Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat
dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan tutorial yang berjudul “Trauma
Kepala ” tepat pada waktunya. Tugas ini dibuat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik.
Tugas ini juga merupakan salah satu bentuk pembelajaran dan peningkatan pemahaman
terhadap kasus dalam bidang neurologi yang ditemukan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan terhadap tugas ini. Terima kasih juga kepada selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan sehingga tugas ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini masih banyak
kekurangan. Karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Terima kasih

Mataram, 19 Mei 2020


BAB I

PENDAHULUAN

Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak/kepala merupakan masalah besar di


dunia karena mortalitas dan morbiditas yang tinggi (Lalenoh dkk., 2012). Sekitar 1,7 juta
kasus TBI terjadi di AS setiap tahun. Sekitar 5,3 juta orang hidup dengan disabilitas yang
disebabkan oleh TBI di AS. TBI didefinisikan sebagai trauma tumpul atau tembus pada
kepala yang mengganggu fungsi normal otak. Gejala cedera otak bervariasi mulai dari ringan,
sedang sampai berat, tergantung pada tingkat kerusakan otak. Kasus-kasus ringan dapat
mengakibatkan perubahan singkat dalam keadaan mental atau kesadaran, sementara kasus-
kasus berat dapat mengakibatkan pemanjangan periode ketidaksadaran, koma, atau bahkan
kematian (American Association of Neurological Surgeons, 2020).
Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan kaki
maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera ini dapat juga terjadi akibat jatuh,
peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya (Soertidewi, 2012). Di negara-negara yang
berpendapatan tinggi, kematian pada pesepeda motor berkisar diantara 5% sampai 18% dari
semua kematian akibat lalu lintas. Di negara-negara yang berpendapatan rendah dan
menegah, pemilikan dan tingkat penggunaan mobil pada umumnya lebih rendah dari pada di
negara-negara berpendapatan tinggi. Namun demikian, pemilikan dan tingkat penggunaan
sepeda motor dan kendaraan roda dua lainnya pada umumnya relatif tinggi – sebagai contoh,
di India 69% dari total kendaraan bermotor adalah kendaraan bermotor roda dua, jauh lebih
tinggi dari di negara-negara berpendapatan tinggi. Refleksi dari perbedaan ini, tingkat
kematian pesepeda motor dibanding dengan total jumlah cedera di jalan, pada umumnya
lebih tinggi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah dari pada di negara-negara
berpendapatan tinggi (World Health Organization, 2014).
Berdasarkan patologinya, TBI dapat dibagi menjadi  Epidural hemorrhage (EDH),
Subdural hemorrhage (SDH), Subarachnoid hemorrhage (SAH), Intracerebral
hemorrhage (ICH), dan fraktur basis kranii. Subdural hemorrhage (SDH) merupakah salah
satu perdarahan yang dapat terjadi pada TBI. SDH terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara
duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala
yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi
hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma)
subdural (Soertidewi, 2012).
BAB II

KASUS SKENARIO 1

“Seorang wanita berusia 80 tahun dibawa ke UGD dengan keadaan tidak sadar”

Diagnosis banding keadaan tidak sadar:

1. Penyebab Intrakranial
a. Trauma : EDH, SDH, ICH
b. Infeksi : Meningitis, ensefalitis, malaria serebral, abses serebri
c. Neoplasma
d. Transient Ischemic Attack
e. Stroke iskemik
f. Stroke hemoragik
g. Status epileptikus
2. Penyebab Ekstrakranial
a. Metabolik:
- Koma diabetikum
- Koma uremikum
- Hyperglycemia hyperosmolar syndrome
b. Toksik:
- Keracunan alkohol
- Overdosis obat
c. Stenosis aorta
d. Diseksi aorta
e. Hipotensi ortostatik
f. Vasofagal syncope

Anamnesis Pemeriksaan Fisik


Pasien wanita datang dibawa ke UGD dengan -KU: tidak sadar
kondisi tidak sadarkan diri sejak kemarin malam. -GCS: E2V3M5
Didapatkan bahwa pasien sempat sadar tetapi -Tanda Vital:
kemudian kesadarannya hilang kembali. Pasien 1. TD: 170/90 mmHg
sebelumnya tidak pernah mengalami hal ini, 2. HR: 60 kali/menit
kejadian ini adalah kejadian pertama kali. 3. RR: 15 kali/menit
Seminggu yang lalu pasien terbentur pintu kamar 4. Temp. Aksila:
mandi. Keluhan lain yang didapatkan hanya nyeri 37οC
kepala di sebelah kiri tempat terbentur, kemudian -Status generalis:
dua hari sebelum tidak sadarkan diri, nyerinya Pupil bulat isokor dengan
menjadi nyeri cekot-cekot. Tidak ada keluhan lain diameter 3/3 mm, refleks
seperti demam, mual, muntah, sesak nafas, dan cahaya +/+
kejang. Tidak ada tanda
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lateralisasi.
hipertensi, DM, gangguan ginjal dan penyakit Pemeriksaan yang lain
jantung. Pasien juga tidak mengkonsumsi obat- DBN.
obatan tertentu dan alkohol.

Pemeriksaan Penunjang
CT scan kepala

Dari hasil CT Scan pasien dapat dilihat, dimulai dari luar


1. tidak ada inkontinuitas tulang cranii (tidak ada fraktur)
2. gambaran hiperdens bergambar bulan sabit di sekitar temporal dan frontal
sinistra dengan pergeseran midline shift dan herniasi uncal

Hasil CT scan mengindikasikan Hematoma Subdural (SDH)

Mind Map
Wanita usia 80 tahun tidak sadar

DD:
1. Penyebab Intrakranial
a. Trauma : EDH, SDH, ICH
b. Infeksi : Meningitis, ensefalitis, malaria serebral, abses serebri
c. Neoplasma
d. Transient Ischemic Attack
e. Stroke iskemik
f. Stroke hemoragik
g. Status epileptikus
2. Penyebab Ekstrakranial
a. Metabolik: (Koma diabetikum, koma uremikum, hyperglycemia
hyperosmolar syndrome)
b. Toksik: (Keracunan alkohol dan overdosis obat)
c. Stenosis aorta
d. Diseksi aorta
e. Hipotensi ortostatik
f. Vasofagal syncope

Anamnesis: Pemeriksaan Fisik:


-Tidak sadarkan diri sejak kemarin malam -KU: tidak sadar
-Pasien sempat sadar tetapi kemudian kesadarannya hilang kembali. -GCS: E2V3M5
-Seminggu yang lalu pasien terbentur pintu kamar mandi. -Tanda Vital:
-KP: nyeri kepala di sebelah kiri tempat terbentur, kemudian dua hari 1. TD: 170/90 mmHg
sebelum tidak sadarkan diri, nyerinya menjadi nyeri cekot-cekot. 2. HR: 60 kali/menit
Demam (-), mual (-), muntah (-), sesak nafas (-), kejang (-). 3. RR: 15 kali/menit
-RPD dan RK: riwayat penyakit hipertensi (-), DM (-), gangguan ginjal 4. Temp. Aksila: 37οC
(-), penyakit jantung (-). -Status generalis:
-RS: Konsumsi obat-obatan tertentu dan alkohol (-) Pupil bulat isokor dengan diameter 3/3 mm,
refleks cahaya +/+
Tidak ada tanda lateralisasi.
Pemeriksaan yang lain DBN.

DD:
Trauma kepala: ICH, SDH, EDH
Enselopati hipertensi

Pemeriksaan penunjang:
CT Scan kepala pasien dapat dilihat, dimulai dari luar:
1. tidak ada inkontinuitas tulang cranii (tidak ada fraktur)
2. gambaran hiperdens bergambar bulan sabit di sekitar temporal dan frontal sinistra
dengan pergeseran midline shift dan herniasi uncal

BABSDH
III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Trauma Kepala


Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak/kepala didefinisikan sebagai trauma
tumpul atau tembus pada kepala yang mengganggu fungsi normal otak (American
Association of Neurological Surgeons, 2020). Cedera kepala dapat melibatkan setiap
komponen yang ada pada kepala, mulai dari bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam
(intrakranial) (Astuti dkk., 2016). Selain itu dapat mengenai calvaria dan atau basis cranii
serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat nondegeneratif/non-
kongenital (PPK, 2016).
Gejala cedera otak bervariasi mulai dari ringan, sedang sampai berat, tergantung pada
tingkat kerusakan otak. Kasus-kasus ringan dapat mengakibatkan perubahan singkat dalam
keadaan mental atau kesadaran, sementara kasus-kasus berat dapat mengakibatkan
pemanjangan periode ketidaksadaran, koma, atau bahkan kematian (American Association of
Neurological Surgeons, 2020).

3.2 Etiologi
 Pada tahun 2014, jatuh adalah penyebab utama cedera otak. Jatuh menyumbang
hampir setengah (48%) dari semua kunjungan emergensi terkait cedera otak:
1. Hampir setengah (49%) dari kunjungan emergensi terkait cedera otak di antara
anak-anak 0 hingga 17 tahun disebabkan oleh jatuh.
2. Empat dari lima (81%) kunjungan emergensi terkait cedera otak pada orang dewasa
berusia ≥ 65 tahun disebabkan oleh jatuh
 Menabrak atau terkena suatu objek adalah penyebab utama kedua kunjungan
emergensi terkait cedera otak, terhitung sekitar 17% dari semua kunjungan emergensi
terkait cedera otak di Amerika Serikat pada tahun 2014.
 Lebih dari 1 dari 4 (28%) kunjungan emergensi terkait cedera otak pada anak-anak <
17 tahun disebabkan oleh menabrak atau terkena suatu objek.
 KLL dan jatuh dari kendaraan bermotor adalah penyebab utama pertama dan kedua
dari semua rawat inap terkait cedera otak (masing-masing 52% dan 20%).
 Melukai diri sendiri adalah penyebab utama kematian terkait cedera otak (33%) pada
tahun 2014 (Centers for Disease Control and Prevention, 2019)
3.3 Klasifikasi

 Berdasarkan derajat keparahannya, TBI dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi TBI berdasarkan derajat keparahan

(Tsao, J. W. 2020. Traumatic Brain Injury: A Clinicians Guide to Diagnosis, Management,


and Rehabilitation. 2nd Edition. Switzerland: Springer)

 Berdasarkan mekanisme traumanya, TBI dapat dibedakan menjadi trauma tumpul dan
tajam (PPK, 2016)
 Berdasarkan lokasi perdarahan, TBI dapat dibedakan sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi TBI berdasarkan lokasi perdarahan

(Greenberg, M. S. 2020. Handbook of neurosurgery. 9th edition. New York : Thieme)


3.4 Gejala
Gejala cedera otak bisa ringan, sedang atau berat, tergantung pada tingkat kerusakan
otak. Kasus-kasus ringan dapat mengakibatkan perubahan singkat dalam keadaan mental atau
kesadaran, sementara kasus-kasus berat dapat mengakibatkan pemanjangan periode
ketidaksadaran, koma, atau bahkan kematian.

3.4.1 Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH)

Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan
terletak di antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval,
yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan
penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang
dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala bisa
disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal,
hemiparesis, dan refleks patologis Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat.
Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial)
umumnya di daerah temporal berbentuk cembung (Soertidewi, 2012).

3.4.2 Hematoma Subdural (SDH)

Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan
kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH
makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan
kesadaran. Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah
lisis menjadi cairan, disebut higroma (hidroma) subdural (Soertidewi, 2012).

3.4.3 Hematoma Subaraknoid (SAH)

Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga
sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak
akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila
vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di
dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa
hari perawatan. Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat
berlangsung sampai 10 hari atau lebih.
Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak
perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada
SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat (Soertidewi, 2012).

3.4.4 Fraktur Basis Kranii

Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di anterior,
medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan.
Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya
yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan
tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu
adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma
kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu
hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan
VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek (Soertidewi, 2012).

3.5 Pemeriksaan Penunjang

1. Neuroimaging

Neuroimaging meliputi fotopolos, CT scan, MRI, angiografi. Pada kasus trauma kepala,
yang menjadi gold standard untuk penegakan diagnosis adalah CT scan. Tujuan dari
dilakukannya CT scan adalah untuk menilai apakah terdapat perdarahan pada intrakranial
atau tidak. Indikasi pemeriksaan CT scan adalah sebagai berikut:

a. mata hanya membuka bila ada rangsang sakit (nilai GCS ≤12)
b. terdapat penurunan kesadaran (nilai GCS ≤14) dan tidak membaik dalam 1 jam
setelah diobservasi ataupun 2 jam setelah trauma
c. terdapat fraktur atau depresi pada dasar tengkorak atau trauma penetrasi
d. terdapat penurunan kesadaran atau tanda desit neurologi baru
e. kesadaran penuh GCS 15 tanpa fraktur tetapi nyeri kepala berat dan persisten terdapat
setidaknya dua kali muntah pada selang waktu yang berbeda
f. ada riwayat gangguan pembekuan darah seperti menunakan obat antikoagulan dan
penurunan kesadaran, amnesia serta tampak gejala defisit neurologi
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
a. Darah lengkap
b. GDS
c. Ureum kreatinin
d. AGD
e. Elektrolit
Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan untuk mengevaluasi keadaan pasien dengan
trauma kepala.

3.6 Tatalaksana

Terapi pasien dengan trauma kepala yang pertama adalah menilai ABC dan
melakukan resusitasi awal:

1. Menilai jalan napas/airway: membersihkan jalan napas dari debris dan muntahan,
melepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang servikal. Jika terdapat cedera
orofasial yang mengganggu jalan napas, maka harus dilakukan intubasi.
2. Menilai pernapasan/breathing: jika pernapasan tidak spontan, maka berikan oksigen
melalui masker oksigen. Jika pernapasan spontan, selidiki dan atasi cedera dada yang
berat.
3. Menilai sirkulasi/circulation: menghentikan semua perdarahan dengan menekan
arterinya. memperhatikan adanya cedera intraabdominal atau dada. Mengukur dan
mencatat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, memasang alat pemantau dan
EKG. Melakukan pemasangan jalur intravena yang besar, mengambil darah vena
untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas
darah arteri. Memberikan larutan koloid.

Apabila terdapat kejang, obati kejangnya: mula-mula diberikan diazepam 10 mg iv


perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali apabila kejang masih berlanjut. Apabila tidak
berhasil, maka dapat diberikan fenitoin 15 mg/KgBB iv perlahan-lahan dengan kecepatan
tidak melebihi 50 mg/menit.

Selanjutnya setelah melakukan stabilisasi pasien, kita harus menilai tingkat keparahan
cedera kepala yang dialami pasien (PERDOSSI, 2016).

Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:


1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial

2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)

3. Minimalisasi kerusakan sekunder

4. Mengobati simptom akibat trauma otak

5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi


(antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:

1. Cedera kranioserebral tertutup:

• Fraktur impresi (depressed fracture)

• Perdarahan epidural (hematoma epidural/EDH) dengan volume perdarahan lebih


dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada
perburukan kondisi pasien

• Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis tengah


lebih dari 3 mm atau kompresi/obliterasi sisterna basalis

• Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan


neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka:

• Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura


yang robek disertai laserasi otak

• Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari

• Pneumoencephali

• Corpus alienum

• Luka tembak
Selain itu, pada pasien dengan trauma kepala juga perlu dilakukan kontrol TIK
(tekanan intrakranial). TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Pasien dengan TIK di atas 20
mmHg sudah harus diturunkan dengan cara:

a. Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 20-30 derajat dengan kepala dan dada pada
satu bidang.
b. Terapi diuretik:
- Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam
30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan
dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi
310 mOsm.
- Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai efek sinergis dan
memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

Berikut merupakan alur penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak sesuai dengan derajat
keparahannya:
Gambar 1. Algoritma penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak ringan (Soertidewi, 2012)
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak sedang (Soertidewi, 2012)
Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan trauma kepala/cedera otak berat (Soertidewi, 2012)

3.7 Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien dengan trauma kepala adalah kejang,
infeksi, perdarahan saluran cerna dan gangguan saluran gastrointestinal, demam, serta
koagulasi intravaskular. Selain itu juga bisa terjadi cedera otak sekunder akibat hipoksia dan
hipotensi, edema serebral, peningkatan tekanan intra kranial, herniasi jaringan otak, infeksi,
hidrosefalus (AANS, 2020).
3.8 Prognosis
Prognosis pasien dengan trauma kepala sangat bervariasi, tergantung pada:
1. Penyebab pendarahan
2. Tingkat perdarahan
3. Kehadiran cedera / patologi / komorbiditas lainnya.
Berdasarkan penelitian di RSUD dr Soutomo dari 2002 sampai 2013, angka
kematian pada semua tingkat keparahan cedera kepala berkisar antara 6,171 % hingga
11,22 %. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan standar literatur internasional,
yaitu berkisar antara 3-8 %. Berdasarkan tingkat keparahannya, mortalitas pasien cedera
otak berat masih tinggi, berkisar antara 25,13% hingga 37,14%, dengan kecenderungan
menurun. Angka ini relatif tinggi dibanding dengan literatur yaitu 22 %. Angka operasi
berkisar antara 18,87% sampai 25,27% dari seluruh pasien cedera otak yang datang ke
IRD (Soertidewi, 2012 dan AANS 2020).
Daftar Pustaka

1. American Association of Neurological Surgeons (AANS). 2020. Traumatic Barain


Injury. United States: American Association of Neurological Surgeons (AANS).
Available from: https://www.aans.org/en/Patients/Neurosurgical-Conditions-and-
Treatments/Traumatic-Brain-Injury [Accessed 19 May 2020)
2. Astuti, E, Saanin, S, Edison. 2016. Hubungan Glasgow Coma Scale dengan Glasgow
Outcome Scale Berdasarkan Lama Waktu Tunggu Operasi pada Pasien Perdarahan
Epidural. Majalah Kedokteran Andalas, 39(2) hal 50-57
3. Centers for Disease Control and Prevention. 2019. Surveillance Report of Traumatic
Brain Injury-related Emergency Department Visits, Hospitalizations, and Deaths—
United States, 2014. Centers for Disease Control and Prevention, U.S. Department of
Health and Human Services. Available from:
https://www.cdc.gov/traumaticbraininjury/get_the_facts.html [Accessed 19 May
2020)
4. Greenberg, M. S. 2020. Handbook of neurosurgery. 9th edition. New York : Thieme
5. Lalenoh, D. C, Sudjito, M. H, Suryono, B. 2012. Penanganan Anestesi pada Cedera
Otak Traumatik. Jurnal Neuroanestesi Indonesia, 1(2) hal 120-132
6. PERDOSSI. 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) Neurologi. PERDOSSI
7. Soertidewi, L. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. CDK-
193, 39(5) hal 327-331
8. Tsao, J. W. 2020. Traumatic Brain Injury: A Clinicians Guide to Diagnosis,
Management, and Rehabilitation. 2nd Edition. Switzerland: Springer
9. World Health Organization. 2014. Helm: Manual Keselamatan Jalan untuk
Pengambil Keputusan Praktisi. Jakarta: CFM Publishing

Anda mungkin juga menyukai