Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal


angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi tulang dan meluas ke
jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial
vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan
tumor pembuluh darah lokal yang agresif khususnya remaja laki-laki, pernah juga
dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut
juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal angiofibroma”). Tetapi
istilah juvenile ini tidak sepenuhnya tepat karena neoplasma ini kadang ditemukan
juga pada pasien yang lebih tua. Tumor ini biasanya paling banyak terjadi pada laki-
laki prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun
dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia di atas 25
tahun. Hal ini disebabkan karena Faktor ketidak seimbangan hormon juga banyak
dikemukakan sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan
estrogen.1,2
Walaupun angiofibroma merupakan tumor jinak yang paling sering pada
nasofaring, tetapi jumlahnya kurang dari 0,05% dari tumor kepala dan leher. Insiden
dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur
Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels melaporkan rata-rata setiap tahunnya
dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service
of The Memorial Hospital, New York. Di London, Harrison, mencatat status dari satu
per 15.000 pasien pada Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana didapat
kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India. Insiden rata-rata JNA
adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT.2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala

1
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta
deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma nasofaring.
Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati
karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang
ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias gejala dan tanda klinis dari
tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan hidung dan massa di nasofaring
sangat mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring.2
Beberapa hipotesis tentang asal usul tumor ini sudah dikemukakan tetapi
belum ada yang benar-benar bisa menjelaskan dengan baik.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomi Nasofaring

Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang
erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.1,4,14
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus,
yang dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba
eustachii yang berbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu
jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf
kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput
dan arteri faringea asendens, dan foramen hipoglossus yang dilalui saraf
hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat bagian
lateral atap nasofaring.
8. Ostium dari sinus-sinus stenoid.

Dinding depan (anterior) dibentuk oleh kavum nasi posterior atau disebut juga
dengan koana. Dinding depan ini merupakan lubang yang berbentuk oval yang
berhubungan dengan kavum nasi dan dipisahkan pada garis-garis tengah oleh septum
nasi. Dinding atas (superior) dan belakang (posterior) sedikit menonjol, dinding atas
dibentuk oleh basis sfenoid dan basis oksiput, dinding belakang dibentuk oleh fasia
faringobasilaris yang menutup vertebra servikalis pertama (tulang atlas) dan kedua.
Kelenjar limfoid adenoid terletak pada batas dinding posterior dan atap nasofaring,
3
tetapi kadang-kadang kelenjar adenoid ini dapat meluas sampai ke muara tuba
eustachius.1 Dinding bawah (inferior), merupakan permukaan atas palatum molle dan
berhubungan dengan orofaring melalui bagian bawah nasofaring yang menyempit
yang disebut dengan istmus faring. Dinding lateral nasofaring merupakan bagian yang
terpenting, dibentuk oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan muskulus
konstriktor faring superior. Pada dinding lateral ini terdapat muara tuba Eustachius,
tepi posterior merupakan tonjolan tulang rawan yang dikenal sebagai torus tubarius,
sedangkan fossa Rosenmuller atau resesus lateralis terdapt pada supero-posterior dari
tuba. Jaringan lunak yang menyokong struktur nasofaring adalah fasia faringobasilar
dan muskulus konstriktor faringeus superior yang dimulai dari basis oksiput tepat di
bagian anterior foramen magnum. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang
menutupi foramen ovale, foramen spinosum, foramen jugularis, kanalis karotis,dan
kanalis hypoglosus. Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat
penyebaran tumor ke intrakranial.1,5

Gambar 1. Struktur laring.4

Gambar 2. Anatomi Faring (Sagital).

4
B. Defenisi Angifobroma Nasofaring Belia

Angiofibroma nasofaring (angiofibroma nasopharynx/ nasopharyngeal


angiofibroma) adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak
namun secara klinis bersifat ganas karena dapat mendestruksi tulang dan meluas ke
jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak (cranial
vault), serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Jinak tetapi merupakan
tumor pembuluh darah lokal yang agresif khususnya remaja laki-laki, pernah juga
dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang. Itulah sebabnya tumor ini disebut
juga angiofibroma nasofaring belia (“Juvenile nasopharyngeal angiofibroma”).

C. Etiologi Angifobroma Nasofaring Belia

Penyebab Angifibroma nasofaring juvenille belum diketahui secara jelas,


namun diduga berhubungan dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan
tumor secara khas muncul pada remaja laki-laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah
perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder memberikan bukti pengaruh
hormonal pada pertumbuhan tumor.6 Tumor ini biasanya paling banyak terjadi pada
laki-laki prepubertas dan remaja. Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun
dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia di atas 25
tahun. Hal ini disebabkan karena Faktor ketidak seimbangan hormon juga banyak
dikemukakan sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan
estrogen.7

D. Epidemiologi Angifobroma Nasofaring Belia

Epidemiologi Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000 – 1/60.000


dari pasien THT. Diperkirakan hanya merupakan 0,05 % dari tumor leher dna kepala.
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak antara
usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun. Pada pria sering ditemukan
pada remaja pria berusia antara 14 - 25 tahun6

E. Patofisiologi

5
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa atap rongga hidung posterior. Perluasan
kearah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dsn memipipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maxila. Bila meluas terus akan masuk ke fosa intratemporal yang akan
menimbulkan benjolan di pipi, dan ‘’rasa penuh’’ di wajah. Apabila tumor telah
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada
wajah, yang disebut “muka kodok”1,9

Menurut Mansfield E, asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-


lateral di atap nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina
dan aspek posterior dari middle turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya
area jaringan endotel di daerah ini. Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun
tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan diri pada tekanan sel-sel yang telah
mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui perbatasan yang banyak
tulangnya. Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intracranial.8

F. Manifestasi Klinis

Adapun manifestasi klinis berupa gejala dan tanda dari angiofibroma


nasofaring yaitu sebagai berikut:
1. Gejala
a. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
b. Sering mimisan (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah
(blood-tinged nasal discharge) yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi
(unilateral) dan berulang (recurrent).
c. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
d. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
e. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.

6
f. Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke rongga
kranial dan tekanan pada kiasma optik.
g. Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi (unilateral
rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas terhadap
bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli (deafness),
nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of the palate),
kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia. 9,10
2. Tanda
a. Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal posterior;
nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak bertangkai
(sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di hidung (nasal
mass) ini mencapai 80%.
b. Mata menonjol (proptos/is), langit-langit mulut yang membengkak (a bulging
palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa mass),
massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya disertai
dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata (orbital mass)
ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol (proptosis)
sekitar 10-15%.
c. Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan
tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat
penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini
jarang terjadi.9,10

Gambar 6. Foto pasien dengan JNA. Perhatikan penonjolan mata dan bagian tengah wajahnya
karena penekanan dari tumor dan muka kodok.9

7
Gambar 7. Bulging Palate pada pemeriksaan mulut.10

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang penegakkan diagnosis


angiofibroma nasofaring adalah:
1. Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan
ini1
2. Biopsi
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah
dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam
pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi
dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang
kecenderungan terjadi perdarahan.11

3. Pemeriksaan Radiologis
a. Foto Sinar

8
(a) (b)
Gambar 8. Foto X-ray Konvensional.9

Pada foto sinar-X pada (gambar 8a) Menunjukan tumor nampak sebagai massa
jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan
karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yaitu pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang sehingga fissura pterigopalatina membesar. Sedangkan
pada (gambar 8b) menunjukan Foto polos lateral adanya massa besar di
nasofaring yang menggeser diding antral posterior ke anterior (tanda panah).
Massa tersebut juga meluas ke sinus sphenoid.8,9

b. CT Scan
Pada CT-Scan angiofibroma adenoma, memperlihatkan perluasan ke sinus
sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari maksillaris dan
fossa infratemporal biasanya terlihat MRI sangat bermanfaat untuk
mengidentifikasi karakteristik jaringan lunak dari lesi JNA sehingga bisa
menguatkan bahwa massa tersebut adalah JNA bukan keganasan yang lain.8

Gambar 9. Gambaran normal nasofaring, sinus maksilaris dan fossa infratemporal. 9

9
A. CT scan aksial melalui porsi tengah dari sinus maksilaris (M) dan bagian atas dari prosesus
odontoid (13) menunjukan septum nasal, turbinate inferior (1), nasofaring (NP), otot temporalis
(2), prosesus coronoid (3), zigoma (4), otot masseter (5), glandula parotis (6), prosesus styloid (7),
otot longus kapitis (8), tonus tubarius (9), otot tensor veli palatini (10), plate pterygoid lateral
(11), dan otot pterygoid lateral (12). Densitas yang terlihat di belakang torus sebagian besar
disebabkan oleh otot levator veli palatini. Tensor veli palatini jarang terlihat sebagai muscle
bundle yang berbeda. Sebagian dari densitas yang terlihat dari medial ke lateral pterygoid plate
disebabkan oleh otot tensor veli palatini. (10). Dari medial ke lobus dalam glandula parotid (6),
ruang simetris densitas rendah parafaring terlihat. Pada posterior prosesus styloid terlihat densitas
stuktur neurovascular petrostyloid.

B. Scan axial proton-weighed magnetic resonance menunjukan otot quadratus labii superior (open
arrow), otot orbicularis oculi dan zigomatikus (white and black arrows), vena angularis (white
arrows), tulang zigomatikum (Z), antrum maksilaris (*), turbinasi nasal (N), otot masseter (M),
otot pterygoid (P), mandibular (curved arrow), vena retromadibular (arrowhead), arteri veterbra
(white and black arrows), otot longus colli (L), eksterna(e) and interna (I), arteri carotis, vena
jugularis (J) dan otot temporalis (T).

Gambaran pembesaran yang hampir homogeni dari lesi ini membedakannya


dengan massa vaskuler lain seperti arteriovenous malformation. Untuk
membedakan dengan gambaran jaringan lunak homogeny lainnya seperti
peradangan sinus dan mukosa hidung akan dapat jelas dibedakan dengan MRI.
Selain itu CT scan dan MRI dapat menggambarkan dan menjelaskan batas dari
tumor, terutama pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.9,10

(10a) (10b) (10c)


Gambar 10. CT scan coronal dari lesi yang mengisi rongga hidung kiri dan sinus ethmoidalis.
Lesi juga menutup sinus maksilaris dan mendorong septum nasi berdeviasi ke kanan. Gambar
10b. CT scan axial yang menutup rongga hidung kanan dan sinus paranasal Gambar 10c. CT
scan coronal yang menunjukkan ekspansi lesi ke sinus kavernosus9,10.

Gambar 11. CT scan axial menunjukkan angiofibroma


nasopharingeal menempati rongga hidung kanan dengan Holman-
Miller sign positif.

10
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis angiofibroma nasofaring belia terutama pada kasus-kasus yang telah
menginfiltrasi ke intrakranial. Pemeriksaan ini memberikan resolusi yang lebih
baik untuk jaringan lunak karena mampu membedakan suatu massa tumor
dengan struktur penting di sekitarnya (orbita, duramater, arteri karotis interna,
dan sinus kavernosus).12

(a) (b)
Gambar 12. Gambaran MRI Angiofibroma nasofaring belia (a) adanya perluasan lesi ke
sinus kavernosus, (b) seorang laki-laki dengan angiofibroma nasofaring belia. Metalic
dental braces menyebabkan struktur fasial anterior mengalami distorsi pada gambaran T1-
weighted yang mengisi kavum nasi pada tanda panah dan nasofaring. Maksilaris anterior
dan sebagian dari hisung telah terdistorsi.9,10

H. Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, diperlukan evaluasi individu dan
pengobatannya. Different Staging System diperlukan untuk memilih pendekatan bedah
untuk mengeluarkan JNA, sistem penderajatan pertama kali dikemukakan oleh
Sessions dkk, kemudian direkomendasi oleh Fisch dan Chandler.13

Klasifikasi Menurut Sessions


 Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau ruang nasofaring.
 Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau ruang nasofaring
dengan keterlibatan sedikitnya satu sinus paranasal.
 Stadium IIA : Tumor sedikit meluas ke lateral menuju pterygomaxillary
fossa.
 Stadium IIB : Tumor memenuhi pterygomaxillary fossa dengan atau tanpa
erosi superior dari tulang-tulang orbita.
 Stadium IIIA : Tumor mengerosi dasar tengkorak (yakni: middle cranial
fossa/pterygoid base); perluasan intrakranial minimal.

11
 Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
perluasan ke sinus kavernosus.

Klasifikasi Menurut Fisch


 Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung dan nasofaring tanpa
kerusakan tulang.
 Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksilaris, sinus paranasal
dengan kerusakan tulang.
 Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dan atau regio
parasellar; sisanya di lateral sinus kavernosus.
 Stadium IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optik, dan
atau fossa pituitari.

Klasifikasi menurut Chandler


 Stadium I : Tumor di nasofaring.
 Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
 Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa
pterygomaksillaris, fossa infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
 Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.

I. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan penunjang seperti x-foto


polos, CT scan, atau MRI. Gejala yang paling sering ditemukan (>80%) ialah hidung
tersumbat yang progresif dan epistaksis yang berulang dan masif, infeksi sekunder
dapat terjadi pada ruangan di belakang hidung akibat berkurangnya drainase di tempat
tersebut. Gejala-gejala lain muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah
pembesarannya.1,2
J. Diagnosis Banding

a) Polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele, dermoids, inverting


papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous.

b) Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).

c) Polip koanal (choanal polyp).

12
d) Polip angiomatosa (angiomatous polyp).

e) Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).

f) Karsinoma nasofaring.14

K. Penatalaksanaan

a. Operasi

Karena lokasi JNA yang bervariasi dan dikelilingi banyak situs-situs anatomis
di basis cranii, pilihan metode pendekatan bedah dilakukan berdasarkan stadium
tumor. Selain itu pengalaman dan pilihan dari tim operator mungkin berbeda.
Pendekatan dengan endoskop disarankan untuk tumor-tumor yang kecil (tunor
stadium I), metode endoskop ini menjadi metode yang dipilih untuk tumor-tumor
tertentu di beberapa RS.1,13
Pendekatan transpalatal digunakan untuk menyingkirkan JNA dari nasofaring
dimana sudah terjadi pembesaran yang terbatas ke arah lateral. Untuk lesi dengan
pembesaran terbatas ini, operator lain mungkin memilih pendekatan transfacial
melalui lateral rhinotomy dan medial maxillectomy. Teknik midfacial degloving bisa
juga digunakan.13

Gambar 16. Operasi pembedahan JNA dengan pendekatan mid facialde gloving. Dengan
pendekatan ini bias dibuka akses membuka tulang-tulang mid fasial tanpa meninggalkan
luka / scar di wajah. Beberapa fraktur fasial dan tumor-tumor mid fasial lain juga bias
ditangani dengan pendekatan ini. Tampak JNA yang sangat besar sedang diangkat dari ruang
post nasal, gambar 16b. Reseksi angiofibroma melalui insisi sekitar daerah wajah. 13

13
b. Hormonal
Karena JNA berhubungan dengan pubertas pada pria muda, penggunaan terapi
hormonal digunakan sebagai terapi tambahan untuk JNA. Penghambat reseptor
testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.
Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, pengobatan ini tidak digunakan secara
rutin.13
c. Radioterapi
Radioterapi merupakan terapi pilihan terutama bagi JNA yang rekuren atau
ekspansif ke daerah intrakranial yang mana sulit dicapai dengan pembedahan atau
resiko yang tinggi terjadinya komplikasi terhadap jaringan sekitar apabila dilakukan
pembedahan. Beberapa institusi melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan
terapi radiasi. Penggunaan radioterapi sebagai modalitas utama untuk penatalaksanaan
JNA yang berhasil pernah dilaporkan oleh UCLA. Bagaimanapun hubungan efek
potensial dari radiasi membuat terapi tidak berguna dalam banyak kasus. Selain itu
perlu diperhatikan juga efek samping dari radioterapi. Prognosis dari radioterapi
sendiri ditentukan oleh stadium tumor. Yang mana lebih baik pada tumor stadium
rendah tapi kurang memberi hasil pada tumor stadium akhir.15

L. Komplikasi

Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive bleeding).


Kebutaan sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang
terjadi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi dengan insisi Weber-
Ferguson.Untuk komplikasi dari radioterapi: Osteoradionecrosis dan atau kebutaan
karena kerusakan saraf mata, katarak, Transformasi keganasan (malignant
transformation), gangguan pertumbuhan, panhipopituitarisme, dan ekrosislobus
temporalis.15

M. Prognosis

Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah


keberadaan tumor di fossa pterigoideus dan basis phenoid, erosi clivus, perluasan
intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna, usia muda, dan ada tidaknya
sisa tumor. Embolisasi preoperatif menurunkan angka morbiditas dan rekurensi. Rata-
rata kesembuhan untuk pembedahan primer 100% dengan reseksi lengkap dari JNA

14
ekstrakranial dan 70% dengan tumor intrakranial. Hanya 20% pasien mengalami
rekurensi setelah reseksi dan pada akhirnya akan sembuh dengan operasi selanjutnya.

15
BAB III

KESIMPULAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara


histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.
Angiofibroma nasofaring khusus menyerang jenis kelamin laki-laki prepubertas dan
remaja. Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori di ajukan. Salah
satu di antaranya teori ketidakseimbangan hormonal.1,2

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa atap rongga hidung posterior. Perluasan
kearah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dsn memipipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke arah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak dinding
posterior sinus maxila. Bila meluas terus akan masuk ke fosa intratemporal yang akan
menimbulkan benjolan di pipi, dan ‘’rasa penuh’’ di wajah. Apabila tumor telah
mendorong salah satu atau kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada
wajah, yang disebut “muka kodok”1,9

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan penunjang seperti x-


foto polos, CT scan, atau MRI. Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain
terapi hormonal atau radioterapi. Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat
diatasi dengan pambedahan dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik.1,2

16
REFERENSI

1. Roezin A, Dharmabakti US, Musa Z. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi Ketujuh. Editor: Soepardi EA,
dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007:164-166.

2. Adams L. George, Boies R. Lawrence, Higher H. Peter. BOIES – Buku Ajar Penyakit THT.
Editor: Effendi Harjanto. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC, 1997. Hal: 324-325

3. Yudianto S.A, Tjekeg M, Nuaba G.A. Angiofibroma Nasofaring Juvenile Jurnal 2015; 1-4

4. Kirschner, C. G., Netter, F. H., & American Medical Association. (2005). Netter's atlas of
human anatomy for CPT coding. Chicago, Ill.: American Medical Association.

5. Sutton D, Gregson RHS. Arteriography and Interventional Angiography. In: Sutton D.Textbook
of Radiology and Imaging. 7th ed. Churchill Livingstone. 2016 : 1544-83

6. Jafek BW, Murrow BW. ENT Secrets. 2nd ed. Philadelphia : Hanley & Belfus Inc., 2015.
265, 275, 306, 497.

7. Becker W, et al. Ear, Nose and Throat Diseases – A Pocket Reference. 2nd ed. New York :
Thieme Med Publisher Inc., 2016. 385-6.

8. Park, Chul-Kee et.al. Recurrent Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma Treated with Gamma
Knife Surgery. Korean Academy of Medical Sciences. August 21 2016

9. Vairo B.M, Maldonado Y. Nasopharyngeal Angiofibroma Juvenile with subsequent


cerebrovascular disorder to therapeutic Embolization: case report 2016;1-5

10. Mishra S, Praveena N M, Panigrahi RG, Gupta Y M. Imaging in the diagnosis of juvenile
nasopharyngeal angiofibroma. J Clin Imaging Sci 2013;3, Suppl S1:1.

11. Lim J, et al. Nasopharyngeal Angiofibroma. Head and Neck pathology. Brown Medical School.
2005 [cited on 15 February 2018]
12. Bull, Kerr. Shacheen Rhinology Scott-Brown’s Otolaryngology.. London: Butterworth, 2015.
13. Firdaus A.M, Rahman S, Asyari A. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring Juvenile dengan
penatalaksanaan transpalatal 2016; 1-8

17
14. Verma N, Kumar N, Azad R, Sharma N. Angioamtous Polyp : A Condition Difficult to
Diagnose. Otorhinolaryngology Clinics: An International Journal. 2017; 3(2): 93-7
15. Nicolai P, Schreiber A, Villaret AB. Juvenile Angiofibroma: Evolution of Management.
International Journal of Pediatrics. 2016: 1-11

18

Anda mungkin juga menyukai