Oleh:
YOSI NURFITRIANI
1803277095
Tingkat 2B
2020
1. a. Pengertian BPH
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan
menyebabkan pembesaran dari kelenjar prostat.
Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH ) merupakan suatu penyakit dimana
terjadi pembesaran dari kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel yang
biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. Masalah keperawatan pada post-operasi
BPH adalah resiko infeksi.
BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi
patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker, (Corwin, 2000).
Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).
b. Patofisiologi BPH
Pertumbuhan kelenjar prostat terjadi secara konstan selama dua puluh
tahun pertama kehidupan lalu berhenti antara usia 20-40 tahun dan mulai
kembali pada usia 50 tahun. Keadaan ini biasanya dialami oleh pria yang berusia
diatas 60 tahun sebanyak 70% dan meningkat hampir 90 % pada usia diatas 80
tahun. Pembesaran kelenjar prostat akan mengakibatkan terganggunya aliran
urine sehingga menimbulkan gangguan miksi. Pembesaran prostat jinak dapat
diketahui melalui pemeriksaan fisik berupa colok dubur atau rectal toucher dan
dapat dijadikan pemeriksaan fisik dasar untuk mengetahui informasi mengenai
pembesaran prostat jinak. Penyakit ini merupakan penyebab tersering retensi
urine yaitu sekitar 65% pada laki-laki dewasa.
Retensi urine dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya pertumbuhan
bakteri karena adanya stasis aliran urine. Pembesaran prostat jinak juga
menyebabkan masih tersisanya urine didalam kandung kemih karena mengalami
dekompensasi sehingga juga meningkatkan risiko pertumbuhan bakteri di
saluran kemih dan munculnya kondisi seperti batu saluran kemih. Penyempitan
lumen uretra prostatika akibat pembesaran prostat akan menghambat aliran urine
sehingga terjadi peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat untuk dapat mengeluarkan urine.
Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomik buli-buli
berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Pasien akan merasakannya sebagai keluhan pada saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom (LUTS). Pembesaran
prostat jinak merupakan penyebab tersering terjadinya LUTS yaitu sekitar 50%
pria yang berusia 60 tahun dan hampir 90% pria yang berada pada usia 90 akan
merasakan gejala dari pembesaran prostat. Urinalisis adalah pemeriksaan yang
paling umum dilakukan dalam praktek urologi yang terdiri dari pemeriksaan
fisik, mikroskopik dan kimia.8. Urinalisis dapat dilakukan secara manual
maupun otomatis dengan melakukan pemeriksaan dipstik ataupun sedimen
urine. Pada pemeriksaan dipstik dan sedimen urine akan didapatkan zat-zat yang
terkandung dalam urine seperti eritrosit, leukosit, protein, pH, serta epitel.9,10
Pada penelitian Aprilia (2010) didapatkan bahwa 67,86% pasien
pembesaran prostat jinak mengalami leukosituria.10 Hematuria merupakan salah
satu komplikasi dari pembesaran prostat jinak yang biasanya disebabkan oleh
keadaan hipervaskular dari pembesaran prostat yang menyebabkan permukaan
pembuluh darah prostat menjadi rapuh dan mudah terganggu oleh aktivitas
fisik.12
Selain hematuria, kerusakan pada ginjal juga merupakan komplikasi dari
pembesaran prostat jinak dan akan dapat ditemukan protein pada urine
pasien.13,12 Adanya hambatan aliran urine pada pembesaran prostat jinak dapat
menyebabkan kondisi infeksi saluran kemih dan akan didapatkan perubahan
pada pH urine.2 Berdasarkan penjelasan diatas maka perlu diteliti gambaran
hasil pemeriksaan urine .
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)
c. Manifestasi klinis
Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran
kemih bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada
saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan
gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan karena
adanya penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejala
yang terjadi berupa harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy),
pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus (Intermittency), harus
mengejan (straining).
Gejala Iritatif disebabkan oleh pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna pada saat miksi atau berkemih, sehingga kandung kemih sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang terjadi adalah frekuensi miksi
meningkat (Frequency), nookturia, dan miksi sulit ditahan (Urgency) (Kapoor,
2012). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat
jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih
(Dipiro et al, 2015).
d. Farmakologi
Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat
sedang, atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH
tingkat berat. Tujuan terapi medikametosa adalah
1) untuk mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan αadrenergik blocker dan
2) mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron atau dehidrotestosteron (DHT) (Purnomo, 2008).
Terapi farmakologi atau medikametosa, dalam menentukan pengobatan
perlu memperhatikan beberapa hal yaitu dasar pertimbangan terapi, jenis obat
yang digunakan, pemilihan obat, evaluasi selama pemberian obat serta perlu
dijelaskan pada pasien bahwa harga obatobatan yang akan dikonsumsi tidak
murah dan dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
Tujuan terapi farmakologi ini adalah berusaha untuk mengurangi resitensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi volume prostat
sebagai komponen statik (Dhingra dkk, 2011).
Beberapa obat yang biasa digunakan α-adrenergik bloker dan 5areductase
inhibitors (5ARIs) , kedua obat tersebut yang saat ini telah disetujui oleh
Medications currently approved by Health Canada untuk digunakan dalam
pengobatan BPH (Tanguay et al, 2009). Untuk pengobatan farmakologis,
pedoman AUA 2003 menyatakan bahwa alfuzosin (Uroxatral), doxazosin
(Cardura), tamsulosin (Flomax), dan terazosin (Hytrin) merupakan pilihan
pengobatan yang sesuai untuk pasien dengan LUTS sekunder untuk BPH.
Meskipun ada sedikit 15 perbedaan dalam profil efek samping dari obat
ini, AUA menyatakan bahwa keempat agen memiliki efektivitas klinis yang
sama. Pedoman ini juga menyatakan bahwa 5α-reduktase finasteride (Proscar)
dan dutasteride (Avodart) telah terbukti merupakan pengobatan yang tepat dan
efektif untuk pasien dengan LUTS terkait dengan pembesaran prostat.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)
e. Terapi diet
Terapi BPH dimaksudkan untuk meringankan obstruksi saluran kemih,
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah progresifitas penyakit. Adapun
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah:
Terapi Non-Farmakologi
Pasien dengan gejala ringan diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:
1) Tidak minum minuman berkafein dan alkohol agar tidak terlalu sering buang
air kecil
5) Tidak merokok
3) Terapi Bedah
Terdapat dua pilihan terapi bedah, yaitu bedah terbuka dan invasive minimal, di
mana metode invasive minimal lebih sering dipilih oleh spesialis urologi dalam
menangani BPH.
f. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperwatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
meliputi data biologis, psikologis, social, dan spiritual.
Kemampuan perawat yang diharapkan dalam melakukan pengkajian
adalah mempunyai kesadaran / tilik diri , kemampuan mengobservasi
dengan akurat, kemampuan berkomunikasi terapeutik dan senantiasa
mampu berespon secara efektif.
Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan
subjektif dari klien. Adapun data yang terkumpul mencakup klien,
keluarga, masyarakat, lingkungan, atau kebudayaan. (Mc Farland & mc
Farlane, 1997)
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain:
Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh klien
dengan cara memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, sosialkultural,
dan spiritual yang bisa mempengaruhi status kesehatannya.
Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu,
saat ini bahkan bahkan sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi
klien guna membuat suatu database yang lengkap. Data yang terkumpul
berasal dari perawat-klien selama berinteraksi dan sumber yang lain.
(Gordon, 1987;1994)
Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang
berperan penting dan catatan kesehatan klien.
g. Analisa data
h. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif
untuk membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses
berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam
medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
Diagnosa keperawatan adalah diagnosis yang dibuat oleh perawat
profesional yang menggambarkan tanda dan gejala yang menunjukan masalah
kesehatan yang dirasakan klien dimana perawat berdasarkan pendidikan dan
pengalaman mampu menolongklien.
The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 1992)
mendefinisikan diagnosa keperawatan semacam keputusan klinik yang
mencakup klien, keluarga, dan respon komunitas terhadap sesuatu yan
berpotensi sebagai masalah kesehatan dalam proses kehidupan.
Dalam membuat diagnosa keperawatan dibutuhkan ketrampilan klinik yang
baik, mencakup proses diagnosa keperawatan dan perumusan dalampembuatan
pernyataan keperawatan.Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok
interpretasi dan menjamin keakuratan diagnosa dari proses keperawatan itu
sendiri.
Perumusan pernyataan diagnosa keperawatan memiliki beberapa syarat
yaitu mempunyai pengetahuan yang dapat membedakan antara sesuatu yang
aktual, risiko, dan potensial dalam diagnosa keperawatan.
Tipe Diagnosa keperawatan Ada tiga tipe diagnosa keperawatan menurut
NANDA yaitu:
Diagnosa keperawatan actual, yaitu respon manusian terhadap kindisi
kesehatan atau proses kehidupan yang didukung oleh sekelompok batasan
karakteristik dan termasuk factor yang berhubungan (etiologi) yang
mempunyai kontribusi terhadap perkembangan atau pemeliharaan
kesehatan.
Diagnosa keperawatan resiko, yaitu menunjukan respon manusia yang dapat
timbul pada seseorang atau kelompok yang rentan dan ditunjang dengan
factor resiko yang memberi konstribusi pada peningkatan kerentanan.
Diagnosa keperawatan kesejahteraan, yaitu menguraikan respon manusian
terhadap tingkat kesehatan pada individu atau kelompok yang mempunyai
potensi peningkatan derajat kesehatan lebih tinggi.
Perumusan masalah
Setelah perawat menyelesaikan pengkajian, perawat kemudian menyeleksi
outkom menggunakan skala pengukuran dan pengidentifikasi rating yang
diinginkan untuk bisa dicapai melalui intervensi.
Tujuan dalam criteria hasil akan memberikan petunjuk bagi perawat untuk
menentukan tindakan keperawatan dan untuk meningkatkan evaluasi dari
perawat. Tujuan seharusnya ditulis dalam terminology tingkah laku. Ini
berarti kata kerja digunakan untuk menunjukan tujuan yang
menggambarkan tingkah laku yang mungkin diobservasi dan harus
mempunyai sedikit interpretasi. Tujuan harus realistic menggambarkan apa
yang perawat ingin selesaikan dengan waktu yang spesifik. (Stuart dan
Sundeen, 1995)
Adapun Diagnosa keperawatan yang dapat di ambil pada kasus bph adalah
sebagai berikut
Pre Operasi :
1). Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi
kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3). Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis..
4). Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah
5). Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi .
Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten
akibat dari TUR-P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan
i. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu kategori dari prilaku keperawatan dimana tujuan
yang berpusat pada klien dan hasil yang di perkirakan di tetapkan dan intervensi
keperawatan di pilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter. 2005) dalam
menetapkan perencanaan seorang pereawat perlu berkolaborasi dengan berbagai
pihak yakni klien, keluarga, serta petugas medis lain seperti dokter, ahli farmasi
dan nutrisionist. Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai
intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau
mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah ketiga
dalam membuat suatu proses keperawatan.
j. Intervensi
Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dapat mencapai tiap tujuan khusus. Perencanaan keperawatan meliputi
perumusan tujuan, tindakan, dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan
pada klien berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan dan
keperawatan klien dapat diatasi.
Rencana tindakan disesuaikan dengan standar asuhan keperawatan jiwa
Indonesia atau standar asuhan keperawatan Amerika yang membagi
karakteristik tindakan berupa: tindakan konseling, pendidikan kesehatan,
perawatan mandiri dan aktifitas hidup sehari-hari, terapi modalitas
keperawatan, perawatan berkelanjutan, tindakan kolaborasi (terapi somatic
dan psikofarma). Pada dasarnya tindakan keperawatan terdiri dari tindakan
observasi dan pengawasan, terapi perawatan, pendidikan kesehatan dan
tindakan kolaborasi. (NANDA, 1992)
k. Implementasi
Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Jenis tindakan pada
implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan /
kolaborasi, dan tindakan rujukan / ketergantungan.
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan
rencana. Hal ini terjadi karena parawat belun terbiasa menggunakan rencana
tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana
tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal ini
sangat membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal, dan juga tidak
memenuhi aspek legal.
Sebelum meleksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan
dibutuhkan klien sesuai dengan kondisi saat ini. Perawat juga menilai diri
sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, teknik sesuai
dengan tindakan yang akan dilaksanakan.
l. Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap
ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat
berhasil atau gagal.(Alfaro-LeFevre, 1994)
Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang
telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana
keperawatan dapat diterima. Perencanaan merupakan dasar yang mendukung
suatu evaluasi.
Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk
mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi
keperawatan.
Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan
bersama antara perawat dank lien (Yura & Walsh, 1988)
Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri.
Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana
asuhan keperawatan., termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan
keperawatan, respon klien yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan
pengetahuan konsep teladan dari keperawatan.
a. Sistem Endokrin
b. Sistem Imunologi
c. Sistem Pencernaan
d. Sistem Perkemihan
P : Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 57 orang.
1. SISTEM ENDOKRIN
Diabetes Melitus
2. SISTEM IMUNOLOGI
Diabetes Melitus
Klasifikasi
Diagnosis
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
Tujuan Penatalaksanaan
1. Evaluasi medis
a. Riwayat Penyakit
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan jantung
Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida)
Kreatinin serum
Albuminuria
Elektrokardiogram
2. Pilar penatalaksanaan DM
a. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang di anjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.
d. Intervensi farmakologis
3. SISTEM PENCERNAAN
Tukak lambung
Tukak lambung adalah luka pada lambung yang menyebabkan keluhan sakit maag.
Selain di lambung, luka tersebut dapat terbentuk di usus 12 jari atau di bagian bawah
kerongkongan.
Infeksi bakteri
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya tukak lambung
atau memperparah gejala tukak lambung, yaitu:
Gejala yang muncul adalah sakit maag atau nyeri ulu hati. Nyeri tersebut
memiliki karakteristik sebagai berikut:
Berlangsung dalam hitungan menit hingga jam.
Hilang timbul selama beberapa hari, minggu, atau bulan.
Memburuk di antara waktu makan, saat malam hari, atau pagi-pagi sekali.
Makin parah ketika perut kosong atau tidak terisi makanan.
Reda bila perut diisi makanan atau setelah minum obat sakit maag, tetapi
kemudian akan muncul kembali.
4. SISTEM PERKEMIHAN
ABSTRAK
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus (DM) menunjukkan pentingnya upaya
pencegahan. Penatalaksanaan DM terdiri dari terapi farmakologi dan non
farmakologi. Terapi non farmakologi salah satunya dengan merubah perilaku
pasien DM. Sehingga dibutuhkan edukasi yang giat dari tenaga keperawatan yang
membantu proses keperawatan selama 24 jam di rumah sakit. Pemberian edukasi
oleh perawat tergantung dari keinginan dan kemampuan seorang perawat dalam
memberikan edukasi, dan didukung oleh tingkat pengetahuan perawat tersebut
tentang manajemen DM. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan
pengetahuan manajemen diabetes terhadap motivasi perawat mengedukasi pasien
DM di rawat inap RS Santa Maria Pekanbaru. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan desain cross sectional study. Data dikumpulkan dengan
kuesioner tentang pengetahuan manajemen DM dan motivasi perawat dalam
mengedukasi pasien DM. Data dianalisis dengan uji chi square. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2018 dengan jumlah sampel 42
responden. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,005 < 0,05, menunjukkan
bahwa terdapat hubungan pengetahuan manajemen DM terhadap motivasi
perawat dalam mengedukasi pasien DM, dimana dari 21 perawat yang
mempunyai pengetahuan kurang, memiliki motivasi rendah (75%) dan yang
memiliki motivasi tinggi (27,3%). Perawat dengan pengetahuan yang baik lebih
banyak memiliki motivasi tinggi (72,7%) dan motivasi rendah (25%). Kata kunci :
pengetahuan. motivasi, perawat, diabetes mellitus
ABSTRACT
PENDAHULUAN
METODE
PEMBAHASAN
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Aguiree, F., Brown, A., Cho, N. H., Dahlquist, G., Dodd, S., Dunning, Hirst, M.,
… Whiting, D. (2013).
Motivasi dan Efikasi Diri Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dalam Asuhan
Keperawatan.
Peimani, M., Tabatabaei Malazy, O., & Pajouhi, M. (2010). Nurses’ role in
diabetes care; a review.
Iranian Journal of Diabetes and Lipid Disorders, 9(May), 1–9. Prices, S. ., &
Wilson, L. M. (2012).
Rekam Medis RS Santa Maria. (2016). Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015).
Textbook of Medical Surgical Nursing (12th ed.).
Diabetes melitus di Indonesia Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (IV). Jakarta: Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Waluyo, G. E.
ABSTRAK
Pendahuluan. Pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) pada umumnya memiliki
satu atau lebih komplikasi kronik pada saat terdiagnosis. Deteksi dini dan
pencegahan sangat penting untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas
terkait DMT2, terutama pada kelompok dengan risiko tinggi seperti anak
penderita DMT2. Studi ini bertujuan untuk mencari faktorfaktor yang berkaitan
dengan status prediabetes pada anak dari penderita diabetes melitus tipe 2.
Metode. Studi ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 54 anak dari
penderita DMT2. Subjek dikumpulkan secara konsekutif. Status prediabetes
ditentukan melalui HbA1C berstandar national glycohemoglobin standardization
program (NGSP). Aktivitas fisik ditentukan melalui kuisioner global physical
activity questionnaire (GPAQ)-versi Bahasa Indonesia. Tekanan darah dan data
antropometrik diukur secara langsung. Analisis bivariat dan multivariat
dilakukan dengan IBM SPSS 23. Hasil. Dilakukan analisis terhadap 54 subjek.
Mayoritas subjek adalah perempuan (79,6%) dan rerata umur adalah 38,8 tahun.
Proporsi prediabetes mencapai 31,5%. Analisis multiavariat menunjukkan
hubungan bermakna antara riwayat paternal DMT2 (adjusted OR 7,520; IK
95%=1,071-52,784), lingkar pinggang berisiko (adjusted OR 5,482; IK
95%=1,019-29,504) terhadap status prediabetes. Simpulan. Riwayat paternal
DMT2 dan lingkar pinggang berkaitan dengan status prediabetes pada anak dari
penderita DMT2. Kata Kunci: Anak penderita DM tipe 2, HbA1C, intoleransi
glukosa, prediabetes
ABSTRACT
Introduction. Since patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) often present
with one or more chronic complications, at the time of diagnosis, early detection
and prevention is essential to reduce T2DM-associated mortality and morbidity,
espescially among high risk population such as the offspring of T2DM. This
study aimed to investigate several factors associated with prediabetes status
among the offsprings of T2DM patients. Methods. A cross-sectional study was
conducted involving 54 offsprings of T2DM patients. Subjects were recruited
consecutively. We collected demographic data, anthropometric measurement,
blood pressure, and HbA1c level. Physical activity were assessed by using
Indonesian version of global physical activity questionnaire (GPAQ).
Prediabetes status was investigated by standardized national glycohemoglobin
standardization program (NGSP) HbA1c. Bivariate statistical and multivariate
analysis was performed by using IBM SPSS 23. Results. The majority of
subjects were female (79.6%) and the mean age was 38.8 years old. The
proportion of prediabetes was 31.5%. Multivariate analysis showed significant
association among paternal history of T2DM (adjusted OR 7.520;
95%CI=1.071-52.784), waist circumference at risk (adjusted OR 5.482;
95%CI=1.019-29.504), and prediabetes status. Conclusion. Paternal history of
T2DM and waist circumference were associated with prediabetes status among
the offspring of T2DM patients. Keywords: Glycated Hemoglobin, glucose
Intolerance, offspring of T2DM, prediabetes, type 2 Diabetes Mellitus (T2DM)
Diabetes melitus tipe 2 (T2DM)
PENDAHULUAN berkaitan dengan faktor risiko
Diabetes melitus (DM) dan seperti obesitas, gaya hidup
komplikasinya adalah penyebab sedenter, diet tidak sehat, dan
mortalitas dari 1,5 juta jiwa di predisposisi genetik.1 Pada awitan
dunia pada tahun 2012.1 penyakit, T2DM tidak
Hiperglikemia kronik pada DM menunjukkan gejala apa pun.3 Saat
berkontribusi pada tingginya terdiagnosis, pasien T2DM
mortalitas dan morbiditas akibat seringkali datang dengan satu atau
penyakit kardiovaskular, penyakit lebih komplikasi kronik.3 Oleh
ginjal kronik, karena itu, deteksi dini dan
pencegahan sangat penting untuk
dan penyakit serebrovaskular.1 Di mengurangi mortalitas dan
Asia Tenggara, angka mortalitas morbiditas yang berkaitan dengan
akibat DM mencapai 115,3/100.000 T2DM.4 Bagi orang yang berisiko
jiwa pada populasi usia lebih dari terhadap T2DM, upaya pencegahan
20 tahun. Di Indonesia, pola terdiri dari kontrol berat badan,
prevalensi DM cenderung aktivitas fisik, diet yang sehat, dan
meningkat, dari 10 juta kasus DM tata laksana farmakologis bila
pada 2015 diprediksi akan perlu.4 Secara umum, uji penapisan
mencepai 21,3 juta pada 2030.2 untuk T2DM harus dilakukan setiap
tahun dengan pengukuran glukosa rendah.6 The Framingham
darah sewaktu (GDS) atau tes offspring study oleh Meigs, dkk.7
toleransi glukosa oral (TTGO) pada mendapatkan bahwa keturunan dari
populasi berusia lebih dari 40 tahun ibu dengan T2DM memiliki odds
dan harus dilakukan lebih dini pada ratio (OR) sesuai usia lebih tinggi
populasi berisiko tinggi, seperti untuk T2DM dan toleransi glukosa
individu dengan riwayat T2DM abnormal sebanyak 3,4 kali dan 2,7
pada keluarga.4 Studi sebelumnya kali dibandingkan dengan individu
menunjukkan bahwa individu yang orangtuanya tidak memiliki
dengan riwayat T2DM pada orang T2DM. Risiko keturunan dari ayah
tua memiliki kemungkinan lebih dengan T2DM untuk memiliki
tinggi untuk terkena penyakit.3 T2DM dan toleransi glukosa
Selain itu, faktor sosioekonomi dan abnormal adalah 3,5 dan 1,7 kali,
lingkungan juga berkontribusi pada sedangkan keturunan dari kedua
berkembangnya T2DM.5 Studi oleh orangtua yang memiliki T2DM
Langenberg, dkk.6 menjelaskan memiliki risiko 6,1 dan 5,2 kali
bahwa obesitas adalah faktor lipat.7 Namun demikian,
penting pada perkembangan T2DM berdasarkan pengetahuan kami,
dengan atau tanpa faktor risiko tidak ada studi yang mencari peran
genetik yang kuat. Mereka faktor klinis dan lingkungan pada
mengatakan bahwa insidensi perkembangan intoleransi glukosa
kumulatif 10 tahun pada individu pada individu dengan riwayat
dengan berat badan normal dan T2DM pada ayah. Untuk itu,
faktor risiko genetik adalah 0,89% penelitian ini dilakukan untuk
sedangkan insidensi kumulatif 10 menentukan faktor-faktor yang
tahun pada individu dengan berkaitan dengan status prediabetes
obesitas dan faktor risiko genetik pada keturunan dari penderita
rendah adalah 4,22%.6 Studi T2DM. METODE Penelitian ini
tersebut menunjukkan bahwa dilakukan pada April-Agustus 2017
pengaruh risiko geentik lebih tinggi dengan desain potong lintang.
pada partisipan dengan body mass Subjek penelitian dikumpulkan
index (BMI) dan lingkar perut lebih secara konsekutif. Menurut
perhitungan jumlah sampel, jumlah Indonesia, Cina, India, Jepang,
sampel minimal yang dibutuhkan Brazil, Bangladesh, Afrika Selatan,
adalah 116. Subjek pada penelitian Ethiopia dan Portugal.1
ini hampir semuanya berasal dari Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
penduduk Kampung Lio di Depok, menentukan tekanan darah dan
Jawa Barat, Indonesia dan beberapa ukuran antropometri. Tekanan
dari pegawai RSUPN dr. darah diukur menggunakan
Ciptomangunkusumo. Kriteria sfigmomanometer raksa dengan
inklusi adalah keturunan dari merk Riester. Tinggi badan diukur
penderita T2DM dan usia >18 menggunakan alat ukur tanpa alas
tahun. Sedangkan, kriteria eksklusi kaki. Berat badan diukur dengan
adalah semua subjek yang timbangan digital bermerek
terdiagnosis menderita T2DM TANITA. Indeks massa tubuh
berdasarkan nilai HbA1c NGSP dihitung dengan pembagian berat
terstandarisasi ≥6,5%. Subjek yang badan (kg) dan kuadrat tinggi badan
bersedia berpartisipasi dalam (m2 ). Lingkar perut diukur pada
penelitian telah menandatangani lingkar terkecil perut di
formulir persetujuan yang pertengahan antara iga terbawah
disediakan. Data yang dikumpulkan dan krista iliaka. Tes laboratorium
terdiri dari status demografis, yang dilakukan pada penelitian ini
antropometrik, aktivitas fisik, adalah HbA1C NGSP
tekanan darah dan kadar HbA1c. terstandarisasi. Prediabetes
Subjek diwawancara untuk didefinisikan sebagai nilai HbA1c
menentukan faktor-faktor yang NGSP terstandarisasi 5,7-6,4%.
berkaitan dengan status prediabetes Kuesioner diisi secara mandiri oleh
pada keturunan pasien T2DM. subjek dan pengukuran
Global physical activity antropometri serta pengambilan
questionnaire (GPAQ)-Indonesian sampel darah dilakukan pada hari
version digunakan untuk menilai yang sama. Tekanan darah 184 |
aktivitas fisik pada penelitian ini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia |
Kuesioner tersebut telah divalidasi Vol. 6, No. 4 | Desember 2019
di sembilan negara termasuk Maulidia Ekaputri, Henrico
Citrawijaya, Adrian Reynaldo hormon dan sitokin yang
Sudirman, Kevin Jonathan, Radityo disekresikan oleh lemak viseral.21
Alu Murti, Ayu Putri Balqis, Dyah Selain itu, temuan ini juga didukung
Purnamasari dikelompokkan oleh studi yang dilakukan Neeland,
menjadi normal (sistolik 25 juta 1 dkk.22 Mereka melaporkan bahwa
(1,8) Indeks massa tubuh (kg/m2 ), lingkar pinggang, rasio pinggang
n (%) terhadap panggul, lemak viseral
abdomen, dan lemak pada hati
Tabel 2. Karakteristik dasar pada berhubungan secara bermakna
kedua kelompok Karakteristik dengan diabetes.22 Studi ini
Normal (n=37) Prediabetes (n=17) mendukung pernyataan bahwa
Umur (tahun), rerata (simpang baku obesitas sentral dan IMT berperan
[SB]) 37,41(10,55) 41,88 (9,25) penting pada perkembangan T2DM
Lingkar pinggang, rerata (SB) 81,73 terutama pada populasi yang
(10,57) 85,38(9,18) HbA1c, rerata berisiko. Pada studi ini, proporsi
(SB) 5,32(0,23) 5,89(0,23) Tabel 3. prediabetes pada subjek dengan
Hubungan antara status demografis, tekanan darah yang normal serupa
gaya hidup, faktor klinis dan status dengan subjek dengan tekanan darah
prediabetes Karakteristik Normal, n yang meningkat. Pernyataan ini tidak
(%) Prediabetes, n (%) Nilai-p Usia konsisten dengan studi sebelumnya
(tahun) 23 kg/m2 lebih tinggi yang melaporkan bahwa proporsi
dibandingkan dengan subjek dengan prediabetes pada populasi dengan
IMT 25 kg/m2 dan lingkar pinggang hipertensi lebih tinggi dibandingkan
yang lebih kecil. Lingkar pinggang dengan populasi tanpa hipertensi.
menggambarkan distriusi lemak Studi lainnya oleh Abidoye, dkk.23
tubuh. Populasi dengan lingkar menyatakan bahwa proporsi
pinggang yang lebih besar cenderung prediabetes pada populasi dengan
memiliki lebih banyak lemak viseral tekanan dasar diastolik yang tinggi
dibandingkan dengan lemak lebih besar dibandingkan dengan
nonviseral. Peningkatan lemak populasi tanpa tekanan darah
viseral berkontribusi lebih pada diastolik yang tinggi. Gaya hidup
perkembangan diabetes tipe 2 karena berisiko seperti kebiasaan makan
diatas jam 8 malam, konsumsi serat sebelumnya oleh Hu, dkk.19
yang rendah, dan aktivitas fisik yang menyatakan bahwa aktivitas fisik
rendah berhubungan dengan selama ≥7 jam dalam satu minggu
perkembangan T2DM. Walaupun berhubungan dengan penurunan
pada studi ini, faktor-faktor tersebut risiko T2DM (0,7 kali risiko pada
tidak bermakna secara statistik, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia |
ditemukan bahwa proporsi Vol. 6, No. 4 | Desember 2019 | 187
prediabetes pada populasi dengan Peran Riwayat Ayah Diabetes
kebiasaan makan diatas jam 8 Melitus Tipe 2 pada Status
malam, konsumsi serat yang rendah, Prediabetes Anak Kandung Penderita
dan aktivitas fisik yang rendah lebih Diabetes Melitus Tipe 2 populasi
tinggi dibandingkan dengan populasi dengan aktivitas fisik
tanpa faktor-faktor tersebut. Studi
Abstrak
Gagal ginjal kronis adalah suatu kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu
lebih dari 3 bulan. CKD dapat menimbulkan simtoma berupa laju filtrasi
glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai tersebut namun
disertai dengan kelainan sedimen urin. Penyakit ginjal kronis diidentifikasi oleh
tes darah untuk kreatinin. Tingginya tingkat kreatinin menunjukkan jatuh laju
filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal
mengekskresikan produk limbah. Pedoman profesional terbaru
mengklasifikasikan tingkat keparahan penyakit ginjal kronis dalam lima tahap,
dengan tahap 1 yang paling ringan dan biasanya menyebabkan sedikit gejala dan
tahap 5 menjadi penyakit yang parah dengan harapan hidup yang buruk jika tidak
diobati . 'Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD ), Tahap 5 CKD juga disebut gagal
ginjal kronis 'atau kegagalan kronis ginjal (CRF). Masalah terkait Drug Related
problem (DRP) pada pasien Ny. N.S adalah adanya Obat tidak efektif yaitu
Omeprazole dapat menurunkan efek clopidogrel dengan mempengaruhi enzim
hati CYP2C19, dan interaksi obat pada Pemberian furosemide memungkinkan
terjadinya kenaikan kadar asam urat. Kata kunci : GGK, Interaksi Obat, DRP
Abstract
Chronic kidney failure is a damage to the kidneys with a span of more than 3
months. CKD can cause symptomas in the form of glomerular filtration rates
below 60 mL / men / 1.73 m2, or above these values but are accompanied by
abnormalities of urine sediment. Chronic kidney disease is identified by blood
tests for creatinine.High creatinine levels indicate falling glomerular filtration
rates and as a result of decreased kidney ability to excrete waste products. The
latest professional guidelines classify the severity of chronic kidney disease in five
stages, with Stage 1 being the mildest and usually causing the least symptoms and
Stage 5 being a severe disease with poor life expectancy if left untreated. 'End
stage renal disease (ESRD), Stage 5 CKD is also called chronic kidney failure' or
chronic kidney failure (CRF). Drug related problems (DRP) in patients Ny. N.S is
the presence of an ineffective drug that is Omeprazole can reduce the effect of
clopidogrel by influencing the liver enzyme CYP2C19, and drug interactions in
the administration of furosemide allow an increase in uric acid levels. Keywords:
CKD, Drugs Interaction, DRP Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal Special
Issue Januari 2020
PENDAHULUAN berat badan. Sampai pada GFR di
Etiologi atau Penyebab tersering bawah 30%, pasien menunjukkan
terjadinya CKD adalah diabetes dan gejala uremia yang nyata seperti
tekanan darah tinggi, yaitu sekitar anemia, peningkatan tekanan darah,
dua pertiga dari seluruh kasus [2]. gangguan metabolisme fosfor dan
Keadaan lain yang dapat kalsium, pruritus, mual, muntah dan
menyebabkan kerusakan ginjal lain sebagainya. Pasien juga mudah
diantaranya adalah penyakit terserang infeksi, terjadi gangguan
peradangan seperti glomerulonefritis, keseimbangan elektrolit dan air[5].
penyakit ginjal polikistik, malformasi Pada GFR di bawah 15%, maka
saat perkembangan janin dalam timbul gejala dan komplikasi serius
rahim ibu, lupus, obstruksi akibat dan pasien membutuhkan RRT.
batu ginjal, tumor atau pembesaran Kualitas pasien akan meningkat jika
kelenjar prostat, dan infeksi saluran terapi pengobatannya di lakukan
kemih yang berulang. Gambaran dengan cara penggunaan yang
klinis pasien CKD meliputi optimal dan tepat. Salah satu cara
gambaran yang sesuai dengan yaitu dengan mengindentifikasi ,
penyakit yang mendasari, sindrom mencegah mengurangi dan
uremia dan gejala komplikasi. Pada mengatasi drugs related problem /
stadium dini, terjadi kehilangan daya DRP yang mungkin terjadi salah
cadang ginjal dimana GFR masih satunya adalah interaksi obat. Hal ini
normal atau justru meningkat. diharapkan dapat meningkatkan
Kemudian terjadi penurunan fungsi keberhasilan terapi DESKRIPSI
nefron yang progresif yang ditandai KASUS Seorang Pasien Ny. N.S
dengan peningkatan kadar urea dan berusia 71 tahun dengan berat badan
kreatinin serum. Sampai pada GFR 60 kg, tinggi badan 160 cm datang
sebesar 60%, pasien masih belum kerumah sakit dengan keluhan
merasakan keluhan. Ketika GFR pusing, lemas selama 1 minggu.
sebesar 30%, barulah terasa keluhan Riwayat penyakit Hipertensi dengan
seperti nokturia, badan lemah, mual, konsumsi obat rutin amlodipin.
nafsu makan kurang, dan penurunan Diagnosa Gagal ginjal kronis dengan
hipokalemia. A. Data Subjektif √ √ √ √ √ √ √ √ KCL IV √ √ √ √ √ √
Pasien Tabel 1. Data Subjektif pasien KSR 500 mg IV 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √
Keluhan Pasien 29/4 30/4 1/5/19 √ √ √ Citicholin 500 mg Oral 1x 1 √
2/5/19 3 3 3/5/19 4/5/19 5/5/19 Pucat √ √ CPG 75 mg Oral 1x1/2 √
+ + + + + _ - Lemas + + + - - - - Amlodipine 10 mg Oral 1x1 √ √ √ √
Nyeri Kepala + + + + + - - Pusing + √ √ √ √ √ Candesartan 8 mg Oral 1x1
+ + - - - - Mual + + + + + - - Muntah √ √ √ √ Allopurinol 300 mg Oral 1x1
+ + + - - - - Sesak + + + - - - - √ √ Keterangan : - Tanggal
Keterangan: (√)→Ada Keluhan (dari 29/4/2019 → Terapi pada pukul
nilai normal Implikasi klinik 09.20 dan selanjutnya dilakukan di
terhadap hasil laboratorium yang rawat inap Dahliah - Tanggal
tidak normal: - Peningkatan eusinifil 1/5/2019 Terapi KCL pada pukul
dapat disamarkan oleh penggunaan 5.30 di Stop - Tanggal 1/5/2019
steroid - Peningkatan kadar natrium Terapi Amlodipin pada pagi hari jam
dapat dipengaruhi oleh kondisi 10 diberikan 5 mg dan dosis
dehidrasi atau juga dipengaruhi oleh dinaikkan 10 mg pada jam 24.00
penggunaan obat golongan AINS, wib. Dan diberikan tambahan
kortikosteroid - Limfosit kurang dari antihipertensi Candesartan. Nama
nilai normal, menunjukkan pasien Obat Dosis Aturan pakai Rute Waktu
rentan terhadap infeksi, terutama Pemberian Allopurinol 300 mg 1x1
infeksi virus. Nama obat Kekua tan Oral M Aminoral 3x1 Oral PSM
Rute Aturan pakai Profil Pengobatan Amlodipine 10 mg 1x1 Oral P CPG
Pasien 29/4/201 9 30/4/201 9 500 mg 1x1 Oral S Candesartan 8
1/5/2019 2/5/2019 3/5/2019 4/5/2019 Mg 1x1 Oral M KSR 500 mg 1x1
5/5/2 019 P S M P S M P S M P S M Oral P Citicholin 500 mg 2x1 Oral
P S M P S M P Ondansentr on 8 mg PM Omeprazole 20 mg 2x1 Oral PM
Oral 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Furosemide 40mg 1x1 oral P Social
Omeprazole 20 mg inj 2x1 √ √ √ √ √ Clinical Pharmacy Indonesia Journal
√ √ √ √ √ √ Aminoral Oral 3x1 √ √ √ Special Issue Januari 2020 Tabel 5.
√ √ √ √ √ √ √ √ √ CaCo3 600 mg Assessment and plan (Identifikasi,
Oral 3x 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Manajemen and plan DRP) Obat
RL 169 mg IV 25 tpm √ √ √ √ √ √ √ Assesment ( Identifikasi DRP ) Plan /
Rekomendasi Ket Nama Obat Rute pada tanggal 29 april 2019 yaitu 108
Aturan Pakai Probl em Causes mg/dL dan pada tanggal 3 mei 2019
Interve nsi Outcome Omepraz ole + menurun menjadi 104 mg/dL. Selain
Clopidog rel Oral Oral 1 x sehari 1 x itu hasil pemeriksaan juga
sehari P 5.1 Poten sial intera ksi C1.4 menunjukkan pasien memiliki nilai
Masalah farmakokinetik Omeprazole asam urat diatas nilai normal yaitu
dapat menurunkan efek clopidogrel 8,2 mg/dL. Menurut algorithma
dengan mempengaruhi enzim hati penyakit ginjal nondiabetik (Dipiro
CYP2C19. I1.1 Mengin formasi kan et al., 2005), pengobatan CKD ini
kepada dokter O3.2 Masalah tidak adalah dengan mengatur nutrisi
terselesaika n, dokter penanggun g (mengatur asupan protein), mengatur
jawab pasien (DPJP) tidak dapat tekanan darah, dan mengatur
ditemui Intervensi tidak dilakukan proteinurea. Pengobatan pasien Ny.
pada dokter penanggung jawab N.S ini sudah sesuai dengan
pasien (DPJP) algoritma terapi menurut Dipiro,
HASIL DAN PEMBAHASAN yaitu memberikan asupan E 1890
Berdasarkan assesment pada form kal, protein 0,8 mg/kgBB/hari atau
transfer pasien antar ruangan, 40 g, Na< 1000 mg. Dilakukan juga
rencana terapi pasien adalah pembatasan makan makanan yang
pemberian calsium bikarbonat 3x1, rendah purin (diet). Pasien Ny. N.S
Omeprazole 2x1, aminoral 3x1 , selama perawatan diberikan terapi
KSR dan KCLIV 3x1 hari. pengobatan oral dan parenteral.
Direkomendasikan tindakan Obat-obat yang dimaksudkan adalah
medis/keperawatan adalah Ondansentron, Omeprazole,
pembatasan terhadap penggunaan Furosemid ,Aminoral, CaCo3, RL,
makanan yang kadar garamnya KCL, KSR, Chiticolin, Klopidogrel,
tinggi, transfusi PRC 300 cc/hari Amlodipine, Candesartan,
sampai dengan Hb 10.. Tindakan Allopurinol. Furosemide yang
medis lainnya adalah pemeriksaan diberikan pada pasien ini bertujuan
laboratorium dan hasil yang sebagai maintaining fluid balance
diperoleh adalah pasien juga dikarenakan adanya kardiomegali
memiliki kadar ureum yang tinggi yang disebabkan oleh hipertensi.
Pemberian KSR 600 MG indikasi yang tidak diterapi dan obat
mengandung kalium klorida yang di tidak efektif atau pengobatan gagal.
gunakan untuk mengobati atau Tanda-tanda vital yaitu TD diatas
mencegah jumlah kalium yang normal (fluktuaktif), menunjukkan
rendah dalam darah. Dan Aminoral HT stage 2 140-159/100 mmHg.
untuk Gangguan fungsi ginjal kronis Perlu pemberian antihipertensi
dengan GFRÂ 5- 50 golongan ACEI/ARB. Perlu
mL/minDigunakan untuk pasien pemeriksaan penunjang untuk
yang menderita CKD dengan tujuan menegakkan diagnosa dan pemberian
untuk meningkatkan status protein terapi pengobatan yang efektif bagi
dan nutrisi pada pasien gangguan pasien. DAFTAR RUJUKAN 1.
fungsi ginjal dan dapat digunakan Levey, A.S., Coresh, J., Balk, E.,
sebagai nutrisi intradialisis dengan Kausz, A., Levin, A., Steffes,M.W.,
rasio AAE;AANE sesuai dengan et al. 2002. National Kidney
kebutuhan pasien. Allopurinol 100 Foundation Practice Guidelines for
mg dengan dosis sehari 1x1 tablet Chronic Kidney Disease:
untuk pasien Ny. NS ini adalah untuk Evaluation,Classification, and
pengobatan atau pencegahan Stratification. Ann Intern Med. 2.
serangan penyakit gout dengan Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes,
menurunkan kadar asam urat di P.A., dan Rodwell, V.W. (2003).
dalam darah karena diketahui pasien Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta :
memiliki kadar asam urat yang tinggi Penerbit Buku Kedokteran EGC.
yaitu 8,2 mg/dL. Halaman 270. 3. Tjay, T.H.,
KESIMPULAN Rahardja, K., 2002. Obat-Obat
Berdasarkan pembahasan Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
sebelumnya, kesimpulan yang dapat Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI.
diambil dari pemantauan terapi obat Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
pada pasien Gagal ginjal Kronis Komputindo 4. Price SA, Wilson
adalah sebagai berikut: Pasien perlu LM. 2000. Patofisiologi Konsep
mengatur pola hidup sehat, terapi Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
nutrisi untuk menjaga berat badan pertama. Jakarta: Penerbit Buku
tetap ideal, dan olahraga.. Adanya Kedokteran EGC. 5. Sacher, R.A,
McPherson, R.A. 2004. Tinjauan
Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Cetakan 1. Jakarta
:EGC. 6. Suwitra, Ketut. 2009.
Penyakit Ginjal Kronik. Dalam
Sudoyo AW (Ed.), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam. hlm.1035-41.
7. Wehbi M. Acute gastritis, 2014.
Medscape. 8. Wilson, L.M. 2006.
Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan
Saluran Kemih. Dalam: Patafisiologi
Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC