Anda di halaman 1dari 22

TUGAS

MATAKULIA : KOMUNITAS

RENTAN POPULASI AGREGAT DIMASYARAKAT

DI SUSUN
O
L
E
H

NAM A : LEA BATMOMOLIN


NIM : 119261704
SEMESTER : VI(B)

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR


TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada TUHAN yang Maha Esa, atas berkat tuntunan

penyertaan, serta kuasa nya yang besar sehingga penyusun mampu untuk menyelesaikan

makalah ini dengan judul : “ RENTAN POPULASI AGREGAT ” untuk memenuhi kriteria mata

kulia KOMUNITAS.

Dengan adanya kemampuan penyusun yang terbatas, dalam menyelesaikan makalah ini,

perlu menyadari dan untuk setiap pembaca sehingga dapat berpartisipasi dalam mempelajari

setiap inti materi yang telah terterah dalam makalah ini, bahkan dapat menjadi pedoman dalam

proses pembelajaran. Sebagai pelajar perlu kita dapat berfikir secara kritis dan realistis untuk

mengembangkan power kita dan dapat mengambil keputus yang akurat dalam prose-proses

kedepan nya.

Uacapan terimakasi penyusun sampaikan kepada dosen mata kulia KOMUNITAS yang

telah memberikan kebijakan kepada kami sebagai pelajar untuk berinteraksi secara sosial serta

kami dapat memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas kami, dan oleh karena itu, kami

juga dapat kreatif untuk mempelajari ilmu-ilmu yang membangun skil serta kemampuan untuk

memperjuangkan masa depan kami.

Akhir kata penyusun menyadari bahwa makalah ini belum begitu sempurna, oleh karena

itu untuk menyempurnakan makalah ini, penyusun membutukan saran, masukan, pendapat, serta

kritikan yang membagun sehingga kedepannya, penyusun lebih teliti lagi untuk menyusun dan

menyelesaikan setiap makalah yang diberikan sebagai kriteria tugas dalam pembelajaran,

semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membangun serta menambahkan ilmu pengetahuan

yang baru bagi setiap pembaca.


Daftar isi

KATA PENGANTAR1

Daftar isi2

BAB I4

PENDAHULUAN4

BAB II6

PEMBAHASAN6

BAB III19

ASUHAN KEPERAWATAN I.19

BAB III23

PENUTUP23

YReferensi........................................................................................................................................
24
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Populasi rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi

seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum

dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara

lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika

seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome

negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau

rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang

relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan.

Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam. Sebagian

undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat

bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum

sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi

perlindungan kelompok rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan

mayoritas di negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan

kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak

asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi

secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta

secara tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.


B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan agregat populasi rentan?

2. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?

3. Apa yang dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?

4. Apa yang dimaksud populasi rentan terlantar ?

5. Bagaimana Asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi rentan ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang agregat populasi rentan

2. Untuk mengatahui tentang populasi rentan penyakit mental

3. Untuk mengetahui populasi rentan kecacatan

4. Untuk mengtahui populasi rentan terlantar

5. Untuk mengetahui bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat dalam komunitas populasi

rentan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. Populasi Rentan

Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan

perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39

Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat

yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan

kekhususannya. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir

miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference

disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:

a. Refugees (pengungsi)

b. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)

c. National Minoritie (kelompok minoritas)

d. Migrant Workers (pekerja migran )

e. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)

f. Children (anak)

g. Women (wanita)

Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua orang

yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang

layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi
kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan

dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.

Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan penyandang cacat adalah

seti ap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu

atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara

selayaknya. Dari sisi pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental,

Penyandang cacat fisik dan mental.

2. Penyandang Cacat / Disabilitas

a. Pengertian Penyandang Disabilitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang yang

menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang

berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat

atau ketidakmampuan.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan

Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap orang

yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan

rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri

dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang disabilitas

fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup

dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya.

Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia

mendapatkan hak- haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan
khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat

fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan

permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.

Penyandang Cacat dalam pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan

pemahaman, yakni; Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang

dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara

selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;

penyandang cacat fisik dan mental.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan

dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas adalah setiap

orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau

merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya,

yang terdiri dari: penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta

penyandang disabilitas fisik dan mental.

Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang yang hidup dengan karakteristik

khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada umumnya. Karena karakteristik yang

berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai

manusia yang hidup di muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang

sangat luas, mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan

IQ(Intelligence Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga

fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan.

b. Jenis-jenis Disabilitas
Terdapat beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa

setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana kesemuanya

memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik. Jenis-jenis

penyandang disabilitas 5 :

1. Disabilitas Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:


a) Mental Tinggi.

Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki kemampuan

intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab terhadap tugas.

b) Mental Rendah

Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient) di bawah rata-

rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar (slow learnes) yaitu anak

yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara 70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ

(Intelligence Quotient) di bawah 70 dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.

c) Berkesulitan Belajar Spesifik

Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar (achievment) yang diperoleh

2. Disabilitas Fisik. Kelainan ini meli puti beberapa macam, yaitu7:


a. Kelainan Tubuh (Tuna Daksa)

Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan

neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan

(kehilangan organ tubuh), polio dan lumpuh.

b. Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)

Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat

diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision.

c. Kelainan Pendengaran (Tunarungu)


Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen

maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu

memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut tunawicara.

d. Kelainan Bicara (Tunawicara)

Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiran melalui bahasa

verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat

dimengerti oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat bersifat fungsional di mana

kemungkinan disebabkan karena ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya

ketidaksempurnaan organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang

berkaitan dengan bicara.

3. Tunaganda (disabilitas ganda).Penderita cacat lebih dari satu kecacatan (yaitu cacat fisik

dan mental)

3. Tunawisma/ Gelandangan
a. Definisi

Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat tinggal

secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma biasanya di

golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki keluarga.

Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti orang miskin,

anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu rumah tangga, pekerja

sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma

karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain it u alasan

lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam

rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya, tunawisma
le bih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan perawatan kesehatan

berkurang.

b. Faktor Penyebab Munculnya Tunawisma

1) Kemiskinan

Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya gelandangan, pengemis

dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi gelandangan karena tidak

memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan.

Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya

dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan

pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan hidup.Selain itu

anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan

karena kondisi kemiskinan yang menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung.

2) Rendah tingginya pendidikan

Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Pendidikan sangat

berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan pendidikan rendah akan

sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan

biaya untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan

gelandangan dan pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk

memperoleh pekerjaan yang layak.

3) Keluarga

Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang lebih

daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis atau anak dengan

keluarga broken home membuat mereka merasa kurang Peran perawat


disini adalah memberikan asuhan keperawatan kepada mereka yang mengalami masalah

kesehatan secara holistik atau menyeluruh.

2) Perawat sebagai pendidik

Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan mereka yang

membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat menjelaskan kepada mereka

informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya hidup sehat. Diharapkan para tunawisma

tersebut dapat merubah perilaku mereka untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimal.

3) Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)

Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma. Bentuk monitoring

dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau pengumpulan data.

4) Perawat sebagai panutan (role model)

Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada masyarakat

tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.

5) Perawat sebagai komunikator

Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat yang lain. Perawat

memberikan perawatan yang efektif, memberikan pembuatan keputusan antara individu dan

keluarga, memberikan perlindungan bagi para tunawisma dari ancaman terhadap

kesehatan dan kehidupannya. Semua itu dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas

kehidupan mereka terpenuhi.

6) Perawat sebagai rehabilitator

Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi maksimal setelah

sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan lainnya. Seringkali

tunawisma mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah kehidupan mereka dan
perawat membantu mereka untuk beradaptasi semaksimal mungkin dengan keadaan

tersebut.

f. Level Pencegahan Homeless (Tunawisma)

1) Pencegahan Primer

Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada di rumah.

Langkah untuk pencegahan primer yaitu:

a) Bantuan finansial

Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik, mengetahui

tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan bagi tunawisma

yang membutuhkan.

b) Bantuan hukum

Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya pengusiran.

c) Saran finansial

Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma.

d) Program relokasi

Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah dan kebutuhan

dasar.

2) Pencegahan Sekunder

Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta pelayanan

kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system pelayanan

kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap, sehingga dengan

tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan mengatasi dampak yang

timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan sekunder ialah :


a) Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan

menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka menjalani medikasi

dan regimen terapi.

b) Obat – obatan yang dapat disimpan dengan mudah

c) Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan

agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di tempat

penampungan tersebut.

d) Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi

e) Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan usaha

terbaik untuk mengikuti program terapi

f) Mengidentifikasi faktor – faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap

mendapatkan pelayanan kesehatan

3) Pencegahan tersier (Rehabilitasi)

Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan

rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada tunawisma antara lain:

a) Bimbingan mental

Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosi al kepada para

PMKS. Bagian ini me rupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa percaya

diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka

memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya.

Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum

memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi

tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup
dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas

ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam Gangguan neurotik,

somatoform dan gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa yang

disebabkan oleh faktor psikologis. (Maslim, tth:72).

6) Sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik.

Gangguan mental yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja,

dipacu dan atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).

7) Gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa

Suatu kondisi klinis yang bermakna dan pola perilaku yang cenderung menetap, dan

merupakan ekspresi dari pola hidup yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan

dengan diri-sendiri maupun orang lain (Maslim, tth:102).

b) Retardasi mental

Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak lengkap,

terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa perkembangan sehingga

berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh (Maslim, tth:119).

1) Gangguan perkembangan psikologis.

Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan fungsifungsi yang berhubungan erat

dengan kematangan biologis dari susunan saraf pusat, dan berlangsung secara terus

menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan yang khas. Yang dimaksud “yang khas”

ialah hendayanya berkurang secara progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit

yang le bih ringan sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).

2). Gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak.Gangguan yang

dicirikan dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Berkurangnya perhatian


ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum tuntas/selesai.

Aktivitas berlebihan (hiperaktif itas) ialah bentuk kegelisahan yang berlebihan, khususnya

dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif tenang (Maslim, tth:136).

Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A. Wiramihardja (2004:15-16),

mengungkapkan bahwa gangguan mental ( mental disorder) memiliki rentang yang lebar,

dari yang ringan sampai yang berat. Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Gangguan emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang

tidak adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering digunakan

untuk perilaku maladaptif pada anak-anak.

b) Psikopatologi (psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain

dari perilaku abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.

c) Sakit mental (mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental,

namun penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi

otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.

d) Gangguan mental (mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan-

gangguan yang berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama

inipun sering digunakan sebagai istilah yng umum untuk setiap gangguan dan kelainan.

e) Ganguan prilaku (behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan

yang berasal dari kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan

ataupun gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif.

f) Gila (insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa

individu secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalah-masalahnya atau melihat

konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan mental yang
serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas tidaknya seseorang yang

melakukan tindak pidana di hukum atau tidak.

c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental

(Mental Disorder)

Untuk mendapatkan jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya

gangguan mental ( mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor

dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis merujuk

pada pendapat Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan yang

mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam dua faktor, yaitu:

1) Faktor Organis (somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.

2) Faktor-faktor psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis

pribadi yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan, kesakitan hati,

depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara psikis, yaitu yang

mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi kepribadiannya. Maka sruktur

kepribadian dan pemasakan dari pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa

membuat orang terganggu psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh lebih

berat dan melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.

3) Faktor-faktor lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan

modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang dihadapi

masyarakat modern menjadi


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN I.

PENGKAJIAN

A. Data Inti Komunitas

1. Sejarah / Riwayat Daerah Komunitas


a. Desa huntu barat merupakan satu desa yang berada di kecamatan bulango selatan

kabupaten bone bolango provinsi gorontalo. Menurut sejarah desa ini sudah melewati beberapa

kali pemekaran, sejak kemerdekaan indonesia desa ini yang awalnya dari desa huntu

kemudian dimekarkan menjadi huntu selatan dan huntu utara. Pada saat provinsi gorontalo

baru terbentuk dan kabupaten bone bolango dibentuk oleh peraturan undang-undang nomor 19

tahun 2007 desa huntu utara di mekarkan menjadi desa huntu utara dan desa mekar jaya,

kemudian desa mekar jaya di ubah nama menjadi desa huntu barat. Desa ini memiliki

jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa.

b. Riwayat :

1) Usia penderita:

Anak : 15 – 20 tahun

Orang tua : 32-49 tahun

2) Jenis mental disorder yang pernah diderita: gangguan konsep diri: harga diri rendah,

memandang dirinya tidak sebaik teman- temannya di sekolah.

3) Riwayat trauma : takut yang berlebihan

4) Konflik : penganiayaan

2. Data Demografi

- Distribusi Penduduk Berdasarkan Usia Dan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk sebanyak 1.146 jiwa terdiri dari:


Pria 549

Wanita 597

- Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No Pendidikan Frekuensi

1 Belum Sekolah 75

2 TidakSekolah 0

3 TK 34

4 SD 266

5 SMP 273

6 SMA 403

7 Perguruan Tinggi 95

Total 1.146

Distribusi penduduk berdasarkan pendidikan terdiri dari belum sekolah yaitu bayi

sampai balita 0-5 tahun sebanyak 75 anak, tidak sekolah tidak ada, TK sebanyak 34 orang

terdiri dari anak usia dini, SD terdiri dari anak usia sekolah dan masyarakat yang hanya

lulusan SD 266, SMP terdiri dari anak remaja dan

masyarakat yang lulusan SMP 273, SMA terdiri dari remaja dan masyarakat yang lulusan

SMA sebanyak 403 dan perguruan tinggi terdiri dari

mahasiswa/mahasiswi dan masyarakat yang menempuh perguruan tinggi sebanyak 95.

- Distribusi Pekerjaan

No Jenis Pekerjaan Frekuensi

1 Pelajar/belum bekerja 447

2 Tidak Bekerja/IRT 94
3 PNS 52

4 TNI/POLRI 3

5 Pensiunan 59

6 Swasta 491

Total 1.146

Distribusi pekerjaan yakni pelajar/belum bekerja terdiri dari anak belum sekolah dan

pelajar SD, SMP, SMA, dan mahasiswa Universitas sebanyak 447, tidak bekerja atau IRT

sebanyak 94, 92 oleh IRT yang tidak bekerja, PNS sebanyak 73, TNI/POLRI sebanyak

3 , pensiunan 59, swasta sebanyak 470.

- Distribusi Ras Dan Etnis

Penduduk desa huntu barat dihuni oleh sebagian besar suku gorontalo.

6. Nilai – Nilai, Keyakinan Dan Agama

No Agama Yang Dianut Frekuensi %

1 Islam 1.146 100%

2 Kristen 0

3 Hindu 0

4 Budha 0

5 Konghucu 0
Total 1.146

Agama yang dianut masyarakat desa 100% islam


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengertian Kelompok Rentan adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil

dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa yang

tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:

h. Refugees (pengungsi)

i. Internally Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)

j. National Minoritie (kelompok minoritas)

k. Migrant Workers (pekerja migran )

l. Indigenous Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)

m. Children (anak)

n. Women (wanita)

Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan

perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.

Kelompok rentan terbagi menjadi 3:

a. Penyandang cacat b. Tunawisma

c. Gangguan mental/mental disorder


DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, N. K., Ahmedzai, S., Bergman, B., Bullinger, M., Cull, A., Duez, N. J., Takeda, F.
(1993). The European Organization for Research and Treatment of Cancer QLQ-C30: A quality-
of-life instrument for use in international clinical trials in oncology. Journal of the National
Cancer Institute, 85, 365-376. doi:10.1093/jnci/85.5.365 Bonomi, A. E., Patrick, D. L., Bushnell,
D. M., & Martin, M. (2000). Validation of the United States’ version of the World Health
Organization Quality of Life (WHOQOL) instrument. Journal of Clinical Epidemiology, 53, 1-
12. doi:10.1016/S0895-4356(99)00123-7 Bowling, A. (1997). Measuring health: A review of
quality of life measurement scales (2nd ed.). Buckingham: Open University Press. Bradley, C.
(2001). Importance of differentiating health status from quality of life. Lancet, 357, 7-8.
doi:10.1016/S0140-6736(00)03562-5 Clarke, P. J., Marshall, V. W., Ryff, C. D., & Rosenthal, C.
J. (2000). Well being in Canadian seniors: Findings from the Canadian Study of Health and
Aging. Canadian Journal on Aging, 19, 139- 159. doi:10.1017/S0714980800013982 Snoek, F. J.
(2000). Quality of life: A closer look at measuring patients’ wellbeing. Diabetes Spectrum,
13(1), 24- 28. Sousa, L., & Lyubomirsky, S. (2001). Life satisfaction. In J. Worell (Ed.),
Encylopedia of women and gender: Sex similarities and differences and the impact of society on
gender (Vol. 2, pp. 667-676). San Diego, CA: Academic Press

Anda mungkin juga menyukai