Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan tutorial yang berjudul “Trauma
Kepala ” tepat pada waktunya. Tugas ini dibuat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik.
Tugas ini juga merupakan salah satu bentuk pembelajaran dan peningkatan pemahaman
terhadap kasus dalam bidang neurologi yang ditemukan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan terhadap tugas ini. Terima kasih juga kepada selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tugas ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini masih banyak
kekurangan. Karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Terima kasih
PENDAHULUAN
KASUS SKENARIO 1
“Seorang wanita berusia 80 tahun dibawa ke UGD dengan keadaan tidak sadar”
1. Penyebab Intrakranial
a. Trauma : EDH, SDH, ICH
b. Infeksi : Meningitis, ensefalitis, malaria serebral, abses serebri
c. Neoplasma
d. Transient Ischemic Attack
e. Stroke iskemik
f. Stroke hemoragik
g. Status epileptikus
2. Penyebab Ekstrakranial
a. Metabolik:
- Koma diabetikum
- Koma uremikum
- Hyperglycemia hyperosmolar syndrome
b. Toksik:
- Keracunan alkohol
- Overdosis obat
c. Stenosis aorta
d. Diseksi aorta
e. Hipotensi ortostatik
f. Vasofagal syncope
Pemeriksaan Penunjang
CT scan kepala
Mind Map
Wanita usia 80 tahun tidak sadar
DD:
1. Penyebab Intrakranial
a. Trauma : EDH, SDH, ICH
b. Infeksi : Meningitis, ensefalitis, malaria serebral, abses serebri
c. Neoplasma
d. Transient Ischemic Attack
e. Stroke iskemik
f. Stroke hemoragik
g. Status epileptikus
2. Penyebab Ekstrakranial
a. Metabolik: (Koma diabetikum, koma uremikum, hyperglycemia
hyperosmolar syndrome)
b. Toksik: (Keracunan alkohol dan overdosis obat)
c. Stenosis aorta
d. Diseksi aorta
e. Hipotensi ortostatik
f. Vasofagal syncope
DD:
Trauma kepala: ICH, SDH, EDH
Enselopati hipertensi
Pemeriksaan penunjang:
CT Scan kepala pasien dapat dilihat, dimulai dari luar:
1. tidak ada inkontinuitas tulang cranii (tidak ada fraktur)
2. gambaran hiperdens bergambar bulan sabit di sekitar temporal dan frontal sinistra
dengan pergeseran midline shift dan herniasi uncal
BABSDH
III
PEMBAHASAN
3.2 Etiologi
Pada tahun 2014, jatuh adalah penyebab utama cedera otak. Jatuh menyumbang
hampir setengah (48%) dari semua kunjungan emergensi terkait cedera otak:
1. Hampir setengah (49%) dari kunjungan emergensi terkait cedera otak di antara
anak-anak 0 hingga 17 tahun disebabkan oleh jatuh.
2. Empat dari lima (81%) kunjungan emergensi terkait cedera otak pada orang dewasa
berusia ≥ 65 tahun disebabkan oleh jatuh
Menabrak atau terkena suatu objek adalah penyebab utama kedua kunjungan
emergensi terkait cedera otak, terhitung sekitar 17% dari semua kunjungan emergensi
terkait cedera otak di Amerika Serikat pada tahun 2014.
Lebih dari 1 dari 4 (28%) kunjungan emergensi terkait cedera otak pada anak-anak <
17 tahun disebabkan oleh menabrak atau terkena suatu objek.
KLL dan jatuh dari kendaraan bermotor adalah penyebab utama pertama dan kedua
dari semua rawat inap terkait cedera otak (masing-masing 52% dan 20%).
Melukai diri sendiri adalah penyebab utama kematian terkait cedera otak (33%) pada
tahun 2014 (Centers for Disease Control and Prevention, 2019)
3.3 Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme traumanya, TBI dapat dibedakan menjadi trauma tumpul dan
tajam (PPK, 2016)
Berdasarkan lokasi perdarahan, TBI dapat dibedakan sebagai berikut:
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan
terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval,
yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan
penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang
dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala bisa
disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal,
hemiparesis, dan refleks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat.
Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial)
umumnya di daerah temporal berbentuk cembung (Soertidewi, 2012).
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan
kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH
makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah
lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural (Soertidewi, 2012).
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga
sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak
akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila
vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di
dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa
hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat
berlangsung sampai 10 hari atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak
perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada
SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat (Soertidewi, 2012).
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior,
medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan.
Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya
yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan
tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu
adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma
kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu
hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan
VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek (Soertidewi, 2012).
1. Neuroimaging
Neuroimaging meliputi fotopolos, CT scan, MRI, angiografi. Pada kasus trauma kepala,
yang menjadi gold standard untuk penegakan diagnosis adalah CT scan. Tujuan dari
dilakukannya CT scan adalah untuk menilai apakah terdapat perdarahan pada intrakranial
atau tidak. Indikasi pemeriksaan CT scan adalah sebagai berikut:
a. mata hanya membuka bila ada rangsang sakit (nilai GCS ≤12)
b. terdapat penurunan kesadaran (nilai GCS ≤14) dan tidak membaik dalam 1 jam
setelah diobservasi ataupun 2 jam setelah trauma
c. terdapat fraktur atau depresi pada dasar tengkorak atau trauma penetrasi
d. terdapat penurunan kesadaran atau tanda desit neurologi baru
e. kesadaran penuh GCS 15 tanpa fraktur tetapi nyeri kepala berat dan persisten terdapat
setidaknya dua kali muntah pada selang waktu yang berbeda
f. ada riwayat gangguan pembekuan darah seperti menunakan obat antikoagulan dan
penurunan kesadaran, amnesia serta tampak gejala defisit neurologi
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
a. Darah lengkap
b. GDS
c. Ureum kreatinin
d. AGD
e. Elektrolit
Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan untuk mengevaluasi keadaan pasien dengan
trauma kepala.
3.6 Tatalaksana
Terapi pasien dengan trauma kepala yang pertama adalah menilai ABC dan
melakukan resusitasi awal:
1. Menilai jalan napas/airway: membersihkan jalan napas dari debris dan muntahan,
melepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal. Jika terdapat cedera
orofasial yang mengganggu jalan napas, maka harus dilakukan intubasi.
2. Menilai pernapasan/breathing: jika pernapasan tidak spontan, maka berikan oksigen
melalui masker oksigen. Jika pernapasan spontan, selidiki dan atasi cedera dada yang
berat.
3. Menilai sirkulasi/circulation: menghentikan semua perdarahan dengan menekan
arterinya. memperhatikan adanya cedera intraabdominal atau dada. Mengukur dan
mencatat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, memasang alat pemantau dan
EKG. Melakukan pemasangan jalur intravena yang besar, mengambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas
darah arteri. Memberikan larutan koloid.
Selanjutnya setelah melakukan stabilisasi pasien, kita harus menilai tingkat keparahan
cedera kepala yang dialami pasien (PERDOSSI, 2016).
• Pneumoencephali
• Corpus alienum
• Luka tembak
Selain itu, pada pasien dengan trauma kepala juga perlu dilakukan kontrol TIK
(tekanan intrakranial). TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Pasien dengan TIK di atas 20
mmHg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada
satu bidang.
b. Terapi diuretik:
- Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam
30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan
dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi
310 mOsm.
- Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan
memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
Berikut merupakan alur penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak sesuai dengan derajat
keparahannya:
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak ringan (Soertidewi, 2012)
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak sedang (Soertidewi, 2012)
Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak berat (Soertidewi, 2012)
3.7 Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien dengan trauma kepala adalah kejang,
infeksi, perdarahan saluran cerna dan gangguan saluran gastrointestinal, demam, serta
koagulasi intravaskular. Selain itu juga bisa terjadi cedera otak sekunder akibat hipoksia dan
hipotensi, edema serebral, peningkatan tekanan intra kranial, herniasi jaringan otak, infeksi,
hidrosefalus (AANS, 2020).
3.8 Prognosis
Prognosis pasien dengan trauma kepala sangat bervariasi, tergantung pada:
1. Penyebab pendarahan
2. Tingkat perdarahan
3. Kehadiran cedera / patologi / komorbiditas lainnya.
Berdasarkan penelitian di RSUD dr Soutomo dari 2002 sampai 2013, angka
kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga
11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional,
yaitu berkisar antara 3-8 %. Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera
otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan
menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %. Angka operasi
berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera otak yang datang ke
IRD (Soertidewi, 2012 dan AANS 2020).
Daftar Pustaka