Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MERANGKUM

TOKSIKOLOGI

Disusun Oleh :

Devi Nawang Sari (20144043A) / Teori 2

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016
BAB I

PARAMETER TOKSISITAS KUANTITATIF

A. TOKSISITAS AKUT
Prinsip toksisitas akut yaitu pemberian secara oral suatu zat dalam beberapa tingkatan dosis
kepada beberapa kelompok hewan uji. Penilaian toksisitas akut ditentukan dari kematian
hewan uji sebagai parameter akhir. Hewan yang mati selama percobaan dan yang hidup
sampai akhir percobaan diotopsi untuk dievaluasi adanya gejala-gejala toksisitas dan
selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ. Pada awalnya
toksistas akut diuji menggunakan metode konvensional, namun metode ini mempunyai
kelemahan yaitu hewan uji yang dibutuhkan dalam menentukan parameter akhir cukup
banyak, dimana bertentangan dengan animal welfare. Sehingga ditemukan metode yang lebih
baim yaitu metode Up and Down Procedure, Fixed Dose Method dan Toxic Class Method.
Kriteria hewan uji meliputi:
a. Hewan sehat dan dewasa
b. Hewan betina harus yang belum pernah beranak dan tidak sedang bunting.
c. Pada permulaan uji, setiap hewan harus berumur 8-12 minggu dengan variasi berat
badan tidak boleh melebihi 20% dari rata-rata berat badan.
Hal- hal yang harus diamati dalam periode observasi adalah:
 Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut
 Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan sediaan
uji dan sekurang-kurangnya seminggu setelahnya.
 Pemeriksaan Patologi Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun
yang dimatikan) harus dinekropsi. Semua perubahan gross patologi dicatat untuk setiap
hewan uji.

B. TOKSISITAS SUBKRONIS
Pengamatan terjadinya gejala-gejala toksik dan gejala klinis yang berupa perubahan kulit,
bulu, mata, membran mukosa, sekresi, ekskresi, perubahan cara jalan, tingkah laku yang aneh
(misalnya berjalan mundur), kejang dsb, dilakukan setiap hari selama 28 hari. Monitoring
kenaikan berat badan dilakukan seminggu dua kali. Hewan ditimbang setiap hari untuk
menentukan volume sediaan uji yang akan diberikan.
BAB II
PRINSIP TERAPI ANTIDOTUM

A. Definisi terapi antidotum


Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang efek toksik dari suatu zat
kimia terhadap jaringan biologi. Banyaknya zat kimia dapat menimbulkan efek toksik,
namun sebagian besar tidak tersedia antidotumnya, sehingga kalau terjadi keracunan
hanya dilakukan tindakan simtomatik.
Terapi antidotum didefinisikan sebagai tata cara yang ditunjukkan untuk membatasi
intensitas efek toksik zat kimia sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya
untuk selanjutnya. Efek toksik suatu zat kimia sangat dipengaruhi oleh proses absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi karena akan menentukan jumlah zat kimia dalam sel
sasaran dapat dilakukan dengan menghambat absorpsi dan distribusi, mempercepat
metabolisme dan ekskresi (eliminasi).

B. Terapi non spesifik


Terapi non spesifik yasitu suatu terapi keracunan yang bermanfaat pada semua kasus
melalui cara seperti memicu muntah, bilas lambung dan memberikan zat absorben.
1. Menghambat absorbsi zat racun
Menghambat absorbsi zat racun dapat dilaksanakan dengan beberapa cara yaitu
denganmembersihkan kulit yang terkontaminasi zat toksik, mengeluarkan racun
dalam lambung, mencehgah absorpsi, dan memberikan pencahar. Mencuci kulit
dilakukan dengan air mengalir dan zat toksik yang masuk ke lambung dapat
dilakukan dengan pemberian norit (arang aktif)kemudian muntahkan atau memberi
pencahar batau bilas lambung.
a. Pemberian norit
Pemberian norit dilakukan pada kasus keracunan karena dapat mengarbsorbsi zat
racun dalam saluran pencernaan.
b. Mengeluarkan racun dari lambung
Pengeluaran zat racun harus mempertimbangkan zat yang tertelan, tingkat
keracunan dan berapa lama zat racun tertelan. Bahaya bilas lambung yaitu
teraspirasinya isi lambung, karena itu tidak boleh dilakukan pada pasien yang
mengantuk, koma kecuali jika reflek batuk sangat baik.
c. Pemberian pencahar
Pencahar digunakan untuk mempercepat pengeluaran zat racun dari saluran
gastrointestinal (GI) terutama racun yang sudah mencapai usus halus. Pemberian
sorbitol dianjurkan pada penderita yang tidak ada gangguan jantung. Magnesium
sulfat dapat digunakan pada penderita yang tidak ada gangguan ginjal.
2. Mempercepat eleminasi
Kecepatan eleminasi mempengaruhi jumlah obat yang berada di sel sasaran dalam
melampaui nilai KTM nya. Percepatan eliminasi dilakukan dengan cara
meningkatkan ekskresi melalui pengasaman/ pembahasan urin dan diuresis paksa.
Hemodialisis adalah salah satu cara untuk mempercepat eleminasi suatu zat dan
mengembalikan keseimbangan elektrolit. Salisilat, methanol, etilen glikon, paraquat
dan litiumelemoinasinya efektif ditingkatkan dengan cara hemodialisis.

C. Terapi spesifik
Teraspi antidotum spesifik adalah terapi antidotum yang hanya efektif untuk zat-
zat tertentu. Banyak antidotum yang spesifik digunakan dalam klinik. Antidotum spesifik
dikelompokkan antara lain:
1) Antidotum yang bekerja secara kimiawi
2) Antidotum yang bekerja secara farmakologi
3) Antidotum yang bekerja sebagai antagonis fungsional
1. Antidotum yang bekerja secara kimiawi
Antidotum jenis ini menyebabkan terjadinya reaksi antara antidotum dengan zat
toksik membentuk suatu produk yang kurang toksik dan mudah diekskresikan.
2. Antidotum yang bekerja secara farmakologi
Antidotum farmakologi adalah suatu antidotum yang bekerja mirip dengan zat toksik,
bekerja pada reseptor yang sama atau berbeda.
a. Nalokson hidroklorida
Nalokson adalah antagonis opioid yang bekerja pada reseptor yang sama sehingga
berkompetisi dalam memperebutkan reseptror opioid.
b. Flumazamil
Flumazamil adalah suatu antagonis benzodiazepin. Benzodiazepin sendiri sebagai
obat tunggal dan menyebabkan mengantuk, ataksia, disatria dan kadang-kadang
depresi. Obat-obat benzodiazepin seperti diazepam, nitrasepam, atau lorasepam.
c. Oksigen
Karbon monoksida (CO)dapat menyebabkan keracunan karena kemampuannya
dalam mengikat hemoglobin (Hg) dan membentuk zat komplek yang tidak dapat
berfungsi mengikat oksigen lagi. Dengan pemberian oksigen dalam jumlah
banyak dan murni dapat mendesak ikatan Hb-CO dan menggantikan posisi CO
kembali ke oksigen.
3. Antidotum yang bekerja sebagai antagonis fungsional
Antidotum antagonis fungsional juga digolongkan sebagai antidotum non spesifik
karena berguna sebagai terapi simtomatik dan mengantagonis beberapa jenis zat
toksik.
Daftar zat toksik beserta antidotum spesifiknya

no Zat toksik antidotum


1 Paracetamol N-asetil sistein
2 Arsen, Hg, Pb, Au BAL (dimercaprol)
3 Beta-bloker Glukakon
4 Benzodiazepin Flumazemil
5 CO Oksigen, hiperbarik oksigen
6 Koumarin Vit K
7 Sianida Nitrit dan nitrat
8 Digoksin Digoksin-fab fragmen
9 Methanol dan etilen Etanol
glikol
10 Heparin Protamin
11 Zat besi Deferoksamin
12 INH Piridoksin
13 Narkotika (opioid) Nalokson
14 Nitrit Methilen blue
15 Organofosfat dan Atropin, pralidoksim
karbamat

BAB III
PRINSIP UMUM UJI TOKSIKOLOGI

Metode uji toksikologi dapat dikelompokkan menjadi 2 golongan:

1. Uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu
senyawa pada hewan eksperimental. Uji-uji ini diidentifikasi sebagai uji toksisitas akut,
uji teksisitas subkronis, dan uji toksisitas kronis.
2. Uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi dengan rinci tipe toksisitas spesifik.
Yang termasuk dalam uji toksisitas spesifik yaitu :
a. Uji toksisitas yang menentukan efek suatu zat dengan adanya zat-zat tambahan yang
mungkin secara bersama-sama dijumpai, dan di mana toksisitas dari suatu zat atau
yang lain diperkuat, yaitu uji potensi.
b. Uji toksisitas untuk menentukan efek atas janin pada hewan bunting, yakni uji
teratogenik.
c. Uji toksisitas untuk menentukan efek atas kemampuan reproduktif hewanuji, yakni
uji reproduksi.
d. Uji toksisitas untuk menentukan efek pada system kode genetika, yaitu uji mutagenic.
e. Uji toksisitas untuk menentukan kemampuan zat untuk menimbulkan tumor, yakni uji
kemampuan karsinogenik.
f. Uji toksisitas untuk menentukan efek local zat bilamana zat-zat itu dipakai secara
langsung pada kulit dan mata.
g. Uji toksisitas untuk menentukan efek zat atas berbagai macam pola tingkas laku
hewan, yakni uji perilaku.

Faktor yang berpengaruh dalam uji toksisitas pada hewan eksperimental ialah penyiapan
suatu bentuk sediaan zat kimia yang sesuai dengan tujuan pemberiannya, pemilihan jalur
pemberian atau beberapa jalur pemberian yang akan digunakan dalam pemilihan spesies hewan
yang akan digunakan dan pemilihan spesies hewan yang akan digunakan dalam studi toksisitas.

A. Uji Toksisitas Akut


Tujuan uji ini yaitu untuk menentukan suatu gejala sebagai akibat pemberian suatu
senyawa dan untuk menentukan peringkat ketalitas senyawa itu. Uji ini terdiri atas
pemberian suatu senyawa kepada hewan uji pada suatu saat.
Dalam uji ini perlu diperhatikan dalam pemilihan jalur pemberian, penyiapan senyawa
dalam suatu bentuk sediaan yang sesuai untuk diberikan melalui jalur yang telah dipilih,
dan pemilihan spesies hewan uji yang cocok. Meskipun jalur pemberian yang digunakan
tidak menyangkut jalur oral atau parenteral, namun harus digunakan juga jalur oral yang
digunakan sebagai pembanding dengan senyawa-senyawa lain yang berikatan, dan untuk
mengestimasi penggunaan jalur oral pada studi toksisitas subkronis yang lebih ekstensif.
Jika dalam uji toksisitas akut sebelumnya telah digunakan hewan mencit atau tikus dan
akan dilakukan pengujian selanjutnya dengan menggunakan hewan uji yang berbeda
maka harus menggunakan jalur pemberian yang sama dengan uji sebelumnya untuk
memperoleh suatu taksiran tentang peringkat toksisitas letat dalam spesies-spesies hewan
tambahan ini.
Rangkaian uji toksisitas akut:
1. Eksperimen penemuan kisaran dosis kasar
2. Eksperimen lanjutan untuk mempersempit kisaran dosis efektif untuk pengukuran
letalitas
3. Eksperimen definitive untuk mendapatkan kurva dosis-respons untuk letalitas.

Setelah melakukan ketiga rangkaian uji tersebut, ditentukan nilai LD50. Harga LD50
suatu senyawa harus dilaporkan sesuai dengan lamanya hewan uji diamati. Pengamatan
LD50 biasanya dilakukan selama 24jam, namun pada senyawa-senyawa tertentu bisa
mencapai 10-14 hari. Meskipun LD50 bisa ditentukan,kuantitas senyawa yang diperlukan
untuk menimbulkan kematian jangka pendek adalah besar dan nilai praktisnya kecil kalau
dimaksudkan untuk perbandingan dengan senyawa lain yang aksinya serupa. Bilamana
kematian tertunda bisa dilanjutkan pengujuan toksisitas subkronis.

B. Uji Toksisitas Subkronis


Secara umum, uji toksisitas subkronis dilakukan untuk mengevaluasi dan
menggolongkan segala efek senyawa apabila senyawa itu diberikan kepada hewan uji
secara berulang-ulang, biasanya sekali sehari selama masa waktu 3-4 bulan. Uji toksisitas
subkronis memberi informasi tambahan yang dapat digunakan dalam merancang uji
toksisitas kronis. Faktor yang membatasi rancangan eksperimennya dan tipe hewan yang
digunakan:
1. Bila ketersediaan jalur pemberiannya terbatas karena jalur yang akan digunakan harus
sesuai, supaya pemberian senyawa berulang-ulang tidak menimbulkan efek
berbahaya dalam diri hewan.
2. Uji toksisitas subkronis yang rencana dengan baik melibatkan penggunaan spesies
hewan yang cuplikan darah dan air kencingnya dapat diperoleh pada interval tertentu
untuk pemeriksaan kimia klinis tanpa menimbulkan bahaya yang signifikan terhadap
hewan ujinya.

Uji toksisitas subkronis menyangkut penerapan teknik analitik untuk menentukan


efek pada kimia darah dan sel-sel darah, kimia air kencing, dan fungsi organ tertentu. Uji
ini juga menyangkut evaluasi seluruh hewan untuk mengetahui efek patologi kasar dah
efek histologi sekurang-kurangnya pada akhir eksperimen. Demikian pula selama
eksperimen berlangsung jika ada hewan yang sakit atau sekarat.

Sebelum dilakukan uji toksisitas subkronis, pada umumnya dilakukan eksperimen


penemuan dosis jangka pendek yang sesuai dahulu. Dalam pengujian pendahuluan, yang
diperoleh adalah informasi mengenai kerusakan organ yang potensial atau yang actual,
yang akan menunjukkan suatu kebutuhan untuk memasukkan teknik pemantauan yang
sesuai dalam uji subkronis. Hewan yang mati saat eksperimen harus diautopsi. Segala
luka abnormal secara histologi diperiksa. Dari data yang diperoleh kemudian ditaksir
kisaran dosis yang akan digunakan pada study subkronis. Uji toksisitas tipe subkronis
melalui pemberian makanan diet umumnya menggunakan 3 kelompok hewan uji dan satu
kelompok control tambahan.

C. Uji Toksisitas Kronis


Latar belakang dilakukannya uji toksisitas hewan yang jangka waktu ujinya lama
yaitu untuk memaparkan tidak adanya toksisitas bila dosis yang tersangkut mewakili
suatu tingkat dosis lazim dan untuk mengetahui potensial karsinogenik suatu senyawa.
Tidak terdapat metode yang secara universal yang digunakan dalam uji toksisitas kronis.
Uji toksisitas kronis selalu menyangkut penggabungan zat ujinya dalam diet.
Sebelum dan saat dilakukan uji toksisitas kronis harus memperhatikan bahwa evaluasi
klinis terhadap para hewan ujinya dilakukan sehari sekali pada masa awal eksperimen,
dan sekurang-kurangnya seminggu sekali selama masa sisa eksperimennya oleh
seseorang yang banyak mengetahui tentang perilaku dan simtomatologi hewan. Seluruh
hewan ditimbang pada interval mingguan.
Tipe-tipe analisis biokimia khusus yang rutin terhadap bahan cuplikan, seperti
darah dan air kencing, dari hewan yang nampaknya sehat mungkin ditunjukkan banya
bila ada alasan untuk mencurigai bahwa senyawa yang sedang di uji mempunyai efek
toksis spesifik secara klinis menjadi nilai diagnostic.
Selama pengujian toksisitas kronis berlangsung bila hewan pada kelompok peringkas
dosis tinggi menuju arah efek letal senyawa yang diuji, maka kelompok hewan itu dapat
dibagi lagi menjadi pasangan kelompok itu dihentikan. Jika terdapat hewan yang mati
dari salah satu pasangan, maka harus mengorbandan dan mengevaluasi patologis serta
dilakukan evaluasi mengenai sifat timbal balik tosksisitasnya pada hewan lainnya. Semua
hewan pada pengujian harus di autopsi, dan irisan jaringan untuk pemeriksaan histologi
disiapkan dari cuplikan segala tipe jaringan dari masing-masing hewan.

D. Uji Potensi
Dimana dalam pemberian pada hewan uji biasanya adanya penjumlahan /
penggabungan zat kimia. Dalam toksikologi mungkin tidak hanya menunjukan adanya
penjumlahan efek pada mekanisme biologi yang sama melainkan juga menunjukan
timbulnya kondisi dimana efek gabungan 2 zat kimia akan lebih besar daripada jumlah
toksisitas masing masing zat, kimia akan lebih besar daripada jumlah toksisitas masing
masing zat, yaitu salah satu senyawa memotenkan toksisitas senyawa lainya.
Contohnya 2 pestisida penghambat kolinesterase yaitu EPN (o-etil-o-
paranitrofenil-fenilfosforilationat ) dan malation fenomena ini tidak terjadi di semua zat,
pada contoh ini dimana EPN menghambat system enzim yang bertanggung jawab untuk
penawar racun setelah dia di ubah menjadi produk metaboliknya malaokson. Mekanisme
ini sering terjadi potensi aksi antar obat.
Berbeda dengan potensi toksisitas antar zat yang memungkinkan melawan toksisitas zat
lainya. Dimana pencampuran 2 zat yang menjadi yang menjadi satu akan menurunkan
ketoksikan di banding zat tersebut di berikan kepada hewan coba secara sendiri sendiri
dan dapat juga potensi suatu obat yang toksik apabila di tambah dengan obat tertentu
akan di tawar racunkan dengan beberapa efek ini, di paparkan dengan uji toksisitas umum
subkronis konvensional.
E. Uji Teratologi

Teratologi adalah studi tentang penyebab mekanisme dan menifestasi dan


perkembangan yang menyimpang dari sifat structural dan konvensional. Dimana zat
kimia secara nyata mempengaruhi pertumbuhan janin yang dapat menimbulkan efek
kelainan bentuk dan keterhambatan pertumbuhan. Hal ini di sebut efek embriotoksik.
Sebagian besar efek embriotoksik di sebabkan karena zat kimia baik pemakaian selama
probandus/ hewan uji bunting atau hasil penumpukan zat kimia sebelum masa bunting.
Selain factor tersebut ialah :

1. Infeksi virus
2. Hipertemi
3. Kondisi stress
4. Ketidakseimbangan hormonal.

Dan apabila cacat bawaan dianggap sebagai sifat mutagenic beberapa zat yang
teratogenik untuk manusia dan hewan :

1. Talidomida 9. Vitamin A berlebih


2. Tiourasil 10. Asam Nikotinat berlebih
3. Klorpropamid 11. Biru evans
4. Kortison 12. Aktinamisin D
5. Etinil tstoteron 13. Fenil merkuri asetat
6. Nitrogen mustard 14. Plumbum
7. Uretan 15. Talium
8. Kolkisin 16. Biru tripans .

Efek toksik pada janin secara eksperimental dapat di peroleh dengan cara memberikan
suatu zat kepada ibunya. Plasenta mungkin bertindak sebagai penghalang fungsi endoksin
plasenta dapat di pengaruhi zat kimia sehingga mengakibatkan efek merusak dan
mengancam janin. Rangkaian dari seluruh uji teratogenik ialah :

1. Timbul kebuntingan
2. Tegaskan kebuntingan dan berikan zat kimia uji.
3. Tentukan efek teratogenik

Dalam menciptakan kebuntingan harus di perkirakan waktu agar mampu secara


tepat memperkirakan saat terjadinya kehamilan. Salah satu tekniknya dengan inseminasi
buatan dimana hewn uji di periksa, usap vaginyanya sehari sekali. Kebuntingan di
buktikan dengan pengamatan sperma dalam cairan vagina dan perkembangan suatu
diestrus yang permanen masa kebuntingan hewan uji di hentikan sesaat sebelum masa
kelahiran normalnya dengan cara pengambilan bedah sesar. Untuk tikus hari ke 21, untuk
kelinci pada hari ke 31 dan pada mencit hari ke 20.
Seluruh janin di periksa untuk membuktikan adanya melformasi tapi apabila tidak di
ketemukan janin maka di anggap telah mengalami absorbs dan uji harus di ulang dari
awal dengan dosis lebih rendah. Tipe malformasi tradisional adaah sumbing
agenesisrenal dan kaki bengkak.
F. Uji Reproduksi
Pengujian terhadap berbagai efek atas reproduksi memiliki tujuan akhir sebagai
suatu estimasi efek pada fertilitas, pada kehamilan dan pada keturunan. Jadi pada uji
toksisitas reproduksi apapun terdapat tiga segmen. Efek senyawa pada fertilitas tercermin
dengan adanya toksisitas dalam diri induk jantan atau betina ataupun keduanya dan
mungkin merupakan akibat langsung dari rusaknya, fungsi gonadal, daur estrus, perilaku
perkawinan laju konsepsi, dan pada awal masa kehamilan seperti efek pada implantasi sel
telur yang di buahi. Segmen kedua dari uji reproduksi ialah berkenaan dengan
perkembangan janin, derajad normalitas, termasuk efek teratogenik dan mutagenik, dan
mortilitas intrauterin. Segmen yang terakhir dari uji reproduksi ialah yang berkenaan
dengan efek pada induknya, seperti efek atas laktasi dan penerjemaan keturunanya; dan
pada keturunanya berkenaan dengan pertumbuhan, perkembangan serta pematangan
seksualnya. Hasilnya ialah suatu evaluasi menyeluruh tentang toksisitas suatu senyawa
uji pada berbagai sistem di dalam diri hewan – hewan itu.
G. Uji Mutagenesis

Mutagenesis adalah induksi terhadap perubahan kadar informasi (DNA) Dari suatu
organisme atau sel yang tidak di sebabkan oleh proses rekomendasi normal. Mutasi
somatic dalam diri suatu organisme berkembang mungkin menyebabkan deferensiasi
abnormal sel selnya. Tipe kerusakan genetic ini adalah penting untuk diri hewan itu tetapi
akan muncul dalam diri keturunanya. Ada tipe umum perubahan bahan genetika yang
dapat terjadi secara spontan / secara induksi kimia :

1. Mutasi tempat
Di definisikan sebagai suatu perubahan yang terjadi dalam pasangan nukleutida
tunggal dalam diri molekul DNA dan biasanya menyebabkan perubahan suatu fungsi
biokimia saja. Mutasi tempat dapat di deteksi oleh adanya perubahan fenotipe dan
perubahan organisme submalia , lokasi mereka dapat di tentukan oleh pemetaan
genetika.
2. Penyimpangan kromosom
Penyimpangan kromosom termasuk mutasi structural ( pecahnya kromososm dan
penyusunan ulang kromosom ) dan perubahan jumlah kromosom hal ini dapat di
deteksi dengan pemeriksaan sitologis terhadap kromosom kromosom tersebut.

Studi apapun tentang senyawa untuk potensi mutagenesis seharusnya melibatkan uji in
vitro pada spesies submalia seharusnya melibatkan uji in vitro dan uji in vivo. Untuk
aplikasi praktis ada metode in vivo yang telah di rekomendasikan penetapan letal
dominan ( the dominan lethal assay ) penetapan inang penanganan ( host mediated assay )
dan sitogenetika in vivo

a. Penetapan letal dominan


Suatu mutasi letal dominan merupakan salah satu yang dapat membunuh
heterozigot individual yang terjadi dengan dosis tunggal. Mutasi ini menunjukan
bahwa rusaknya genetika dalam bentuk penyimpangan mosom structural atau
numerical. Indeks mutagenic (IM) sering kali dihitung dengan cara
Kematian janin awal
IM = x 100
Implantasi total
Kekurangan dari metode ini adalah bahwa uji ini menyaring penyimbangan
kromosom tapi tidak dapat mendeteksi adanya mutasi tempat. Apabila tidak
menimbulkan jumlah kerusakan kromososm yang signifikan ia akan luput dalam
penyaringan.
Kelebihan utama dari metode ini ialah kemampuanya untuk menguji sensitifitas
sel sel nuftah mamalia secara in vivo pada masa perkembangan yang berbeda
b. Penetapan inang penengah
Ada beberapa senyawa yang tidak mutagenic dalam mikroorganisme tetapi di
ubah menjadi mutagen yang aktif dalam mamalia. Penetapan inang penengah itu
memperhitungkan metabolism mutagen yang potensial oleh mamalia inang.
c. Sitogenetika in vivo
Uji paling penting untuk mendeteksi ke abnormalan kromosom pada uji in vivo
yang memungkinkan adanya pemeriksaan langsung sel sel dari hewan
eksperimental yang di beri perilaku atau bahkan manusia yang di pejani dengan
berbagai zat. Jaringan yang dapat di teliti adalah sumsum tulang untuk efek atas
mitosis, limfosit untuk kerusakan yang terjadi sebelum sintesis DNA, fibroblast
kulit untuk efek jangka panjang, gametofit untuk efek atas meiosis , dan kultur sel
cair amniotic untuk kerusakan pada perkembangan keturunan.
Kelebihan dari sitologis adalah studi ini dapat berguna dalam pelaksanaan uji
klinis obat pada manusia.

H. Uji Karsinogenitas

Metode ini untuk evaluasi resiko karsinogenik. Tumor adalah suatu masa
abnormal dari jaringan yang tumbuh berlebihan dan tidak terkoordinasi dengan jaringan
normalnya. Dua tipe dasar dari tumor yaitu ringan dan ganas. Sel sel suatu tumor ringan
strukturnya secara khas identic dengan struktur jaringan normal darimana jringan tumor
itu berasal. Jaringan tumor itu hanya terbatas pada daerah dimana ia berasal dan tidak
menerjang jaringan tetangganya.

Tumor ganas tidak khas seperti struktur sel darimana mereka timbul dan sel tumor
ini cenderung untuk menerjang jaringan tetangganya. Tumor ganas cenderung untuk
mengembangkan pertumbuhan sekunder pada suatu tempat dalam diri hewan jauh dari
asal tumor utamanya. Pertumbuhan tumor sekunder ini di sebut dengan tumor metastatis,
tumor utama yang menimbulkan tumor sekunder di sebut pemetastatis.

Umumnya zat kimia yang dapat menimbulkan jenis tumor apapun di sebut dengan
zat tumorigenic , zat yang menimbulkan tumor ganas di sebut karsinogenik. Respon yang
timbul dari dalam diri hewan terdiri atas :

1. Suatu kenaikan laju kejadian tumor dan suatu tipe yang terlihat dalam diri hewan normal
2. Suatu kejadian dari suatu tipe tumor yang tidak terlihat pada seluruh hewan control
3. Suatu kombinasi dari kenaikan laju kejadian tumor normal dan kejadian suatu tipe tumor
yang berbeda dari apa yang terlihat dari dalam diri hewan normal.

Berkenaan dengan sifat zat kimia yang kersinogen itu, kurang lebih separuhnya
adalah hidrokarbon aromatic, polisiklik atau turunan mereka. Yang separuh lainya terdiri
dari bermacam macam zat seperti mustard nitrogen, epoksida tertentu, dan etilen imina
tertentu.

Tidak ada uji jangka pendek yang telah sukses dalam mengevaluasi tumorgenik
potensial zat kimia, kebanyakan studi itu melibatkan studi rentang kehidupan hewan atau
paling tidak pemejanan hewan itu dengan suatu zat kimia selama sebagian besar rentan
kehidupan hewan itu.

Seluruh hewan yang menderita sakit berat selama jangka waktu eksperimen di
korbankan dan di lakukan pemeriksaan kimia klinis serta nekropsi. Diagnosis tentang
penyebab sakit di catat. Selama berlangsungnya eksperimen, bila tumor menjadi nyata,
maka saat munculnya tumor, ciri khas tumor, dan tipe tumor yang harus di catat.

Kesimpulan akhir yang dapat di capai atas pemeriksaan patologis yang menandai
terhadap seluruh jaringan serta identifikasi seluruh luka dalam diri hewan. Karena mahal
dan lamanya waktu yang di butuhkan pada uji mutagenesitas dan karsinogenesitas in
vivo, maka sangatlah di butuhkan metode yang lebih sederhana dan cepat.

I. Uji Kulit Dan Mata


Telah di ketahui bahwa kerusakan kimia dapat di akibatkan oleh berbagai macam
jalur pemejanan termasuk absobrsi melalui kulit.
Senyawa yang bersentuhan dengan kulit dan mata dapat menimbulkan efek local pada
tembpat persentuhanya.
Setiap senyawa yang bersentuhan dengan badan memiliki potensi untuk mempengaruhi
badan sekurang kurangnya pada tempat persentuhanya.
Zat kimia tunggal dapat menimbulkan lebih dari sari reaksi local. Missal
perbedaan antara suatu efek iritan dan suatu efek korosif biasanya merupakan masalah
tingkat effek tergantung pada kadar zat nya dan frekuensi pencercaan kulit dengan zat
nya. Pada dasarnya effek iritan merupakan suatu efek timbal balik dan efek korosif
merupakan satu satunya yang menyebabkan kerusakan yang nampak oleh mata dan
perubahan yang tidak dapat kembali dalam jaringan pada tempat persentuhan.

BAB III

UJI TOKSIKOLOGI

Obat sebelum di pasarkan/ di gunakan harus melewati serangkaian uji untuk memastikan
keamanan, efektifitas dan mutu. Uji diawali skrening untuk mencari senyawa aktif, uji efektifitas
/ selektifitas dan mekanisme kerja pada hewan coba atau mikroba. Setelah di nyatakan memiliki
aktifitas farmakologi maka zat akan mengalami serangkaian tes keamanan hewan coba
diantaranya :

1. Uji toksisitas akut


Uji toksisitas akut adalah uji untu mengetahui nilai LD50 dan dosis maksimal yang masih
dapat di toleransi oleh hewan coba. Uji ini umumnya menggunakan 2 spesies hewan coba
dengan 2 jalur pemberian dan dengan pemberian dosis tunggal.
2. Uji toksisitas sub akut
Uji toksisitas sub akut di lakukan untuk menentukan organ sasaran, di lakukan dengan 3
dosis selama 4 minggu – 3 bulan dan menggunakan 2 spesies yang berbeda.
3. Uji toksisitas kronik
Uji toksisitas kronik hamper sama dengan uji sub akut, menggunakan hewan rodent dan
non rodent selama 6 bulan atau lebih. Uji di lakukan untuk obat yang di gunakan jangka
panjang.
4. Uji efek organ reproduksi
Uji efek organ reproduksi di gunakan untuk melihat perilaku yang berkaitan dengan
reproduksi seperti perkembangan janin, kelainan janin proses kelahiran dll.
5. Uji karsinogenik
Uji karsinogenik di gunakan untuk mengetahui apabila suatu zat jika di pkai jangka
panjang akan menimbulkan kanker. Di lakukan selama 2 tahun pada dua spesies hewan
uji.
6. Uji mutagenic
Uji mutagenic di gunakan untuk melihat perubahan gen jika di gunakan jangka panjang.

Setelah obat di katakana aman, maka obat akan di lakukan uji klinik pada manusia. Yang
terdiri dari 4 tahap, meliputi :

1. Uji klinik fase I yaitu uji yang di lakukan pada sukarelawan sehat untuk mengetahui
keaman zat aktif pada rentang dosis aman pada profil farmakologinya.
2. Uji klinik fase II di lakukan pada orang sakit untuk mengetahui efektivitas dari zat aktif
3. Uji klinik fase III di lakukan secara random control dan double blind untuk melihat
efektivitas dan kemungkinan timbul efek yang tidak di inginkan.
4. Uji klinik fase IV di lakukan untuk mengetahui efektivitas dan untuk melihat efek yang
tidak di inginkan secara masal. Uji klinik fase IV di lakukan setelah obat mendapat ijin
edar sementara.

Walaupun obat belum beredar telah di lakukan uji keamanan yang cukup panjang, namun
masyarakat masih dapat menimbulkan efek merugikan. Untuk mengurangi dampak yang
merugikan pada masyarakat. BPOM/Depkes meminta dokter, dokter gigi, apoteker, perawat
dan petugas medis yang lain untuk melaporkan jika mencurigai adanya efek merugikan dari
obat.

Anda mungkin juga menyukai