Seseorang yang melakukan bepergian jauh diberi keringanan (rukhsah) dalam tatacara
pelaksanaan shalat. Agama memperbolehkan seorang musafir melakukan peringkasan
(qashar) dalam shalat berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat, yakni shalat zhuhur,
ashar dan isya'. Konsensus (ijma') ulama tidak memperbolehkan qashar untuk shalat
maghrib dan subuh.
1. Jawaz (boleh).
Seseorang boleh melakukan qashar bila perjalanan sudah mencapai 84 mil/16 Farsakh
atau 2 Marhalah/80,640 km (8 kilometer lebih 640 m), tetapi belum mencapai 3
Marhalah/120, 960 km (120 kilometer lebih 960 meter). Qashar boleh dilakukan oleh
mereka yang selalu bepergian di darat maupun laut, baik mempunyai tempat tinggal
ataupun tidak. Dalam jarak sekian ini mereka semua sunah/lebih baik tidak melakukan
qashar.
3. Wajib
Apabila waktu shalat tidak cukup untuk digunakan kecuali dengan cara meringkas shalat
(qashar), maka ia wajib qashar.
2. Jarak yang akan ditempuh minimal 2 marhalah/16 farsakh (48 mil)/4 barid/perjalanan 2
hari. Sedangkan dalam menentukan standar jarak menurut ukuran sekarang terdapat
beberapa pendapat:
a. Jarak 80,64 km (8 km lebih 640 m) (Lihat Al-Kurdi, Tanwirul Quluub, Thoha Putra, juz I
hal 172).
3. Shalat yang di-qashar adalah shalat ada' (shalat yang dikerjakan pada waktunya/bukan
qadha') atau shalat qadha' yang terjadi dalam perjalanan. Sedangkan shalat qadha' dari
rumah tidak boleh di-qashar.
4. Niat qashar shalat saat takbiratul ihram. Sedangkan niatnya sebagai berikut.
ُّ ض
ِ ِ الظه ِْر َم ْقص ُْو َر ًة
هلل َت َعا َلى َ ُأ
َ ْصلِّيْ َفر
Artinya, “Saya niat shalat fardhu zhuhur dengan qashar karena Allah ta’ala.”
Atau bisa dengan niat sebagai berikut.
Niat di atas diharuskan terjaga selama shalat berlangsung, dan seandainya terjadi
keraguan pada seseorang ketika shalat (semisal ragu-ragu qashar ataukah
menyempurnakan, sudah melakukan niat qashar ataukah belum dan sebagainya), maka
baginya diwajibkan untuk menyempurnakan shalat (itmam), namun tidak harus
membatalkan shalatnya akan tetapi langsung diteruskan tanpa meng-qashar.
5. Tidak dilakukan dengan cara mengikuti (bermakmum) kepada imam yang melaksanakan
shalat itmam (tidak meng-qashar), baik imam tersebut berstatus musafir ataukah muqim
(tidak bepergian) atau pada imam yang masih diragukan keadaan bepergiannya.
7. Dilaksanakan ketika masih yakin dirinya (Al-Qashir) masih dalam keadaan bepergian
sehingga ketika di tengah-tengah shalat muncul keraguan atau bahkan yakin dirinya telah
sampai di daerah muqimnya (desanya) kembali, maka ia berkeharusan menyempurnakan
shalatnya.
8. Bepergian dengan tujuan yang jelas (daerah/tempat tertentu) sehingga seperti orang
yang kebingungan mencari tempat tujuan (Al-Haim), orang yang pergi mencari sesuatu
yang tidak jelas tempatnya, dan sebagainya tidak diperkenankan untuk meng-qashar
shalat. Wallahu a‘lam. (Mohammad Sibromulisi)