Anda di halaman 1dari 5

Nama : Sifrotul Faroh

NIM : 2101418045

Prodi : PBSID

Rombel : 2

Analisis Novel “Gadis Pantai” dengan Menggunakan Pendekatan Pragmatik

A. Identitas Novel
Judul : Gadis Pantai
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara
Tebal Buku : 270 halaman
Sinopsis :
Roman ‘Gadis Pantai’ menceritakan tentang seorang Gadis Pantai (namanya memang
demikian, alias tidak memiliki nama) sebagai tokoh utama. Ia adalah gadis belia dari pesisir pantai
utara Jawa Tengah, di sebuah kampung nelayan yang miskin, berlokasi di Rembang. Tak seperti
perempuan pesisir pada umumnya yang berkulit hitam, Gadis Pantai ini berkulit putih bersih
dengan mata sipit. Kecantikanya memikat hati seorang pembesar santri setempat yang tinggal di
kota, yaitu seorang yang bekerja pada administrasi Belanda. Pembesar yang disebut ‘Bendoro’ itu
tinggal di sebuah Gedung Besar di kota Rembang. Gadis Pantai yang baru berusia 14 tahun itu,
dipaksa oleh Emak dan Bapaknya untuk menikah dengan Bendoro dengan harapan ia akan bahagia
sekaligus mengangkat derajat Emak dan Bapaknya jika bersedia diboyong ke Keresidena atau
Gedung Besar tempat tinggal Bendoro.
Pernikahan antara Gadis Pantai dengan Bendoro hanya diwakili oleh sebilah keris. Hal ini
dikarenakan Gadis Pantai hanya dijadikan istri sementaranya, teman seranjang, dan bukan sebagai
teman hidupnya.Pernikahan yang sesungguhnya bagi Bendoro adalah pernikahan dengan wanita
priyayi yang sederajat dengan dia.
Setelah Gadis Pantai menikah dengan Bendoro, kemudian ia dibawa ke Gedung Besar tempat
tinggal Bendoro. Mula-mula Ia merasa seperti dalam “penjara”, ia hanya bisa berkomunikasi
dengan seorang pelayan tua atau biasa disebut “sahaya”, tidak boleh bertemu dengan orang lain.
Berbeda seperti ketika di kampungnya yang bebas bermain sepuasnya. Namun lambat laun, melalui
cerita-cerita dan nasihat-nasihat dari pelayan tuanya itu, Gadis Pantai luluh dan mengerti apa yang
harus dilakukan yaitu mengabdi dan taat kepada Bendoro yang tak lain adalah Suaminya.
Gadis Pantai juga mulai mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang berguna,
sepertimanyulam, membatik dan belajar mengaji yang tentunya semuanya diajarkan oleh gurunya.
Ditahun kedua pernikahanya dengan Bendoro, ia mulai lebih mengakrabkan diri dengan Bendoro.
Apabila ditinggal pergi Bendoro, ia merasa kesepian dan menjadi pencemburu, karena ia telah
memahami kedudukanya sebagai ‘Wanita Utama’ walaupun hanya sementara. Ditahun kedua itu
juga pelayan tuanya diusir oleh Bendoro dari Gedung Besar, karena suatu masalah yang tidak begitu
besar.Hal ini membuat Gadis Pantai merasa kesepian dan merasa tak ada lagi pembimbing bagi
dirinya ketika ada suatu masalah.
Tentu saja ada yang tak suka dengan keberadaan Gadis Pantai di rumah Bendoro, terutama
dari keluarga besar si Bendoro sendiri.Mereka mengharapkan Bendoro secepatnya mengambil istri
yang sederajat. Seorang Bendoro Demak yang menginginkan putrinya kawin dengan si Bendoro
akhirnya mengutus Mardinah untuk menghabisi Gadis Pantai, dengan imbalan Mardinah akan
diangkat menjadi istri kelima. Rencana dilaksanakan ketika Gadis Pantai pulang ke rumahnya di
pinggir pantai, namun gagal.
Gadis Pantai kemudian hamil dan kemudian ia melahirkan seorang bayi perempuan.
Menurut suaminya, anak perempuan tidak ada gunanya dan tidak lebih baik dari anak laki-laki. Tapi
3 bulan kemudian, Gadis Pantai “diceraikan”, dan dipulangkan dengan paksa, serta anaknya harus
ditinggal di rumah Bendoro. Dengan hati hancur Gadis Pantai meninggalkan anaknya di rumah si
Bendoro.Ia malu dengan keadaannya yang tak bersuami, tak punya rumah, dan anaknya dirampas
oleh Bapaknya sendiri, Gadis Pantai memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halamannya. Tapi
ia berbelok ke selatan, ke wilayah Blora. Selama sebulan setelah kepergiannya, ia selalu mengawasi
keadaan rumah si Bendoro. Namun setelahnya, ia tak kelihatan lagi.

B. Analisis Novel

Salah satu hal untuk mengapresiasi karya sastra dengan menggunakan pendekatan pragmatik
adalah dengan cara membahas dan menganalisis nilai moral yang terdapat dalam karya sastra
tersebut, yaitu sejauh mana sebuah karya sastra menawarkan refleksi moralitas kepada
pembacanya. Sehingga pada analisis novel “Gadis Pantai” ini akan membahas hubungan antara
karya sastra dan pembacanya, yaitu pesan moral apa yang disampaikan oleh karya sastra kepada
pembacanya.

Pengarang banyak memberikan pesan moral melalui rangkaian alur cerita yang ia bangun.
Dalam roman ini, diceritakan bahwa tidak seharusnya seorang ibu dipisahkan dari anak yang telah
dikadung dan dilahirkannya, seperti dalam cuplikan dialog berikut :

“Mestikah saya pergi tanpa anak sendiri? Tak boleh balik ke kota untuk melihatnya?”

“Lupakan bayimu. Anggap dirimu tak pernah punya anak.” (hal. 257).

Apalagi Bendoro hanya menjadikan Gadis Pantai sebagai ‘istri percobaan’ sebelum akhirnya ia
menikah dengan seorang dari kalangan bangsawan. Ia hanya menganggap Gadis Pantai hanya
mengabdi padanya sebagai seorang rendahan kepada atasan, lalu membuang Gadis Pantai atau
mengembalikannya pada bapaknya setelah Gadis Pantai melahirkan anaknya.

Tindakan tersebut merupakan tindakan dari praktik sistem Feodalisme Jawa yang tidak
berperikemanusiaan.

Selain itu, alur novel ini juga sangat kental dengan budaya patriaki, dimana peran laki-laki dan
perempuan saat ini masih mendarah daging terutama bagi masyarakat menengah ke bawah yang
kurang memberikan pemahaman akan kesetaraan antara hak perempuan dan laki-laki. Pengarang
menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana kehidupan masyarakat Jawa dahulu yang sangat
mengagung-agungkan peran laki-laki. Secara eksplisit pengarang memberikan pandangan agar
perempuan harus memiliki peran yang besar seperti halnya laki-laki. Sehingga pembaca dapat
memahami bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kebebasan yang sama.
Perempuan kini dapat tampil dalam ruang-ruang publik seperti halnya laki-laki.
Seperti yang sdah kita ketahui bahwa budaya patriarki ini mampu mempersulit dan
merugikan posisi perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Hal itu bisa dilihat dengan masih
banyaknya orang tua yang memiliki anggapan bahwa perempuan hanya sebagai konco wingking
atau bisa diperjelas dengan “setinggi-tingginya taraf pendidikan, seorang perempuan hanya akan
berada di dapur”. Bahkan tak jarang kita melihat teman-teman di sekitar kita yang langsung
dijodohkan setelah lulus SMA, atau bahkan masih SMP. Sangat disaangkan ketika budaya semacam
itu masih tumbuh di mana-mana.
Perempuan tidak dapat tampil dalam ruang-ruang publik, mereka tidak boleh keluar rumah
untuk mendermakan kemampuan dan keahlian yang tersimpan bagi kemaslahatan masyarakat,
bahkan mereka dicegah untuk mendapatkan hak-hak memperoleh pendidikan yang layak. Hal
mengenaskan justru perlakuan diskriminatif ini lahir karena keyakinan mereka demi menjaga
kesucian perempuan, menjauhkannya dari fitnah, mencegahnya dari perlakuan tidak senonoh dari
lelaki bejat dan lain-lain. Maka tidak ada cara lain, yang ada dalam cara pikir masyarakat awam
kecuali mengurung perempuan untuk tidak keluar dari rumahnya, dengan dalih menjaga kesucian
tersebut.
Hal itu pula yang tergambar jelas dalam novel Gadis Pantai ini, bisa disimpulkan meskipun
secara tersirat sang Bendoro hanya memperlakukan isterinya dengan perlakukan sebagaimana
mestinya, ketika sang isteri memberikan keturunan laki-laki kepadanya. Namun, bila tidak nasib
sang isteri akan ditelantarkan dan anak keturunannya akan dirampas. Tampak dalam kutipan
berikut :

“kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu : kini ia
bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emanya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang
yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.” (Gadis Pantai, Hlm. 12).

Tampak sekali budaya patriaki di Jawa ketika itu sangat kental, dan benar-benar semua
harapan yang disandang kaum perempuan yang notabene sebagai ibu yang melahirkan saja.
Sehingga secara tidak langsung novel ini merupakan salah satu bentuk kritik sosial dari adanya
budaya patriarki yang melekat pada masyarakat.

Melalui novel ini pembaca dapat mengetahui beberapa budaya masyarakat Jawa dahulu.
Pembaca akhirnya tahu bahwa dahulu, Jika seorang priyayi menikah dengan gadis dari tingkat kelas
yang lebih rendah, maka gadis itu belum dianggap sebagai istri sahnya. Priyayi itu masih dianggap
perjaka jika belum menikah dengan wanita dari kalangan yang sederajat dengannya. Tentu hal
tersebut sangat merugikan perempuan. Seperti terlihat dari cuplikan dialog : 
”Jadi Mas Nganten tahu siapa sahaya. Seseorang yang kebangsawanannya lebih tinggi dari
Bendoro telah perintahkan sahaya kemari. Sudah waktunya Bendoro kawin benar-benar dengan
seorang gadis yang benar-benar bangsawan juga. Di Demak sudah menunggu. Siapa saja boleh
Bendoro ambil, sekalipun sampai empat.”  (Gadis Pantai, Hlm. 132).
Lalu :
”Perjaka? jadi aku ini apanya?”
”Apa mesti sahaya katakan? Bendoro masih perjaka sebelum beristrikan
wanita berbangsa.”  (Gadis Pantai, Hlm. 155).

Pada novel ini juga sangat tampak adanya raktik sistem Feodalisme Jawa yang tidak
berperikemanusiaan. Dalam novel ini, Gadis Pantai yang rupawan berhasil menarik hati seorang
pembesar di kota. Keluarganya pun membawa gadis lugu itu ke rumah sang Bendoro. Gadis Pantai,
yang masih belum paham akan cinta, pernikahan, serta masa depan dirinya pun dinikahkan dengan
Bendoro.

Dapat diketahui bahwa tujuan dari seorang ningrat di zaman feodal seperti itu memperistri
orang rendahan adalah karena Gadis Pantai ada di rumah mewah itu hanya sebagai pemuas nafsu
Bendoronya sampai lelaki itu mendapatkan wanita yang juga ningrat untuk dijadikan sebagai
pendamping. Tentu saja, hal tersebut merupakan tindak kejahatan yang tidak disadari masyarakat
tetapi bukan berarti tidak nyata. Ternyata budaya feodalisme Jawa dahulu mampu sekejam itu.
Sangat ketat akan aturan dan unggah-ungguh. Tata krama Jawa tidak ada yang bisa mengalahkan.

Akhirnya Gadis Pantai tidak kuasa melawan aturan dan segala feodalisme itu seorang diri. Ia
menyerah dan meninggalkan buah cintanya dengan Bendo di rumah sang Bendoro. Dengan
harapan bahwa sang anak tidak perlu menjadi orang rendahan yang mati susah hidup pun segan. Ia
akan menjadi anak Bendoro, tinggal di rumah bagus dan diakui derajatnya. Setidaknya itu pikiran
Gadis Pantai. Namun, ia pun tak mampu untuk kembali ke kampungnya. Ia memilih pergi ke Blora
dan memulai hidup baru seorang diri.

Sehingga dalam novelnya ini pengarang sangat cermat dalam mengusung perlawanan
terhadap feodalisme Jawa. Hal ini dinyatakan dalam bentuk kehidupan si Gadis Pantai yang berasal
dari kelas rendah dan kemudian dinikahi oleh pembesar. Penyadaran-penyadaran akan nasib kaum
teralienasi itu disampaikan Pramoedya dalam bentuk narasi-narasi yang menceritakan
ketertekanan gadis pantai menjalani hidupnya di bawah bayang-bayang suaminya yang berasal dari
kelas lebih tinggi dari dirinya.

Pramoedya seolah-olah menegaskan bahwa feodalisme Jawa selayaknya dihapuskan karena


menciptakan kesenjangan sosial dan memperburuk kehidupan masyarakat. Dalam sebuah dialog
dinyatakan, 

“Ya, orang kebanyakan seperti sahaya inilah, bekerja berat tapi makan pun hampir tidak.” (Gadis
Pantai, Hlm. 54).
Kesenjangan sosial tersebut berdampak buruk pada psikologi tokoh dan status sosialnya di
masyarakat, seperti dalam cuplikan dialog :
Bapak? mengapa bapak segan menatap aku? anaknya sendiri. dan bumi di bawah kakinya terasa
goyah. Kampung nelayan ini telah kehilangan perlindungan yang meyakinkan baginya. Sedang di
belakang terus mengikuti mata-mata Bendoro yang tak dapat dikebaskan dari bayang-bayangnya.
Ia masih kenal benar siapa-siapa yang menjemputnya—tetangga-tetangganya. Ada yang dulu
menjewernya. Ada yang mendongenginya. Ada yang pernah mengangkat dan menggendongnya
sewaktu habis jatuh dari pohon jambu. ada yang sering dibantunya menunggu dapur. Dan ada
bocah-bocah kecil yang digendongnya dulu. Antara sebentar ia dengar kata Bendoro Putri!
Bendoro! Bendoro! Bendoro Putri! kata itu mendengung memburu. Mengiris dan meremas di dalam
otaknya. Bendoro! Bendoro Putri! Bendoro! Bendoro Putri! Dan berpasang-pasang mata yang
menunduk hormat bila tertatap olehnya seakan menyindirnya: semu, semu, semua semu!  (Gadis
Pantai, Hlm. 165).

Sesuai dengan tujuan aliran realisme sosialis, novel ini memperjuangkan agar tidak terdapat
lagi masyarakat berkelas-kelas. Novel ini di samping mencerminkan kenyatan sosial pada masa itu
di Jawa juga menyuarakan perlawanan terhadap kelas tinggi dalam masyarakat Jawa dalam novel
ini diwakili oleh tokoh Bendoro.
Novel ini sangat kritis membicarakan feodalisme Jawa pada masa itu. Novel yang mampu
mewakilkan suara rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi yang
berada di genggaman pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat memilukan, bahwa status sosial
sangatlah penting pada masa itu. Golongan priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang
suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat bawahnya,
termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya
dicampakkan begitu saja.
Selain adanya penggambaran feodalisme Jawa, yang menarik dalam novel ini juga karena
mengangkat isu-isu gender di dalamnya. Penindasan laki-laki terhadap perempuan, pengekangan
hak ibu terhadap anak dan tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah tersebut di dalam
sistem feodalisme Jawa pada masa itu.
Terlebih lagi, anggapan rakyat feodal bahwa anak laki-laki adalah anak yang bisa dibanggakan
dan anak yang bisa meneruskan kekuasaannya, sehingga anak perempuan itu seperti manusia yang
menyusahkan, tidak berdaya dan tidak dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari sikap sang Bendoro
ketika ia tahu bahwa Gadis Pantai melahirkan seorang bayi perempuan, betapa murkanya ia. Secara
struktural, dalam relasi-relasi konkret antar tokoh, novel ini cenderung menempatkan perempuan
dalam posisi yang inferior di hadapan laki-kali. Sehingga novel ini mengandung banyak kritik sosial
dan gagasan mengenai emansipasi perempuan, pembebasan perempuan dari penindasan budaya
yang patriarkis.

Anda mungkin juga menyukai