Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
B. PENYEBAB
Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan pada
pasien gangguan jiwa antara lain
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku
kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri
serta memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi
bahwa perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga
diri pelaku tindak kekerasan.
6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh
contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi
biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara
agresif sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut
Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Faktor
ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya
juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima.
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku
kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku kekerasan
merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku agresif,
dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi
indra penciuman dan memori) akan menimbulkan mata terbuka lebar, pupil
berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada di sekitarnya.
Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai berikut
a) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respon agresif.
b) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi
dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon androgen dan
norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan
serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
d) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus
temporal) trauma otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa
injury secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Beberapa faktor pencetus
perilaku kekerasan adalah sebagai berikut.
a. Klien
Kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang penuh
dengan agresif, dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
b. Interaksi
Penghinaan, kekerasan, kehilangan orang yang berarti, konflik, merasa
terancam baik internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal
dari lingkungan.
c. Lingkungan
Panas, padat, dan bising.
Menurut Shives (1998) dalam Fitria (2009), hal-hal yang dapat menimbulkan
perilaku kekerasan atau penganiayaan antara lain sebagai berikut.
a. Kesulitan kondisi sosial ekonomi.
b. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu.
c. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.
d. Pelaku mungkin mempunyai riwayat antisosial seperti penyalahgunaan obat
dan alkohol serta tidak mampu mengontrol emosi pada saat menghadapi rasa
frustasi.
e. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasanterdiri dari :
1. Fisik
Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal
Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada keras,
kasar, ketus.
3. Perilaku
Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif.
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan,
dan menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual
D. PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
d. Pendidikan kesehatan
E. POHON MASALAH
Regimen Terapeutik
Inefektif
Koping Keluarga
Berduka Disfungsional
Tidak Efektif
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Meskipun pemeriksaan diagnostic merupakan pemeriksaan penunjang, tetapi
peranannya penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi neurobiologis,
memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis.
MRI dapat member gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan gambaran
yang lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofilobus temporal (terutama
hipokampus, girusparahipo kampus, dangirus temporal superior).
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolic dari area spesifik otak dan dapat
menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal, terutama pada area
prefrontal dari korteks serebral,
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas aktivitas pada
daerah otak yang bervariasi.
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadap ransangan yang
bervanasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan menurun, kadang-
kadang di lobus frontal dan sistemlimbik.
7. Electroensephalogmam (EEG)
A. PENGKAJIAN
Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah melalui observasi
atau wawancara tentang perilaku berikut ini:
a. Mukamerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengarupkan rahang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Jalan mondar-mandir
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Mengancam secara verbal atau fisik
i. Melempar atau memukul benda /orang lain
j. Merusak barang atau benda
k. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan.
Daftar Masalah
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada perilaku
kekerasan yaitu :
a. Perilaku Kekerasan.
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
d. Harga diri rendah kronis.
e. Isolasi sosial.
f. Berduka disfungsional.
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
h. Koping keluarga inefektif.
B. DIAGNOSA KEPERAWTAN
Resiko menciderai diri sendiri dan orang lain berhubungan dengan perilaku kekerasan.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN
RESIKO MENCEDERAI DIRI SENDIRI DAN ORANG LAIN BERHUBUNGAN
DENGAN PERILAKU KEKERASAN
Nama Klien :
Diagnosa Medis :
Ruang :
Nomoe CM :
Mengekspl
orasi perasaan
keluarga
setelah
melakukan
demonstrasi
Dx Tujuan Kriteria Evaluasi Tindakan Rasionalisasi
9. Klien Setelah 5 kali 91.1 Jelaskan Klien dan
dapat interaksi, klien obat-obat keluarga dapat
menggunakan dapat; yang mengetahui nama-
obat-obatan 9.1 Menyebutka dimunum nama obat yang
yang diminum n obat-obatan klien pada diminum oleh klien
dan yang diminum klien dan
kegunaannya dan kegunannya keluarga Klien dan
(jenis, waktu, (jenis,waktu, keluarga dapat
dosis dan efek). 9.1.2 Diskusikan mengetahui
efek) manfaatminu kegunaan obat yang
9.2 Klien dapat m obatdan dikonsumsi klien
minum obat kerugian
sesuai program berhenti Klien dan
pengobatan minum keluarga mengetahui
obattanpa prinsip benar agar
seijin dokter tidak terjadi
kesalahan dalam
9.2.1 Jelaskan mengkonsumsi obat
prinsip benar
minum obat, Klien dapat
baca nomor memiliki kesadaran
yang tertera pentingnya minum
pada botol obatdan bersedia
obat, dosis minum obat dengan
obat, waktu kesadaran sendiri
dan cara
minum) Mengetahui efek
samping sendiri
9.2.2 Ajarkan klien sedini mungkin
minta obat sehingga tindakan
dan minum dapat dilakukan
tepatwaktu sesegera mugkin
untuk menghidari
9.2.3 Anjurkan komplikasi
klien
melaporkan Reinforcement
pada positifdapat
perawatatau memotivasi keluarga
dokter jika dan klien serta dapat
merasakan meningkatkan harga
efek yang diri
tidak
menyenangka
n
D. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelenjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilaksanakan terus menerus pada respon klien terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi jadi dua yaitu:
Evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan.
A= analisa ulang atas data subyektif dan obyektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah
yang ada.
P= perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien.
Depkes, RI. 2007. Standar Asuhan Keperawatan Jiwa. Magelang: RSJ Prof. Dr. Soeroyo
Magelang.
Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Dwi, A. S., & Prihantini, E. 2014. Keefektifan Penggunaan Restrain terhadap Penurunan
Perilaku Kekerasan pada Pasien Skizofrenia. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan , 138-139.
Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Jenny, M., Purba, S. E., Mahnum, L. N., & Daulay, W. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien
dengan Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.