprudence di Universitas Leiden, Belanda– studi pertama terhadap hukum
adat dilakukan oleh seorang Irlandia bernama Willam Marsden pada tahun 1783 yang
melakukan penelitian di daerah Bengkulu. Hasil penelitiannya, yang kemudian diterbitkan
dalam buku berjudul ”History of Sumatra” cukup memberi perhatian kepada hukum adat
yang disebutnya dengan istilah ”custom of the country” atau kadang-kadang disebut
dengan istilah ”adat”. Marsden banyak memfokuskan perhatiannya kepada soal-soal
tatanan masyarakat, hukum perkawinan, hukum waris dan hukum pelanggaran;
sedangkan mengenai hukum hutang piutang kurang mendapat perhatian dan hukum
tanah sama sekali tidak disinggung31. Setelah Marsden, tercatat beberapa nama lagi yang
melakukan studi terhadap hukum adat, seperti Muntinghe (1773-1827) yang mempunyai
perhatian terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hukum acara perdata
dan pidana untuk orang-orang pribumi; Raffles (1781-1826) yang terkenal dengan
”landrente stelsel” dan perhatiannya terhadap hukum adat tercatat; kemudian Crawfurd
(1783-1868) yang terkenal dengan pandangannya tentang hukum Hindu dan Hukum
Islam yang menurutnya hanya berlaku dipermukaan sedangkan yang pokok adalah
hukum adat32. Kemudian, terdapat seorang ahli hukum bernama Wilken yang meneliti

30
Moh. Koesnoe, 1992, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bagian I (Historis), Mandar Maju,
Bandung, h. 100.
31
Ibid., h. 119.
32
Ibid., h. 120.
hukum bangsa-bangsa Melayu dan menerbitkan karyanya tentang adat-adat pertunangan
(1887). Tercatat juga, Frederik Albert Liefrink, seorang inspektur perkebunan yang juga
menjadi Residen Bali dan Lombok (1891-1901) banyak meneliti tentang hukum tanah
pribumi, pajak raja-raja dan susunan desa pribumi.
Pada saat itu, hukum yang diteliti oleh para ahli tersebut belum dikenal dengan
istilah hukum adat. Istilah hukum adat (adatrecht) baru digunakan ketika Snouck
Hurgronje, seorang doktor di bidang sastra untuk rumpun bahasa-bahasa Semit (bahasa-
bahasa Yahudi dan Arab), meneliti lembaga-lembaga adat yang berlaku untuk orang-
orang Aceh dan Gayo. Karyanya tentang orang-orang Aceh diterbitkan tahun 1893-1894
berjudul De Atjehers sedangkan bukunya tentang adat Gayo terbit tahun 1903 berjudul
het Gajoland. Snouck Horgronje adalah orang pertama menggunakan istilah adatrecht
untuk menyebut aturan-aturan adat yang mempunyai akibat hukum. Titik penting bagi
perkembangan ilmu hukum adat modern terjadi ketika Cornelis van Vollenhoven
mengangkat hukum adat ke level akademis, menjadikannya obyek ilmu pengetahuan dan
pengajaran33. Berkat usahanya, tahun 1921 hukum adat tidak saja menjadi mata kuliah
yang diujikan, tetapi juga menjadi mata kuliah pilihan pada jurusan-jurusan tertentu
dalam studi hukum. Dengan demikian, hukum adat telah menjadi bidang ilmu tersendiri
yang lepas dari bidang-bidang ilmu lainnya. Prestasinya itu yang menyebabkan van
Vollenhoven dikukuhkan sebagai Bapak Hukum Adat. Karya-karyanya mengenai hukum
adat yang fenomenal,antara lain: Het Ontdekking van Adatrecht, Orientatie in het
Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1913). Karyanya yang terpenting bagi perkembangan
hukum adat di Indonesia adalah Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië ("Hukum Adat
Hindia Belanda") yang berisi kajian dan kumpulan hukum adat dari 19 lingkungan adat di
Hindia Belanda. Melalui berbagai tulisannya tentang hukum adat, van Vollenhoven dan
pengikut-pengikutnya dengan tekun tanpa kenal lelah berjuang untuk menentang
gagasan pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan unifikasi dengan memberlakukan
sistem hukum Eropa bagi penduduk pribumi di Indonesia. Menurutnya, bagi orang-orang
Indonesia tetap harus berlaku hukumnya sendiri (hukum adat). Ketekunannya itu
akhirnya membuahkan hasil dimana pemerintah kolonial Belanda tetap mempertahankan
berlakunya hukum adat bagi penduduk golongan pribumi34
Perkembangan ilmu hukum adat kemudian semakin baik dengan dibukanya
pendidikan keahlian hukum (Rechtsscool tahun 1909 dan Rechttshoogessscchool tahun

33
HR. Otje Salman Soemadiningrat, op.cit., h. 105-109.
34
Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial-Politik
dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Utara, h. 10.
1924) yang membuka kesempatan bagi lahirnya golongan terpelajar (hukum) dikalangan
penduduk pribumi yang pada gilirannya perpartisipasi dalam perjuangan untuk mengakui
hukum adat dalam pengembangan sistem hukum dan tata hukum kolonial. Partisipasi
kalangan yuris pribumi ini dalam mempromosikan peran dan keefektifan hukum adat
sangat bermakna dalam perjuangan di tanah air, sementara para mahasiswa yang studi
di negeri Belanda (dibawah bimbuingan van Vollenhoven di Universitas Leiden)
jugamendukung studi-studi hukum adat dengan menulis disertasi bertemakan hukum
adat seperti dilakukan oleh Goendokoesoemo (1921), Soebroto (1925), Soeripto
Wirjowadono (1925), Soepomo (1928), dan lain-lain. Bersamaan dengan itu, semangat
nasionalisme dikalangan para terpelajar semanin membara, dan akhirnya mengucapkan
Sumpah Pemuda pada tahun 1928, dimana dalam teks lengkapnya menyebutkan hukum
adat sebagai salah satu dasar persatuan Indonesia, di samping dasar kemauan, sejarah,
bahasa, pendidikan dan kepanduan35
Orang-orang Eropa di atas dalam melakukan studinya terhadap hukum adat pada
umumnya menggunakan pendekatan ilmu sosial (etnografi, antropologi). Sasaran
studinya adalah hukum yang berlaku dalam lingkaran-lingkaran hukum adat yang ada di
bumi Nusantara dengan maksud mengetahui hukum adat yang berlaku dalam lingkaran-
lingkaran hukum adat tersebut untuk kepentingan kekuasaan pemerintah jajahan. Metode
yang digunakan adalah metode induktif, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan
empiris, kemudian dengan pengolahan tertentu sampai pada teori-teori. Sebagai
hasilnya, konsep hukumnya pun bersifat empiris sosial. Pada tahapan awal, para peneliti
Eropa itu mengumpulkan segala bahan (data) mengenai adat-istiadat masyarakat
Indonesia secara ilmiah dan hasilnya kemudian disajikan secara deskriptif dalam buku
yang berisi hasil-hasil wawancara dan atau pengamatan. Tahapan berikutnya, mereka
mulai menganalisis bagian-bagian mana dari adat istiadat itu yang merupakan hukum
(adat yang bersifat hukum atau hukum adat) dan mana yang bukan; bagian-bagian mana
pula dari hukum adat itu yang merupakan hukum asli dan mana yang datang dari luar
(hukum agama). Puncak dari perkrembangan ini adalah ketika Ter Haar Bzn menerbitkan
hasil-hasil penelitian empirisnya tentang hukum adat (etnografi hukum adat) dalam buku
yang berjudul: Beginselen en van het Adatrecht (Asas-asas dan Susunan Hukum Adat)
yang masa itu –bahkan sampai sekarang– sangat besar pengaruhnya dikalangan sarjana
hukum di Indonesia, teoritisi maupun praktisi.

35
Lihat teks lengkap “Poetoesan Congres Pemoeda-pemoeda Indonesia”, dalam Moh. Koesnoe,
op.cit., h. 151.
Pada puncak perkembangan studi hukum adat oleh kalangan peneliti Barat ini,
mulai terdapat pergeseran dalam studi hukum adat, yang tidak lagi membatasi studi
hukum adat secara sosial etnosentris saja, melainkan mulai berusaha mempelajari asas-
asas dan susunan yang normatif dari hukum adat. Pergeseran itu juga dapat diamati dari
karya-karya Ter Haar, perubahan mana kemudian menimbulkan perubahan terhadap sifat
hasil studi hukum adat, yang semula bersifat sebagai potret keadaan yang berisi bahan-
bahan informasi yang tidak mengikat, berubah menjadi suatu ajaran hukum yang menjadi
pegangan bagi kalangan praktisi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hukum di
pengadilan. Karena hasil studi hukum adat itu kemudian digunakan dalam praktik di
pengadilan negara maka hukum adat yang menjadi keputusan-keputusan pengadilan
mempunyai daya mengikat yang kuat dalam masyarakat Indonesia.
Setelah kemerdekaan, perhatian dan perkembangan ilmu hukum adat mengalami
pasang surut. Di awal kemerdekaan, ilmu hukum adat cukup mendapat perhatian,
terbukti dengan banyaknya publikasi-publikasi hukum adat dari para ahli hukum adat 36.
Semangat anti kolonial dan keinginan menasionalisasi segala hal yang berbau kolonial
semaikin berkembang. Demikian pula di dalam studi hukum, dimana nasionalisasi dimulai
pada aspek bahasa hukumnya dari bahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia.
Nasionalisasi tersebut juga meliputi konsep-konsep hukum yang berpengaruh pada studi
hukum, termasuk studi hukum adat. Sejak 1947, mulai ada rintisan pemikiran hukum
adat oleh kalangan ilmuwan hukum yang sifatnya teoritis-filosofis. Persoalan-persoalan
hukum adat yang mulai menjadi perhatian meliputi konsep-konsep, jati diri (candra) dan
kedudukan hukum adat dalam sistem hukum nasional. Pada masa ini mulai pula
mengemuka ajaran-ajaran yang mengarah kepada pengembangan asas-asas dan
lembaga-lembaga hukum adat yang telah ditemukan sebelumnya (yang bersifat lokal)
agar dapat digunakan sebagai asas-asas hukum universal yang berlaku nasional, seperti
dalam lembaga hukum tanah, bagi hasil, gadai, dan sebagainya. Sandaran teoritis yang
digunakan dalam upaya ini adalah naskah lengkap Sumpah Pemuda 1928 yang
mengamanatkan digunakannya hukum adat sebagai dasar persatuan Indonesia, sehingga
berdasarkan landasan teoritis ini dibangun konsep bahwa hukum nasional haruslah
berdasarkan kepada nilai-nilai dan asas-asas hukum adat.
Perkembangan ilmu hukum adat pada tahapan ini dapat dikatakan sebagai masa
awal perkembangan ilmu hukum adat yang berwawasan nasional, yang selanjutnya
mewarnai pengembangan hukum nasional. Warna yang berhasil ditorehkan sebagai hasil

36
Moh. Koenoe, op.cit., h. 112
perkembangan ilmu hukum adat yang berwawasan nasional ini adalah dianutnya konsep
hukum Pancasila, dimana asas-asas dan sistem hukum nasional harus berdasarkan
kepada Pancasila sebagai pancaran filsafat dan kepribadian bangsa Indonesia37. Seperti
diketahui, filsafat dan kepribadian bangsa Indonesia di bidang hukum adalah hukum adat
itu sendiri, sehingga hukum Pancasila itu sesungguhnya adalah hukum yang berdasarkan
kepada nilai-nilai dan asas-asas hukum adat. Salah satu implentasi dari konsep ini dalam
produk legislasi adalah lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA). Undang-undang ini, melalui Pasal 5 dengan jelas menyatakan bahwa hukum
yang berlaku atas tanah adalah hukum adat. Hukum adat yang dimaksud adalah hukum
adat yang sesuai dengan
Dengan munculnya ”aliran” baru ini dalam studi hukum adat bukan berarti
perkembangan ilmu hukum adat yang menggunakan pendekatan ilmu sosial telah
berakhir, sehingga sampai pada tahapan ini terdapat dua aliran dalam ilmu hukum adat,
yaitu: (1) aliran ilmu hukum adat yang menggunakan pendekatan ilmu sosial seperti yang
dilakukan oleh peneliti-peneliti Eropa dahulu, seperti Ter Haar dan lain-lain; dan (2) aliran
ilmu hukum adat berwawasan nasional. Perbedaan kedua aliran ilmu hukum adat ini
antara lain terletak pada pendekatan studinya. Ilmu hukum adat berwawasan Barat
melakukan studi terhadap hukum adat dengan pendekatan ilmu sosial (antropologi
hukum). Sasarannya adalah hukum yang berlaku pada lingkaran-lingkaran hukum adat
yang dipetakan oleh van Vollenhoven. Metode yang digunakan adalah metode induktif,
yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan empiris kemudian dengan pengolahan
tertentu sampai pada teori-teori. Sebagai hasilnya, konsep hukumnya pun bersifat
empiris sosial. Ilmu hukum adat berwawasan nasional melakukan kajian secara ilmu
hukum dan mecari nilai hukum yang dihayati bangsa Indonesia yang dapat dijadikan
sebagai hukum nasional. Karena itu, sasarannya tidak lagi membatasi pada hukum adat
yang berlaku di perdesaan atau masyarakat terpencil, melainkan hukum yang merupakan
pancaran perasaan dan cita-cita hukum seluruh rakyat Indonesia sebagai pancaran nilai
hukum budaya Indonesia. Metode yang digunakan dalam studinya adalah deduktif-
normlogis, yaitu berpangkal dari suatu prinsip-prinsip hukum universal (nasional) yang
dianut masyarakat, menuju kepada penjabarannya dengan memperhatikan keyakinan
dan penghayatan yang dipertahankan sebagai pegangan hidup bangsa Indonesia. Ilmu

37
Moh. Koenoe, op.cit., h. 135.
hukum adat nasional ini berusaha menjelaskan asas-asas dan lembaga-lembaga hukum
adat yang berlaku universal dalam alam pikiran dan perasan bangsa Indonesia38
Dewasa ini, ditengah-tengah lesunya perhatian terhadap studi hukum adat –
terindikasi dari sedikitnya peminat studi hukum adat dan sedikitnya porsi pengajaran
hukum adat di perguruan tinggi hukum– ”pertarungan” dua aliran ilmu hukum adat ini
masih mewarnai perkembangan ilmu hukum adat. Dengan demikian, jawaban terhadap
pertanyaan: apakah ilmu hukum adat termasuk ilmu hukum normatif ataukah ilmu hukum
empiris harus diletakkan dalam kerangka perkembangan ilmu hukum adat itu sendiri yang
tidak tunggal. Sampai saat ini, masih terdapat polarisasi pandangan para penstudi hukum
adat, sebagian melakukan studi hukum adat dengan pendekatan hukum empiris dan
sebagian lainnya melakukannya dengan pendekatan hukum normatif. Melihat kondisi
tersebut, kiranya tidak perlu terlalu kaku dalam menempatkan ilmu hukum adat pada
salah satu golongan ilmu hukum tersebut: apakah diletakkan dalam golongan ilmu hukum
normatif ataukah ilmu hukum empiris. Pendekatan apapun yang digunakan dalam studi
hukum adat, tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemanfaatan studi tersebut
bagi kepentingan praktek dan atau ilmu pengetahuan.
Pentingnya studi hukum adat tidak perlu diragukan lagi, karena dengan studi-studi
terhadap hukum adat dapat digali, diangkat kepermukaan, dan dikembangkan nilai-nilai
kearifan lokal yang merupakani keunggulan-keunggulan budaya (lokal) bangsa Indonesia.
Nilai-nilai kearifan lokal itu sebagaimana antara lain terwujud dalam hukum adat,
merupakan warisan leluhur yang tidak ternilai harganya bagi masyarakat Indonesia,
karena sudah terbukti kemampuannya dalam menangkal dan menghadapi segala
tantangan jaman. Di samping itu, studi hukum adat sangat bermanfaat bagi kalangan
teoitisi hukum dan praktisi hukum dalam menghadapi persaolan-persoalan hukum adat
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karena itu, menjadi tugas kita bersama,
terutama penekun dan peminat hukum adat, untuk tetap mengembangkan ilmu hukum
adat melalui pengajaran (pendidikan), penelitian, dan pengabdian di perguruan tinggi.
Dalam konteks ini, pemberian mata kuliah hukum adat kepada mahasiswa di perguruan
tinggi sangat penting dilakukan. Di samping bermanfaat untuk kepentingan teoritis
pengembangan ilmu hukum adat itu sendiri, pemberian mata kuliah hukum adat sangat
penting bagi mahasiswa sebagai bekal dalam melakoni praktek hukum setelah tamat
nantinya. Akan lebih baik lagi jika ada pembukaan jurusan-jurusan hukum adat untuk
menampung peminat-peminat studi hukum adat, sehingga kegiatan-kegiatan pengajaran,

38
Moh. Koesnoe, op.cit. h.137-140
penelitian dan pengabdian tentang hukum adat dapat lebih bergairah, lebih meningkat,
terorganisir dan efektif.

PENUTUP

Akhirnya sebagai penutup tulisan ini dapat ditegaskan kembali bahwa hukum adat
sebagai perwujudan dari nilai-nilai kearifan lokal diakui eksistensinya oleh Negara sebab
diatur dalam konstitusi, yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Tetapi, karena
hukum adat itu hidup dalam suatu masyarakat adat yang merupakan bagian dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia, pengakuan terhadap eksistensi hukum adat tersebut
disertai syarat-syarat tertentu, yaitu (1) hukum adat tersebut masih hidup dalam
kenyataannya; (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat; (3) sesuai dengan prinsip
negara kesatuan Republik Indonesia; dan (4) diatur dalam undang-undang.
Di dunia pendidikan, hukum adat dipelajari sebagai bidang ilmu tersendiri, yaitu
ilmu hukum adat. Dalam perkembangannya, ilmu hukum adat sempat mewarnai
perkembangan hukum dan ilmu hukum di Indonesia mulai dari jaman kolonial sampai
pasca-kemerdekaan, terutama dengan lahirnya konsep Hukum Pancasila. Dewasa ini
dapat dikatakan perkembangan ilmu hukum adat menurun, dapat diindikasikan dari
sepinya peminat terhadap studi hukum adat serta sedikitnya porsi yang disediakan oleh
perguruian tinggi hukum untuk pengajaran hukum adat. Oleh sebab itu, menjadi
pekerjaan rumah bagi penekun dan peminat hukum adat untuk menggeliatkan kembali
ilmu hukum adat.

REFRENSI

Abubakar HM, 2016, ”Huma Betang dan Aktualisasi Nilai Kearifan Lokal dalam Budaya
Dayak”, Humanika, Vol, 1, No. 2, Juli-Desember 2016

BPHN, 1976, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional , Binacipta,

Dijk R. van, 1979, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur Bandung.

Djaren Saragih, 1984, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Edisi II, Penerbit Tarsito,
Bandung,

Koesnoe Moh., 1992, Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, Bagian I (Historis),
Mandar Maju, Bandung

Mariane Irene, 2014, Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Rahardjo Satjipto, 1976, “Pengertian Hukum Adat, Hukum Yang Hidup dalam Masyarakat
(Living Law) dan Hukum Nasional”, dalam BPHN, Seminar Hukum Adat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta.

Sudantra I Ketut, Wayan P. Windia dan Putu Dyatmikawati, 2011, Penuntun Penyuratan
Awig-awig, Udayana University Press.

Sudantra I Ketut, et.al., 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University
Press.

Sudantra I Ketut, Ni Nyoman Sukerti, dan A.A. Istri Ari Atu Dewi, 2015, ”Identifikasi
Lingkup Isi dan Batas-batas Otonomi Desa Pakraman dalam Hubungannya dengan
Kekuasaan Negara”, Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 4 No. 1 Mei 2015,
tersedia di URL: https://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu/article/view/13052/10829.
Diakses: 10 Oktober 2017.

Soemadiningrat Otje Salman, 2002, Rekonsptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,


Bandung

Supomo R., 1978, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Pradnya
Paramita, Jakarta.

Taneko Soleman Biasane, 1981, Dasar-dasarHukum Adat & Ilmu Hukum Adat, Alumni,
Bandung,

Taneko Soleman B., 1987 , Hukum Adat suatu pengantar Awal dan Prediksi Masa
Mendatang,, PT Ererco, Bandung.

Utrecht E./Moh. Saleh Djindang, 1983, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan
Kesepuluh, Penerbit PT Ichtiar Baru-Sinar Harapan, Jakarta.

Vollenhoven C. van, 1981, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, terjemahan Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) bersama Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penerbit Djambatan bekerjasama Inkultra
Foundation Inc, Jakarta.

Wignjodipoero R. Soerojo, 1982, Kedudukan Serta Perkembangan Hukum Adat Setelah


Kemerdekaan, PT GunungAgung, Jakarta.

Wignjosoebroto Soetandyo, 1995, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Dinamika


Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta Utara.
HUKUM ADAT
SEBAGAI PERWUJUDAN KEARIFAN LOKAL &
PEKERJAAN RUMAH DALAM PENGEMBANGAN ILMU
HUKUM ADAT

Oleh:
I KETUT SUDANTRA
sudantra01@yahoo.co.id

SEMINAR REGIONAL NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM HUKUM ADAT


JURUSAN DARMA SASTRA SEKOLAH TINGGI AHAMA HINDU NEGERI TAMPUNG PENYANG
PALANGKA RAYA, 17 OKTOBER 2017
APA ITU HUKUM ADAT?

HUKUM ADAT ADALAH KOMPLEKS ADAT-ADAT


YANG MEMPUNYAI AKIBAT HUKUM

Norma agama

Norma Kesopanan

Norma Kesusilaan

Norma Hukum

Norma Sosial
Lainnya
UNSUR-UNSUR HUKUM ADAT

HUKUM ADAT

UNSUR ASLI UNSUR AGAMA


(sebagian besar) (sebagian kecil)

HUKUM ADAT ADALAH HUKUM ORANG INDONESIA ASLI YANG TIDAK


TERTULIS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN RI YANG DISANA-
SINI MENGANDUNG UNSUR AGAMA
(DIFINISI HUKUM ADAT MENURUT SEMINAR HUKUM ADAT DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL DI YOGYAKARTA, 1975)
HUBUNGAN HUKUM ADAT DAN HUKUM AGAMA

TEORI RECEPTIO INI COMPLEXU


C.F. Winter, Salomon Keyzer, L.W.C. van den Berg:

o Adat & Hukum Adat suatu masyarakat adalah resepsi


seluruhnya dari agama yg dianutnya

o Pasal 75 ayat (3) RR Lama (Stb. 1854:129 : hukum


pribumi disebut: godsdienstiege wetten,
volksinstellingen en gebruiken (undang-undang
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan)
HUBUNGAN HUKUM ADAT DAN HUKUM AGAMA

TEORI RECEPTIE
Snouck Hurgronje dan Ter Haar

o Hukum yang hidup dan berlaku bagi rakyat Indonesia


–terlepas dari agama yang dianutnya– adalah hukum
adat. Sedangkan hukum agama dituruti sepanjang
hukum agama telah diresepsi oleh hukum adat
setempat

o R.R. diganti dengan IS (Stb 1925:415,416,447).


Dalam Pasal 131 I.S. dengan tegas disebut: hukum
yang berlaku bagi penduduk pribumi adalah hukum
adat (adatrecht)
KARAKTER HUKUM ADAT

 HUKUM ADAT MEMPUNYAI SIFAT


TRADISIONAL, DINAMIS DAN FLEKSIBEL.

 HUKUM ADAT DIJIWAI OLEH NILAI-NILAI


MAGIS RELIGIUS, KOMUNAL (TOLONG-
MENOLONG, GOTONG ROYONG, FUNGSI
SOSIAL, MUSYAWARAH-MUFAKAT) , KONGKRIT
DAN KONTAN
HUKUM ADAT ADALAH
PERWUJUDAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL

 KEARIFAN LOKAL = KEUNGGULAN-KEUNGGULAN BUDAYA


SETEMPAT YANG MERUPAKAN PRODUK BUDAYA MASA LALU YANG
PATUT SECARA TERUS MENERUS DIJADIKAN PEGANGAN HIDUP

 HUKUM ADAT TUMBUH DAN BERKEMBANG DLM KEBUDAYAAN


MASYARAKAT SETEMPAT

 HUKUM ADAT SEBAGAI SALAH SATU ASPEK KEBUDAYAAN: BERISI


NILAI-NILAI, NORMA-NORMA YG TERWUJUD DARI NILAI-NILAI
KEARIFAN LOKAL YANG MENJADI PEDOMAN BERTINGKAH LAKU
MASYARAKAT UNTUK MEWUJUDKAN MASYARAKAT YG TERTIB,
AMAN DAN DAMAI
EKSISTENSI HUKUM ADAT
DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

JAMAN KOLONIAL:

o PASAL 131 JO 163 I.S. (Indissche Staatsregeling)


TIGA GOLONGAN PENDUDUK DI HINDIA BELANDA
 Gol. Eropa  Hukum Barat  Peradilan Gubernemen
 Gol. Pribumi  Hukum Adat  Peradilan Adat

o PERADILAN ADAT:
 Peradilan Desa (DorpJustitie)
 Peradilan Adat (Ihemsche Rechtpraak)
EKSISTENSI HUKUM ADAT
DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

KEMERDEKAAN:

o PASAL II ATURAN PERALIHAN UUD 1945


KONDISI HUKUM PRA-KEMERDEKAAN MASIH BERLAKU. HUKUM ADAT
BERLAKU BAGI PENDUDUK PRIBUMI

o UU DARURAT NO 1 TH 1951:
 Peradilan Adat (Ihemsche Rechtpraak) dihapuskan diganti dengan Peradilan
Negara (Pengadfilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung)
 Peradilan Desa Tetap Berlaku (Hakim Perdamaian Desa)

o UU NO 5 TH 1960 : UNDANG-UNDNAG POKOK AGRARIA


 Unifikasi hukum Agraria: Dualisme Hukum Tanah Dihapuskan
 Hukum Agraria di dasarkan pada Hukum Adat (Psl. 5)
 Pengakuan Hak Ulayat (Psl. 3)
EKSISTENSI HUKUM ADAT
DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

DI BAWAH UUD NRI TAHUN 1945


(PASCA AMANDEMEN UUD 1945)

PASAL 18B AYAT (2)


“NEGARA MENGAKUI DAN MENGHORMATI KESATUAN-
KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT BESERTA HAK-HAK
TRADISIONALNYA SEPANJANG MASIH HIDUP DAN SESUAI
DENGAN PERKEMBANGAN MASYARAKAT DAN PRINSIP
NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA YANG DIATUR
DALAM UNDANG-UNDANG”
PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI
THD PASAL 18B AYAT (2) UUD NRI TH 1945
PUTUSAN MK NO 31/PUU-V/2007 (PENGUJIAN UU NO 31 TH 2007 TTG PEMBENTUKAN KOTA TUA DI PROV MALUKU, THD
UUD 1945)
PUTUSAN MK NO 6/PUU-VI/2008 (PENGUJUAN UU NO 51 TH 1999 TTG PEMBENTUKAN KOTA BUOL KAB MOROWALI, KAB
BANGGAI KEPULAUAN THD UUD 1945)

KHMA DPT DIKATAKAN MASIH HIDUP:


DE FACTO MASIH HIDUP (ACTUAL EXISTENCE) SETIDAK-TIDAKNYA
MENGANDUNG UNSUR-UNSUR:
1. ADA MASYARAKAT YG WARGANYA MEMILIKI PERASAAN
KELOMPOK
2. ADANYA PRANATA PEMERINTAHAN ADAT
3. ADANYA HARTA KEKAYAAN DAN ATAU BENDA-BENDA ADAT
4. ADANYA PERANGKAT NORMA HUKUM ADAT
PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI
THD PASAL 18B AYAT (2) UUD NRI TH 1945
PUTUSAN MK NO 31/PUU-V/2007 (PENGUJIAN UU NO 31 TH 2007 TTG PEMBENTUKAN KOTA TUA DI PROV MALUKU, THD
UUD 1945)
PUTUSAN MK NO 6/PUU-VI/2008 (PENGUJUAN UU NO 51 TH 1999 TTG PEMBENTUKAN KOTA BUOL KAB MOROWALI, KAB
BANGGAI KEPULAUAN THD UUD 1945)

KMHA DAN HAK TRADISIONALNYA SESUAI DG


PERKEMBANGAN MASYARAKAT, JIKA:
1. KEBERADAANNYA TELAH DIAKUI BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG (UMUM MAUPUN SEKTORAL TERMASUK PERDA)
2. SUBSTANSI HAK-HAK TRADISIONAL TSB DIAKUI & DIHORMATI
OLEH WARGA KMHA YBS MAUPUN MASY YG LEBIH LUAS,
SERTA TIDAK BERTENTANGAN DGN HAM
PENAFSIRAN MAHKAMAH KONSTITUSI
THD PASAL 18B AYAT (2) UUD NRI TH 1945
PUTUSAN MK NO 007/PUU-III/2005 TENTANG PENGUJIAN UU NO 40 TAHUN 2004 TTG Sistem Jaminan Sosial Nasional
terhadap UUD 1945

PENAFSIRAN THD KETENTUAN: “…YANG DIATUR DALAM UNDANG-


UNDANG”.

KETENTUAN INI BERMAKNA TIDAK HARUS DIBENTUK UNDANG-


UNDANG YANG KHUSUS UNTUK MENGAKUI DAN MENGHORMATI
KMHA DAN HAK-HAK TRADISIONALNYA, MELAINKAN PENGAKUAN
& PENGHORMATAN NEGARA THD KHMA BESERTA HAK-HAK
TRADISIONALNYA HARUS MEMENUHI KETENTUAN UNDANG-
UNDANG.
ARTINYA: DAPAT DLM UNDANG-UNDANG SEKTORAL, SEPERTI
AGRARIA, KEHUTANAN, DLL.
PENGAKUAN TERHADAP HUKUM ADAT
BERDASAR PASAL 18B AYAT 2 UUD NRI TAHUN 1945

• PENGAKUAN TERHADAP HUKUM ADAT TERJADI SCR


OTOMATIS DGN DIAKUINYA K.M.H.A. SEBAB TANPA ADA
NORMA HUKUM ADAT MAKA SUATU K.M.H.A DIANGGAP
SUDAH TIDAK ADA LAGI (TIDAK MASIH HIDUP)

• SALAH SATU HAK TRADISIONAL K.M.H.A. ADALAH HAK


OTONOMI:
 MEMBENTUK TATANAN HUKUMNYA SENDIRI (HUKUM ADAT);
 MELAKUKAN PEMERINTAHAN SENDIRI (PEMERINTAHAN ADAT)
 MELAKUKAN PENGAMANAN TERSENDIRI (PETUGAS KEMANAAN
TRADISIONAL)
 MELAKUKAN PERADILAN SENDIRI (PERADILAN ADAT)
PERKEMBANGAN ILMU HUKUM ADAT

 ILMU HUKUM ADAT = ILMU PENGETAHUAN YG


MEPEPELAJARI HUKUM ADAT SBG OBJEKNYA.

 ILMU HUKUM MELIPUTI:


1. ILMU TENTANG KAEDAH
2. ILMU TENTANG PENGERTIAN-PENGERTIAN HUKUM
3. ILMU TENTANG KENYATAAN:
a. SOSIOLOGI HUKUM
b. ANTROPOLOGI HUKUM
c. PSIKOLOGI HUKUM
d. PERBANDINGAN HUKUM
e. SEJARAH HUKUM

 ILMU TENTANG KAEDAH = ILMU HUKUM NORMATIF;


ILMU TENTANG KENYATAAN = ILMU HUKUM EMPIRIS

 ILMU HUKUM ADAT = NORMATIF ATAU EMPIRIS?


PERKEMBANGAN ILMU HUKUM ADAT

TUMBUHNYA KESADARAN BARAT


TERHADAP HUKUM ADAT

 PARA PENELITI:
 Willam Marsden (1783); Muntinghe (1773-1827); Raffles (1781-1826);
Crawfurd (1783-1868); Wilken (1887); Frederik Albert Liefrink (1891-1901)
 BELUM DIGUNAKAN ISTILAH HUKUM ADAT

 Snouck Hurgronje : De Atjehers (1893-1894); het Gajoland (1903)


PERTAMA KALI DIGUNAKAN ISTILAH ADATRECHT (HUKUM
ADAT)

 PENDEKATAN: ILMU SOSIAL  STUDI EMPIRIS  INDUKTIF


Christiaan Snouck Hurgronje
(1857-1936)

o Sarjana Belanda bidang:
Budaya Oriental dan Sastra;
Gurubesar Melayu di Univ
Leiden

o Karya:
 De Atjehers (1893-1894)
 Het Gajoland (1903)

o Penguna pertama istilah


Adatrecht (Hukum Adat)
HUKUM ADAT MENJADI OBYEK ILMU TERSENDIRI
(LAHIRNYA ILMU HUKUM ADAT)

Cornelius van Vollenhoven


menjadikan hukum adat sebagai
mata kuliah tersendiri
(Universitas Leiden, 1921)
Cornelis van Vollenhoven (1874-1933)

• Antropolog, Guru Besar


Hukum Adat di Univ Leiden
(1903)

• Karya-karyanya:
 Het Ontdekking van
Adatrecht,
 Orientatie in het Adatrecht
van Nederlandsch-Indie
 Het Adatrecht van
Nederlandsch-Indië

• Jasanya:
– Pelestarian hukum adat
PENGARUH ILMU HUKUM ADAT
THD EKSISTENSI YURIDIS HUKUM ADAT

 MENGGAGALKAN PROGRAM UNIFIKASI HK


BERDASARKAN HUKUM EROPA DI HINDIA BELANDA,
SHG HUKUM ADAT TETAP BERLAKU BAGI PENDUDUK
PRIBUMI.

 SETELAH KEMERDEKAAN: LAHIR KONSEP HUKUM


PANCASILA – HUKUM YG BERDASARKAN NILAI2 DAN
KEPRIBADIAN BANGSA = HUKUM ADAT


TUMBUHNYA ILMU HUKUM ADAT
BERWAWASAN NASIONAL

 Tokoh: Soepomo, Djojodigoeno, Moh. Koesnoe, dll.

 Landasan teoritis: SUMPAH PEMUDA 1928

 MENGEMBANGKAN STUDI HUKUM ADAT DGN


MENELITI NILAI-NILAI & ASAS HK ADAT YG
UNIVERSAL.  PENDEKATAN ILMU HUKUM 
STUDI NORMATIF  DEDUKTIF
SEMOGA RANYING HATALA LANGIT/TUHAN YANG
MAHA KUASA MEMBERKATI KITA SEMUA

Anda mungkin juga menyukai