Anda di halaman 1dari 6

SEBAB PANNAI / TIKAM

Saat Mattaliu datang, Raodah keadaannya sangat mengenaskan. Diruang kamar yang
cat dan seluruh perabotnya berwarna putih, tubuhnya terlentang di ranjang. Pergelangan
tangan, kaki, pinggang, dan dada dijerat dengan tali yang terbuat dari kulit semacam sabuk.
Dia masih pingsan akibat penagruh obat bius yang diberikan untuknya.

Sebenarnya Mattaliu berharap saat datang menjenguk, Raodah dalam keadaan siuman
dan ingin mendengar kisah dari versinya, mengapa sekarang dia seperti ini? Namun sayang
seribu sayang dia dalam keadaan tak sadarkan diri sebagai gantinya, Mattaliu hanya
mendengarkan celoteh suster jaga.

“Maaf kondisinya tentu tidak sesuai dengan apa yang Bapak harapkan. Dokter dan
psikiaternya mengintruksikan agar Ibu Raodah diikat sedemikian rupa karena kalau sadar ia
akan mencakar-cakar wajahnya sendiri. memukuli kepalanya, bahkan membentur-benturkan
kepalanya ke dinding.” Ujar suster.

Mattaliu semakin kecewa dan sedih mendengar perkataan suster yang setia menjaga
Raoda, kekasih sekaligus wanita yang sangat ingin dia miliki dengan ikatan yang halal.
Namun sayang Mattaliu tak lagi bisa mewujudkan harapannya.

“Kecantikan Raodah yang dulu aku kenali kini hilang. Padahal siapapun kalau
melihatnya tiga puluh satu hari yang lalu, pasti mengagumi Raodah. Bila ia wanita, biasanya
kekaguman itu dibarengi dengan rasa iri terhadap keindahan wajah dan bentuk tubuhnya. Jika
ia laki-laki, biasanya ia akan mengaguminya dan membayangkan kalau seandainya dia adalah
istrinya” ujar Mattaliu dengan berharap kecantikan Raodah masih tetap istrinya.

*Sekarang dan tiga puluh satu hari yang lalu.*

Raodah terbangun dari jangka waktu obat biusnya. Raodah cepat-cepat memperbaiki
kerudung sisa kesadarannya saat masih bersama Mattaliu. Suster yang jaga sedang keluar
mencari sarapan mungkin karena tidak cocok dengan makanan yang disediakan rumah sakit.

“haa?tempat apa ini? Keluarakan aku dari sini! Keluarkan aku dari sini! Apa kalian
terlalu banyak dosa hingga tak mendengarku? Apa kalian tidak memiliki telinga hingga tuli?
Keluarkan aku dari sini, tolong..keluarkan aku dari sini....” rengek Raodah sambil
menggenggam erat jeruji besi yang sudah mulai karatan.

Sebelum terkapar di ranjang ini, Raodah otaknya cerdas, tubuhnya molek, dan seluruh
kostum yang membungkus tubuhnya selalu serasi. Begitu juga properti yang ia kenakan,
mulai dari jam tangan, kacamata, tas, dan semuanya, meskipu buatan dalam negeri, tetapi
mampu memperlihatkan indah sosoknya.

“ Itulah mengapa aku tak hanya jatuh, tetapi tersungkur cinta padanya. Namun aku tak
sanggup mengungkapkanya. Itu tak mungkin terjadi, karena aku anak petani miskin.” Kata
Mattaliu.

Benar. Mattaliu adalah anak petani miskin bahkan biaya sekolah pun ia dapatkan dari
beasiswa Kalla Group sebagai anak duafa. Bagaimana mungkin ia meminang Raodah yang
dari keturunan Arung. Ia tak punya modal untuk uang pannai pernikahan. Tapi Mattaliu
sangat suka melerai kembali kenagannya bersama Raodah.

“Raodah, kamu tahu ndi’ kesalahn besar yang aku lakukan dengan kesadaran penuh
adalah duduk bersamamu pada usia 21 tahun. Wajah kamu kalau ditimpa cahaya rembulan
kecantikannya malah memebihi rembulan itu sendiri. seharusnya aku bisa duduk
disampingmu pada usia 19 tahun. Hiks.. aku rugu enam tahun.”

Menatap wajah Raodah yang tak karuan, ingatan Mattaliu melayang lagi pada saat
mengikuti perkuliahan Budaya dasar.dalam paparan makalahnya saat sedang duduk ditaman
kampus. Raodah katakan, “Kita perlu menelisik pannai dengan lebih bijak dan kekinian.”

Raodah adalah teman kuliah S1 Mattaliu dulu. Ia baru saja lulus sebagai doktor
termuda dair UNHAS. Kecantikannya adalah kecantikan wajah wanita Bugis, asli tanpa
silikon tetap saj melontarkan apa yang menggorogoti hatinya.

“ketahuilah... lantaran pannai, kelak nasib masa depan wanita tidak lagi ditangganya
sendiri, tetapi ditangan keluarga besar sang suaminya...pamanya,tantenya. Kalau dipikir, tahu
apa mereka tentang hidup kita?menentukan hidup dengan hidup sebagai cara kita sendiri
adalah hak. Tapi ‘nasaba’ ye doi’ balancae’ hal ini bisa amblas, tak dapat kita raih”. Ungkap
Raodah meledak-ledak dihadapan kekasihnya.

“Kesalahan terbesar dala hidup, salah satunya adalah ketiks memilih psdsnsgn hidup
yang salah. Hah... saya emosi nih sama kamu kalau membicarkan tentang ini. Ini adalah
tentang pannai. Saya tahu ada laki-laki yang mencintai saya dan upoji toi. Namun lelaki ini
tak punnya modal untuk membawa uang pannai kepada keluargaku. Akhirnya dia lebih
memilih mengkhianati kejujuran hatinya.” Ungkap Raodah dan mattaliu hanya memaku diri
saja di kursi. Ia tahu kalua pernyataan Raodah dujuruskan kepadanya.

“namun lelaki itu lebih memilih membiarakan cintaku terlunta-luntaa. Cinta yang tak
mampu bertepuk, meski hanya sebelah tangan sekalipun. Lelaki ini tak yakin kalau saya
senggup memperjuangkannya.” Raodah menghela nafas.

Namun raodah tiga puluh hari yang lalu sungguh tak berdaya untuk memberontak. Ai
takut menjadi durkaha ketika tidak menuruti Bapak dan Ibunya. Kedua orang tuanya
mengancam tidak datang kesidang terbuka doktoralnya sebelum menikah. Namun inilah awal
kepedihan dia yang sebenarnya.

Tiga bulan lalu Raodah menikah dengan seorang pengusaha muda yang sangat sukses,
Zaenuddin namanya. Raodah cantik dan kandidat doktor, dosen muda yang penuh prestasi di
UNHAS, maka besarlah uang pannainya.

“Buat saya pernikahan itu sesuatu yang agung, jadi menikah semestinya atas
kehendak saya. Kepada siapa cinta saya harus berlabuh. Kepad asiapa pengabdian akan saya
berikan. Kepada siapa tubuh ini akan saya serahkan...walaupun tanpa pannai. Saya adalah
diri yang paling berhak atas kebahagianku Ibu”. Argumen Raodah diverbalkan dengan sangat
geram. Seisi ruang kamar Rodah tenang.

“adat tetaplah adat Ibu, harus kita hormati dan hargai, tetapi bukan keharusan untuk
selalu dan semuanya dipatuhi kan Ibu? Suaranya melirih.

“baik jika itu mau kamu Nak, tapi jangan salahkan Ibu jika bapak akan marah besar
denganmu.” Jawab Ibu.

Raodah tak mampu mengelak. Pada saat uang pannai disetujui, pernikahan pun
digelar di ruang Pinishi Hotel Gran Clarion. Tidak tanggung-tanggung kedua ruang pinishi
itu disewa seklaigus. Meriah.. tamunya dari mulai ketua HIPMI dan isrinya, ketua IWAPI
dan suaminya, sebagian besr anggota DPRD, Walikota, Gubernur, Kapolda, panglima
Kodam, bahkn beberapa menteri pun hadir.
Ijab kabul pun dilaksanakan. “ saya nikahkan anda dengan Raodah binti Andi Tanri,
dengan mas kawin seprangkat alat shalat dan uang tunai sebesar 2 miliyar rupiah dibayar
tunai” kata penghulu dengan sakral.

“saya terima nikahnya Raodah binti Andi Tanri, dengan mas kawin seperangkat alat
shalat dan uang tunai sebesar 2 miliyar rupiah dibayar tunai” jawab Zaenuddin.

Sah... para tamu undangan serentak. Suster juga dulu datang pada saat pesta
perwakinan awalnya memang mereka adalah teman akrab.

“selamat yang Ra, tidak apa-apa semoga kamu mendapatkan yang terbaik” suster
berkata.

“Iya,terima kasih Fatma, kuharap juga begitu”

Selama pernikahan Raodah dan Zaenuddin tidak pernah bersentuhan, karena


Zaenuddin juga memiliki kekasih yang sangat dicintainya. Setiap hari Raodah dan Zaenuddin
hanya bertegur sapa, Zaenuddin selalu cuek kepada Raodah. Raodah selalu mengadu kepada
Ibunya. Namun, karena seluruh keluarga sudah menikmati pannai maka Ibu hanya bisa
menyuruhnya untuk bersyukur.

Dan sampai pada suatu malam. Kemarahan Raodah tak terkendalikan lantaran pagi
harinya saat menjalani sidang terbuka doktoral di UNHAS, sumainya tak datang. Zaenuddin
lebih memilih meeting dengan kolega bisnisnya di hotel. Tiba-tiba Mattaliu hadir, dan ia
merasakan saat itu dada Raodah sudah mulai terbakar. Namun Raodah tetap tenang seperti
biasanya bahkan pada saat dinyatakan lulus cum laude.

Sorenya sepulang dari kampus, seperti biasa Raodah menjalankan rutinitas sebagai
istri, masak meu kesukaan suaminya, pallumara dan ikan kembung goreng dengan sambal
terasi, lengkap dengan sambal goreng rempela ayam. Bayangkan di hari dimana dia mendapat
anugrah sebagai doktor terbaik, masih juga harus masak.

“. Bayangkan di hari dimana dia mendapat anugrah sebagai doktor terbaik, masih juga
harus masak.” Celoteh Raodah sambil membereskan piring makan.

Usai masak, Raodah menanti suaminya pulang, tetapi sampai pukul sepuluh malam
dia baru sampai. Seperti biasanya, Raodah membukakan jasnya, dasinya, lalu sepatunya,
kemudian kaus kakinya. Menyodorkan sandal selop ke kedua kakinya. Dia pun segera
mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian tidur yang telah Raodah siapkan di bibir ranjang.

“purana’ manre’ nangnge’. Ko melo’ko manre, anreno, jika kamu mau makan,
silahkan!” kata Zaenuddin sambil berlalu ke kamar mandi. Suaminya ternyata sudah makan
di luar dan mempersiapkan Raodah makan sendiri.

Raodah ternganga, bayangkan ia sudah menahan lapar dari jam enam petang tadi.
Berharap bisa makan malam bersama suaminya. Lalu secara spesial Zaenuddin mengucapkan
apalah artinya keberhasilannya sebagai doktor dengan predikat terbaik. Namun dia malah
mengabaikannya. Ini sungguh keterlaluan! Batin Raodah. Bukan hanya selera makan yang
dirusaknya, tapi juga kegembiraan Raodah yang baru saja lulus cumlaude sebagai doktor
termuda di UNHAS.

Ada lahar gunung berapi yang menggoda Raodah dengan kuatnya. Begitu Zaenuddin
keluar dari kamar mandi, Raodah menyambar salah atu badik leluhur suaminya yang
dipajang pada dinding kamar. Ia tikam lelakinya berkali-kali. Emosinya tak terkendali dan
inilah asal mula ia masuk rumah sakit jiwa.

“Menurut Dokter dan psikoaternya... perilakunya mengindikasikan telah lama


diderita. Lebih dari lima tahun lalu” ujar suster di samping Mattaliu.

“ibu Raodah selalu mengatakan “apa suamiku masih meeting? Lama sekali dia
meeteng? Aku sudah masak makanan kesukaannya” kadang ducapkan dengan mata yang
kosong, kadang-kadang menyala-nyala.”

“o ya... tadi pagi beliau bertanya kepada saya ‘kamu kenal Mattaliu? Setelah aku
tikam tiga kali, jasad Mattaliu dikuburkan di mana? Aku ingin ziarah ke kuburnya. Aku ingin
membasuh nisannya dengan ludahku.’ Beliau mengakhiri kalimatnya dengan tertawa seakan
puas.” Ungkap suster sambil menutupi tubuh Raodah denagn selimut putih yang dibawanya.

Cras.. jantung Mattaliu seakan ditikam badik yang tergenggam di tangan Raodah.
Mattaliu meskipun masih bernafap dan kokoh berdiri di samping Raodah yang tergolek di
ranjang, merasa telah sampai pada hakikat kematian yang sesungguhnya.

Anda mungkin juga menyukai