Anda di halaman 1dari 10

Tugas Makalah

“TAKHALLY, TAHALLY, DAN TAJALLY”


DOSEN PENGAMPU : Lukman Taufik, M.Pd.I

OLEH :
KELAS IVA

NUNING SAMTIKA
(180.104.024)

JURUSAN TADRIS IPA BIOLOGI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MATARAM
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau
aspek spiritual dalam Islam. Tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan
berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia,
sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah swt. Di dalam tasawuf
terdapat pokok-pokok ajaran yang sangat penting bagi manusia untuk dapat
mendekatkan diri kepada Allah swt. Salah satunya untuk mendekatkan diri kepada
Allah adalah dengan bermunajat yaitu menyampaikan segala keluhan, mengadukan
nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Untuk
lebih jelsnya di dalam makalah ini akan membahas tentang pokok-pokok ajaran
tasawuf seperti takhalli, tahalli, dan tajalli, munajat, muraqabah, dan muhasabah, serta
syariat, thariqat, dan hakikat.
Untuk itu sudah seharusnya kita sebagai mahluk yang sempurna dari mahluk
yang lainnya untuk berakhlak yang mulia karena kita diberikan akal pikiran, jangan
sampai kita mahluk yang sempurna lebih buruk akhlak nya kita dari mahluk yang lain,
kita harus mengikiti jujungan kita nabi muhammad saw, yang paling mulia akhlak nya
di seluruh alam ini.Maka, dalam makalah ini kami berusaha untuk menyajikan seluk
beluk dan semua asfek yang berkaitan dengan akhlak yang baik dan ahklak yang
buruk, dengan harapan bisa di jadiakan sebagai rujukan untuk lebih memahami
tentang akhlak itu sendiri yang selanjutnya bisa di implementasikan dalam kehidupan
sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan takhalli, tahalli, dan tajalli?
2. Apa yang dimaksud dengan munajat, muraqabah, dan muhasabah?
3. Apa yang dimaksud dengan syariat, thariqat, dan hakikat?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari takhalli, tahalli, dan tajalli.
2. Untuk mengetahui definisi dari munajat, muraqabah, dan muhasabah.
3. Untuk mengetahui definisi dari syariat, thariqat, dan hakikat.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Takhalli, Tahalli, dan Tajalli


1. Takhalli
Takhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan kedekatan
(qurb) dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan
perhatiannya dari Allah. Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela
dan penyakit hati yang merusak. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari
sikap ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai
dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan
berusaha melepaskan dorongan hawa nafsu jahat.
Yang dimaksud dengan takhalli ialah mengosongkan diri dari sikap
ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi dengan cara menjauhkan diri
dari maksiat dan berusaha menguasai hawa nafsu. Takhalli oleh sufi dipandang
penting karena semua sifat-sifat tercela merupakan dinding-dinding tebal yang
membatasi manusia dengan tuhannya. Oleh karena itu, untuk dapat mendalami
tasawuf sesorang harus mampu melepaskan diri dari sifat tercela dan mengisinya
dengan akhlak-akhlak terpuji untuk dapat memperoleh kebahagiaan yang hakiki.
2. Tahalli
Tahalli artinya berhias. Maksudnya adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar
dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik
kewajiban luar atau kewajiban dalam, atau ketaatan lahir maupun batin. Ketaatan
lahir maksdunya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti salat, puasa, zakat,
haji, dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain
sebagainya.
Tahalli adalah menghiasi atau mengisi diri dari sifat dan sikap serta
perbuatan-perbuatan yang baik. Dengan kata lain, sesudah mengosongkan diri dari
sifat yang tercela, maka usaha itu harus berlanjut terus ke tahap tahalli. Pada
praktinya pengisian jiwa dengan sifat-sifat yang baik setelah dikosongkan dari
sifat-sifat buruk, tidaklah berarti bahwa jiwa harus dikosongkan lebih dahulu baru
kemudian diisi. Akan tetapi, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk,
bersamaan dengan itu pula diisi dengan kebiasaan yang baik.
Adapun sikap-sikap yang dapat dibiasakan ialah sebagai berikut:
a. At-taubah
Al-Ghazali mengklasifikasikan tobat kepada tiga tingkatan, yaitu:
1) Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada
kebaikan dan takut akan siksa Allah.
2) Beralih dari situasi baik ke situasi yang lebih baik lagi.
3) Rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan
kecintaan kepada Allah.
b. Cemas dan Harap (khouf dan raja’)
Dengan adanya rasa takut akan menjadi pendorong bagi seseorang
untuk meningkatkan pengabdiannya dengam harapan ampunan dan anugerah
dari Allah.
c. Zuhud
Zuhud ialah melepaskan diri dari kehidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan akhirat.
d. Al-Faqr
Yaitu puas dan bahagia dengan apa yang dimiliki.
e. Ash-Shabru
Al-Ghazali membedakan sabar ke dalam beberapa nama, yaitu:
1) Iffah, yaitu ketahanan mental terhadap hawa nafsu perut dan seksual.
2) Hilm, yaitu kesanggupan menguasai diri agar tidak marah.
3) Qana’ah, yaitu ketabahan hati menerima nasib sebagaimana adanya.
4) Saja’ah, yaitu sikap pantang menyerah dalam menghadapi masalah.
f. Ridha
Ridha adalah menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa saja
yang datang dari Allah.
3. Tajalli
Tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan
Tuhan sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Tajalli dapat
dikatakan terungkapnya nur ghaib untuk hati. Rasulullah Saw. bersabda: “ada
saat-saat tiba karunia dari Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu”. Oleh
karena itu, setiap calon sufi mengadakan latihan jiwa (riyadah), berusaha untuk
membersihkan dirinya dari sifat-sifat tercela, mengosongkan hati dan sifat yang
keji, lalu mengisinya dengan sift-sifat terpuji seperti beribadah, zikir, menghindari
diri dari hal-hal yang dapat mengurangi kesucian diri dan seluruh jiwa (hati)
semata-mata hanya untuk memperoleh tajalli yaitu menerima pancaran ilahi.
Apabila Tuhan telah menembus hati hambanya dengan nur-Nya, maka berlimpah-
ruah rahmat dan karunianya.
B. Munajat, Muraqabah, dan Muhasabah
1. Munajat
Munajat ialah menyampaikan segala keluhan, mengadukan nasib
dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Dalam
munajat seseorang mengeluh dan mengadu kepada Allah tentang kehidupan yang
seorang hamba alami dengan untaian-untaian kalimat yang indah diiringi dengan
pujian-pujian kebesaran nama Allah.
Munajat biasanya dilakukan dalam suasana yang hening teriring
dengan deraian air mata dan ungkapan hati yang begitu dalam. Hal ini adalah
bentuk dari sebuah do’a yang diungkapkan dengan rasa penuh keridoan untuk
bertemu dengan Allah SWT.
Para kaum sufi berpandangan bahwa tetesan-tetesan air mata yang
dikeluarkan pada saat bermunajat merupakan suatu tanda penyesalan diri atas
kesalahan-kesalahan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sehingga,
bermunajat dengan do’a dan penyesalan yang begitu mendalam atas semua
kesalahan yang diiringi dengan tetesan-tetesan air mata merupakan salah satu cara
untuk memperdalam rasa ketuhanan dan mendekatkan diri kepada Allah.
2. Muraqabah
Muraqabah berasal dari kata raqib yang berarti penjaga atau pengawal,
dan dapat diartikan pula dengan mendekatkan diri atau kewaspadaan atau
pengingatan. Muraqabah menurut kalangan sufi mengandung pengertian adanya
kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan
diawasinya. Muraqabah dapat diartikan pula dengan melestarikan pengamatan
terhadap Allah dengan hati, sehingga manusia mengamati pekerjaan dan hukum-
hukumn-Nya. Sikap mental muraqabah adalah suatu sikap selalu memandang
Allah dengan mata hatinya atau visionoftheheart. Sebaliknya ia pun sadar bahwa
Allah juga selalu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Atau meneliti
dengan cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau
menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.
Dalam kitab Al-Qawid Al-‘Asyrah, Al-Ghazali menjelaskan bahwa
setiap orang harus melakukan muraqabah (merasa diawasi Allah) dan tidak
berpaling dari-Nya sekejap pun. Siapa yang hatinya senantiasa ber-muraqabah dan
menafikan selain-Nya, ia akan menemukan, kebaikan-Nya dan memperoleh ilmu
yang meyakinkan dari Allah. Yakni, orang-orang yang ber-muraqabah akan
memandang gerak, diam dan segala yang terindra digerakkan dan didiamkan oleh-
Nya serta berada dalam kekuasan-Nya. Kemudian bertambahlah muraqabah-nya
hingga mencapai ilmu keyakinan. Muraqabah tersebut akan menghasilkan
kedekatan kepada Tuhan.
3. Muhasabah
Muhasabah adalah meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran,
perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut,
tunduk kepada Allah. Proses analisis terus-menerus atas hati berikut keadaannya
yang selalu berubah. Selama muhasabah, orang yang merenung pun memeriksa
gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia menghisab dirinya
sendiri sekarang tanpa menunggu hari kebangkitan.
C. Syari’at, Thariqat, dan Hakikat
1. Syari’at
Di kalangan ahli-ahli hukum Islam, syariat diartikan seluruh ketentuan
yang ada di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, baik yang berhubungan dengan
akidah, akhlak maupun aktivitas manusia, baik yang berupa ibadah maupun
muamalah. Agama ditegakkan di atas syariat, karena syariat adalah peraturan dan
undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangan-Nya
jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia.
Syariat adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi
kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat Islam juga berisi
penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Syariat yaitu segala aturan yang
sudah ditentukan oleh Allah swt, atau aturan yang sudah dilegalisasi oleh
Rasulullah saw yang berkenaan dalam soal aqidah, masalah hukum baik haram
halal, syarat atau rukun dan sebagainya yang mengatur hubungan manusia dengan
pencipta-Nya atau sesama manusia.
2. Thariqat
Tarekat (berasal dari kata thariqah) artinya jalan kecil (path). Seperti
syariat, tarekat (thariqah) berarti jalan, hanya saja kalau syariat berarti jalan raya
(road) sedangkan tarekat berarti jalan kecil (path). Tarekat kemudian dipahami
dalam dua pengertian, yang pertama sebagai jalan spiritual menuju Tuhan yang
ditempuh seorang sufi. Sedangkan yang kedua yaitu persaudaraan suci dimana
berkumpul sejumlah murid dan seorang guru, yangt dibantu oleh mursyid-
mursidnya. Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para sufi atau zahid di
sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mempunyai pengalaman yang
berbeda-beda, tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menuju atau
mendekati Tuhan atau bersatu dengan-Nya. Jadi, tarekat adalah jalan yang
ditempuh oleh seseotang untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Terdapat dua macam tarekat yaitu:
a. Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu’ain dan fardhu kifayah
yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Tarekat wajib yang utama adalah
mengamalkan rukun Islam. Tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah swt.
melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah
shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat,
makan makanan halal dan lain sebagainya.
b. Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah. Orang yang
hendak mengamalkan tarekat sunnah harus sudah mengamalkan tarekat wajib.
Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib.
Tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh
murid-murid dan pengikutnya. Isi dari tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung
keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut.
Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti
shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain
sebagainya.
3. Hakikat
Menurut bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti
kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk
mencari suatu kebenaran. Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada.
Orang-orang sufi menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini
seyakin-yakinnya, tiada yang lebih indah kecuali mencintai Allah swt. dan
mentaati-Nya.
Syari’at adalah cara formal untuk melaksanakan peribadatan kepada
Allah, yang dirujuk oleh al-Qur’an sebagai tujuan utama penciptaan manusia.
Sedangkan hakikat, yakni tasawuf, seperti yang diisyaratkan dalam definisi Ihsan:
“Engkau beribadah seakan-akan melihat Tuhan, dan seandainya engkau tidak
melihat-Nya, niscaya Dia melihatmu”, merupakan pelengkap dari ibadah tersebut.
Oleh karena itu, antara syari’at dan hakikat atau tarekat seharusnya tidak boleh
dipisahkan tanpa menimbulkan masalah.
Syari’at yang dilakukan tanpa memperhatikan unsur hakikat adalah
seperti sebuah bangunan kosong dan belum dihias. Sedangkan hakikat tanpa
syari’at akan seperti perhiasan tanpa yang dihias, sehingga hanya akan menjadi
tumpukan barang yang acak. Oleh karena itu, kedua aspek penting tersebut
seharusnya tidak dihayati secara terpisah tetapi dilaksanakan sebagai dua hal yang
saling melengkapi dan harus diperlakukan secara seimbang.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pokok-pokok
ajaran tasawuf sangat penting untuk dipelajari agar manusia dapat lebih dekat dengan
Tuhannya. Terdapat beberapa pokok-pokok ajaran tasawuf yaitu: takhalli
(membersihkan diri dari akhlak-akhlak tercela), tahalli (menghiasi diri dari akhlak-
akhlak yang terpuji), dan tajalli (termanifestasinya kebenaran dalam diri). Munajat
(mengeluh dan mengadu kepada Allah), muraqabah (mendekatkan diri atau
kewaspadaan), muhasabah (meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran,
perbuatan, dan rahasia dalam hati). Syariat (seluruh ketentuan yang ada di dalam Al-
Qur’an dan Al-Sunnah), tarekat (jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah), dan
hakikat (kebenaran adanya Allah).
Takhalli atau penarikan diri. Sang hamba yang menginginkan kedekatan
(qurb) dengan Allah haruslah menarik diri dari segala sesuatu yang mengalihkan
perhatiannya dari Allah. Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan
penyakit hati yang merusak. Takhalli juga berarti mengosongkan diri dari sikap
ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan
menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya dan berusaha melepaskan
dorongan hawa nafsu jahat.
Tahalli artinya berhias. Maksudnya adalah menghias diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar
dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, baik kewajiban
luar atau kewajiban dalam, atau ketaatan lahir maupun batin. Ketaatan lahir
maksdunya adalah kewajiban yang bersifat formal, seperti salat, puasa, zakat, haji,
dan lain sebagainya. Sedangkan ketaatan batin seperti iman, ikhsan, dan lain
sebagainya. Tajalli adalah terbukanya tabir yang menghalangi hamba dengan Tuhan
sehingga hamba menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Tajalli dapat dikatakan
terungkapnya nur ghaib untuk hati. Rasulullah Saw. bersabda: “ada saat-saat tiba
karunia dari Tuhanmu, maka siapkanlah dirimu untuk itu”.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar. 2013. Akhlak Tasawuf,. Jakarta:
Rajawali Pers

Mulyadhi Kartanegara. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga

Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin. 2005.Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo: Amzah

Dedi E. Kusmayadi, Pengertian Syariat, Tarekat, Hakikat, dalam http://dzat-alif-


satunggal.blogspot.co.id/2015/11/pengertian-syariat-tarekat-hakikat-dan.html,
diunduh pada tanggal 16 Oktober 2017.

Misbakhudin Munir, ”Tasawuf Akhlaqi dan ’Amali”, dalam


https://misbakhudinmunir.wordpress.com/2011/01/04/tasawuf-akhlaqi-dan-amali/
diunduh pada 28 September 2017.

Anda mungkin juga menyukai