Anda di halaman 1dari 23

Fina meliani

1803277067
S1 Keperawatan (2B)
Mata Kuliah KMB II

1. - Pengertian
 BPH (Benigna Prostat Hiperplasi)
BPH adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi
beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar/jaringan
fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab/UPF Ilmu
Bedah RSUD dr.Sutomo, 1994 : 193)
 BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih
tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan
aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 671)
- Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah
inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari
dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang
dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa
zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa
pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada
jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan
kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar
prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi
pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan
pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi
uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi
detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah
terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher
vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini
dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat
detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar
disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama
dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi.
Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi
meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi
menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan
obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi
kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal
akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat
dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria
menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

- Manifestasi
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi
dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas
sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan
(straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang
akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak
sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau
disuria dan menjadi nocturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara
periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin
berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus
mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah
berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
- Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum.
- Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum.
- Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum.
- Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum.
- Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum.
b. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing
dahulu kemudian dipasang kateter.
- Normal : Tidak ada sisa
- Grade I : sisa 0-50 cc
- Grade II : sisa 50-150 cc
- Grade III : sisa > 150 cc
- Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
- Farmakologi
Tujuan dari perawatan pada BPH adalah  untuk meningkatkan LUTS dan kualitas
hidup pasien seperti halnya mencegah komplikasi terkait BPH (Oelke, et al., 2005).
Prinsip terapi pada BPH ialah pengambilan keputusan terapi yang didasarkan pada
tingkat keparahan dari gejala, derajat gangguan yang ditimbulkan dan berdasarkan
pilihan pasien (Nicket, et al., 2010).
1. Watchful waiting (WW)
Watchful waiting dilakukan pada penderita dengan keluhan ringan, atau sedang
hingga berat namun tidak memiliki dampak atau berdampak minimal pada kualitas
hidup pasien. Tindakan yang dilakukan adalah observasi saja tanpa pengobatan.
Pasien yang sedang menjalani WW secara periodik mengunjungi dokter untuk
dilakukan monitoring (Nicket, et al., 2010). Penenteraman hati pasien, pemberian
pemahaman mengenai penyakit ini, dan modifikasi gaya hidup direkomendasikan
untuk mengoptimalkan WW (Oelke, et al., 2005). Modifikasi gaya hidup yang dapat
dilakukan diantaranya buang air kecil sebelum tidur, menghindari konsumsi kafein
dan alkohol, pengosongan kandung kemih yang lebih sering ketika tidak sedang tidur
2. Terapi obat
Terapi farmakologi BPH dapat dikategorikan menjadi 3 tipe, yaitu agen yang bekerja
merelaksasi otot polos prostate (menurunkan faktor dinamik), agen yang mengganggu
efek stimulasi testosterone pada kelenjar prostate yang membesar (menurunkan faktor
static), dan kombinasi terapi dari keduanya.
A. α-blockers,
Semua α-blocker memiliki kemanjuran klinik yang mirip. Terapi dengan α-blocker
brdasarkan hipotesis bahwa LUTS sebagian disebabkan oleh kontraksi otot polos
prostate dan leher kandung kencing yang dimediasi oleh α1-adrenergik yang
menghasilkan tersumbatnya saluran kemih. Agen ini merelaksasi sfingter intrinsik
uretral dan otot polos prostate namun tidak mengecilkan ukuran prostate.
Tiga generasi α-blockers telah digunakan dalam terapi BPH, namun efek antagonis
pada reseptor α2-adrenergik presinaptik yang menyebabkan takikardi dan aritmia
membuat generasi pertama agen ini digantikan dengan generasi kedua antagonis α1-
adrenergik postsinaptik dan generasi ketiga α1-adrenergik uroselektif.
Yang termasuk kedalam generasi kedua adalah prazosin, terazosin, doxazosin dan
alfuzosin. Terapi dengan obat – obat tersebut harus diawali dengan dosis rendah,
untuk meningkatkan toleransi terhadap kemungkinan terjadinya efek samping seperti
hipotensi ortostatik dan pening.
Tamsulosin adalah satu – satunya α-blocker generasi ketiga yang tersedia di Amerika.
obat ini bekerja secara selektif pada reseptor α1-adrenergik prostate yang menyusun
kurang lebih 70% dari reseptor adrenergic dari kelenjar prostate. Blockade pada
reseptor tersebut menghasilkan relaksasi otot polos dari prostate dan kandung kemih
tanpa menyebabkan relaksasi otot polos vaskuler perifer.
Obat T ½ Dosis lazim per hari Waktu mencapai
(jam) efek puncak pada
gejala BPH
Prazosin 2–3 2-10 mg dalam 2 atau 3 dosis terbagi 2 – 6 minggu
Terazosin 11 – 14 1-10 mg dosis tunggal, maksimum 20 mg 2 – 6 minggu
Doxazosin 15 – 19 1 – 4 mg dosis tunggal, maksimum 8 mg 2 – 6 minggu
Doxazosin 15 – 19 4 atau 8 mg dosis tunggal, maksimum 8 Beberapa hari
GTS mg
Alfuzosin 10 mg dosis tunggal Beberapa hari
Tamsulosin 14 – 15 0,4 atau 0,8 mg dosis tunggal Beberapa hari

B. 5α-reductase-inhibitors (finasteride atau dutasteride),


Merupakan obat pilihan untuk pasien dengan LUTS sedang/berat dan prostate
membesar (>40 g). kedua obat tersebut menurunkan volume prostate hingga 20-30%
dan memiliki kemanjuran klinik yang mirip. 5α-reductase-inhibitors dapat mencegah
perkembangan BPH, meningkatkan skor gejala hingga 15% dan juga dapat
menyebabkan peningkatan yang lumayan pada  aliran berkemih yaitu 1,3 – 1,6 mL/s
(Rosette, et al., 2004).
1.  Finasteride
Finasteride lebih efektif diberikan kepada pasien dengan prostat lebih besar dari pada
40 mL. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa finasteride secara signifikan dapat
mengurangi retensi urin akut dan pembedahan pada penderita BPH. Finasteride juga
mampu menurunkan tingkat PSA dalam serum (Rosette, et al., 2004).
Finasteride memiliki efek samping yang berkaitan dengan fungsi seksual. Pada
sebuah penelitian, dilaporkan terjadinya efek samping penurunan libido (6,4%),
impoten (8,1%), penurunan ejakulat (3,7%) dan kurang dari 1% pasien mengalami
keluhan lain seperti kemerahan, pembesaran dan pelembekan payudara   (Rosette, et
al., 2004).
2. Dutasteride
Dutasteride merupakan 5α-reductase-inhibitors nonselektif yang menekan isoenzin
tipe 1 dan 2, dan sebagai konsekuensinya lebih cepat dan lebih efektif dalam
menurunkan produksi DHT intraprostat dan tingkat DHT serum hingga 90%.
3. Kombinasi terapi α1-adrenergic antagonist dengan 5α-reductase-inhibitors ideal
diberikan kepada pasien dengan gejala berat, yang juga mengalami pembesaran
prostat lebih dari 40 g dan tingkat PSA sedikitnya 1,4 ng/mL. kekurangan dari terapo
kombinasi ini adalah meningkatnya biaya pengobatan, dan peningkatan kejadian
munculnya efek yang tidak diharapkan.
4. Terapi pembedahan
a. Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Dilakukan pada pasien baik dengan LUTS sedang atau pun berat, yang menginginkan
perawatan secara aktif, atau yang mengalami kegagalan terapi atau tidak
menginginkan terapi dengan obat. Menghilangkan bagian adenomatosa dari prostat
yang menimbulkan obstruksi dengan menggunakan resektoskop dan elektrokauter
b. Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Dilakukan terhadap penderita dengan gejala sedang sampai berat dan dengan ukuran
prostat kecil (<30 gram)
c. Open Prostatectomy
Diindikasikan untuk pasien dengan prostat terlalu besar untuk dilakukan TURP
karena takut penyembuhan tidak sempurna, perdarahan yang signifikan, atau risiko
dilusi natremia.
d. Transurethral electrovaporization (TUVP)
Merupakan alternative lain untuk TURP khususnya untuk pasien beresiko tinggi
dengan prostate kecil.
e. Laser Prostatectomy
Tekniknya antara lain Transurethral laser induced prostatectomy (TULIP) yang
dilakukan dengan bantuan USG, Visual coagulative necrosis, Visual laser ablation of
the prostate (VILAP), dan interstitial laser therapy.
f. Prostatic stents
Hanya diberikan kepada pasien yang memiliki resiko tinggi, yang ditunjukkan dengan
kekambuhan retensi urin sebagai alternatif kateterisasi, dan bagi mereka yang tidak
dapat menjalani terapi yang lainnya
g. Emerging techniques
Meliputi High-intensity focused ultrasound (HIFU), chemoablation of the prostate,
water induced thermotherapy (WIT) dan plasma energy in a saline environment
(PlasmaKinetic®) yang hanya digunakan dalam percobaan klinis saja.
h. Obsolete techniques
Transurethral baloon dilatation : dilakukan dengan memasukkan kateter yang dapat
mendilatasi fosa prostatika dan leher kandung kemih. Dilatasi balon dan
transrektal/hipertermi transurethral tidak lagi direkomendasikan untuk mengatasi
BPH.
5. Terapi Hormonal
Terapi hormon diberikan pada pria usia pertengahan dan lanjut usia untuk mengatasi
keluhan andropause. Selama pengobatan oleh dokter, testosteron diberikan dalam
bentuk senyawa undarkanoat (4 mg/kapsul). Tujuan terapi hormone adalah
mengontrol keseimbangan hormon testosteron sehingga dapat membantu mengatasi
keluhan gangguan Prostat.
6. Fitoterapi (Pygeum africanum, Serenoa Repens)
Agen ini terdiri atas berbagai macam ekstrak tanaman dan selalu sulit dalam
mengidentifikasi komponen mana yang memiliki aktifitas biologis utama (Rosette, et
al., 2004). Meskipun fitoterapi digunakan secara luas di Eropa dalam pengelolaan
BPH, data publikasi mengenai penggunaan agen herbal masih belum meyakinkan dan
banyak pertentangan.
- Terapi Diet

- Pengkajian
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.
Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai
berikut :
a. Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi
dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek
pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada.
kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b. Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-
tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c. Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien
dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin
berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia,
disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan
invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter
untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi
warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada
bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi
gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi
BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada
postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
d. Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek
penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada
postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat
badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan
maupun nutrisinya.
e. Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada
pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan
kuat, nyeri punggung bawah.
f. Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput
dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis
tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji
adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada
preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya
tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g. Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah
tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes
selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran
atau nyeri tekan pada prostat.
h. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi
BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin,
BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada
postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari
perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

- Analisa Data

- Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
Pre Operasi :
1). Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran
prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih unmtuk
berkontraksi secara adekuat.
2). Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung
kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3). Resiko tinggi kekurangan cairan berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis..
4). Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah
5). Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya informasi

Post Operasi :

1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada
TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten
akibat dari TUR-P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri sebagai efek pembedahan

- Perencanaan

1. Sebelum Operasi

a. Obstruksi akut / kronis berhubungan dengan obstruksi mekanik, pembesaran


prostat,dekompensasi otot destrusor dan ketidakmapuan kandung kemih untuk
berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : tidak terjadi obstruksi

3) Kriteria hasil :

Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak teraba distensi kandung kemih

4) Rencana tindakan dan rasional

1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan.

R/ Meminimalkan retensi urina distensi berlebihan pada kandung kemih

2. Observasi aliran urina perhatian ukuran dan kekuatan pancaran urina

R / Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi

3. Awasi dan catat waktu serta jumlah setiap kali berkemih

R/ Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran perkemihan yang dapat


mempengaruhi fungsi ginjal

4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi jantung.

R / Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal


,kandung kemih dari pertumbuhan bakteri

5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)

R/ mengurangi spasme kandung kemih dan mempercepat penyembuhan

b. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan iritasi mukosa buli – buli, distensi kandung kemih,
kolik ginjal, infeksi urinaria.

1). Tujuan

Nyeri hilang / terkontrol.


2). Kriteria hasil

Klien melaporkan nyeri hilang / terkontrol, menunjukkan ketrampilan relaksasi dan


aktivitas terapeutik sesuai indikasi untuk situasi individu. Tampak rileks, tidur / istirahat
dengan tepat.

3). Rencana tindakan dan rasional

a) Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas ( skala 0 - 10 ).

R / Nyeri tajam, intermitten dengan dorongan berkemih / masase urin sekitar kateter
menunjukkan spasme buli-buli, yang cenderung lebih berat pada pendekatan TURP
( biasanya menurun dalam 48 jam ).

b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan selang bebas dari
lekukan dan bekuan.

R/ Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem, menurunkan resiko distensi /


spasme buli - buli.

c). Pertahankan tirah baring bila diindikasikan

R/ Diperlukan selama fase awal selama fase akut.

d) Berikan tindakan kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi, pijatan


punggung ) dan aktivitas terapeutik.

R / Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali perhatian dan dapat meningkatkan


kemampuan koping.

f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.

R/ Meningkatkan perfusi jaringan dan perbaikan edema serta meningkatkan


penyembuhan ( pendekatan perineal ).
f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik

R / Menghilangkan spasme

c. Resiko tinggi kekurangan cairan yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.

1). Tujuan

Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.

2). Kriteria hasil

Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda -tanda vital stabil, nadi
perifer teraba, pengisian perifer baik, membran mukosa lembab dan keluaran urin tepat.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Awasi keluaran tiap jam bila diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.

R/ Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl cukupan
jumlah natrium diabsorbsi tubulus ginjal.

b). Pantau masukan dan haluaran cairan.

R/ Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.

c). Awasi tanda-tanda vital, perhatikan peningkatan nadi dan pernapasan, penurunan
tekanan darah, diaforesis, pucat,

R/ Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik

d). Tingkatkan tirah baring dengan kepala lebih tinggi

R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan hemeostatis sirkulasi.

g). Kolaborasi dalam memantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi, contoh:


Hb / Ht, jumlah sel darah merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah trombosi

R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta dapat


mengindikasikan terjadinya komplikasi misalnya penurunan faktor pembekuan darah,

d. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi prosedur


bedah.

1). Tujuan

Pasien tampak rileks.

2). Kriteria hasil

Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang
tepat tentang perasaan dan penurunan rasa takut.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Dampingi klien dan bina hubungan saling percaya

R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk membantu

b). Memberikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.

R / Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.

c). Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah atau perasaan.

R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan konsep solusi pemecahan masalah

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi ,prognosis dan kebutuhan pengobatan


berhubungan dengan kurangnya informasi

1). Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan prognosisnya.


2). Kriteria hasil

Melakukan perubahan pola hidup atau prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program
pengobatan.

3). Rencana tindakan dan rasional

a). Dorong pasien menyatakan rasa takut persaan dan perhatian.

R / Membantu pasien dalam mengalami perasaan.

b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman pasien

R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi


terapi.

II. Sesudah operasi

1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P

Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria hasil :

- Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang.

- Ekspresi wajah klien tenang.

- Klien akan menunjukkan ketrampilan relaksasi.

- Klien akan tidur / istirahat dengan tepat.

- Tanda – tanda vital dalam batas normal.

Rencana tindakan :

1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini spasmus kandung kemih.


R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini spasmus kandung kemih.

2. Pemantauan klien pada interval yang teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala –
gejala dini dari spasmus kandung kemih.

R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan

3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai
48 jam.

R/ Memberitahu klien bahwa ketidaknyamanan hanya temporer.

4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak berkemih ke seputar kateter.

R/ Mengurang kemungkinan spasmus.

5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk dalam waktu yang lama sesudah tindakan
TUR-P.

R / Mengurangi tekanan pada luka insisi

6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi, termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.

R / Menurunkan tegangan otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan


kemampuan koping.

7. Jagalah selang drainase urine tetap aman dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan
pada kandung kemih. Irigasi kateter jika terlihat bekuan pada selang.

R/ Sumbatan pada selang kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung
kemih dengan peningkatan spasme.

8. Observasi tanda – tanda vital

R/ Mengetahui perkembangan lebih lanjut.


9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik
)

R / Menghilangkan nyeri dan mencegah spasmus kandung kemih.

2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan,
kateter, irigasi kandung kemih sering.

Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda – tanda infeksi .

Kriteria hasil:

- Klien tidak mengalami infeksi.

- Dapat mencapai waktu penyembuhan.

- Tanda – tanda vital dalam batas normal dan tidak ada tanda – tanda shock.

Rencana tindakan:

1. Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.

R/ Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi

2. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500 – 3000 ) sehingga dapat menurunkan
potensial infeksi.

R/ . Meningkatkan output urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan


mempertahankan fungsi ginjal.

3. Pertahankan posisi urobag dibawah.

R/ Menghindari refleks balik urine yang dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.

4. Observasi tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/ Mencegah sebelum terjadi shock.

5. Observasi urine: warna, jumlah, bau.

R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.

6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.

R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu proses penyembuhan.

3. Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .

Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.

Kriteria hasil:

- Klien tidak menunjukkan tanda – tanda perdarahan .

- Tanda – tanda vital dalam batas normal .

- Urine lancar lewat kateter .

Rencana tindakan:

1. Jelaskan pada klien tentang sebab terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda –
tanda perdarahan .

R/ Menurunkan kecemasan klien dan mengetahui tanda – tanda perdarahan

2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi gumpalan dalm saluran kateter

R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan peregangan dan perdarahan


kandung kemih

3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan memberi obat untuk memudahkan defekasi .
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa prostatik yang akan mengendapkan perdarahan
.

4. Mencegah pemakaian termometer rektal, pemeriksaan rektal atau huknah, untuk


sekurang – kurangnya satu minggu .

R/ Dapat menimbulkan perdarahan prostat .

5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di pasang dan kapan traksi dilepas .

R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan


perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam setelah pembedahan .

6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4 jam,masukan dan haluaran dan warna urine

R/ Deteksi awal terhadap komplikasi, dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan
jaringan yang permanen .

4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat
dari TUR-P.

Tujuan: Fungsi seksual dapat dipertahankan

Kriteria hasil:

- Klien tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .

- Klien menyatakan pemahaman situasi individual .

- Klien menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .

- Klien mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.

Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P
terhadap seksual .

R/ Untuk mengetahui masalah klien .

2 . Jelaskan tentang : kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan kejadian
ejakulasi retrograd (air kemih seperti susu)

R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak disfungsi seksual


3 . Mencegah hubungan seksual 3-4 minggu setelah operasi .

R/ Bisa terjadi perdarahan dan ketidaknyamanan

4 . Dorong klien untuk menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan
kunjungan lanjutan .

R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada penjelasan yang


spesifik.

5. Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

Tujuan: Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

Kriteria hasil:

- Klien akan melakukan perubahan perilaku.

- Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.

- Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat
lanjutan .

Rencana tindakan:

1. Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .


R/ Dapat menimbulkan perdarahan .

2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan
memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.

R/ Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan


mengedan pada waktu BAB

3. Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.

R/ Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .

4. Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.

R/. Untuk menjamin tidak ada komplikasi .

5. Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh .

R/ Untuk membantu proses penyembuhan .

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi.

Kriteria hasil:

- Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.

- Klien mengungkapan sudah bisa tidur .

- Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .

Rencana tindakan:

1. Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara
untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .

2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan .

R/ Suasana tenang akan mendukung istirahat

3. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.

R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan

4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri
( analgesik ).

R/ Mengurangi nyeri sehingga klien bisa istirahat dengan cukup .

Anda mungkin juga menyukai