Anda di halaman 1dari 52

UJIAN TENGAH SEMESTER

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

Dosen Pembimbing : Adi Nurapandi S. Kep., Ners

Oleh:

YOSI NURFITRIANI

1803277095

Tingkat 2B

PROGRAM STUDI S1-KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH CIAMIS Jl.


K. H. Ahmad Dahlan No.20 Tlp / FAX (0265) 773052 Ciamis

2020
1. a. Pengertian BPH
 Benign Prostate Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak
merupakan suatu keadaan terjadinya proliferasi sel stroma prostat yang akan
menyebabkan pembesaran dari kelenjar prostat.
 Benigna Prostat Hiperplasia ( BPH ) merupakan suatu penyakit dimana
terjadi pembesaran dari kelenjar prostat akibat hyperplasia jinak dari sel-sel yang
biasa terjadi pada laki-laki berusia lanjut. Masalah keperawatan pada post-operasi
BPH adalah resiko infeksi.
 BPH (Hiperplasia prostat benigna) adalah suatu keadaan di mana kelenjar
prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas ke dalam kandung kemih dan
menyumbat aliran urin dengan menutup orifisium uretra. BPH merupakan kondisi
patologis yang paling umum pada pria. (Smeltzer dan Bare, 2002)
 Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
nonkanker, (Corwin, 2000).
 Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh
penuaan. Price&Wilson (2005).

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)

 Benigna prostat hiperplasia (BPH) adalah penyakit tersering kedua di


klinik urologis di Indonesia setelah batu saluran kemih. Peyebab BPH secara
persis masih belum diketahui dengan pasti namun kondisi ini diperkirakan
terjadi karena adanya perubahan pada kadar hormon seksual akibat proses
penuaan (Adelia. dkk, 2017).

Jurnal Kesehatan Bhakti Husada Vol. 5 No. 2/2019

b. Patofisiologi BPH
Pertumbuhan kelenjar prostat terjadi secara konstan selama dua puluh
tahun pertama kehidupan lalu berhenti antara usia 20-40 tahun dan mulai
kembali pada usia 50 tahun. Keadaan ini biasanya dialami oleh pria yang berusia
diatas 60 tahun sebanyak 70% dan meningkat hampir 90 % pada usia diatas 80
tahun. Pembesaran kelenjar prostat akan mengakibatkan terganggunya aliran
urine sehingga menimbulkan gangguan miksi. Pembesaran prostat jinak dapat
diketahui melalui pemeriksaan fisik berupa colok dubur atau rectal toucher dan
dapat dijadikan pemeriksaan fisik dasar untuk mengetahui informasi mengenai
pembesaran prostat jinak. Penyakit ini merupakan penyebab tersering retensi
urine yaitu sekitar 65% pada laki-laki dewasa.
Retensi urine dapat menjadi faktor risiko untuk terjadinya pertumbuhan
bakteri karena adanya stasis aliran urine. Pembesaran prostat jinak juga
menyebabkan masih tersisanya urine didalam kandung kemih karena mengalami
dekompensasi sehingga juga meningkatkan risiko pertumbuhan bakteri di
saluran kemih dan munculnya kondisi seperti batu saluran kemih. Penyempitan
lumen uretra prostatika akibat pembesaran prostat akan menghambat aliran urine
sehingga terjadi peningkatan tekanan intravesikal. Buli-buli harus berkontraksi
lebih kuat untuk dapat mengeluarkan urine.
Kontraksi yang terus menerus menyebabkan perubahan anatomik buli-buli
berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Pasien akan merasakannya sebagai keluhan pada saluran
kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom (LUTS). Pembesaran
prostat jinak merupakan penyebab tersering terjadinya LUTS yaitu sekitar 50%
pria yang berusia 60 tahun dan hampir 90% pria yang berada pada usia 90 akan
merasakan gejala dari pembesaran prostat. Urinalisis adalah pemeriksaan yang
paling umum dilakukan dalam praktek urologi yang terdiri dari pemeriksaan
fisik, mikroskopik dan kimia.8. Urinalisis dapat dilakukan secara manual
maupun otomatis dengan melakukan pemeriksaan dipstik ataupun sedimen
urine. Pada pemeriksaan dipstik dan sedimen urine akan didapatkan zat-zat yang
terkandung dalam urine seperti eritrosit, leukosit, protein, pH, serta epitel.9,10
Pada penelitian Aprilia (2010) didapatkan bahwa 67,86% pasien
pembesaran prostat jinak mengalami leukosituria.10 Hematuria merupakan salah
satu komplikasi dari pembesaran prostat jinak yang biasanya disebabkan oleh
keadaan hipervaskular dari pembesaran prostat yang menyebabkan permukaan
pembuluh darah prostat menjadi rapuh dan mudah terganggu oleh aktivitas
fisik.12
Selain hematuria, kerusakan pada ginjal juga merupakan komplikasi dari
pembesaran prostat jinak dan akan dapat ditemukan protein pada urine
pasien.13,12 Adanya hambatan aliran urine pada pembesaran prostat jinak dapat
menyebabkan kondisi infeksi saluran kemih dan akan didapatkan perubahan
pada pH urine.2 Berdasarkan penjelasan diatas maka perlu diteliti gambaran
hasil pemeriksaan urine .
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)

c. Manifestasi klinis
Gejala yang umumnya terjadi pada pasien BPH adalah gejala pada saluran
kemih bagian bawah atau lower urinary track symptoms (LUTS). Gejala pada
saluran kemih bagian bawah terdiri atas gejala iritatif (storage symptoms) dan
gejala obstruksi (voiding symptoms). Gejala Obstruktif ditimbulkan karena
adanya penyempitan uretra karena didesak oleh prostat yang membesar. Gejala
yang terjadi berupa harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy),
pancaran miksi yang lemah (weak stream), miksi terputus (Intermittency), harus
mengejan (straining).
Gejala Iritatif disebabkan oleh pengosongan kandung kemih yang tidak
sempurna pada saat miksi atau berkemih, sehingga kandung kemih sering
berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala yang terjadi adalah frekuensi miksi
meningkat (Frequency), nookturia, dan miksi sulit ditahan (Urgency) (Kapoor,
2012). Gejala-gejala yang biasanya dirasakan oleh penderita pembesaran prostat
jinak yaitu nookturia, inkontinensia urin, aliran urin tersendat-sendat,
mengeluarkan urin disertai darah, dan merasa tidak tuntas setelah berkemih
(Dipiro et al, 2015).

Vol. XIII No.5 April 2019

d. Farmakologi
Terapi medikametosa atau farmakologi dilakukan pada pasien BPH tingkat
sedang, atau dapat juga dilakukan sebagai terapi sementara pada pasien BPH
tingkat berat. Tujuan terapi medikametosa adalah
1) untuk mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan αadrenergik blocker dan
2) mengurangi volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron atau dehidrotestosteron (DHT) (Purnomo, 2008).
Terapi farmakologi atau medikametosa, dalam menentukan pengobatan
perlu memperhatikan beberapa hal yaitu dasar pertimbangan terapi, jenis obat
yang digunakan, pemilihan obat, evaluasi selama pemberian obat serta perlu
dijelaskan pada pasien bahwa harga obatobatan yang akan dikonsumsi tidak
murah dan dikonsumsi dalam jangka waktu lama.
Tujuan terapi farmakologi ini adalah berusaha untuk mengurangi resitensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik atau mengurangi volume prostat
sebagai komponen statik (Dhingra dkk, 2011).
Beberapa obat yang biasa digunakan α-adrenergik bloker dan 5areductase
inhibitors (5ARIs) , kedua obat tersebut yang saat ini telah disetujui oleh
Medications currently approved by Health Canada untuk digunakan dalam
pengobatan BPH (Tanguay et al, 2009). Untuk pengobatan farmakologis,
pedoman AUA 2003 menyatakan bahwa alfuzosin (Uroxatral), doxazosin
(Cardura), tamsulosin (Flomax), dan terazosin (Hytrin) merupakan pilihan
pengobatan yang sesuai untuk pasien dengan LUTS sekunder untuk BPH.
Meskipun ada sedikit 15 perbedaan dalam profil efek samping dari obat
ini, AUA menyatakan bahwa keempat agen memiliki efektivitas klinis yang
sama. Pedoman ini juga menyatakan bahwa 5α-reduktase finasteride (Proscar)
dan dutasteride (Avodart) telah terbukti merupakan pengobatan yang tepat dan
efektif untuk pasien dengan LUTS terkait dengan pembesaran prostat.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(1)

e. Terapi diet
Terapi BPH dimaksudkan untuk meringankan obstruksi saluran kemih,
meningkatkan kualitas hidup dan mencegah progresifitas penyakit. Adapun
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah:

1) Memperbaiki keluhan miksi

2) Meningkatkan kualitas hidup

3) Mengurangi obstruksi infravesika

4) Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal

5) Mengurangi volume residu unrine setelah miksi

6) Mencegah progresifitas penyakit

 Terapi Non-Farmakologi

Pasien dengan gejala ringan diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang
mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya:

1) Tidak minum minuman berkafein dan alkohol agar tidak terlalu sering buang
air kecil

2) Diet rendah lemak

3) Meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran

4) Latihan fisik teratur

5) Tidak merokok

6) Mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia

7) Kurangi makanan pedas dan asin

8) Jangan menahan kencing terlalu lama


Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya ke-
luhannya apakah menjadi lebih baik, di samping itu dilakukan peme-
riksaan laboratorium, residu urine, atau uroflometri.

 Terapi Farmakologi (Medikamentosa) dan Terapi Bedah

Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:

1) Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik


penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenegik alfa
(adrenergic alpha blocker)

2) Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara


menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)

3) Terapi Bedah

Terdapat dua pilihan terapi bedah, yaitu bedah terbuka dan invasive minimal, di
mana metode invasive minimal lebih sering dipilih oleh spesialis urologi dalam
menangani BPH.

f. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperwatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan
meliputi data biologis, psikologis, social, dan spiritual.
Kemampuan perawat yang diharapkan dalam melakukan pengkajian
adalah mempunyai kesadaran / tilik diri , kemampuan mengobservasi
dengan akurat, kemampuan berkomunikasi terapeutik dan senantiasa
mampu berespon secara efektif.
Pada dasarnya tujuan pengkajian adalah mengumpulkan data objektif dan
subjektif dari klien. Adapun data yang terkumpul mencakup klien,
keluarga, masyarakat, lingkungan, atau kebudayaan. (Mc Farland & mc
Farlane, 1997)
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan selama pengkajian antara lain:
Memahami secara keseluruhan situasi yang sedang dihadapi oleh klien
dengan cara memperhatikan kondisi fisik, psikologi, emosi, sosialkultural,
dan spiritual yang bisa mempengaruhi status kesehatannya.
Mengumpulkan semua informasi yang bersangkutan dengan masa lalu,
saat ini bahkan bahkan sesuatu yang berpotensi menjadi masalah bagi
klien guna membuat suatu database yang lengkap. Data yang terkumpul
berasal dari perawat-klien selama berinteraksi dan sumber yang lain.
(Gordon, 1987;1994)
Sumber informasi sekunder meliputi anggota keluarga, orang yang
berperan penting dan catatan kesehatan klien.

g. Analisa data

Analisa data adalah kemampuan dalam mengembangkan kemampuan


berpikir rasional sesuai dengan latar belakang ilmu pengetahuan.
 Analisis univariat
Pada penelitian ini variabel yang dianalisis secara univariat adalah variabel
dependen motivasi perawat dan variabel independen pendokumentasian asuhan
keperawatan.
 Analisis bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dingunakan untuk melihat hubungan
antara variabel dependent dengan variabel independent secara bersama dengan
menggunakan analisa statistic Chi-square. Data diolah menggunakan sistem
komputerisasi dengan kriteria hasil : Diterima apabila p ≤ 0,05 berarti ada
hubungan yang signifikan antara motivasi perawat dengan pendokumentasian
asuhan keperawatan di ruang interne rumah sakit umum daerah Padang Panjang

h. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah menganalisis data subjektif dan objektif
untuk membuat diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan melibatkan proses
berpikir kompleks tentang data yang dikumpulkan dari klien, keluarga, rekam
medik, dan pemberi pelayanan kesehatan yang lain.
Diagnosa keperawatan adalah diagnosis yang dibuat oleh perawat
profesional yang menggambarkan tanda dan gejala yang menunjukan masalah
kesehatan yang dirasakan klien dimana perawat berdasarkan pendidikan dan
pengalaman mampu menolongklien.
The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 1992)
mendefinisikan diagnosa keperawatan semacam keputusan klinik yang
mencakup klien, keluarga, dan respon komunitas terhadap sesuatu yan
berpotensi sebagai masalah kesehatan dalam proses kehidupan.
Dalam membuat diagnosa keperawatan dibutuhkan ketrampilan klinik yang
baik, mencakup proses diagnosa keperawatan dan perumusan dalampembuatan
pernyataan keperawatan.Proses diagnosa keperawatan dibagi menjadi kelompok
interpretasi dan menjamin keakuratan diagnosa dari proses keperawatan itu
sendiri.
Perumusan pernyataan diagnosa keperawatan memiliki beberapa syarat
yaitu mempunyai pengetahuan yang dapat membedakan antara sesuatu yang
aktual, risiko, dan potensial dalam diagnosa keperawatan.
Tipe Diagnosa keperawatan Ada tiga tipe diagnosa keperawatan menurut
NANDA yaitu:
Diagnosa keperawatan actual, yaitu respon manusian terhadap kindisi
kesehatan atau proses kehidupan yang didukung oleh sekelompok batasan
karakteristik dan termasuk factor yang berhubungan (etiologi) yang
mempunyai kontribusi terhadap perkembangan atau pemeliharaan
kesehatan.
Diagnosa keperawatan resiko, yaitu menunjukan respon manusia yang dapat
timbul pada seseorang atau kelompok yang rentan dan ditunjang dengan
factor resiko yang memberi konstribusi pada peningkatan kerentanan.
Diagnosa keperawatan kesejahteraan, yaitu menguraikan respon manusian
terhadap tingkat kesehatan pada individu atau kelompok yang mempunyai
potensi peningkatan derajat kesehatan lebih tinggi.
Perumusan masalah
Setelah perawat menyelesaikan pengkajian, perawat kemudian menyeleksi
outkom menggunakan skala pengukuran dan pengidentifikasi rating yang
diinginkan untuk bisa dicapai melalui intervensi.
Tujuan dalam criteria hasil akan memberikan petunjuk bagi perawat untuk
menentukan tindakan keperawatan dan untuk meningkatkan evaluasi dari
perawat. Tujuan seharusnya ditulis dalam terminology tingkah laku. Ini
berarti kata kerja digunakan untuk menunjukan tujuan yang
menggambarkan tingkah laku yang mungkin diobservasi dan harus
mempunyai sedikit interpretasi. Tujuan harus realistic menggambarkan apa
yang perawat ingin selesaikan dengan waktu yang spesifik. (Stuart dan
Sundeen, 1995)
Adapun Diagnosa keperawatan yang dapat di ambil pada kasus bph adalah
sebagai berikut
 Pre Operasi :
1). Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik,
pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan
kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi
kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3). Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis..
4). Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah
5). Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi .

 Post Operasi :

1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten
akibat dari TUR-P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

- Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (pembedahan)


- Hambatan aktivitas ditempat tidur berhubungan dengan keterbatasan
lingkungan,
peralatan terapi
- Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive trauma, pembedahan

i. Perencanaan
Perencanaan adalah suatu kategori dari prilaku keperawatan dimana tujuan
yang berpusat pada klien dan hasil yang di perkirakan di tetapkan dan intervensi
keperawatan di pilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter. 2005) dalam
menetapkan perencanaan seorang pereawat perlu berkolaborasi dengan berbagai
pihak yakni klien, keluarga, serta petugas medis lain seperti dokter, ahli farmasi
dan nutrisionist. Perencanaan merupakan suatu proses penyusunan berbagai
intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah, menurunkan, atau
mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah ketiga
dalam membuat suatu proses keperawatan.

j. Intervensi
Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dapat mencapai tiap tujuan khusus. Perencanaan keperawatan meliputi
perumusan tujuan, tindakan, dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan
pada klien berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan dan
keperawatan klien dapat diatasi.
Rencana tindakan disesuaikan dengan standar asuhan keperawatan jiwa
Indonesia atau standar asuhan keperawatan Amerika yang membagi
karakteristik tindakan berupa: tindakan konseling, pendidikan kesehatan,
perawatan mandiri dan aktifitas hidup sehari-hari, terapi modalitas
keperawatan, perawatan berkelanjutan, tindakan kolaborasi (terapi somatic
dan psikofarma). Pada dasarnya tindakan keperawatan terdiri dari tindakan
observasi dan pengawasan, terapi perawatan, pendidikan kesehatan dan
tindakan kolaborasi. (NANDA, 1992)

k. Implementasi
 Implementasi adalah pengolahan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendi, 1995). Jenis tindakan pada
implementasi ini terdiri dari tindakan mandiri, saling ketergantungan /
kolaborasi, dan tindakan rujukan / ketergantungan.
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Pada situasi nyata sering implementasi jauh berbeda dengan
rencana. Hal ini terjadi karena parawat belun terbiasa menggunakan rencana
tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa adalah rencana
tidak tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal ini
sangat membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal, dan juga tidak
memenuhi aspek legal.
Sebelum meleksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan
dibutuhkan klien sesuai dengan kondisi saat ini. Perawat juga menilai diri
sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, teknik sesuai
dengan tindakan yang akan dilaksanakan.

l. Evaluasi
Evaluasi mengacu kepada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap
ini perawat menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat
berhasil atau gagal.(Alfaro-LeFevre, 1994)
Perawat menemukan reaksi klien terhadap intervensi keperawatan yang
telah diberikan dan menetapkan apa yang menjadi sasaran dari rencana
keperawatan dapat diterima. Perencanaan merupakan dasar yang mendukung
suatu evaluasi.
Menetapkan kembali informasi baru yang diberikan kepada klien untuk
mengganti atau menghapus diagnosa keperawatan, tujuan, atau intervensi
keperawatan.
Menentukan target dari suatu hasil yang ingin dicapai adalah keputusan
bersama antara perawat dank lien (Yura & Walsh, 1988)
Evaluasi berfokus pada individu klien dan kelompok dari klien itu sendiri.
Proses evaluasi memerlukan beberapa keterampilan dalam menetapkan rencana
asuhan keperawatan., termasuk pengetahuan mengenai standar asuhan
keperawatan, respon klien yang normal terhadap tindakan keperawatan, dan
pengetahuan konsep teladan dari keperawatan.

2. ANALISA ASUHAN KEPERAWATAN DALAM MENGATASI


MASALAH:

a. Sistem Endokrin

P : Penelitian ini mewawancarai 15 orang penderita Diabetes Mellitus


dan keluarganya.

I : Langkah awal penelitian adalah melakukan studi lapangan


untuk mengetahui dan mengidentifikasi permasalahan yang dialami pasien
diabetes mellitus. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pembagian
kuisioner dan wawancara. Responden adalah pasien DM di RS Wava Husada
Malang yang diambil secara purposive sampling, dengan kriteria : menderita
DM lebih dari 6 bulan, DM tipe 1 atau 2 yang di rawat inap dan pasien
kooperatif. Pengambilan data dilakukan selama 6 bulan. Variabel penelitian ini
adalah kadar gula darah dan pengendalian emosi dengan skala data interval,
namun variabel pengendalian emosi juga dikategorikan dalam skala ordinal
(rendah, sedang dan tinggi), agar penyajian data lebih informatif. Instrumen
penelitian yang berupa kuisioner tentang pengendalian emosi dan pemeriksaan
kadar gula darah.
C : Pada penelitian ini menunjukkan adanya respon emosi yang
negative pada klien penderita Diabetes Mellitus. Hasil penelitian Kartika dan
Husnat di tahun 2008 pada pasien Diabetes Mellitus secara kualitatif didapatkan
data emosional negatif yang muncul tidak lama setelah program diet DM
diterapkan pada 3 responden penelitian. Penelitian lain yang dilakukan Endang,
RS di tahun 2010, menghasilkan bahwa terdapat gambaran distorsi kognitif dan
perilaku pengelolaan diabet secara negative yang mengikutinya dan
konsekuensinya pada penerapan CBT pola proses kognitif-emosi-perilaku. Klien
dengan pengontrolan kadar gulanya buruk bisa langsung mempengaruhi
kesehatannya, sehingga komplikasi kronis pun mulai bermunculan.

O : Setelah dilakukan pengkajian bahwa hasil penelitian


menunjukkan bahwa ada hubungan antara kadar gula darah dengan pengendalian
emosi. Kekuatan hubungan berifat sedang dan memiliki arah negatif (- 0.715),
artinya hubungannya bersifat terbalik yaitu bila kadar gula darah tinggi maka
pengendalian emosi akan rendah, sebaliknya bila kadar gula darah rendah maka
pengendalian emosi akan tinggi.

T : Pengambilan data dilakukan selama 6 bulan.

Jurnal Kesehatan Hesti Wira Sakti Vol 7 no 1 tahun 2019

b. Sistem Imunologi

P : Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat yang bertugas


pada ruangan rawat inap perawatan umum Rumah Sakit Santa Maria
sebanyak 74 orang

I : Dalam penelitian ini melihat bahwa Peningkatan prevalensi


diabetes mellitus (DM) menunjukkan pentingnya upaya pencegahan.
Penatalaksanaan DM terdiri dari terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi
non farmakologi salah satunya dengan merubah perilaku pasien DM. Sehingga
dibutuhkan edukasi yang giat dari tenaga keperawatan yang membantu proses
keperawatan selama 24 jam di rumah sakit. Pemberian edukasi oleh perawat
tergantung dari keinginan dan kemampuan seorang perawat dalam memberikan
edukasi, dan didukung oleh tingkat pengetahuan perawat tersebut tentang
manajemen DM. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan pengetahuan
manajemen diabetes terhadap motivasi perawat mengedukasi pasien DM di
rawat inap RS Santa Maria Pekanbaru. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan desain cross sectional study. Data dikumpulkan dengan
kuesioner tentang pengetahuan manajemen DM dan motivasi perawat dalam
mengedukasi pasien DM. Data dianalisis dengan uji chi square

C : Penelitian ini mengidentifikasi hubungan antara variabel bebas


dengan variabel terikat yang diukur pada waktu yang sama dan hanya dilakukan
satu kali pengukuran. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perawat yang
bertugas pada ruangan rawat inap perawatan umum Rumah Sakit Santa Maria
sebanyak 74 orang. Teknik pengambilan sampel yang akan digunakan penelitian
ini adalah Consecutive sampling yaitu sebanyak 74 orang yang diambil
berdasarkan kriteria inklusi penelitian. Sampel penelitian berjumlah 42 orang.
Kriteria inklusinya adalah perawat yang berstatus sebagai perawat pelaksana dan
bertugas ruangan perawatan umum. Sementara kriteria eksklusi penelitian ini
adalah: prawat yang sedang cuti melahirkan dan sedang sakit lebih dari 2
minggu. Variabel independen pada penelitian ini adalah penegetahuan perawatn
tentang manajemen DM yang merupakan segala sesuatu yang diketahui perawat
terkait 4 pilar penatalaksanaan DM yaitu : diit, latihan, edukasi dan pengobatan.
Sementara yang menjadi variable dependent adalah motivasi perawat
mengedukasi pasien DM yang merupakan keingginan pperawat dalam
melakukan edukasi pada pasien DM. Instrumen yang digunakan adalah lembar
kuesioner tentang data demografi perawat dan kuesioner tentang pengetahuan
dan motivasi perawat. Sebelum kuesioner disebarkan kepada responden, terlebih
dahulu di uji validitas dan reliabilitasnya. Uji coba instrument ini dilakukan
kepada 20 perawat yang tidak dijadikan sebagai sampel penelitian di ruang
perawatan umum RS Santa Maria Pekanbaru
O : Setelah dilakukan pendataan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan manajemen diabetes terhadap motivasi perawat mengedukasi
pasien DM dapat di simpulkan bahwa 42 perawat didapatkan data terbanyak
berusia pada rentang 21-35 tahun (25,6%). Hal ini menunjukkan bahwa perawat
RS Santa Maria berada pada usia produktif yang mampu dalam berfikir dengan
baik, bersosialisasi dan mampu memberikan pelayanan terbaik. Kemampuan
berfikir meningkat secara teratur selama usia dewasa. Umur 25 s/d 40 tahun
masuk dalam masa dewasa awal dimana pada masa ini seseorang akan
memusatkan harapan- harapannya untuk mendapatkan pekerjaan, memillih
teman hidup, mempertahankan kondisi kesehatan, membentuk keluarga dan
bersosialisasi

T : Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2018.

Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 – 32

c. Sistem Pencernaan

P : Partisipan dalam studi kasus ini adalah 2 orang yang mengalami


ketidakseimbangan nutrisi, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan.

I : Dari penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan oleh


penulis ditujukan untuk meningkatkan berat badan klien dan memberikan intake
yang adekuat. Kaji tanda vital pasien, timbang berat badan, monitor intake dan
output, untuk mengetahui apakah klien mengkonsumsi makanan secara adekuat
dan mengetahui keadaan klien secara umum; anjurkan klien untuk
menghabiskan makanan dari rumah sakit, anjurkan keluarga memberikan
makanan dalam porsi kecil tapi sering, jelaskan yang harus dihindari oleh klien
ditujukan untuk meningkatkan intake peroral secara adekuat sehingga dapat
meningkatkan kebutuhan nutrisi klien; dan kolaborasi dalam pemberian obat:
Infus RL 1500 cc/24 jam, Ceftriaxone 2x1 gram/ injeksi IV, Ondancentron 2x 8
mg/ injeksi IV, Ranitidin 2x40 mg/ injeksi IV ditujukan untuk mengatasi
penyebab dari masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
sehingga klien tidak nyeri ulu hati dan mual muntah dengan harapan apabila
penyebabnya dihilangkan, maka klien dapat mengkonsumsi makanan secara
adekuat.

C : Dampak gastritis dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan


terjadinya suatu luka dalam perut yang dapat menimbulkan nyeri ulu hati yang
sangat perih. Luka pada dinding lambung seringkali karena peningkatan
pengeluaran asam lambung selanjutnya akan meningkatkan motilitas lambung
dan jika dibiarkan lebih lanjut dapat menyebabkan tukak lambung, pendarahan
hebat, dan kanker. Maka dari itu peran perawat terhadap kasus ini adalah dengan
melakukan nutrition management dan nutrition monitoring. Tindakan yang dapat
diberikan adalah dengan mengkaji status nutrisi klien, menimbang berat badan,
menganjurkan keluarga untuk membawakan makanan kesukaan klien,
menganjurkan keluarga memberikan makanan dalam porsi kecil tapi sering,
memberikan informasi tentang kebutuhan nutrisi, dan melakukan kolaborasi
dalam hal pemberian makanan dengan ahli gizi.

O : Hasil pengkajian dari data subjektif dan objektif digunakan untuk


menentukan diagnosa, klien mengalami ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh akibat penurunan intake makanan sekunder akibat mual
muntah. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kesenjangan antara fakta dengan
teori.

T : Penelitian ini tidak mencantumkan waktu dari penelitian, namun hanya


menyantumkan lamanya proses penelitian yakni 8 minggu.

Jurnal DIII Keperawatan Stikes Bina Sehat PPNI Mojokerto

d. Sistem Perkemihan
P : Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 57 orang.

I : Hasil penelitian dari penelitian ini menunjukkan klien yang menjalani


hemodialisis berusia dewasa bahwa penyakit ginjal kronik banyak terjadi pada
usia dewasa.Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati
(2012) bahwa usia tidak mempunyai pengaruh terhadap penurunan Interdialytic
Weight Gain (IDWG). Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa literatur, maka
peneliti menyimpulkan bahwa semakin meningkatnya umur akan menyebabkan
perubahan struktur fungsional dan mudah mengalami penurunan fungsi organ
penting termasuk penurunan fungsi ginjal dipengaruhi oleh gaya hidup serta
menejemen cairan.

C : Hasil penelitian ini, berat badan responden sebelum menjalani


hemodialisis mayoritas mengalami penambahan berat badan dengan hasil rata –
rata 54 Kg. Penambahan berat badan disebabkan resonden tidak menajalnkan
pembatasan cairan yang di anjurkan. Penelitian ini sesuai dengan Neumann
(2015) IDWG yang dapat ditoleransi oleh tubuh adalah tidak lebih dari 3% dari
berat kering. Menurut Riyanto (2015) IDWG dapat diklasifikasin berdasarkan
persentase kenaikan berat badan pasien, dimana IDWG dikatakan ringan bila
penambahan berat badan 6%. Penambahan berat badan di antara dua waktu
dialisis (IDWG) erat kaitannya dengan masukan cairan pada pasien. Pembatasan
cairan merupakan salah satu terapi yang diberikan bagi pasien penyakit ginjal
tahap akhir. Pengaturan masuk cairan yang baik dapat mencegah IDWG yang
berlebihan.

O : Sebagian besar responden rata-rata berusia 46 tahun, berjenis kelamin


perempuan, pendidikan terakhir paling banyak SMA/SMK, hubungan orang
terdekat suami, lama menjalani hemodalisis > 12 bulan, dengan frekuensi 2
x/minggu, berat badan sebelum HD dengan hasil rata – rata 54 Kg dan sebelum
HD 52 Kg. Pembatasan cairan pada pasien PGK sebagian besar buruk.
Pengurangan garam mengalami hal yang sama sebagian besar berkategori buruk.

T : Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni, 2017


3. PENATALAKSANAAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN,
IMUNOLOGI, PENCERNAAN, DAN PERKEMIHAN

1. SISTEM ENDOKRIN

Diabetes Melitus

DM adalah penyakit kronis yang membutuhkan pengobatan lama, sehingga


dalam pengobatannya dibutuhkan kepatuhan dan kesabaran pasien. Pasien harus
berusaha mengendalikan keduanya yaitu gula darah dan emosi, karena dari hasil
penelitian keduanya saling berhubungan dan sangat berdampak pada penyakit
DM.

2. SISTEM IMUNOLOGI

Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya.

Klasifikasi

 Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai


oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pancreas
karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi insulin tidak ada sama
sekali sehingga penderita sangat memerlukan tambahan insulin dari luar.

 Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai


oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi insulin)
 Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang
ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta,
defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena
obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetic lain
yang berkaitan dengan DM

 Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan metabolik


yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil,
biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan
gula darah kembali normal.

Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat kelu- han klasik DM seperti di
bawah ini:

 Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan


berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

 Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

 Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu


>200 mg/dL sudah cukup untuk menegak- kan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan


klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g


glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
karena membutuhkan persiapan khusus.
Penatalaksanaan

Tujuan Penatalaksanaan

 Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM, mempertahankan


rasa nyaman, dan mencapai target pengen dalian glukosa darah.

 Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit


mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati..

 Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Langkah – langkah penatalaksanaan penyandang diabetes

1. Evaluasi medis

a. Riwayat Penyakit

 Gejala yang timbul

 Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C,


dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM

 Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan

 Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda

 Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk


terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM
secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan

 Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,


perencanaan makan dan program latihan jasmani

 Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar


hiperglikemia, dan hipoglikemia)

 Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus


urogenitalis serta kaki
 Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,
mata, saluran pencernaan, dll.)

 Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah

 Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,


obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (ter masuk penyakit DM dan endokrin
lain)

 Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM

 Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi

 Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.

b. Pemeriksaan Fisik

 Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang

 Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam


posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik,
serta ankle brachial index (ABI),untuk mencari kemungkinan penyakit pem
buluh darah arteri tepi

 Pemeriksaan funduskopi

 Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid

 Pemeriksaan jantung

 Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan steto skop

 Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari

 Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan


insulin) dan pemeriksaan neurologis

 Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain

c. Evaluasi Laboratoris/penunjang lain

 Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial


 A1C

 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan
trigliserida)

 Kreatinin serum

 Albuminuria

 Keton, sedimen, dan protein dalam urin

 Elektrokardiogram

 –   Foto sinarx dada

2. Pilar penatalaksanaan DM

a.  Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat.

Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala


hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien.
Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.

b. Terapi nutrisi medis

Merupakan bagian dari penata laksanaan diabetes secara total. Kunci


keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan


anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal
jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat
badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali
glukosa darah. Latihan jasmani yang di anjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa
ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi.
Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan.

d. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.

3. SISTEM PENCERNAAN

Tukak lambung

Tukak lambung adalah luka pada lambung yang menyebabkan keluhan sakit maag.
Selain di lambung, luka tersebut dapat terbentuk di usus 12 jari atau di bagian bawah
kerongkongan.

Banyak orang menganggap bahwa luka di lambung disebabkan oleh konsumsi


makanan asam atau pedas secara berlebihan. Anggapan tersebut kurang tepat.
Makanan pedas memang bisa memperparah gejala sakit maag, tetapi tidak
menyebabkan luka.
Sebagian besar kasus tukak lambung disebabkan oleh infeksi
bakteri H. pylori atau karena konsumsi obat pereda nyeri yang berlebihan. Pada
kasus yang jarang terjadi, tukak lambung juga dapat disebabkan oleh tumor di
lambung, atau komplikasi dari radioterapi.

Penyebab Tukak Lambung

Luka di lambung terbentuk ketika selaput yang melapisi lambung terkikis.


Pengikisan selaput lambung umumnya disebabkan oleh:

Infeksi bakteri

Infeksi  Helicobacter pylori merupakan penyebab utama timbulnya luka pada


lapisan lambung.

Konsumsi obat antiiinflamasi nonsteroid (OAINS)

Konsumsi ibuprofen, diclofenac, atau meloxicam secara berlebihan dapat


menyebabkan iritasi atau peradangan pada jaringan lambung hingga
menimbulkan luka.

Selain OAINS, obat lain yang bisa menyebabkan tukak lambung adalah


aspirin, kortikosteroid, dan obat antidepresan golongan SSRI.

Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya tukak lambung
atau memperparah gejala tukak lambung, yaitu:

 Merokok, terutama pada seseorang yang terinfeksi bakteri pylori.


 Stres yang tidak terkelola dengan baik.
 Konsumsi makanan asam atau pedas.
 Konsumsi minuman beralkohol.

Gejala Tukak Lambung

Gejala yang muncul adalah sakit maag atau nyeri ulu hati. Nyeri tersebut
memiliki karakteristik sebagai berikut:
 Berlangsung dalam hitungan menit hingga jam.
 Hilang timbul selama beberapa hari, minggu, atau bulan.
 Memburuk di antara waktu makan, saat malam hari, atau pagi-pagi sekali.
 Makin parah ketika perut kosong atau tidak terisi makanan.
 Reda bila perut diisi makanan atau setelah minum obat sakit maag, tetapi
kemudian akan muncul kembali.

Gejala lain yang bisa muncul pada tukak lambung adalah:

 Mual dan muntah


 Perut kembung
 Sering bersendawa
 Dada terasa seperti terbakar
 Hilang nafsu makan atau mudah kenyang.
 Berat badan turun
 Sulit menarik napas
 Lemas

4. SISTEM PERKEMIHAN

Gagal ginjal kronik

Penyebab gagal ginjal kronik adalah tekanan darah tinggi (hipertensi),


penyumbatan saluran kemih, glomerulonefritis, kelainan ginjal, misalnya
penyakit ginjal polikista, diabetes melitus (kencing manis) dan kelainan
autoimun, misalnya lupus eritematosus sistemik. Seseorang yang memiliki
penyakit ginjal kronik, dapat memiliki stadium yang berbeda. Klasifikasi
stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus. Stadium yang lebih tinggi
menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
Gejala gagal ginjal kronik seperti, bengkak mata, kaki, nyeri pinggang hebat
(kolik), demam, kencing sakit, kencing sedikit, kencing merah/darah, sreing
kencing, lemas, nafsu makan menurun, mual, muntah, gatal, sesak napas dan
pucat/anemia. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium : kreatinine darah naik,
Hb turun, ditemukannya protein pada urin. Kelainan urin : Protein,
darah/eritrosit, sel darah putih /leukosit, bakteri.
Tujuan terapi diet pada gagal ginjal mengendalikan gejala, meminimalkan
komplikasi memperlambat perkembangan penyakit. Penyebab dan berbagai
keadaan yang memperburuk gagal ginjal harus segera dikoreksi. Diet rendah
protein , Protein = 0,6 – 0,8 gr/kg BB (memperlambat perkembangan gagal
ginjal kronis). Tambahan vitamin B dan C diberikan jika penderita menjalani
diet ketat atau menjalani dialisa.
Jenis diet pada gagal ginjal kronik, Diet rendah protein I: Asupan protein 30 gr
dan diberikan kepada pasien dengan berat badan 50 kg. Diet rendah protein II:
Asupan protein 35 gr diberikan pasien dengan berat badan 60 kg. Diet rendah
protein III: Asupan protein 40 gr diberikan kepada pasien dengan berat badan 65
kg.

Pengaturan makanan pada gagal ginjal kronik, bahan makanan karbohidrat


dianjurkan Sumber Karbohidrat sederhana: gula, selai, sirup, permen, madu
untuk menambah energi (suplemen), agar- agar, jelly. untuk makanan yang
dibatasi Sumber Karbohidrat kompleks : nasi, jagung, kentang, makaroni atau
pasta, havermout, ubi/talas. Bahan makanan protein hewani, dibatasi Daging
kambing, ayam, ikan, hati, keju, udang, telur. Bahan makanan protein nabati
dihindari Kacang- kacangan dan hasil olahannya, seperti tahu, tempe, oncom,
kacang merah, kacang tolo, kacang
hijau, kacang kedelai. Bahan makan sayuran dianjurkan, Semua sayuran kecuali
untuk pasien dengan heperkalemia, dibatasi Sayuran tinggi Kalium seperti
peterseli, buncis, bayam, daun pepaya muda, dll apabila pasien mengalami
hiperkalemia. Bahan makanan buah-buahan dianjurkan, Semua buah kecuali
untuk pasien hiperkalemia. Dibatasi Buah-buahan tinggi kalium seperti apel,
alpukat, jeruk, pisang, dll apabila pasien mengalami hiperkalemia. Bahan
makanan lemak, dianjurkan Minyak jagung, minyak kacang tanah, minyak
kelapa, minyak kedelai, minyak kelapa sawit, dan margarin rendah garam.
Dihindari, Minyak kelapa, santan kental, mentega dan lemak hewan.
Cara mengatur diet pada gagal ginjal kronik, Makanan diberikan porsi kecil,
padat kalori dan sering, misal 6x sehari. Pilih makanan sumber protein hewani
sesuai jumlah yang telah ditentukan. Cairan lebih baik dibuat dalam bentuk
minuman. Masakan lebih baik dibuat tidak berkuah, seperti ditumis, dipanggang,
dikukus atau dibakar. Bila harus membatasi garam, gunakanlah lebih banyak
bumbu seperti gula, asam dan bumbu dapur lainnya untuk menambah rasa
( lengkuas, kunyit, daun salam, dll ).
Hal yang perlu diperhatikan pada gagal ginjal kronik, Sirup, madu, permen,
sangat baik sebagai penambah energi, tetapi tidak diberikan dekat dengan waktu
makan karena dapat mengurangi nafsu makan. Bila ada edema (bengkak di
kaki), tekanan darah tinggi, perlu mengurangi garam dan menghindari bahan
makanan sumber natrium lainnya, seperti soda, kaldu instan, ikan asin, telur
asin, makanan yang diawetkan. Jumlah cairan yang masuk harus seimbang
dengan cairan yang keluar (urin). Ingat cairan yang berlebihan akan membebani
kerja ginjal yang fungsinya sudah berkurang.

Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal 23

PENGETAHUAN MANAJEMEN DIABETES BERHUBUNGAN DENGAN


MOTIVASI PERAWAT DALAM MEMBERIKAN EDUKASI PADA
PASIEN DIABETES MELITUS

Sri Yanti1*, Gusti Agung Ayu Raka Mertawati2 1

Program Studi S1 Keperawatan, STIKes Payung Negeri Pekanbaru. Jln Tamtama


no 06 Lubuhbaru Timur Kec. Payung Sekaki kota Pekanbaru Riau, Indonesia
28291 2RS Santa Maria Pekanbaru, Jl. Jend. Ahmad Yani No.68,
RT./RW/RW.001/001, Pulau Karam, Kec. Sukajadi, Kota Pekanbaru, Riau,
Indonesia 28127 *ysri9232@yahoo.com

ABSTRAK
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus (DM) menunjukkan pentingnya upaya
pencegahan. Penatalaksanaan DM terdiri dari terapi farmakologi dan non
farmakologi. Terapi non farmakologi salah satunya dengan merubah perilaku
pasien DM. Sehingga dibutuhkan edukasi yang giat dari tenaga keperawatan yang
membantu proses keperawatan selama 24 jam di rumah sakit. Pemberian edukasi
oleh perawat tergantung dari keinginan dan kemampuan seorang perawat dalam
memberikan edukasi, dan didukung oleh tingkat pengetahuan perawat tersebut
tentang manajemen DM. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan
pengetahuan manajemen diabetes terhadap motivasi perawat mengedukasi pasien
DM di rawat inap RS Santa Maria Pekanbaru. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dengan desain cross sectional study. Data dikumpulkan dengan
kuesioner tentang pengetahuan manajemen DM dan motivasi perawat dalam
mengedukasi pasien DM. Data dianalisis dengan uji chi square. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2018 dengan jumlah sampel 42
responden. Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,005 < 0,05, menunjukkan
bahwa terdapat hubungan pengetahuan manajemen DM terhadap motivasi
perawat dalam mengedukasi pasien DM, dimana dari 21 perawat yang
mempunyai pengetahuan kurang, memiliki motivasi rendah (75%) dan yang
memiliki motivasi tinggi (27,3%). Perawat dengan pengetahuan yang baik lebih
banyak memiliki motivasi tinggi (72,7%) dan motivasi rendah (25%). Kata kunci :
pengetahuan. motivasi, perawat, diabetes mellitus

DIABETES MANAGEMENT KNOWLEDGE IS RELATED TO NURSING


MOTIVATION IN GIVING EDUCATION TO DIABETES MELITUS
PATIENTS

ABSTRACT

Increased prevalence of Diabetes Mellitus (DM) show the importance of


prevention efforts. DM management consists of pharmacological and non-
pharmacological therapies. Non-pharmacological therapy was how to change the
behavior of people with DM. To change the behavior of patients with DM, need
for careful education from nursing staff who help the nursing process for 24 hours
in the hospital. The provision of education by nurses depends on the desire and
ability of a nurse to provide education, and is supported by the level of knowledge
of the nurse about DM management. The purpose of these study to determine the
relationship of knowledge management of diabetes to the motivation of nurses to
educate DM patients in hospitalization Santa Maria Hospital Pekanbaru. This
research was a quantitative research with cross sectional study. Data wa collected
by questionnaire about knowledge of diabetes management and nurses motivation
to educate DM patients. This research was conducted from March to July 2018
involving 42 samples. The results of this study showed p value = 0.005 < 0.05, it
showed that there is a relationship of knowledge management DM on the
motivation of nurses in educating DM patients in inpatient ward, where from 21
nurses who have less knowledge, more have a low motivation of 75% compared
with high motivation only 27.3%, from 21 nurses who have good knowledge have
more high motivation that is 72.7% compared with low motivation 25%.
Keywords: knowledge, motivation, nurse, diabetes mellitus Jurnal Keperawatan
Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020 p-ISSN 2085-1049 Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2549-8118 Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1,
Hal 23 - 32, Maret 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal 24

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme karbohidrat,


protein dan lemak yang ditandai oleh hipergikemia atau peningkatan kadar
glukosa dalam darah yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin atau menurunnya
kerja insulin (Endocrinologist, 2015). Hiperglikemia dapat berdampak buruk pada
berbagai macam organ tubuh seperti neuropati diabetik, ulkus kaki, retinopati
diabetik, nefropati diabetik dan gangguan pembuluh darah (Prices & Wilson,
2012). Komplikasi akibat gula darah yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan
tingginya angka morbiditas sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya (Cortez, Reis, Souza, Macedo, & De Carvalho Torres, 2015).
Penderita DM di seluruh dunia pada tahun 2014 diperkirakan sebesar 422 juta,
terjadi peningkatan dua kali lipat sebesar 8,5% dari 4,25% tahun 2013 (World
Health Organization, 2016). Berdasarkan data (Aguiree et al., 2013), jumlah
penderita DM di dunia sebanyak 415 juta dan diperkirakan pada tahun 2040
meningkat menjadi 642 juta. Berdasarkan (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013), jumlah penderita DM di Indonesia
tertinggi terdapat di provinsi DI Yogyakarta dengan prevalensi sebanyak 2,6%
dari total populasi Indonesia dan urutan kedua di provinsi DKI Jakarta dengan
prevalensi 2,5% dari total populasi Indonesia serta Riau menempati urutan
keempat dengan jumlah 41.071 penderita DM. Rumah Sakit Santa Maria yang
merupakan salah satu rumah sakit swasta di kota Pekanbaru. Tahun 2015 jumlah
pasien rawat inap dengan diagnosa DM adalah 615 pasien, rawat jalan adalah
2842 pasien dengan total pasien DM adalah 3457 pasien. Tahun 2016 jumlah
pasien rawat inap naik menjadi 781 pasien dan rawat jalan 3282 pasien dengan
total pasien 4063 pasien sedangkan tahun 2017 jumlah pasien DM yang dirawat
inap adalah sebanyak 821 orang dan pasien dan rawat jalan 3842 pasien dengan
total pasien 4663 pasien (Rekam Medis Rumah Sakit Santa Maria Pekanbaru
Riau, 2016) Peningkatan prevalensi DM dan komplikasi menunjukkan pentingnya
upaya pencegahan. Pencegahan DM adalah dengan mengupayakan kadar glukosa
darah dalam tubuh menjadi normal. Upaya untuk menurunkan kadar gula darah
yaitu melalui empat pilar penatalaksanaan DM seperti edukasi, perencanaan
makan, latihan jasmani dan terapi farmakologi (Eliana, 2015). Peningkatan
indikator kesehatan pasien DM dan kualitas hidup pasien DM membutuhkan
pendidikan kesehatan dalam pengobatannya, yang bertujuan untuk mengajarkan
pasien tentang manajemen DM dalam meningkatkan kualitas hidup dan
memanajemen penyakitnya secara mandiri (American Association of Clinical
Endocrinologists, 2015). Edukasi pemantauan kadar glukosa darah sangat penting
karena merupakan indikator yang menentukan diagnosa penyakit DM. Kadar
glukosa darah dapat diperiksa sewaktu, dan ketika puasa. Seseorang di diagnosa
menderita DM jika dari hasil pemeriksaan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dl,
sedangkan kadar gula darah ketika puasa ≥126 mg/dl. Edukasi yang dapat
diberikan tidak hanya mengenai glukosa darah namun juga dapat berupa pola
makan yang sehat, aktivitas fisik yang baik bagi DM, penggunaan obat dengan
benar, melakukan perawatan kaki secara berkala, dan pemanfaatan fasilitas
pelayanan kesehatan dengan benar (Eliana, 2015). Setiap penderita diabetes
memiliki takaran gizi yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing penderita. Takaran makan dan pemberian dosis insulin harus
seimbang, agar tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemi (Eliana, 2015).
Pengaturan makan harus diiringi dengan olahraga dan kepatuhan pasien dalam
pengobatan. Perilaku keteraturan konsumsi obat anti DM menjadi salah satu
upaya untuk pengontrolan dalam pengendalian glukosa darah ataupun komplikasi
yang dapat ditimbulkan. Bila penderita DM tidak patuh dalam melaksanakan
program pengobatan yang telah dianjurkan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya maka akan dapat memperburuk kondisi penyakitnya (Putri & Isfandiari,
2013). Keberhasilan dari pengobatan DM ini selain dengan pengobatan secara
medik, dalam bentuk pemberian obat juga dipengaruhi dengan pola diet dan
olahraga untuk menjaga kebugaran tubuh. Olahraga merupakan suatu program
latihan jasmani yang bertujuan untuk mengurangi resistensi insulin sehingga kerja
Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020 Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Kendal 25 insulin lebih baik dan mempercepat pengangkutan
glukosa masuk ke dalam sel untuk kebutuhan energi. Olahraga dapat memperbaiki
sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah (Putri &
Isfandiari, 2013). Edukasi berupa pendidikan kesehatan sangat penting bagi pasien
DM, dimana pasien perlu mendapatkan informasi minimal setelah diagnosis DM
ditegakkan, baik pengetahuan dasar tentang diabetes, pemantauan mandiri, sebab-
sebab tingginya kadar glukosa darah, obat hipoglikemia oral, perencanaan makan,
perawatan, kegiatan jasmani, tanda-tanda hipoglikemi dan komplikasi.
Penyandang DM yang mempunyai pengetahuan cukup tentang DM, kemudian
selanjutnya mengubah perilakunya, sehingga akan dapat mengendalikan kondisi
penyakitnya. Pemberian informasi yang tepat dapat meningkatkan kepatuhan
penderita dalam menjalani program pengobatan yang komprehensif, sehingga
pengendalian kadar glukosa darah dapat tercapai. Dengan kepatuhan yang lebih,
maka akan lebih mudah menyerap informasi berkaitan dengan penyakitnya
sehingga pasien DM relative dapat hidup normal bila mengetahui kondisinya dan
cara penatalaksanaan penyakitnya tersebut (Peimani, Tabatabaei Malazy, &
Pajouhi, 2010). Melakukan pendidikan kesehatan tentang DM bukanlah hal
mudah bagi perawat. Banyak hal yang mempengaruhi dilakukannya pendidikan
kesehatan tersebut yakni pengetahuan, motivasi, beban kerja dan sebagainya.
Meskipun fasilitas memadai, organisasi dan manajemen baik, tanpa adanya
motivasi tinggi, maka sulit melakukan pendidikan kesehatan terhadap pasien
dengan baik. Kegiatan pendidikan kesehatan ini bergantung pada motivasi untuk
melakukan (80-90%) dan kemampuan (10- 20%) (Waluyo, 2010). Setiap aktivitas
yang dilakukan oleh seseorang didorong oleh sesuatu kekuatan dari dalam diri
orang tersebut, dan kekuatan pendorong inilah yang disebut sebagai motivasi.
Motivasi merupakan suatu proses dimana kebutuhan- kebutuhan mendorong
seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah ke tercapainya
suatu tujuan tertentu (Waluyo, 2010). Salah satu bentuk motivasi yang sangat
berpengaruh terhadap pencapaian hasil yang optimal adalah motivasi yang berasal
dari dalam diri individu itu sendiri, yang mendorong dirinya menjadi produktif
(Hasibuan, 2012). \Motivasi diiringi oleh pengetahuan, perawat perlu mengetahui
apa yang akan disampaikannya dan mampu mengkomunikasikannya kepada
pasien. Teknik pendekatan yang digunakan dalam pendidikan pasien tersebut
dikenal dengan istilah “METHOD” (Medications, Environment, Treatments,
Health Teaching, Outpatient referral, Diet). Tujuan dari Pendidikan kesehatan
agar pasien dan keluarga mengetahui tentang obat yang diberikan, lingkungan
yang baik untuk pasien, terapi dan latihan yang perlu untuk kesehatan pasien,
infomasi waktu kontrol ulang dan pelayanan di komunitas serta diet (Eliana,
2015). Perawat dalam menjalankan perannya sebagai “Health Educator”
membutuhkan motivasi yang merupakan faktor utama untuk menentukan
keberhasilannya. Motivasi merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja perawat
sebagai pemberi edukasi kesehatan. Semakin tinggi motivasi kerja seseorang
maka akan seakin baik dalam melakukan perannya sebagai health educator
(Sunaryo, 2013) Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh
peneliti di Rumah Sakit (RS) Santa Maria Pekanbaru tanggal 23 Maret 2018,
diketahui bahwa RS Santa Maria memiliki 7 (tujuh) ruang rawat inap, dimana 4
(empat) ruangan diantaranya merupakan ruangan perawatan umum yang juga
ditempati oleh pasien DM. Hingga saat ini, RS Santa Maria sediri belum memiliki
ruangan khusus perawatan DM. Jumlah perawat yang bertugas pada ruangan
perawatan umum sebanyak 74 orang dengan kualifikasi pendidikan minimal D3
keperawatan. Dari 10 orang perawat yang diwawancarai, 100% mengatakan tidak
ingat tentang 4 pilar dalam manajemen DM, 100% mengatakan memberi edukasi
tentang mengurangi makan makanan yang tinggi karbohidarat dan makanan yang
manis, 70% memberi edukasi tentang pengelolaan terapi, hanya 20% yang
memberikan edukasi tentang aktifitas dengan mengikuti senam kaki DM. Peneliti
juga mewawancarai 10 pasien yang sedang dirawat diruang perawatan VIP yang
menderita DM dan melalui wawancara diketahui bahwa 70% pasien yang Jurnal
Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020 Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Kendal 26 diwawancarai sudah menderita DM lebih dari lima tahun
dan telah lebih dari 3 kali masuk RS, 80% menyatakan tidak pernah kontrol rutin
dan hanya control saat ada keluhan saja. Dari segi gizi 70% penderita mengatakan
tahu bahwa harus menghindari makan manis tapi tidak bisa patuh
melaksanakannya, 100% pasien telah mengalami komplikasi yang diantaranya
60% penyakit jantung dan ginjal, 40% menderita ulkus gangren. Seluruh pasien
yang diwawancarai (100%) mengatakan perawat kurang lengkap dalam memberi
informasi tentang perawatan diabetes selama dirumah. Responden menuturkan
bahwa perawat lebih banyak mengelola obat dan kadang hanya menjelaskan untuk
mengurangi makanan yang manis saja. Merujuk dari studi pendahuluan yang telah
dilakukan, peran Health Educator disini sangat penting, perawat dituntut untuk
mampu menumbuhkan motivasi bagi penderita untuk kontrol rutin dan menjaga
agar kadar gula dalam darah tetap normal sehingga komplikasi yang sampai
menimbulkan kematian dapat dicegah. Berdasarkan fenomena tersebut, perlu
dilakukan penelitian tentang hubungan pengetahuan manajemen diabetes terhadap
motivasi perawat mengedukasi pasien DM di ruang rawat inap RS Santa Maria
Pekanbaru.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. Desain penelitian deskriptif


korelasi dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini mengidentifikasi
hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat yang diukur pada waktu
yang sama dan hanya dilakukan satu kali pengukuran. Populasi pada penelitian ini
adalah seluruh perawat yang bertugas pada ruangan rawat inap perawatan umum
Rumah Sakit Santa Maria sebanyak 74 orang. Teknik pengambilan sampel yang
akan digunakan penelitian ini adalah Consecutive sampling yaitu sebanyak 74
orang yang diambil berdasarkan kriteria inklusi penelitian. Sampel penelitian
berjumlah 42 orang. Kriteria inklusinya adalah perawat yang berstatus sebagai
perawat pelaksana dan bertugas ruangan perawatan umum. Sementara kriteria
eksklusi penelitian ini adalah: prawat yang sedang cuti melahirkan dan sedang
sakit lebih dari 2 minggu. Variabel independen pada penelitian ini adalah
penegetahuan perawatn tentang manajemen DM yang merupakan segala sesuatu
yang diketahui perawat terkait 4 pilar penatalaksanaan DM yaitu : diit, latihan,
edukasi dan pengobatan. Sementara yang menjadi variable dependent adalah
motivasi perawat mengedukasi pasien DM yang merupakan keingginan pperawat
dalam melakukan edukasi pada pasien DM. Instrumen yang digunakan adalah
lembar kuesioner tentang data demografi perawat dan kuesioner tentang
pengetahuan dan motivasi perawat. Sebelum kuesioner disebarkan kepada
responden, terlebih dahulu di uji validitas dan reliabilitasnya. Uji coba instrument
ini dilakukan kepada 20 perawat yang tidak dijadikan sebagai sampel penelitian di
ruang perawatan umum RS Santa Maria Pekanbaru. Hasil uji validitas dan
reliabilitas didapatkan hasil semua pertanyaan dinyatakan valid dan reliabel.
Kuesioner motivasi valid dengan r hasil (0.476 – 0.861) > r table (0,444) dan nilai
reliabilitas (0,922) > r tabel (0,6) sedangkan untuk kuesioner pengetahuan dalam
penelitian ini telah valid dengan r hasil (0.503 – 0.977) > r table (0,444) dan nilai
reliabilitas (0,967) > r tabel (0,6). Data responden yang telah terkumpul kemudian
diolah menggunakan sistem komputerisasi dan dianalisa menggunakan analisa
univariat dan analisa bivariat. Analisis bivariat menggunakan uji chi square untuk
mengetahui hubungan antara variabel . HASIL Analisis univariat digunakan untuk
menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik variabel- variabel yang akan
diteliti untuk mendapatkan gambaran umum berkaitan dengan karakteristik
responden. Adapun hasil analisa univariat dapat dilihat pada uraian berikut: Tabel
1 menunjukkan bahwa dari 42 perawat didapatkan data bahwa mayoritas perawat
berada pada usia 21-35 tahun (25,6%), mayoritas berpendidikan D3 keperawatan
(88,1%) dan sebagian besar lama kerja adalah 5-10 tahuan (57,1%). Tabel 2
menunjukkan bahwa dari 42 perawat didapatkan data bahwa sebagian besar
responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang DM (50%) dan
pengetahuan yang baik tentang DM (50%). Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1,
Hal 23 - 32, Maret 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal 27 Tabel 1.
Karakteristik Perawat (n=42) Karakteristik Pasien f % Usia 21-35 tahun 36-60
tahun 38 4 90,5 9,5 Pendidikan D3 Keperawatan S1 Keperawatan S1 + Ners 37 1
4 88,1 2,4 9,5 Lama Kerja 0-1 Tahun 1-5 Tahun 5-10 Tahun > 10 Tahun 6 4 24 8
14,3 9,5 57,1 19 Tabel 2. Pengetahuan Perawat tentang DM (n = 42) Pengetahuan
f % Kurang Baik 21 21 50 50 Tabel 3. Motivasi Perawat dalam Memberikan
Edukasi DM (n= 42) Motivasi Perawat f % Rendah Tinggi 20 22 47,6 52,4 Hasil
analisis pada tabel 3 menunjukkan bahwa dari 42 perawat didapatkan sebagian
besar responden memiliki motivasi yang rendah dalam memberikan edukasi DM
di ruang rawat inap (47,6%). Tabel 4 Distribusi Perawat Berdasarkan Pengetahuan
Manajemen Diabetes dan Motivasi Mengedukasi Pasien DM di Rawat Inap RS
Santa Maria PekanbaruTahun 2018 (n=42) Tabel 4 didapatkan nilai p value
=0,005 < α : 0,05, hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan manajemen DM terhadap motivasi perawat dalam mengedukasi
pasien DM di ruang rawat inap. Dimana dari 21 perawat yang mempunyai
pengetahuan yang kurang, lebih banyak memiliki motivasi yang rendah yakni
75% dibandingkan dengan yang memiliki motivasi tinggi hanya 27,3%, dan dari
21 perawat yang mempunyai pengetahuan yang baik lebih banyak memiliki
motivasi yang tinggi yakni 72,7% dibandingkan dengan yang memiliki motivasi
rendah 25%.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian terhadap 42 perawat didapatkan data terbanyak berusia pada


rentang 21-35 tahun (25,6%). Hal ini menunjukkan bahwa perawat RS Santa
Maria berada pada usia produktif yang mampu dalam berfikir dengan baik,
bersosialisasi dan mampu memberikan pelayanan terbaik. Kemampuan berfikir
meningkat secara teratur selama usia dewasa. Umur 25 s/d 40 tahun masuk dalam
masa dewasa awal dimana pada masa ini seseorang akan memusatkan harapan-
harapannya untuk mendapatkan pekerjaan, memillih teman hidup,
mempertahankan kondisi kesehatan, membentuk keluarga dan bersosialisasi
(Notoadmodjo, 2012). Pengetahuan Motivasi Total p value Rendah Tinggi f % f
% f % Kurang 15 75 6 27,3 21 50 0,005 Baik 5 25 16 72,7 21 50 Jurnal
Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020 Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Kendal 28 Penelitian Ariani, Sitorus, dan Gayatri (2012) pasien DM
membutuhkan suatu pendidikan kesehatan secara berkelanjutan. Seiring dengan
usia perawat pada penelitian ini, perawat dengan rentang usia produktif memiliki
kemampuan untuk memberikan edukasi secara berkala kepada pasien dan
keluarga. Edukasi dapat diberikan untuk tujuan preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitative. Sehingga pasien akan mendapatkan edukasi secara berkelanjutan
baik di tatanan pelayanan kesehatan maupun di komunitas. Hasil penelitian,
mayoritas perawat sudah berpendidikan D3 keperawatan (88,1%). Perawat sudah
menempuh pendidikan di perguruan tinggi dengan kualifikasi yang tepat dibidang
keperawatan. Pendidikan yang tepat akan memberikan dampak positif terhadap
pelayanan keperawatan. Perawat sudah memiliki keilmuan dasar dalam
memberikan edukasi terhadap pasien DM. Tidak ada perawat dengan pendidikan
menengah seperti SPK, sementara perawat sarjana dan Ners masih berada pada
tingkatan manajerial rumah sakit atau belum bertugas sebagai perawat pelaksana
di ruang rawat inap. Hal ini mendukung dalam proses terlaksananya pendidikan
kesehatan dengan di ruang rawat inap rumah sakit Santa Maria Pekanbaru.
Perawat dengan latar belakang Diploma pendidikan keperawatan telah memiliki
kemampuan dan pengetahuan serta teknik edukasi dalam pelayanan kesehatan dan
keperawatan. Namun belum memiliki pendidikan khusus spesialisasi keperawatan
tertentu terutama kekhususan endokrin atau diabetes. Perawat di Santa Maria juga
memiliki suatu kelompok yang menaungi perlumkulan para diabetisi khusus di
rimah sakit. Sehingga para perawat dengan mudah akan memberikan edukasi
secara continue kepada pasien dan keluarganya. Hasil pengamatan di rumah sakit,
pihak manajemen dengan giat menyelenggarakan dan memotivasi para perawat
untuk meningkatkan jenjang pendidikannya. Hal tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan perawat dan meningkatkan kualitas asuhan
keperawatan pada pasiennya. Berdasarkan penelitian diketahui lama bekerja yang
terbanyak adalah dalam rentang 5-10 tahun (57,1%). Semakin lama masa kerja
seseorang akan semakin banyak pengalaman dan pengetahuannya. Hal ini akan
mempengaruhi sikap dan tindakan perawat dalam pelayanan kepada pasien.
Perawat dibekali dengan berbagai pelatihan tentang diabetes terutama tentang 4
pilar manajemen DM yang meliputi nutrisi, latihan, edukasi dan pengobatan.
Berdasarkan penelitian ditemukan 50 % perawat dengan pengetahuan baik dan
50% perawat dengan pengetahuan kurang. Pengetahuan responden ini dapat
dipengaruhi oleh usia, lama bekerja dan pendidikan. Begitu juga dengan motivasi
perawat dalam mengedukasi pasien DM didapatkan 52 % perawat memiliki
motivasi yang baik. Hal ini didukung oleh usia yang masih produktif, pendidikan
yang sudah pendidikan vokasi D3 keperawatan dan lama kerja yang rata-rata
diatas 5 tahun. Namun faktor pendukung baiknya motivasi perawat yang lain
dapat dipengaruhi oleh fasilitas dan dukungan manajerial dalam memberikan
asuhan keperawatan terbaik kepada pasien yang merupakan bagian dari visi misi
rumah sakit. Berdasarkan hasil analisis uji chi square diperoleh p value: 0,005 <
0,05 yang menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna secara statistic antara
pengetahuan manajemen DM dengan motivasi. Perawatan dengan penegetahuan
manajemen DM baik berpeluang 8 kali memiliki motivasi mengedukasi pasien
DM dengan baik (CI 95%, OR : 2, 012 ; 31,803). Pengetahuan tentang DM
menjadi syarat atau upaya yang dapat membantu pasien dalam mengelola
penyakit DM selama hidupnya sehingga semakin baik pengetahuan tentang
penyakitnya maka akan semakin mengerti bagaimana harus berperilaku dalam
penanganan penyakitnya. Peran perawat sebagai edukator sangat dibutuhkan oleh
pasien DM karena DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan perilaku
penanganan mandiri yang khusus seumur hidup. Pasien membutuhkan
pemantauan dan supervise medis yang tepat. Diet, aktivitas fisik serta emosional
dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar untuk
mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien bukan hanya harus belajar
keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna Jurnal Keperawatan
Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal
29 menghindari penurunan atau kenaikan kadar glukosa darah yang mendadak,
tetapi juga harus memiliki prilaku yang preventif dalam gaya hidup untuk
menghindari komplikasi diabetik jangka panjang (Smeltzer & Bare, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian, dari 42 perawat didapatkan data bahwa sebagian
besar responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang DM (50%) dan
pengetahuan yang baik tentang DM (50%) serta memiliki motivasi yang rendah
(47,6%) dan motivasi baik (52,54%) dalam memberikan edukasi DM di ruang
rawat inap. Melalui uji statistik didapatkan nilai p value = 0,005 < α 0,05, hal ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan manajemen DM terhadap
motivasi perawat dalam mengedukasi pasien DM di ruang rawat inap, dimana dari
21 perawat yang mempunyai pengetahuan yang kurang, lebih banyak memiliki
motivasi yang rendah yakni 75% dibandingkan dengan yang memiliki motivasi
tinggi hanya 27,3%, dari 21 perawat yang mempunyai pengetahuan yang baik
lebih banyak memiliki motivasi yang tinggi yakni 72,7% dibandingkan dengan
yang memiliki motivasi rendah 25%. Melakukan pendidikan kesehatan tentang
DM bukanlah hal mudah bagi perawat. Banyak hal yang mempengaruhi
dilakukannya pendidikan kesehatan tersebut yakni pengetahuan, motivasi, beban
kerja dan sebagainya. Meskipun fasilitas memadai, organisasi dan manajemen
baik, tanpa adanya motivasi tinggi, maka sulit melakukan pendidikan kesehatan
terhadap pasien dengan baik. Kegiatan pendidikan kesehatan ini bergantung pada
motivasi untuk melakukan (80-90%) dan kemampuan (10-20%) (Waluyo, 2010).
Salah satu bentuk motivasi yang sangat berpengaruh terhadap pencapaian hasil
yang optimal adalah motivasi yang berasal dari dalam diri individu itu sendiri,
yang mendorong dirinya menjadi produktif (Hasibuan, 2012). Disamping motivasi
instinsik, motivasi ekstrinsik juga sangat penting dalam meningkatkan motivasi
perawat dalam mengedukasi pasien DM. Motivasi diiringi oleh pengetahuan,
perawat perlu mengetahui apa yang akan disampaikannya dan mampu
mengkomunikasikannya kepada pasien. Perawat dalam menjalankan perannya
sebagai “Health Educator” membutuhkan motivasi yang merupakan faktor utama
untuk menentukan keberhasilannya. Motivasi merupakan faktor yang
mempengaruhi kinerja perawat sebagai pemberi edukasi kesehatan. Semakin
tinggi motivasi kerja seseorang maka akan seakin baik dalam melakukan perannya
sebagai health educator (Sunaryo, 2013). Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh (Fahra, Widayati, & Sutawardana, 2017)
tentang hubungan peran perawat sebagai edukator dengan perawatan diri pasien
DM Tipe 2 di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Sehat Jember. Hasil
penelitian menunjukan terdapat hubungan yang signifikan antara peran perawat
sebagai educator dengan perawatan diri pasien DM tipe 2 (p value : 0,000 < 0,05).
Pasien DM membutuhkan edukasi secara terus menerus sehingga pemantauan
terhadap 4 pilar managemen DM dapat dilaksanakan dengan baik. Seiring dengan
meningkatkanya kemungkinan terjadi komplikasi akibat DM pada semua system
tubuh membutuhkan pemantauan yang lebih ketat juga. Pasien dituntut mampu
melakukan perawatan secara mandiri terhadap kondisi diabetes yang dialami.
Pemantauan mandiri meliputi diil, latiha, edukasi dan pengobatannya. Hal ini
membutuhkan edukasi yang tepat dari tim medis terutama perawat yang selalu
memberikan perawatan selama 24 jam kepada pasien. Menurut penelitian (Ariani
et al., 2012) tentang motivasi dan efikasi diri pasien DM menyatakan bahwa
faktor internal yang meliputi perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, fantasi,
sugesti, depresi, dan sebagainya yang merespon stimulus dari luar. Jika seorang
individu tidak berminat atau termotivasi untuk merespon stimulus dari lingkungan
luar seperti dukungan sosial, keluarga, dan lingkungan maka akan sulit untuk
merubah perilakunya ke arah yang positif. Misalnya, pada individu yang
mengalami depresi yang sulit untuk menerima stimulus dari luar dirinya. Seberapa
besar pun keluarga dan lingkungan memberikan dukungan, termasuk perawat
tidak akan merubah perilaku individu tersebut, jika tidak ada keinginan dari
individu itu Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal 30 sendiri untuk berubah. Sehingga
dibutuhkan kiat-kiat khusus oleh perawat dalam mengedukasi pasien DM dengan
berbagai keunikan masing-masing. Ketidaksiapan ini dapat diakibatkan oleh
masih kurang memadainya pendidikan perawat, rendahnya pengetahuan perawat
karakter pribadi parawat dan keterbatasan waktu. Pendidikan yang kurang
memadai, karakter pribadi perawat yang pemalas dan tidak kreatif membuat
perawat kurang mampu memberikan pendidikan kesehatan sesuai kebutuhan
pasien. Selain itu kurang distandarisasikan dan kurang jelasnya materi pendidikan,
delegasi, pendokumentasian dan koordinasi yang kurang juga mempengaruhi
pendidikan kesehatan yang diberikan oleh seorang perawat. Hal ini menyebabkan
rendahnya motivasi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada
pasien, sehingga perawat seringkali melakukan duplikasi dokumentasi pendidikan
kesehatan atau malah tidak dilakukan sama sekali, kurangnya komunikasi antara
perawat dan tenaga kesehatan yang lain serta materi diambil dari berbagai sumber
yang belum valid (Bastable, 2012). Perencanan pemberian edukasi yang baik dan
komprehensif serta sesuai dengan kebutuhan pembelajaran pasien akan
mengurangi biaya pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kualitas pelayanan.
Pemenuhan kebutuhan informasi klien dalam hal ini pendidikan kesehatan
merupakan salah satu indikator kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Semakin tinggi tingkat keberhasilan pemberian pendidikan kesehatan yang
diberikan atau semakin tinggi tingkat kepuasan pasien terhadap pendidikan
kesehatan yang diberikan oleh perawat, maka semakin tinggi kualitas pelayanan
kesehatan di rumah sakit tersebut. Keterbatasan penelitian ini masih belum
melihat pengaruh factor kounfounding yang mempengaruhi pngetahuan dan
motivasi perawat dalam mengedukasi pasien DM. Diantara terdiri dari factor
internal (seperti pendidikan, usia, lama kerja, dll serta faktor eksternal perawatnya
seperti dukungan manajemen, pemahaman visi misi rumah sakit, keluarga,
lingkungan, budaya, fasilitas, dan lain sebagainya.

SIMPULAN

Terdapat hubungan pengetahuan manajemen DM terhadap motivasi perawat


dalam mengedukasi pasien DM di ruang rawat inap. Dimana dari 21 perawat yang
mempunyai pengetahuan yang kurang, lebih banyak memiliki motivasi yang
rendah yakni 75% dibandingkan dengan yang memiliki motivasi tinggi hanya
27,3%, dari 21 perawat yang mempunyai pengetahuan yang baik lebih banyak
memiliki motivasi yang tinggi yakni 72,7% dibandingkan dengan yang memiliki
motivasi rendah 25%.

DAFTAR PUSTAKA

Aguiree, F., Brown, A., Cho, N. H., Dahlquist, G., Dodd, S., Dunning, Hirst, M.,
… Whiting, D. (2013).

IDF Diabetes Atlas. (L. Guariguata, T. Nolan, J. Beagley, U. Linnenkamp, & O.


Jacqmain, Eds.) (6th ed.).

Basel, Switzerland: International Diabetes Federation. American Association of


Clinical Endocrinologist. (2015). Diabetes Care. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus.
https://doi.org/10.2337/dc15-S001 Ariani, Y., Sitorus, R., & Gayatri, D. (2012).

Motivasi dan Efikasi Diri Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dalam Asuhan
Keperawatan.

Jurnal Keperawatan Indonesia, 15(1), 29–38. https://doi.org/10.7454/jki.v15i1.44


Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
(2013).

RISET KESEHATAN DASAR. Jakarta. Bastable, S. B. (2012). J. E. (2012).

Perawat sebagai pendidik: Prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran. Jakarta:


EGC. Cortez, D. N., Reis, I. A., Souza, D. A. S., Macedo, M. M. L., & De
Carvalho Torres, H. (2015). Complications and the time of diagnosis of diabetes
mellitus in primary care.

ACTA Paulista de Enfermagem, 28(3), 250–255. https://doi.org/10.1590/1982-


0194201500042 Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal 31 Eliana, F. (2015).

Penatalaksanaan DM Sesuai Konsensus Perkeni 2015 (pp. 1–7). Endocrinologist,


A. A. of C. (2015). Diabetes Care. Diabetes Care, 38(January), S1– S2.
https://doi.org/10.2337/dc15-S001 Fahra, R. U., Widayati, N., & Sutawardana, J.
H. (2017).

Hubungan Peran Perawat sebagai Edukator denagn Perawatan Diri Pasien


Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Bina Sehat Jember.

NurseLine Journal, 2(1), 1–43. Hasibuan, M. (2012). Manajemen Sumber Daya


Manusia (6th ed.). Jakarta: Bumi aksara. Notoadmodjo, S. (2012). Promosi
kesehatan & ilmu perilaku.

Jakarta: Rineka Cipta. Nursalam. (2015). Manajemen Keperawatan Aplikasi


dalam Praktik keperawatan profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Peimani, M., Tabatabaei Malazy, O., & Pajouhi, M. (2010). Nurses’ role in
diabetes care; a review.

Iranian Journal of Diabetes and Lipid Disorders, 9(May), 1–9. Prices, S. ., &
Wilson, L. M. (2012).

Patofisiologi Klinis Konsep-konsep Penyakit. Jakarta: EGC. Putri, N., &


Isfandiari, M. (2013).

Hubungan Empat Pilar Pengendalian Dm Tipe 2 dengan Rerata Kadar Gula


Darah. Jurnal Berkala Epidemiologi, 1(2), 234– 243.
Rekam Medis Rumah Sakit Santa Maria Pekanbaru Riau.

Rekam Medis RS Santa Maria. (2016). Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2015).
Textbook of Medical Surgical Nursing (12th ed.).

Philadelphia: Wolters Kluwer Health; Lippincott Wiliams& Wilkins. Sunaryo.


(2013). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC. Suyono, S. (2006).

Diabetes melitus di Indonesia Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (IV). Jakarta: Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Waluyo, G. E.

Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kepuasan pasien di ruang rawat inap


RSUD Kota Madiun tesis Gakuk 2010., Tesis 1–141 (2010). World Health
Organization. (2016).

Global Report on Diabetes. WHO (Vol. 978). https://doi.org/ISBN 978 92 4


1565257 Jurnal Keperawatan Volume 12 No 1, Hal 23 - 32, Maret 2020 Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal 32

PERAN RIWAYAT AYAH DIABETES MELITUS TIPE 2 PADA


STATUS PREDIABETES ANAK KANDUNG PENDERITA DIABETES
MELITUS TIPE 2
The Role of Paternal History of Type 2 Diabetes Mellitus on Prediabetes
Status among The Offspring of Type 2 Diabetes Mellitus Patients
Maulidia Ekaputri1 , Henrico Citrawijaya1 , Adrian Reynaldo Sudirman1 ,
Kevin Jonathan1 , Radityo Alu Murti1 , Ayu Putri Balqis1 , Dyah Purnamasari2
1 Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta 2 Divisi Metabolik
Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia - RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Korespondensi Dyah Purnamasari. Divisi Metabolik Endokrinologi, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipro Mangunkusumo. Jln
Diponegoro No. 71, Jakarta 10430. Email: dyah_p_irawan@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan. Pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) pada umumnya memiliki
satu atau lebih komplikasi kronik pada saat terdiagnosis. Deteksi dini dan
pencegahan sangat penting untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas
terkait DMT2, terutama pada kelompok dengan risiko tinggi seperti anak
penderita DMT2. Studi ini bertujuan untuk mencari faktorfaktor yang berkaitan
dengan status prediabetes pada anak dari penderita diabetes melitus tipe 2.
Metode. Studi ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan 54 anak dari
penderita DMT2. Subjek dikumpulkan secara konsekutif. Status prediabetes
ditentukan melalui HbA1C berstandar national glycohemoglobin standardization
program (NGSP). Aktivitas fisik ditentukan melalui kuisioner global physical
activity questionnaire (GPAQ)-versi Bahasa Indonesia. Tekanan darah dan data
antropometrik diukur secara langsung. Analisis bivariat dan multivariat
dilakukan dengan IBM SPSS 23. Hasil. Dilakukan analisis terhadap 54 subjek.
Mayoritas subjek adalah perempuan (79,6%) dan rerata umur adalah 38,8 tahun.
Proporsi prediabetes mencapai 31,5%. Analisis multiavariat menunjukkan
hubungan bermakna antara riwayat paternal DMT2 (adjusted OR 7,520; IK
95%=1,071-52,784), lingkar pinggang berisiko (adjusted OR 5,482; IK
95%=1,019-29,504) terhadap status prediabetes. Simpulan. Riwayat paternal
DMT2 dan lingkar pinggang berkaitan dengan status prediabetes pada anak dari
penderita DMT2. Kata Kunci: Anak penderita DM tipe 2, HbA1C, intoleransi
glukosa, prediabetes
ABSTRACT
Introduction. Since patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) often present
with one or more chronic complications, at the time of diagnosis, early detection
and prevention is essential to reduce T2DM-associated mortality and morbidity,
espescially among high risk population such as the offspring of T2DM. This
study aimed to investigate several factors associated with prediabetes status
among the offsprings of T2DM patients. Methods. A cross-sectional study was
conducted involving 54 offsprings of T2DM patients. Subjects were recruited
consecutively. We collected demographic data, anthropometric measurement,
blood pressure, and HbA1c level. Physical activity were assessed by using
Indonesian version of global physical activity questionnaire (GPAQ).
Prediabetes status was investigated by standardized national glycohemoglobin
standardization program (NGSP) HbA1c. Bivariate statistical and multivariate
analysis was performed by using IBM SPSS 23. Results. The majority of
subjects were female (79.6%) and the mean age was 38.8 years old. The
proportion of prediabetes was 31.5%. Multivariate analysis showed significant
association among paternal history of T2DM (adjusted OR 7.520;
95%CI=1.071-52.784), waist circumference at risk (adjusted OR 5.482;
95%CI=1.019-29.504), and prediabetes status. Conclusion. Paternal history of
T2DM and waist circumference were associated with prediabetes status among
the offspring of T2DM patients. Keywords: Glycated Hemoglobin, glucose
Intolerance, offspring of T2DM, prediabetes, type 2 Diabetes Mellitus (T2DM)
Diabetes melitus tipe 2 (T2DM)
PENDAHULUAN berkaitan dengan faktor risiko
Diabetes melitus (DM) dan seperti obesitas, gaya hidup
komplikasinya adalah penyebab sedenter, diet tidak sehat, dan
mortalitas dari 1,5 juta jiwa di predisposisi genetik.1 Pada awitan
dunia pada tahun 2012.1 penyakit, T2DM tidak
Hiperglikemia kronik pada DM menunjukkan gejala apa pun.3 Saat
berkontribusi pada tingginya terdiagnosis, pasien T2DM
mortalitas dan morbiditas akibat seringkali datang dengan satu atau
penyakit kardiovaskular, penyakit lebih komplikasi kronik.3 Oleh
ginjal kronik, karena itu, deteksi dini dan
pencegahan sangat penting untuk
dan penyakit serebrovaskular.1 Di mengurangi mortalitas dan
Asia Tenggara, angka mortalitas morbiditas yang berkaitan dengan
akibat DM mencapai 115,3/100.000 T2DM.4 Bagi orang yang berisiko
jiwa pada populasi usia lebih dari terhadap T2DM, upaya pencegahan
20 tahun. Di Indonesia, pola terdiri dari kontrol berat badan,
prevalensi DM cenderung aktivitas fisik, diet yang sehat, dan
meningkat, dari 10 juta kasus DM tata laksana farmakologis bila
pada 2015 diprediksi akan perlu.4 Secara umum, uji penapisan
mencepai 21,3 juta pada 2030.2 untuk T2DM harus dilakukan setiap
tahun dengan pengukuran glukosa rendah.6 The Framingham
darah sewaktu (GDS) atau tes offspring study oleh Meigs, dkk.7
toleransi glukosa oral (TTGO) pada mendapatkan bahwa keturunan dari
populasi berusia lebih dari 40 tahun ibu dengan T2DM memiliki odds
dan harus dilakukan lebih dini pada ratio (OR) sesuai usia lebih tinggi
populasi berisiko tinggi, seperti untuk T2DM dan toleransi glukosa
individu dengan riwayat T2DM abnormal sebanyak 3,4 kali dan 2,7
pada keluarga.4 Studi sebelumnya kali dibandingkan dengan individu
menunjukkan bahwa individu yang orangtuanya tidak memiliki
dengan riwayat T2DM pada orang T2DM. Risiko keturunan dari ayah
tua memiliki kemungkinan lebih dengan T2DM untuk memiliki
tinggi untuk terkena penyakit.3 T2DM dan toleransi glukosa
Selain itu, faktor sosioekonomi dan abnormal adalah 3,5 dan 1,7 kali,
lingkungan juga berkontribusi pada sedangkan keturunan dari kedua
berkembangnya T2DM.5 Studi oleh orangtua yang memiliki T2DM
Langenberg, dkk.6 menjelaskan memiliki risiko 6,1 dan 5,2 kali
bahwa obesitas adalah faktor lipat.7 Namun demikian,
penting pada perkembangan T2DM berdasarkan pengetahuan kami,
dengan atau tanpa faktor risiko tidak ada studi yang mencari peran
genetik yang kuat. Mereka faktor klinis dan lingkungan pada
mengatakan bahwa insidensi perkembangan intoleransi glukosa
kumulatif 10 tahun pada individu pada individu dengan riwayat
dengan berat badan normal dan T2DM pada ayah. Untuk itu,
faktor risiko genetik adalah 0,89% penelitian ini dilakukan untuk
sedangkan insidensi kumulatif 10 menentukan faktor-faktor yang
tahun pada individu dengan berkaitan dengan status prediabetes
obesitas dan faktor risiko genetik pada keturunan dari penderita
rendah adalah 4,22%.6 Studi T2DM. METODE Penelitian ini
tersebut menunjukkan bahwa dilakukan pada April-Agustus 2017
pengaruh risiko geentik lebih tinggi dengan desain potong lintang.
pada partisipan dengan body mass Subjek penelitian dikumpulkan
index (BMI) dan lingkar perut lebih secara konsekutif. Menurut
perhitungan jumlah sampel, jumlah Indonesia, Cina, India, Jepang,
sampel minimal yang dibutuhkan Brazil, Bangladesh, Afrika Selatan,
adalah 116. Subjek pada penelitian Ethiopia dan Portugal.1
ini hampir semuanya berasal dari Pemeriksaan fisik dilakukan untuk
penduduk Kampung Lio di Depok, menentukan tekanan darah dan
Jawa Barat, Indonesia dan beberapa ukuran antropometri. Tekanan
dari pegawai RSUPN dr. darah diukur menggunakan
Ciptomangunkusumo. Kriteria sfigmomanometer raksa dengan
inklusi adalah keturunan dari merk Riester. Tinggi badan diukur
penderita T2DM dan usia >18 menggunakan alat ukur tanpa alas
tahun. Sedangkan, kriteria eksklusi kaki. Berat badan diukur dengan
adalah semua subjek yang timbangan digital bermerek
terdiagnosis menderita T2DM TANITA. Indeks massa tubuh
berdasarkan nilai HbA1c NGSP dihitung dengan pembagian berat
terstandarisasi ≥6,5%. Subjek yang badan (kg) dan kuadrat tinggi badan
bersedia berpartisipasi dalam (m2 ). Lingkar perut diukur pada
penelitian telah menandatangani lingkar terkecil perut di
formulir persetujuan yang pertengahan antara iga terbawah
disediakan. Data yang dikumpulkan dan krista iliaka. Tes laboratorium
terdiri dari status demografis, yang dilakukan pada penelitian ini
antropometrik, aktivitas fisik, adalah HbA1C NGSP
tekanan darah dan kadar HbA1c. terstandarisasi. Prediabetes
Subjek diwawancara untuk didefinisikan sebagai nilai HbA1c
menentukan faktor-faktor yang NGSP terstandarisasi 5,7-6,4%.
berkaitan dengan status prediabetes Kuesioner diisi secara mandiri oleh
pada keturunan pasien T2DM. subjek dan pengukuran
Global physical activity antropometri serta pengambilan
questionnaire (GPAQ)-Indonesian sampel darah dilakukan pada hari
version digunakan untuk menilai yang sama. Tekanan darah 184 |
aktivitas fisik pada penelitian ini. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia |
Kuesioner tersebut telah divalidasi Vol. 6, No. 4 | Desember 2019
di sembilan negara termasuk Maulidia Ekaputri, Henrico
Citrawijaya, Adrian Reynaldo hormon dan sitokin yang
Sudirman, Kevin Jonathan, Radityo disekresikan oleh lemak viseral.21
Alu Murti, Ayu Putri Balqis, Dyah Selain itu, temuan ini juga didukung
Purnamasari dikelompokkan oleh studi yang dilakukan Neeland,
menjadi normal (sistolik 25 juta 1 dkk.22 Mereka melaporkan bahwa
(1,8) Indeks massa tubuh (kg/m2 ), lingkar pinggang, rasio pinggang
n (%) terhadap panggul, lemak viseral
abdomen, dan lemak pada hati
Tabel 2. Karakteristik dasar pada berhubungan secara bermakna
kedua kelompok Karakteristik dengan diabetes.22 Studi ini
Normal (n=37) Prediabetes (n=17) mendukung pernyataan bahwa
Umur (tahun), rerata (simpang baku obesitas sentral dan IMT berperan
[SB]) 37,41(10,55) 41,88 (9,25) penting pada perkembangan T2DM
Lingkar pinggang, rerata (SB) 81,73 terutama pada populasi yang
(10,57) 85,38(9,18) HbA1c, rerata berisiko. Pada studi ini, proporsi
(SB) 5,32(0,23) 5,89(0,23) Tabel 3. prediabetes pada subjek dengan
Hubungan antara status demografis, tekanan darah yang normal serupa
gaya hidup, faktor klinis dan status dengan subjek dengan tekanan darah
prediabetes Karakteristik Normal, n yang meningkat. Pernyataan ini tidak
(%) Prediabetes, n (%) Nilai-p Usia konsisten dengan studi sebelumnya
(tahun) 23 kg/m2 lebih tinggi yang melaporkan bahwa proporsi
dibandingkan dengan subjek dengan prediabetes pada populasi dengan
IMT 25 kg/m2 dan lingkar pinggang hipertensi lebih tinggi dibandingkan
yang lebih kecil. Lingkar pinggang dengan populasi tanpa hipertensi.
menggambarkan distriusi lemak Studi lainnya oleh Abidoye, dkk.23
tubuh. Populasi dengan lingkar menyatakan bahwa proporsi
pinggang yang lebih besar cenderung prediabetes pada populasi dengan
memiliki lebih banyak lemak viseral tekanan dasar diastolik yang tinggi
dibandingkan dengan lemak lebih besar dibandingkan dengan
nonviseral. Peningkatan lemak populasi tanpa tekanan darah
viseral berkontribusi lebih pada diastolik yang tinggi. Gaya hidup
perkembangan diabetes tipe 2 karena berisiko seperti kebiasaan makan
diatas jam 8 malam, konsumsi serat sebelumnya oleh Hu, dkk.19
yang rendah, dan aktivitas fisik yang menyatakan bahwa aktivitas fisik
rendah berhubungan dengan selama ≥7 jam dalam satu minggu
perkembangan T2DM. Walaupun berhubungan dengan penurunan
pada studi ini, faktor-faktor tersebut risiko T2DM (0,7 kali risiko pada
tidak bermakna secara statistik, Jurnal Penyakit Dalam Indonesia |
ditemukan bahwa proporsi Vol. 6, No. 4 | Desember 2019 | 187
prediabetes pada populasi dengan Peran Riwayat Ayah Diabetes
kebiasaan makan diatas jam 8 Melitus Tipe 2 pada Status
malam, konsumsi serat yang rendah, Prediabetes Anak Kandung Penderita
dan aktivitas fisik yang rendah lebih Diabetes Melitus Tipe 2 populasi
tinggi dibandingkan dengan populasi dengan aktivitas fisik
tanpa faktor-faktor tersebut. Studi

Social Clinical Pharmacy Indonesia


Journal Special Issue Januari 2020
Case Report
PEMANTAUAN TERAPI OBAT PADA PASIEN GAGAL GINJAL
KRONIS DAN HIPOKALEMIA DI RS X JAKARTA
WORK PRACTICE PHARMACIST PROFESSION DRUGS
MONITORING THERAPY ON PATIENT CHRONIC KIDNEY DISEASE
AND HIPOKALEMIA AT HOSPITAL X JAKARTA
Tondi Hatorangan Siregar1* , Yelfi Anwar 2
1,2Fakultas Farmasi, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Jalan Sunter Permai
Raya, Sunter Agung Podomoro, Jakarta Utara. *tondi.chiregar.th@gmail.com

Abstrak
Gagal ginjal kronis adalah suatu kerusakan pada ginjal dengan rentang waktu
lebih dari 3 bulan. CKD dapat menimbulkan simtoma berupa laju filtrasi
glomerular di bawah 60 mL/men/1.73 m2, atau di atas nilai tersebut namun
disertai dengan kelainan sedimen urin. Penyakit ginjal kronis diidentifikasi oleh
tes darah untuk kreatinin. Tingginya tingkat kreatinin menunjukkan jatuh laju
filtrasi glomerulus dan sebagai akibat penurunan kemampuan ginjal
mengekskresikan produk limbah. Pedoman profesional terbaru
mengklasifikasikan tingkat keparahan penyakit ginjal kronis dalam lima tahap,
dengan tahap 1 yang paling ringan dan biasanya menyebabkan sedikit gejala dan
tahap 5 menjadi penyakit yang parah dengan harapan hidup yang buruk jika tidak
diobati . 'Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD ), Tahap 5 CKD juga disebut gagal
ginjal kronis 'atau kegagalan kronis ginjal (CRF). Masalah terkait Drug Related
problem (DRP) pada pasien Ny. N.S adalah adanya Obat tidak efektif yaitu
Omeprazole dapat menurunkan efek clopidogrel dengan mempengaruhi enzim
hati CYP2C19, dan interaksi obat pada Pemberian furosemide memungkinkan
terjadinya kenaikan kadar asam urat. Kata kunci : GGK, Interaksi Obat, DRP

Abstract
Chronic kidney failure is a damage to the kidneys with a span of more than 3
months. CKD can cause symptomas in the form of glomerular filtration rates
below 60 mL / men / 1.73 m2, or above these values but are accompanied by
abnormalities of urine sediment. Chronic kidney disease is identified by blood
tests for creatinine.High creatinine levels indicate falling glomerular filtration
rates and as a result of decreased kidney ability to excrete waste products. The
latest professional guidelines classify the severity of chronic kidney disease in five
stages, with Stage 1 being the mildest and usually causing the least symptoms and
Stage 5 being a severe disease with poor life expectancy if left untreated. 'End
stage renal disease (ESRD), Stage 5 CKD is also called chronic kidney failure' or
chronic kidney failure (CRF). Drug related problems (DRP) in patients Ny. N.S is
the presence of an ineffective drug that is Omeprazole can reduce the effect of
clopidogrel by influencing the liver enzyme CYP2C19, and drug interactions in
the administration of furosemide allow an increase in uric acid levels. Keywords:
CKD, Drugs Interaction, DRP Social Clinical Pharmacy Indonesia Journal Special
Issue Januari 2020
PENDAHULUAN berat badan. Sampai pada GFR di
Etiologi atau Penyebab tersering bawah 30%, pasien menunjukkan
terjadinya CKD adalah diabetes dan gejala uremia yang nyata seperti
tekanan darah tinggi, yaitu sekitar anemia, peningkatan tekanan darah,
dua pertiga dari seluruh kasus [2]. gangguan metabolisme fosfor dan
Keadaan lain yang dapat kalsium, pruritus, mual, muntah dan
menyebabkan kerusakan ginjal lain sebagainya. Pasien juga mudah
diantaranya adalah penyakit terserang infeksi, terjadi gangguan
peradangan seperti glomerulonefritis, keseimbangan elektrolit dan air[5].
penyakit ginjal polikistik, malformasi Pada GFR di bawah 15%, maka
saat perkembangan janin dalam timbul gejala dan komplikasi serius
rahim ibu, lupus, obstruksi akibat dan pasien membutuhkan RRT.
batu ginjal, tumor atau pembesaran Kualitas pasien akan meningkat jika
kelenjar prostat, dan infeksi saluran terapi pengobatannya di lakukan
kemih yang berulang. Gambaran dengan cara penggunaan yang
klinis pasien CKD meliputi optimal dan tepat. Salah satu cara
gambaran yang sesuai dengan yaitu dengan mengindentifikasi ,
penyakit yang mendasari, sindrom mencegah mengurangi dan
uremia dan gejala komplikasi. Pada mengatasi drugs related problem /
stadium dini, terjadi kehilangan daya DRP yang mungkin terjadi salah
cadang ginjal dimana GFR masih satunya adalah interaksi obat. Hal ini
normal atau justru meningkat. diharapkan dapat meningkatkan
Kemudian terjadi penurunan fungsi keberhasilan terapi DESKRIPSI
nefron yang progresif yang ditandai KASUS Seorang Pasien Ny. N.S
dengan peningkatan kadar urea dan berusia 71 tahun dengan berat badan
kreatinin serum. Sampai pada GFR 60 kg, tinggi badan 160 cm datang
sebesar 60%, pasien masih belum kerumah sakit dengan keluhan
merasakan keluhan. Ketika GFR pusing, lemas selama 1 minggu.
sebesar 30%, barulah terasa keluhan Riwayat penyakit Hipertensi dengan
seperti nokturia, badan lemah, mual, konsumsi obat rutin amlodipin.
nafsu makan kurang, dan penurunan Diagnosa Gagal ginjal kronis dengan
hipokalemia. A. Data Subjektif √ √ √ √ √ √ √ √ KCL IV √ √ √ √ √ √
Pasien Tabel 1. Data Subjektif pasien KSR 500 mg IV 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √
Keluhan Pasien 29/4 30/4 1/5/19 √ √ √ Citicholin 500 mg Oral 1x 1 √
2/5/19 3 3 3/5/19 4/5/19 5/5/19 Pucat √ √ CPG 75 mg Oral 1x1/2 √
+ + + + + _ - Lemas + + + - - - - Amlodipine 10 mg Oral 1x1 √ √ √ √
Nyeri Kepala + + + + + - - Pusing + √ √ √ √ √ Candesartan 8 mg Oral 1x1
+ + - - - - Mual + + + + + - - Muntah √ √ √ √ Allopurinol 300 mg Oral 1x1
+ + + - - - - Sesak + + + - - - - √ √ Keterangan : - Tanggal
Keterangan: (√)→Ada Keluhan (dari 29/4/2019 → Terapi pada pukul
nilai normal Implikasi klinik 09.20 dan selanjutnya dilakukan di
terhadap hasil laboratorium yang rawat inap Dahliah - Tanggal
tidak normal: - Peningkatan eusinifil 1/5/2019  Terapi KCL pada pukul
dapat disamarkan oleh penggunaan 5.30 di Stop - Tanggal 1/5/2019 
steroid - Peningkatan kadar natrium Terapi Amlodipin pada pagi hari jam
dapat dipengaruhi oleh kondisi 10 diberikan 5 mg dan dosis
dehidrasi atau juga dipengaruhi oleh dinaikkan 10 mg pada jam 24.00
penggunaan obat golongan AINS, wib. Dan diberikan tambahan
kortikosteroid - Limfosit kurang dari antihipertensi Candesartan. Nama
nilai normal, menunjukkan pasien Obat Dosis Aturan pakai Rute Waktu
rentan terhadap infeksi, terutama Pemberian Allopurinol 300 mg 1x1
infeksi virus. Nama obat Kekua tan Oral M Aminoral 3x1 Oral PSM
Rute Aturan pakai Profil Pengobatan Amlodipine 10 mg 1x1 Oral P CPG
Pasien 29/4/201 9 30/4/201 9 500 mg 1x1 Oral S Candesartan 8
1/5/2019 2/5/2019 3/5/2019 4/5/2019 Mg 1x1 Oral M KSR 500 mg 1x1
5/5/2 019 P S M P S M P S M P S M Oral P Citicholin 500 mg 2x1 Oral
P S M P S M P Ondansentr on 8 mg PM Omeprazole 20 mg 2x1 Oral PM
Oral 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Furosemide 40mg 1x1 oral P Social
Omeprazole 20 mg inj 2x1 √ √ √ √ √ Clinical Pharmacy Indonesia Journal
√ √ √ √ √ √ Aminoral Oral 3x1 √ √ √ Special Issue Januari 2020 Tabel 5.
√ √ √ √ √ √ √ √ √ CaCo3 600 mg Assessment and plan (Identifikasi,
Oral 3x 1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Manajemen and plan DRP) Obat
RL 169 mg IV 25 tpm √ √ √ √ √ √ √ Assesment ( Identifikasi DRP ) Plan /
Rekomendasi Ket Nama Obat Rute pada tanggal 29 april 2019 yaitu 108
Aturan Pakai Probl em Causes mg/dL dan pada tanggal 3 mei 2019
Interve nsi Outcome Omepraz ole + menurun menjadi 104 mg/dL. Selain
Clopidog rel Oral Oral 1 x sehari 1 x itu hasil pemeriksaan juga
sehari P 5.1 Poten sial intera ksi C1.4 menunjukkan pasien memiliki nilai
Masalah farmakokinetik Omeprazole asam urat diatas nilai normal yaitu
dapat menurunkan efek clopidogrel 8,2 mg/dL. Menurut algorithma
dengan mempengaruhi enzim hati penyakit ginjal nondiabetik (Dipiro
CYP2C19. I1.1 Mengin formasi kan et al., 2005), pengobatan CKD ini
kepada dokter O3.2 Masalah tidak adalah dengan mengatur nutrisi
terselesaika n, dokter penanggun g (mengatur asupan protein), mengatur
jawab pasien (DPJP) tidak dapat tekanan darah, dan mengatur
ditemui Intervensi tidak dilakukan proteinurea. Pengobatan pasien Ny.
pada dokter penanggung jawab N.S ini sudah sesuai dengan
pasien (DPJP) algoritma terapi menurut Dipiro,
HASIL DAN PEMBAHASAN yaitu memberikan asupan E 1890
Berdasarkan assesment pada form kal, protein 0,8 mg/kgBB/hari atau
transfer pasien antar ruangan, 40 g, Na< 1000 mg. Dilakukan juga
rencana terapi pasien adalah pembatasan makan makanan yang
pemberian calsium bikarbonat 3x1, rendah purin (diet). Pasien Ny. N.S
Omeprazole 2x1, aminoral 3x1 , selama perawatan diberikan terapi
KSR dan KCLIV 3x1 hari. pengobatan oral dan parenteral.
Direkomendasikan tindakan Obat-obat yang dimaksudkan adalah
medis/keperawatan adalah Ondansentron, Omeprazole,
pembatasan terhadap penggunaan Furosemid ,Aminoral, CaCo3, RL,
makanan yang kadar garamnya KCL, KSR, Chiticolin, Klopidogrel,
tinggi, transfusi PRC 300 cc/hari Amlodipine, Candesartan,
sampai dengan Hb 10.. Tindakan Allopurinol. Furosemide yang
medis lainnya adalah pemeriksaan diberikan pada pasien ini bertujuan
laboratorium dan hasil yang sebagai maintaining fluid balance
diperoleh adalah pasien juga dikarenakan adanya kardiomegali
memiliki kadar ureum yang tinggi yang disebabkan oleh hipertensi.
Pemberian KSR 600 MG indikasi yang tidak diterapi dan obat
mengandung kalium klorida yang di tidak efektif atau pengobatan gagal.
gunakan untuk mengobati atau Tanda-tanda vital yaitu TD diatas
mencegah jumlah kalium yang normal (fluktuaktif), menunjukkan
rendah dalam darah. Dan Aminoral HT stage 2 140-159/100 mmHg.
untuk Gangguan fungsi ginjal kronis Perlu pemberian antihipertensi
dengan GFRÂ 5- 50 golongan ACEI/ARB. Perlu
mL/minDigunakan untuk pasien pemeriksaan penunjang untuk
yang menderita CKD dengan tujuan menegakkan diagnosa dan pemberian
untuk meningkatkan status protein terapi pengobatan yang efektif bagi
dan nutrisi pada pasien gangguan pasien. DAFTAR RUJUKAN 1.
fungsi ginjal dan dapat digunakan Levey, A.S., Coresh, J., Balk, E.,
sebagai nutrisi intradialisis dengan Kausz, A., Levin, A., Steffes,M.W.,
rasio AAE;AANE sesuai dengan et al. 2002. National Kidney
kebutuhan pasien. Allopurinol 100 Foundation Practice Guidelines for
mg dengan dosis sehari 1x1 tablet Chronic Kidney Disease:
untuk pasien Ny. NS ini adalah untuk Evaluation,Classification, and
pengobatan atau pencegahan Stratification. Ann Intern Med. 2.
serangan penyakit gout dengan Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes,
menurunkan kadar asam urat di P.A., dan Rodwell, V.W. (2003).
dalam darah karena diketahui pasien Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta :
memiliki kadar asam urat yang tinggi Penerbit Buku Kedokteran EGC.
yaitu 8,2 mg/dL. Halaman 270. 3. Tjay, T.H.,
KESIMPULAN Rahardja, K., 2002. Obat-Obat
Berdasarkan pembahasan Penting : Khasiat, Penggunaan, dan
sebelumnya, kesimpulan yang dapat Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI.
diambil dari pemantauan terapi obat Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
pada pasien Gagal ginjal Kronis Komputindo 4. Price SA, Wilson
adalah sebagai berikut: Pasien perlu LM. 2000. Patofisiologi Konsep
mengatur pola hidup sehat, terapi Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi
nutrisi untuk menjaga berat badan pertama. Jakarta: Penerbit Buku
tetap ideal, dan olahraga.. Adanya Kedokteran EGC. 5. Sacher, R.A,
McPherson, R.A. 2004. Tinjauan
Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Cetakan 1. Jakarta
:EGC. 6. Suwitra, Ketut. 2009.
Penyakit Ginjal Kronik. Dalam
Sudoyo AW (Ed.), Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam. hlm.1035-41.
7. Wehbi M. Acute gastritis, 2014.
Medscape. 8. Wilson, L.M. 2006.
Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan
Saluran Kemih. Dalam: Patafisiologi
Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Anda mungkin juga menyukai