Anda di halaman 1dari 10

REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH

Pendahuluan

Sejak era reformasi tahun 1998 paradigma pembangunan di Indonesia


telah bergeser dari model pembangunan yang sentralistik menjadi
desentralistik. Pembagian kewenangan menjadi bagian dari arah
kebijakan untuk membangun daerah yang dikenal dengan istilah
kebijakan ‘’Otonomi Daerah.’’ Hal tersebut ditandai dengan adanya
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Pelimpahan kewenangan tersebut mempunyai pengaruh terhadap cara-
cara mempertanggungjawaban keuangan pusat, dan khususnya
daerah.

Perkembangan sistem tata kelola pemerintahan di Indonesia dalam dua


dasawarsa terakhir 1998 s.d 2020 mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Dalam kurun waktu yang relative singkat, pemerintah Indonesia
telah melewati serangkaian proses reformasi sector publik, khususnya
reformasi manajemen keuangan keuangan daerah. Pada dasarnya
reformasi manajemen keuangan daerah merupakan berkah dari
gerakan reformasi yang digelorakan pada tahun 1998 setelah Indonesia
mengalami krisis multidimensi. Tonggak sejarah reformasi manajemen
keuangan daerah ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal yang dimulai 1 Januari 2001. Tujuan pelaksanaan
otonomi daerah tersebut secara umum yaitu untuk meningkatkan
kemandirian daerah, memperbaiki transparansi dan akuntabilitas
publik atas pengelolaan keuangan daerah. Meningkatkan responsivitas
pemerintah terhadap kebutuhan publik, meningkatkan partisipasi
publik dalam pembangunan daerah, meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pengelolaan keuangan dan pelayanan publik serta
mendorong demokratisasi di daerah.
Manajemen keuangan daerah menjadi begitu penting bagi aparat
pemerintahan di daerah karena merupakan konsekwensi logis dari
perspektif pengelolaan perimbangan antara keuangan pusat dan
daerah. Transformasi nilai yang berkembang dalam era reformasi ini
adalah meningkatnya penekanan proses akuntabilitas publik atau
bentuk pertanggungjawaban horizontal, khususnya bagi aparat
pemerintahan di daerah, tanpa mengesampingkan pertanggungjawaban
vertical kepada pemerintahan atasan dalam segala aspek pemerintahn,
termasuk aspek penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan
daerah sesuai dengan Surat Keputusan Mendagri No. 29 Tahun 2002.

Perkembangan Reformasi Manajemen Keuangan Daerah


Reformasi manajemen keuangan daerah di Indonesia dapat dikatakan
cukup terlambat hampir dua dasawarsa dibandingkan dengan
reformasi yang telah dilakukan di Negara-negara maju di Eropa dan
Amerika Serikat. Pemerintah Indonesia termasuk terlambat jika
dibandingkan Negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Singapura
dan Selandia Baru yang sejak 1970an dan 1980an telah melakukan
serangkaian reformasi di bidang manajemen keuangan publik.
Singapura misalnya, telah menggunakan anggaran berbasis kinerja
sejak tahun 1980an, sedangkan pemerintah Indonesia baru
menerapkannya tahun 2001. Pemerintah Inggris telah mereformasi
sektor publiknya dengan konsep New Public Management (NPM) sejak
tahun 1980an. Amerika Serikat menggunakan anggaran dengan
pendekatan Planning Programing Budgeting System (PPBS) secara luas
tahun 1965 dan Zero Base Budgeting (ZBB) tahun 1973. Selandia Baru
secara radikal menggunakan akrual basis sejak tahun 1990an.

Secara historis, perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah di


Indonesia dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu:

1) Era pra otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (1974-1999)


2) Era transisi otonomi (2000-2003)
3) Era pasca transisi (2004-sekarang)
Era pra otonomi daerah merupakan pelaksanaan otonomi ala orde baru
berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 yang bersifat sentralis, top down
planning dan budgeting, penggunaan anggaran tradisional, rezim
anggaran berimbang, sistem pembukuan tunggal dan akuntansi basis
kas. Selama fase pertama, praktis belum ada sistem akuntansi
keuangan daerah yang baik, yang ada baru sebatas tata buku.
Pengelolaan keuangan daerah berdasarkan buku Manual Administrasi
Keuangan Daerah (MAKUDA) tahun 1981 yang pada esensinya sekedar
penatausahaan keuangan atau tata buku. Era otonomi semu ini
berlangsung selama 25 tahun sampai pelaksanaan otonomi luas dan
nyata berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999
yang bersifat desentralisasi, bottom up planning and budgeting, sistem
pembukuan berpasangan dan basis kas modifikasian. Reformasi
manajemen keuangan daerah mulai dilaksanakan setelah
diberlakukannya UU No.22 dan UU No.25 Tahun 1999. Sebagai upaya
konkrit, pemerintah mengeluarkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah dan PP no.108
Tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Kepala Daerah dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah. Langkah selanjutnya secara bertahap
mengganti MAKUDA menjadi sistem akuntansi dengan dikeluarkannya
Kepmendagri No.29 Tahun 2002 yang menandai era transisi otonomi
menuju sistem yang lebih ideal.

Era transisi otonomi adalah masa antara tahun 2000 hingga 2003 yang
merupakan masa awal implementasi otonomi daerah. Fase ini ditandai
dengan masih belum mantapnya perangkat hukum, kelembagaan,
infrastruktur dan sumber daya manusia daerah dalam mewujudkan
tujuan otonomi daerah. Dalam masa transisi ini masih sering terjadi uji
coba sistem baru, sehingga sering terjadi revisi peraturan perundangan
di bidang pengelolaan keuangan negara/daerah.

Era pasca transisi adalah masa setelah diberlakukannya paket


peraturan perundangan yang merupakan suatu peraturan menyeluruh
dan komprehensif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan,
pengauditan dan evaluasi kinerja atas pengeloaan keuangan daerah.

Aspek Utama Reformasi Birokrasi dan Reformasi Manajemen


Keuangan Daerah
Reformasi birokrasi merupakan upaya sistematis, terpadu dan
komprehensif untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik (good
governance), meliputi aspek kelembagaan, sumber daya manusia
aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas, pengawasan, dan pelayanan
publik. Reformasi Birokrasi merupakan transformasi birokrasi menjadi
organisasi yang inovatif, fleksibel dan responsif dalam memecahkan
masalah dan memenuhi kebutuhan masyarakat.

Aspek utama reformasi manajemen keuangan daerah meliputi :


a. Perubahan sistem anggaran dari sistem anggaran tradisional
menjadi sistem anggaran berbasis prestasi kerja atau
anggaran kinerja
b. Perubahan kelembagaan pengelolaan keuangan daerah dari
sistem sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat
daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing
satuan kerja
c. Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal
(single entry system) menjadi sistem tata buku berpasangan
(double entry system)
d. Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis)
menjadi basis akrual (accrual basis)
Perubahan sistem anggaran dilakukan sebagai langkah reformasi
keuangan daerah. Perubahan sistem penganggaran tersebut meliputi
perubahan dalam proses penganggaran dan perubahan struktur
anggaran. Perubahan proses penganggaran terkait dengan perubahan
proses penyusunan anggaran yang sebelumnya bersifat sentralis dan
top down diubah menjadi sistem anggaran partisipatif. APBD sebelum
reformasi disahkan oleh presiden melalui menteri dalam negeri, dengan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, APBD cukup disahkan oleh
DPRD. Sedangkan perubahan pada struktur anggaran yaitu adanya
perubahan dari struktur anggaran tradisional dengan pendekatan
anggaran berimbang menjadi struktur anggaran baru dengan
penganggaran berbasis kinerja. Penganggaran berbasis kinerja
merupakan pendekatan penganggaran yang menekankan pencapaian
hasil (outcome) dari program dan kegiatan yang dibiayai dengan APBD
dikaitkan dengan target kinerja terukur. Setiap anggaran dikaitkan
dengan target kinerja yang hendak dicapai , terdapat indikator kinerja
yang jelas untuk mengukur keberhasilan anggaran, meliputi indikator
input, output dan outcome. Apabila terjadi sisa anggaran pada akhir
periode maka sisa anggaran tersebut tidak akan hangus, tetapi dapat
digunakan sebagai sumber pembiayaan untuk tahun anggaran
berikutnya yang masuk dalam katagori Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran (SILPA). Ada tidaknya SILPA dan besar kecilnya sangat
tergantung pada tingkat belanja yang dilakukan pemda serta kinerja
pendapatan daerah. Jika pada tahun anggarantertentu tingkat belanja
daerah relative rendah atau terjadi efisiensi anggaran, maka
dimungkinkan akan diperoleh SILPA yang lebih tinggi. Tetapi
sebaliknya jika belanja daerah tinggi, maka SILPA yang diperoleh akan
semakin kecil, bahkan jika belanja daerah lebih besar dari pendapatan
daerah sehingga menyebabkan terjadi deficit fiskal, maka
dimungkinkan tidak terdapat SILPA untuk tahun anggaran
bersangkutan, tetapi justru terjadi Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran
(SIKPA). Dengan demikian keberadaan SILPA tersebut memberikan
sinyal adanya kinerja anggaran yang baik pada tahun anggaran
bersangkutan.

Secara garis besar terdapat dua pendekatan utama yang


memiliki perbedaan mendasar dalam perkembangan anggaran sektor
publik yaitu :
1. Anggaran tradisional atau konvensional. Anggaran tradisional atau
konvensional merupakan pendekatan yang banyak dianut oleh
negara-negara berkembang. Ciri-ciri dari pendekatan ini antara
lain:
a. Incrementalism, yaitu hanya melakukan penambahan atau
pengurangan jumlah pada item-item anggaran tahun
sebelumnya, tanpa melakukan pengkajian yang mendalam.
Kelemahan pendekatan ini adalah tidak menjamin terpenuhinya
kebutuhan riil saat ini dan dapat menyebabkan terjadinya
kesalahan yang terus berlanjut, karena tidak dikaji lebih lanjut
apakah pengeluaran yang terjadi pada periode sebelumnya telah
didasarkan pada kebutuhan yang wajar.
b. Line item, yaitu anggaran yang didasarkan pada sifat dari
penerimaan dan pengeluaran, sehingga tidak memungkinkan
untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran
yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya
secara riil item tertentu sudah tidak relevan lagi untuk
digunakan pada periode sekarang. Dengan pendekatan ini tidak
memungkinkan dilakukan penilaian kinerja secara akurat,
karena tolok ukurnya semata-mata pada ketaatan dalam
menggunakan dana yang diusulkan.
c. Sentralis, yaitu penyiapan anggaran dilakukan secara terpusat
dan tidak tersedianya informasi yang memadai, sehingga
menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran, yang akan
menyebabkan terjadinya kesenjangan anggaran ( budgetary
slack).
d. Spefisikasi, yaitu proses pengganggaran terpisah untuk
pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
e. Tahunan, untuk proyek investasi, anggaran tahunan terlalu
pendek, sehingga akan mendorong munculnya praktik-praktik
yang tidak diinginkan seperti kolusi dan korupsi.
f. Prinsip anggaran bruto, prinsip anggaran kurang sistematik dan
tidak rasional, karena tidak didasarkan pada jumlah bersih.
2. Anggaran dengan pendekatan New Public Management (NPM).
Pendekatan NPM mendorong usaha untuk mengembangkan
pendekatan yang lebih sistematis dalam perencanaan anggaran
sektor publik. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul
beberapa teknik penganggaran sektor publik yaitu anggaran kinerja
(performance budgeting), Zero Based Budgeting (ZBB), dan Planning,
Programming, and Budgeting System (PPBS).

Anggaran dengan pendekatan NPM memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


a. Komprehensif atau komparatif
b. Terintegrasi dan lintas departemen
c. Proses pengambilan keputusan yang rasional
d. Berjangka panjang
e. Spesifikasi tujuan dan perangkingan prioritas
f. Analisis total cost dan benefit (termasuk opportunity cost)
g. Berorientasi pada input, output dan outcome, tidak hanya
sekedar input.
h. Adanya pengawasan kinerja.

Perubahan Kelembagaan Pengelolaan Keuangan Daerah.


Perubahan sistem penganggaran berupa penggunaan anggaran
berbasis kinerja berimplikasi pada perubahan kelembagaan
pengelolaan keuangan daerah. Penataan ulang kelembagaan
keuangan daerah bukan saja untuk menyesuaikan sistem anggaran
yang baru, tetapi juga dimaksudkan untuk mendukung tercapainya
tujuan desentralisasi fiskal. Beberapa perubahan kelembagaan
pengelolaan keuangan daerah tersebut antara lain:
a. Dari sistem sentralisasi pada Bagian Keuangan Sekretariat
Daerah menjadi sistem desentralisasi ke masing-masing SKPD.
Konsekuensinya setiap SKPD harus menyelenggarakan
akuntansi dan menyusun laporan keuangan SKPD. Badan
Pengelola Keuangan Daerah selanjutnya bertugas
mengkonsolidasikan
laporan keuangan seluruh SKPD menjadi laporan keuangan
pemda.
b. Pejabat yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah
meliputi:
1. Kepala Daerah selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan
Keuangan Daerah
2. Sekretariat Daerah selaku Kuasa Pemegang Kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Daerah sekaligus merupakan
Koordinator Pengelolaan Keuangan Daerah
3. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (Biro/Bagian
Keuangan)selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD)
sekaligus merupakan Bendahara Umum Daerah (BUD)
4. Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang
5. Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang
6. Pejabat Penatausahaan Keuangan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (PPK-SKPD)
7. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran SKPD
8. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran Pembantu
9. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)
c. Digabungkannya fungsi pemungutan pendapatan daerah yang
dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dengan fungsi
pengendalian belanja yang dilakukan oleh Biro/bagian keuangan
dalam satu lembaga yaitu Badan Pengelola Keuangan Daerah
(BPKD). Peleburan fungsi penerimaan dan pengeluaran dalam
satu atap tersebut dimaksudkan agar perencanaan dan
pengendalian keuangan daerah menjadi lebih mudah dilakukan,
komprehensif dan tidak terfragmentasi.

Perubahan sistem akuntansi dari sistem tata buku tunggal (single


entry system) menjadi sistem tata buku berpasangan (double entry
system). Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
publik dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal, maka diperlukan reformasi akuntansi sektor publik
di Indonesia. Reformasi akuntansi tersebut merupakan salah satu
agenda penting dari reformasi manajemen keuangan daerah. Aspek yang
diperlukan dalam reformasi akuntansi tersebut adalah perlunya dimiliki
standar akuntansi pemerintahan dan perubahan sistem akuntansi dari
single entry menjadi double entry dipandang sebagai solusi yang
mendesak untuk diterapkan. Hal ini disebabkan penggunaan single
entry tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif dan
mencerminkan kinerja yang sesungguhnya. Sistem single entry juga
telah ditinggalkan oleh banyak negara maju. Pengaplikasian pencatatan
transaksi dengan sistem double entry ditujukan untuk menghasilkan
laporan keuangan yang lebih mudah untuk dilakukan audit (auditable)
dan pelacakan (traceable) antara bukti transaksi, catatan, dan
keberadaan kekayaan, utang dan ekuitas organisasi. Dengan sistem
double entry, maka pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih
komprehensif.

Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis) menjadi basis
akrual (accrual basis). Perubahan dari single entry menuju double
entry akan lebih cepat memberikan pengaruh penguatan
terhadap akuntabilitas publik. Selama ini, basis pencatatan transaksi
yang digunakan pada hampir semua lembaga pemerintahan di
Indonesia adalah basis kas (cash basis), yang banyak mengandung
kelemahan yang mendasar yaitu tidak mencerminkan kinerja yang
sesungguhnya karena dengan sistem cash basis tingkat efisiensi dan
efektivitas suatu kegiatan, program atau aktivitas tidak dapat diukur
dengan baik. Perubahan basis akuntansi dari basis kas (cash basis)
menjadi basis akrual (accrual basis) bertujuan agar pemda dapat
menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, akurat,
komprehensif dan relevan untuk pembuatan keputusan ekonomi, sosial
dan politik.
Pertanyaan
1. Jelaskan perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah di
Indonesia!
2. Sebutkan beberapa aspek utama reformasi manajemen keuangan
daerah!
3. Jelaskan perbedaan anggaran tradisional dengan anggaran
berbasis kinerja!
4. Bandingkan kelebihan dan kelemahan sistem manajemen
keuangan daerah sebelum dan sesudah otonomi daeah !
5. Sebutkan ciri-ciri anggaran pendekatan NPM !
6. Jelaskan kelemahan single entry dibanding double entry !
7. Berikan evaluasi anda tentang reformasi kelembagaan pengelolaan
keuangan daerah yang dilakukan pemerintah daerah. Apa saja
yang menjadi kendala dan permasalahan dalam reformasi
kelembagaan pengelolaan keuangan daerah tersebut

Anda mungkin juga menyukai