Anda di halaman 1dari 8

1.

1 Pengertian Validitas

Validitas berasal dari kata ’’validity’’ yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan
kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen
pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan
fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukan
pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan
pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah (Azwar, 1997).

Validitas adalah ketepatan interpretasi yang dibuat dari hasil pengukuran atau evaluasi, jadi
jika data yang dihasilkan dari sebuah instrument valid, maka dapat dikatakan bahwa istrumen
tersebut valid, karena dapat memberikan gambaran tentang data secara benar sesuai dengan
kenyataan atau keadaan sesungguhnya. jadi jika data yang dihasilkan oleh instrument benar
atau valid, sesuai kenyataan, maka instrument yang digunakan tersebut juga valid.

Prinsip validitas adalah pengukuran atau pengamatan yang berarti prinsip keandalan
instrumen dalam mengumpulkan data. Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur. Jadi validitas lebih menekankan pada alat pengukuran atau pengamatan.

Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi
apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang
sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki
validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.

Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan pada validitas suatu alat ukur tergantung pada
kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat.
Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil
pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi.
Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai
variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk
mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar:
1997).
1.2 Macam-macam Validitas

Secara garis besar ada dua macam validitas, yaitu validitas logis dan validitas empiris.

a. validitas logis

istilah ’’validitas logis’’ mengandung kata ’’logis’’ berasal dari kata ’’logika’’ yang berarti
penalaran. Dengan makna demikian maka validitas logis untuk sebuah instrumen evaluasi
menunjuk pada kondisi bagi sebuah instrument yang memenuhi persyaratan valid
berdasarkan hasil penalaran. Kondisi valid tersebut dipandang terpenuhi karena instrument
yang bersangkutan sudah dirancang secara baik, mengikuti teori dan ketentuan yang ada.
Sebagaimana pelaksanaan tugas lain misalnya membuat sebuah karangan, jika penulis sudah
mengikuti aturan mengarang, tentu secara logis karangannya sudah baik. Dari penjelasan
tersebut kita dapat memahami bahwa validitas logis dapat dicapai apabila instrument disusun
mengikuti ketentuan yang ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa validitas logis
tidak perlu diuji kondisinya tetapi langsung diperoleh sesudah instrument tersebut selesai
disusun. Ada dua macam validitas logis yang dapat dicapai oleh sebuah instrument, yaitu:
validitas isi dan validitas konstrak.

b. Validitas Empiris

istilah validitas empiris memuat kata empiris yang artinya pengalaman. Sebuah instrumen
dapat dikatakan memiliki validitas empiris apabila sudah diuji dari pengalaman. Sebagai
contoh sehari-hari, seseorang dapat diakui jujur oleh masyarakat apabila dalam pengalaman
dibuktikan bahwa orang tersebut memang jujur. Contoh lain, seseorang dikatakan kreatif
apabila dari pengalaman dibuktikan bahwa orang tersebut sudah banyak menghasilkan ide-
ide baru yang diakui bebeda dari hal-hal yang sudah ada. Dari penjelasan contoh-contoh
tersebut diketahui bahwa validitas empiris dapat diperoleh hanya dengan menyusun
instrumen berdasarkan ketentuan seperti halnya validitas logis, tetapi harus dibuktikan
melalui pengalaman. Ada dua macam validitas empiris, yakni validitas ada sekarang dan
validitas prediksi.

Dari uraiaan diatas ada dua jenis validitas, yakni validitas logis yang ada dua macam, dan
validitas empiris yang juga ada dua macam, maka secara keseluruhan kita mengenal adanya
empat validitas, yaitu:

1) Validitas Isi (Content Validity)


Sebuah tes dikatakan memiliki validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang
sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Oleh karena materi yang diajarkan
tertera dalam kurikulum maka validitas isi ini sering juga disebut validitas kurikuler.
Validitas isi dapat diusahakan tercapainya sejak saat penyusunan dengan cara memerinci
materi kurikulum atau materi buku pelajaran.

Misalnya: tes bidang studi IPS, harus mampu mengungkap isi bidang studi tersebut,
pengukuran motivasi harus mampu mengukur seluruh aspek yang berkaitan dengan konsep
motivasi, dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Menurut Kenneth Hopkin penentuan
validitas isi terutama berkaitan dengan proses analisis logis, dengan dasar ini dia berpendapat
bahwa validitas isi berbeda dengan validitas rupa yang kurang menggunakan analisis logis
yang sistematis, lebih lanjut dia menyatakan bahwa sebuah instrumen yang punya validitas isi
biasanya juga mempunyai validitas rupa, sedang keadaan sebaliknya belum tentu benar.

2)  Validitas konstruksi (Construct Validity)

Konstruk adalah kerangka dari suatu konsep, validitas konstruk adalah validitas yang
berkaitan dengan kesanggupan suatu alat ukur dalam mengukur pengertian suatu konsep yang
diukurnya. Sebuah tes dikatakan memeiliki validitas konstruksi apabila butir-butir soal yang
membangun tes tersebut mengukur setiap aspek berpikir seperti yang disebutkan dalam
tujuan instruksional khusus. Dengan kata lain jika butir-butir soal mengukur aspek berpikir
tersebut sudah sesuai dengan aspek berpikir yang menjadi tujuan instrusional.

Contoh: siswa dapat membandingkan antara efek biologis dan efek psikologis, maka butir
soal pada tes merupakan perintah agar siswa membedakan antara dua efek tersebut.

Konstruksi dalam pengertian ini bukanlah susunan seperti yang sering dijumpai dalam teknik,
tetapi merupakan rekaan psikologis yaitu suatu rekaan yang dibuat oleh para ahli ilmu jiwa.
Seperti halnya validitas isi, validitas konstruksi dapat diketahui dengan cara memerinci dan
memasangkan setiap butir soal dengan setiap aspek dan tujuan instrusional khusus.
Pengajarannya berdasarkan logika, bukan pengalamannya.

3) Validitas bandingan/ ’’ada sekarang’’ (Concurrent Validity)

Validitas ini lebih umum dikenal dengan validitas empiris. Sebuah tes dikatakan memiliki
validitas empiris jika hasilnya sesuai dengan pengalaman. Jika ada istilah ’’sesuai’’ tentu ada
dua hal yang dipasangkan. Dalam hal ini hasil tes dipasangkan dengan hasil pengalaman.
Pengalaman selalu mengenai hal yang telah lampau sehingga data pengalaman tersebut
sekarang sudah ada (ada sekarang).

Contoh: seorang guru ingin mengetahui apakah tes sumatif yang disusun sudah valid atau
belum. Untuk ini diperlukan sebuah kriterium masa lalu yang sekarang datanya dimiliki.
Misal nilai ulangan harian atau nilai sumatif yang lalu.

4) Validitas ramalan/ prediksi (Predictive validity)

Memprediksi artinya meramal, dengan meramal selalu mengenai  hal yang akan datang yang
belum terjadi. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediksi atau validitas ramalan apabila
mempunyai kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan
datang.

Misalanya tes masuk keperguruan tinggi adalah sebuah tes yang diperkirakan mampu
meramalkan keberhasilan peserta tes dalam mengikuti kuliah dimasa yang akan datang.
Calon yang tersaring berdasarkan hasil tes diharapkan mencerminkan tinggi rendahnya
kemampuan mengikuti kuliah. Jika nilai tesnya tinggi tentu menjamin keberhsilannya kelak.
Sebaliknya seorang calon dikatakan tidak lulus tes karena memiliki nilai tes yang rendah jadi
diperkirakan akan tidak mampu mengikuti perkuliahan yang akan datang.

1.3 Cara mengukur validitas

Pekerjaan untuk mencari validitas suatu alat ukur disebut validation. Prinsip dari validation
adalah membandingkan hasil-hasil dari pengukuran faktor dengan suatu kriterium, )suatu
ukuran yang telah dipandang valid untuk menunjukkan faktor yang dimaksud). Jadi misalnya
suatu alat pengukur hendak menyelidiki faktor ketelitian kerja, maka harus diambil lebih
dahulu suatu kriterium yang telah dipandang mencerminkan suatu ketelitian kerja. Melalui
kriterium itulah kemudian hasil dari pengukuran faktor ketelitian kerja disoroti, Jika hasil
pengukuran faktor ketelitian kerja menunjukkan besarnya ketelitian kerja yang sesuai dengan
kriterium, maka alat pengukur itu dipandang valid.

Ada dua jenis kriterium yang digunakan untuk menguji kejituan alat pengukur, yaitu :

a. Kriterium luar (external criterion)


Yaitu suatu kriterium yang diambil dari luar (external) alat itu sendiri. Misalnya : suatu tes
tentang ketelitian kerja, diuji validitasnya dengan prestasi kerja yang sesungguhnya
sebagaimana ditunjukkan oleh catatan-catatan hasil kerja atau penilaian pimpinan unit.

b. Kriterium dalam alat (internal criterion)

Yaitu suatu kriterium yang diambil dari dalam (internal)alat itu sendiri. Biasanya diambil
hasil keseluruhan pengukuran atau total score sebagai kriteriumnya. Misalnya, kita ingin
mengukur intelegensi (yang terdiri dari faktor-faktorl; daya analisa, daya klarifikasi, daya
ingatan, daya pemahaman, daya kritik dan sebagainya), maka untuk menguji apakah
sekelompk item benar-benar mengukur daya analisa, misalnya, jawaban-jawaban terhadap
item daya analisa dicocokkan dengan hasil tes secara keseluruhan atau total score-nya. Antara
nilai total harus terdapat korelasi yang positif (tinggi dan cukup meyakinkan). Kecocokkan
antara hasil-hasil dari item yang disangka mengukur suatu faktor dengan suatu kriterium yang
dipandang telah valid disebut factorial validity atau validitas faktor, di mana besar kecilnya
validitas faktor tergantung kepada besar kecilnya kecocokan itu.

Validitas alat tes berkaitan dengan ketepatan dan kecermatan alat tes tersebut dalam
melakukan fungsi tes atau fungsi ukurnya. Menurut buku Standards, yang ditulis oleh
Asosiasi Psikolog Amerika (APA), validitas mengacu pada derajat dimana bukti dan teori
menyokong interpretasi dari skor tes dan mengacu pada tujuan tes. Validitas adalah hal yang
paling mendasar dalam pengembangan dan evaluasi tes. Proses validasi meliputi akumulasi,
membuktikan tujuan dari evaluasi tersebut, bukan terhadap test itu sendiri. Pada alat tes
biasanya validitas akan dihitung secara statistik dan dalam bentuk rumusan angka.

1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Validitas

Banyak faktor yang menyebabkan hasil asesmen tidak valid. Beberapa di antaranya tampak
jelas dan mudah untuk menghindarinya. Tidak ada guru yang akan berpikir untuk mengukur
pengetahuan biologi dengan asesmen matematika. Demikian pula juga tidak ada guru yang
akan mengukur kemampuan memecahkan masalah (problem solving) biologi kelas 7 SMP
dengan menggunakan asesmen yang didesain untuk kelas 12 SMA. Dalam dua contoh
tersebut sudah sangat jelas hasil asesmen akan menjadi tidak valid.

Faktor yang mempengaruhi validitas tes antara lain:

a. Faktor dari dalam tes itu sendiri


Pengujian terhadap butir tes secara hati-hati akan menunjukkan apakah tes yang digunakan
untuk mengukur isi materi atau fungsi -fungsi mental yang akan diakses oleh guru.
Bagaimanapun juga, beberapa faktor berikut dapat menjaga butir tes dari fungsi yang
dikehendaki dan dengan demikian juga terjaga dari rendahnya validitas hasil asesmen. Lima
faktor yang pertama dapat diterapkan sejajar dengan asesmen penampilan siswa secara luas
serta tes-tes tradisional. Lima faktor yang terakhir lebih diterapkan secara langsung terhadap
tes pilihan dan tes dengan jawaban singkat dengan jawaban benar atau salah.

1.      Petunjuk yang tidak jelas. Petunjuk yang tidak jelas menyebabkan siswa kehilangan
waktu untuk sekedar memahami petunjuk pengerjaan atau bahkan tidak dapat melakukan apa
yang seharusnya dilakukan.

2.      Penggunaan kosa kata dan struktur kalimat yang sulit. Penggunaan kosa kata atau
struktur kalimat yang sulit dapat menyebabkan siswa terjebak untuk pemahaman terhadap
pemahaman maksud dari sebuah pertanyaan bukan untuk menyelesaikan pertanyaan itu
sendiri.

3.      Ambiguitas. Ambiguitas yaitu adanya kemungkinan multi tafsir juga menyebabkan


menurunnya validitas sebuah tes.

4.      Alokasi waktu yang tidak cukup. Seyogyanya sebuah tes disediakan waktu yang cukup
untuk mengerjakan seluruh butir tes yang ada. Kekurangan waktu dalam menyelesaikan
sebuah tes bisa jadi bukan karena siswa tidak mampu untuk menyelesaikan tesnya tetapi
karena keterbatasan kesempatan untuk mengerjakannya.

5.      Penekanan yang berlebihan terhadap aspek tertentu, sehingga terlalu mudah ditebak
kecenderungan dari jawaban soal akan menyebabkan menurunnya tingkat validitas soal.

6.      Kualitas butir tes yang tidak memadai untuk mengukur hasil belajar. Kualitas yang
tidak memadai misalnya tes dimaksudkan untuk megukur kemampuan berpikir tingkat tinggi
(higher order thinking) jelas tidak cukup hanya digunakan tes yang bersifat untuk
mengungkap pengetahuan faktual saja.

7.      Susunan tes yang jelek.

8.      Tes terlalu pendek.

9.      Penyusunan butir tes yang tidak runtut .


10.  Pola jawaban yang mudah ditebak, misalnya pada soal pilihan ganda jawabannya adalah
A semua, atau B semua atau menunjukkan pola tertentu misalnya D, C, B, A, D, C, B, A, dan
sebagainya.

b. Faktor administrasi dan skor

Pemberian skor terhadap jawaban siswa (testee) harus dilakukan secara hati-hati jangan
sampai salah tulis atau meremehkan selisih angka walaupun hanya sedikit. Hal ini akan
menyebabkan hasil pengujian terhadap validitas akan memberikan makna yang berbeda.

Berikut beberapa contoh faktor yang sumbernya yang berasal dari proses administrasi dan
skor.

a.       Waktu pengerjaan tidak cukup sehingga siswa dalam memberikan jawaban dalam
situasi yang tergesa – gesa.

b.      Adanya kecurangan dalam tes sehingga tidak bisa membedakan siswa yang belajar
dengan yang melakukan kecurangan.

c.       Pemberian petunjuk dari pengawas yang tidak dapat dilakukan semua siswa.

d.      Teknik pemberian skor yang tidak konsisten, mislanya pada tes essay, juga dapat
mengurangi validitas tes evaluasi.

e.       Siswa tidak dapat mengikuti arahan yang diberikan dalam tes baku.

f.       Adanya orang lain yang bukan siswa yang termasuk dan menjawab item tes yang
diberikan.

c. Faktor tanggapan siswa

Seringkali terjadi bahwa interpretasi terhadap item – item tes evaluasi tidak valid, karna
dipengaruhi oleh jawab siswa dari interpretasi item – item pada tes evaluasi. Sebagai contoh,
sebuah tes para siswa menjadi tegang karena guru mata pelajaran tersebut “killer” galak dan
sebagainya. Sehingga siswa yang mengikuti tes tersebut banyak yang gagal. Contoh lain,
ketika siswa melakukan tes penampilan keterampilan, ruangan terlalu ramai atau gaduh
sehingga siswa tidak dapat berkonsentrasi dengan baik. Ini semua dapat mengurangi nilai
validitas instrumen evaluasi.
Tanggapan siswa yang tidak serius biasanya dijumpai pada saat siswa diminta untuk mengisi
sebuah angket. Hal ini akan menyebabkan siswa mengisi angket secara sembarangan karena
merasa tidak penting maupun alasan -alasan yang lain. Oleh karena itu berikan angket pada
waktu dan kondisi yang tepat .

d. Hakikat kelompok dan criteria

Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa validitas bersifat spesifik. Sebuah asesmen atau
instrumen alat ukur mungkin hanya valid untuk kelompok tertentu saja dan tidak valid untuk
kelompok yang lain. Sebagai contoh misalnya sebuah tes diujicobakan pada sekelompok
siswa pada sebuah sekolah dengan kualitas biasa –biasa saja tentu akan berbeda hasilnya jika
tes yang sama diberikan pada sekelompok siswa pada sekolah yang favorit.

Anda mungkin juga menyukai