EKONOMI ISLAM I
OLEH :
FAHRUR ROZI
KUSNAN SUHARDI
RANTI PURNAMASARI
RESTU ANSHORY
RIO FAHRIYANTO
SUGI WARDANI
YUNITA INDRIYANI
ZOFIRATUL AULIYYAH
UNIVERSITAS MATARAM
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmatdan
karunia-Nya sehingga makalah tentang Perdagangan Internasional dapat
terselesaikan dan diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembacanya.
Terima kasih juga kami ucapka kepada teman teman yang telah membantu
kami, dalam menyusun makalah ini.
Makalah ini memang masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna menjadi lebih baik lagi.
KELOMPOK 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................................
A. Latar Belakang..................................................................................................
B. Rumusan Masalah............................................................................................
C. Tujuan Penelitian..............................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................
A. Abu Yusuf..........................................................................................................
B. Abu Ubaid..........................................................................................................
C. Al – Ghazali.......................................................................................................
D. Ibnu Taimiyah...................................................................................................
E. Ibnu Khaldun.....................................................................................................
F. Ibnu Mawardhi..................................................................................................
G. Asy – Syatibi.....................................................................................................
H. Al – Syaibani.....................................................................................................
I. Yahya bin Umar................................................................................................
A. Kesimpulan.......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap
tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam
tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh
ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka. Pemikiran merupakan
sebuah proses kemanusiaan, namun ajaran Al-quran dan sunnah bukanlah
pemikiran manusia. Yang menjadi objek kajian dalam pemikiran ekonomi
Islam bukanlah ajaran Al-quran dan sunnah tentang ekonomi tetapi pemikiran
para ilmuwan Islam tentang ekonomi dalam sejarah atau bagaimana mereka
memahami ajaran Al-Quran dan Sunnah tentang ekonomi. Obyek pemikiran
ekonomi Islam juga mencakup bagaimana sejarah ekonomi Islam yang terjadi
dalam praktek historis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Seperti apa pemikiran pemikiran tokoh tokoh islam pada masa ekonomi
islam klasik ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk menyelesaikan tugas mata kuliah ekonomi islam I
2. Untuk mengetahui seperti apa pemikiran pemikiran tokoh islam pada
masa ekonomi islam klasik
BAB II
PEMBAHASAN
Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-
µusyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah). Tulisan Abu Yusuf ini
mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni
dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang
dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka.
Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada
tanggung jawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah
peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari diambil´ oleh
para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran
kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian
harga atau tas’ir , yakni penetapan harga oleh penguasa.
Abu Ubaid terkenal sebagai ahli hadis dan ahli fiqih terkemuka pada masa
hidupnya. la tercatat pernah menjabat sebagai qadi di Tarsus yang
menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan.
Hal yang menjadi fokus perhatian Abu Ubaid dalam kitabnya yang terkenal,
Al-Amwal berkaitan dengan standar etika politik suatu pemerintahan daripada
teknik
efisiensi pengelolaannya. Kitab A-Amwal dibagi dalam beberapa bagian dan
bab yang tidak proporsional isinya. Jika kita, telisik kitab Ak-Amwal
menekankan keadilan sebagai suatu prinsip utama dalam suatu
perekonomian. Pengimplementasian atas prinsip-prinsip keadilan akan
mampu membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial
masyarakat. Abu Ubaid menekankan pendekatan yang berimbang atas hak-
hak individu, publik, dan negara. Jika kepentingan individu berbenturan
dengan kepentingan publik, ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Adapun kaum badui yang tidak memberikan kontribusi sebesar yang telah
dilakukan kaum urban, tidak dapat memperoleh manfaat pendapatan fai
sebanyak kaum urban. Dalam hal ini kaum badui tidak berhak menerima
tunjangan dan provisi dari negara. Mereka memiliki hak klaim sementara
terhadap penerimaan fai hanya pada saat terjadi tiga kondisi kritis, yakni
invasi musuh, kemarau panjang, dan kerusuhan sipil. Abu Ubaid memperluas
cakupan kaum badui dengan memasukkan golongan masyarakat
pegunungan dan pedesaan (Kallek, 1998 dalam Karim, 2010)
Pasar menurut Al-Ghazali harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para
pelakunya. Secara khusus ia memperingatkan larangan mengambil
keutungan dengan cara menimbun barang. Pelaku yang menimbun barang
untuk menarik keuntungan harus dikutuk. Pasar harus berjalan dengan bebas
dan bersih dari segala bentuk penipuan. Perilaku para pelaku pasar harus
mencrminkan kebajikan, yaitu memberikan suatu tambahan disamping
keutungan material bagi orang lain dalam bertransaksi (Ghazanfar dan Islahi,
1990 dalam Karim, 2010).
Bagi Al-Ghazali, larangan riba yang sering dipandang sama dengan bunga
merupakan hal mutlak, terlepas dari alasan “dosa”, argumen lainnya yang
menentang riba adalah kemungkunan terjadinya eksploitasi ekonomi dan
ketidakadilan dalam transaksi. Selanjutnya Al-Ghazali menyatakan bahwa
menetapkan bunga atas utang piutang berarrti membelokkan uang dari fungsi
utamanya, yaitu mengukur kegunaan objek pertukaran. Oleh karena itu,
apabila jumlah uang yang diterima lebih banyak daripada jumlah uang yang
diberikan, akan terjadi perubahan standar nilai, perubahan ini terlarang.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-
kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam
dunia politik dan urusan public. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu
Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan
berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan
perang.
Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi dalam
konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang
majikan yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini, budak tersebut
menjadi manusia merdeka dan pemiliknya memperoleh sebuah
kompensasi dengan hara yang adil (qimah al-adl).
Secara umum, para fuqoha ini berfikir bahwa harga yang adil adalah
harga yang dibayar untuk objek yang serupa. Oleh karena itu, mereka
lebih mengenalnya sebagai harga yang setara (tsaman al-mitsl). Ibnu
Taimiyah tampaknya orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus
terhadap permasalahan harga yang adil.
Konsep Ibnu Taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl)
tidak sama dengan harga yang adil (tsaman al-mitsl). Persoalan tentang
kompensas yang adil atau setara (‘iwadh al-mitsl) muncul ketika
mengupas persoalan kewajiban moral dan hukum.
Seperti halnya harga, prinsip dasar yang menjadi objek observasi dalam
menentukan suatu tingkat upah adalah definisi menyeluruh tentang
kualitas dan kuantitas. Harga dan upah, ketika keduannya tidak pasti dan
tidak ditntukan atau tidak dispesifikasikan dan tidak diketahui jenisnya,
merupakan hal yang samar dan penuh dengan spekulasi.
3. Konsep Laba yang Adil
Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan motivasi
para pedagang. Menurutnya, para pedagang berhak memperoleh
keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum (al-ribh al
ma’ruf) tanpa merusak kepentingan dirinya sendiri dan kepentingan para
pelanggannya.
Tujuan utama dari harga yang adil dan berbagai permasalahan lain yang
terkait adalah untuk menegakan keadilan dalam bertransaksi pertukaran
dan berbagai hubungan lainya di antara anggota masyarakat.kedua
konsep ini juga dimaksudkan sebagai panduan bagi para penguasa untuk
melindungi masyarakat dari berbagai tindakan eksploitatif.dengan kata
lain,pada hakikatnya konsep ini akan lebih memudahkan bagi masyarakat
dalam mempertemukan kewajiban moral dengan kewajiban finansial.
4. Mekanisme pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang
bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan
permintaan dan penawaran.
5. Regulasi harga
Setelah menguraikan secara panjang lebar tentang konsep harga yang
adil dan mekanisme pasar, Ibnu Taimiyah melanjutkan pembahasan
dengan pemaparan secara detail mengenai konsep kebijakan
pengendalian harga oleh pemerintah. seperti yang akan terlihat , tujuan
regulasi harga adalah untuk menegakan keadilan serta memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga,yakni penetapan
harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil
dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat
hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan
harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan
supply atau kenaikan demand.
1) Pasar yang tidak sempurna
Di samping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah
merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan
penetapan harga pada saat ketidaksempurnaan melanda pasar.
Sebagai contoh, apabila para penjual (arbab al-sila`) menghentikan
penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi
dari pada harga normal (al-qimah al-ma`rufah) dan pada saat
bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut,
mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat
harga yang adil.
Karya terbesar Ibnu Khaldun adalah Al-Ibar (sejarah dunia). Karya ini terdiri
atas tiga buah buku yang terbagi ke dalam tujuh volume, yaitu Muqadimmah
(satu volume), Al-Ibar (empat volume), dan At-ta’rif bi Ibnu Khaldun (dua
volume). Dalam Muqadimmah yg merupakan volume pertama dari Al-Ibar,
setelah memuji sejarah, Ibnu Khaldun berusaha untuk menunjukkan bahwa
kesalahan-kesalahan sejarah terjadi ketika sang sejarawan mengabaikan
lingkungan sekitar. Ia berusaha mencari pengaruh lingkungan fisik, nonfisik,
sosial, institusional, dan ekonomis terhadap sejarah. Sekalipun demikian,
Ibnu Khaldun menguraikan dengan panjang lebar teori produksi, teori nilai,
teori distribusi, dan teori siklus-siklus yang semuanya bergabung menjadi
teori ekonomi umum yang koheren menjadi kerangka sejarahnya.
Selain itu, melalui spesialisasi dan kerja sama sosial, upaya manusia menjadi
berlipat ganda. Produksi agregat yang dihasilkan oleh manusia yang bekerja
secara bersama-sama lebih besar dibandingkan dengan jumlah total produksi
individu dan setiap orang yang bekerja sendiri-sendiri, dan lebih besar
dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan mereka untuk tetap bertahan
hidup. Ada surplus yang tersisa yang digunakan untuk diperdagangkan.
Bagi Ibnu Khaldun, nilai suatu produk sama dengan jumlah tenaga kerja yang
dimilikinya. Demikian pula, kekayaan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh
uang yang dimiliki oleh bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi
barang dan jasanya, dan oleh neraca pembayaran yang sehat. Keduanya
akan saling terkait satu sama yg lain. Neraca pembayaran yang sehat
merupakan konsekuensi alamiah dari tingkat produksi yang tinggi.
Ukuran ekonomis terhadap nilai barang dan jasa perlu bagi manusia apabila
ia ingin memperdagangkannya. Pengukuran nilai ini harus memiliki sejumlah
kualitas tertentu. Ukuran ini harus diterima oleh semua tender legal dan
penerbitannya harus bebas dari semua pengaruh objektif. Bagi Ibnu Khaldun,
dua logam, yaitu emas dan perak adalah ukuran nilai. Logam-logam tersebut
diterima secara alamiah sebagai uang karena nilainya tidak dipengaruhi oleh
fluktuasi subjektif. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun mendukung penggunaan
emas dan perak sebagai standar moneter. Baginya pembuatan uang logam
hanyalah sebuah jaminan yang diberikan oleh penguasa bahwa sekeping
uang logam mengandung sejumlah kandungan emas dan perak tertentu.
Jumlak emas dan perak yang dikandung dalam sekeping koin tidak dapat
diubah pada saat koin tersebut sudah diterbitkan.
Bagi Ibnu Khaldun, harga adalah hasil dari hukum permintaan dan
penawaran. Pengecualian satu-satunya dari hukum ini adalah emas dan
perak yang merupakan standar moneter. Semua barang lainnya terkena
fluktuasi harga yang bergantung pada pasar. Apabila suatu barang langka
dan banyak diminta, harganya akan tinggi. Jika suatu barang berlimpah,
harganya akan rendah.
Secara umum, pemikiran ekonomi yang diajukan oleh Ibnu Khaldun adalah
sebagai berikut:
1. Produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan
internasional.
2. Organisasi sosial dari tenaga kerja ini harus dilakukan melalui spesialisasi
yang lebih tinggi dari pekerja.
3. Pembagian internasional dan sosial yang berakibat pada proses kumulatif
yang menjadikan negeri-negeri yang kaya semakin kaya dan menjadikan
yang miskin semakin miskin lagi.
4. Kekayaan bangsa-bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki
bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasanya, dan
oleh neraca pembayaran yang sehat.
5. Mendukung penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter.
6. Variabel penentu bagi produksi adalah populasi serta pendapatan dan
belanja negara, serta keuangan publik.
Sebagai trend pada masa klasik,malasah perpajakan juga tidak luput dari
perhatian Al-Mawardi. Menurutnya, penelaian atas karaj harus bervariasi
sesuai dengan factor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam
membayar pajak, yaitu kesuburan tanah jenis tanaman, dan system irigasi.
Selain tiga paktor tersebut, Al-Mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain,
yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Berkaitan
dengan metode penetapan kharaj, Al-Mawardi Menyarankan untuk
menggunakan salah satu dari ketiga metode yang pernah diterapkan dalam
sejarah Islam yaitu (Karim, 2010)
Menurut Karim, (2010), berkaitan dengan tanggug jawab baitul mal untuk
memenuhi kebutuhan publik, Al-Mawardi malakukan klasifikasi berbagai
tanggung jawab baitul mal kedalam dua hal berikut yaitu :
1. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di
baitul mal sebagai amanah didistribusikan kepada mereka yang berhak
2. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang
menjadi asset kekayaan baitul mal itu sendiri
Di kota tersebut, ia belajar fiqih, sastra, bahasa, dan hadis kepada para ulama
setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin Dzar, dan Malik
bin Maghul. Dalam menuntut ilmu, Al-Syaibini tidak hanya berinteraksi
dengan para ulama ahl al-ra’yi, tetapi juga ulama ahl al-hadits. Ia juga pernah
bertemu dengan Al-Syafi’I ketika belajar al-Muwatta pada Malik bin Anas.
Produksi suatu barang atau jasa, seperti dinyatakan dala ekonomi, dilakukan
karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas (nilai-guna). Islam
memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna jika
mengandung kemaslahatan (kegunaan). Seperti yang diungkapkan oleh Al-
Syaibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai dengan memelihara lima unsure
pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Hal ini berarti
bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku
produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syariah, yakni
memelihara kemaslahatan manusia didunia dan akhirat.
“ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan
carilah karunia Allah Swt dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung. (Al-Jumu’ah [62]:10)
Dari uraian diatas, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan
Al-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridaan Allah Swt. Di sisi lain, kerja
merupakan usaha untuk mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses
produksi, konsumsi, dan distribusi, yang berimplikasi secara makro
meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Dengan demikian, kerja
mempunyai peranan yang sangat penting dalam memenuhi hak Allah Swt,
hak hidup, hak keluarga, dan hak masyarakat.
“Dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat”(Surah Al-Zukhruf [43]:32)
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran ekonomi Islam adalah respons para pemikir muslim terhadap
tantangan-tantangan ekonomi pada masa mereka. Pemikiran ekonomi Islam
tersebut diilhami dan dipandu oleh ajaran Al-Quran dan Sunnah juga oleh
ijtihad (pemikiran) dan pengalaman empiris mereka.
Dari tokoh – tokoh diatas, masing masing dari mereka memiliki pendapat dan
pemikiran tersendiri khususnya tentang dunia ekonomi dalam sudut pandang
islam, sehingga pemikiran pemikiran dari para tokoh tokoh klasik ini masih
digunakan dan masih relevan dengan kondisi saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan dkk (ed), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1997), Jilid 2 dan 5
http://ahdi-popos.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-islam-ibnu-
taimiyyah.html, diakses pada 07 November 2019.
http://rudiirawantofeuh.blogspot.com/2014/01/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-
klasik.html, diakses pada 07 November 2019.