Anda di halaman 1dari 3

2.1.

Sejarah
Penggunaan tanaman haploid dalam pemuliaan tanaman dan penelitian
genetika dimulai pada awal abad kedua puluh. Blakeslee et al., (1922) dan Kostoff
(1929) menyatakan bahwa gamet jantan saja dapat membentuk embrio haploid
pada tanaman Datura dan Nicotiana. Kostoff (1929) memperoleh tanaman
haploid dari Nicotiana tabacum (2n = 36) dengan cara menyerbukinya dengan N.
langsdorffii (2n = 18). Embrio haploid juga muncul secara spontan karena
aktivitas sel telur yang tidak dibuahi atau kegagalan fungsi dalam proses seksual
normal. Haploid alami yang muncul secara apomiksis dari kantung embrio telah
dilaporkan pada lebih dari 100 spesies angiospermae (Kasha, 1974). Pada tahun
1940-1960-an, beberapa teknik seperti, hibridisasi interspesifik dan penyerbukan
dengan serbuk sari iradiasi, dikembangkan untuk menginduksi tanaman haploid .
Namun, metode tersebut memakan waktu yang lama dan memberikan haploid
dengan frekuensi yang rendah dan tidak teratur (Sangwan dan Sangwan-Norreel,
1990).
Pada tahun 1964, Guha dan Maheshwan dari Universitas Delhi
menemukan bahwa embrio haploid pada tanaman dapat diperoleh secara teratur
dan dengan frekuensi yang relatif tinggi dengan menggunakan metode kultur in
vitro dari pollen Datura innoxia yang belum dewasa. Penemuan ini menciptakan
kegembiraan yang cukup besar di antara para peneliti kultur jaringan dan pemulia
tanaman. Karena dapat dibayangkan bahwa akan segera dimungkinkan untuk
menghasilkan sejumlah besar embrio tanaman yang haploid. Selanjutnya, Nitsch
dan Nitsch, (1969) menunjukkan bahwa sebagian besar tanaman dengan
kromosom haploid dapat diperoleh dalam waktu singkat (5-7 minggu) dengan
kultur pollen pada beberapa spesies Nikotiana. Kemudian mereka menekankan
bahwa pentingnya memilih tahapan kuncup bunga yang tepat untuk mendapatkan
pembentukan planlet yang baik.
Selama tahun 70-80-an awal, kultur antera dan polen muncul sebagai salah
satu teknik baru dan lebih menjanjikan untuk produksi tanaman haploid dan
dihaploid secara massal (Sangwan dan Sangwan-Norreel, 1990). Androgenesis in
vitro telah berhasil diinduksi pada sekitar 200 spesies dari lebih 50 genera dan 25
keluarga dikotil dan monokotil (Dunwell, 1986). Selama beberapa dekade
terakhir, teknik kultur antera atau polen telah banyak diperbaiki dan dimodifikasi
pada banyak spesies, dan mekanisme androgenesis in vitro dipahami lebih baik
daripada sebelumnya. Namun, kemajuan dalam bidang ini belum mencapai titik di
mana gamet jantan dapat dimanipulasi sesuka hati, terutama dalam spesies
tanaman (Sangwan dan Sangwan-Norreel, 1990). Hal ini mengindikasikan bahwa
pengembangan pada teknik kultur anter dan polen masih perlu untuk dilakukan.

Gambar 2.1. Teknik Kultur Anter pada Nicotina


Reference :

Blakeslee, A.F., et al,. 1922. A haploid mutant in the jimson weed, Datura
stramonium. Science. 55 : 646-647. Doi : 10.1126/science.55.1433.646.
Dunwell, J.M. 1986. Pollen, ovule and embryo culture, as tools in plant breeding.
In Plant Tissue Culture and its Agricultural Applications. L.A. Withers
and P.G. Alderson (Editor). London : Butterworths.
Guha, S. dan Maheshwari, S.C. 1964. In vitro production of embryos from anthers
of Datura. Nature. 204 : 497-498. Doi : 10.1038/212097a0.
Kasha, K.J. (Editor). 1974. Haploids in Higher Plants : Advances and Potential.
Canada : Univ. Guelph Press.
Kostoff, D. 1929. An androgenic Nicotiana haploid. Z. Zellforsch. Mikrosk. Anat.
9 : 640-642.
Nitsch, J.P. dan Nitsch, C. 1969. Haploid plants from pollen grains. Science. 163 :
85-87. Doi : 10.1126/science.163.3862.85.
Sangwan, R. S., dan Sangwan-Norreel, B. S. 1990. Anther and Pollen Culture. In
Plant Tissue Culture - Applications and Limitations. S.S. Bhojwani,
(Editor). Amsterdam : Elsevier Science Publishers BV.

Anda mungkin juga menyukai