Anda di halaman 1dari 7

Pernikahan

Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian

Hubungan akrab

Jenis hubungan
Duda · Istri · Janda · Keluarga · Kumpul
kebo · Monogami · Nikah siri · Pacar
lelaki · Pacar
perempuan · Perkawinan · Persahabatan 
· Poligami · Pria
simpanan · Saudara · Selir · Suami · Wa
nita simpanan

Peristiwa dalam hubungan


Cinta · Ciuman · Kasih
sayang · Pacaran · Pernikahan · Perselin
gkuhan · Perceraian · Percumbuan · Perj
antanan · Persetubuhan · Perzinaan

 l
 b
 s

Litografi tentang iring-iringan upacara pernikahan pada tahun 1872 di daerah Bogor.

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua


orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum,
dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku
bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-
kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang
mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara
yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan
kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. Wanita dan pria yang sedang
melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian
mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.

Daftar isi

 1Etimologi
 2Pernikahan di Indonesia
o 2.1Syarat pernikahan berdasar undang-undang
o 2.2Pernikahan agama
 2.2.1Islam
 2.2.2Kristen Protestan
 3Pembatalan pernikahan
o 3.1Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
o 3.2Alasan pembatalan perkawinan
o 3.3Pengajuan pembatalan perkawinan
o 3.4Cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
o 3.5Batas waktu pengajuan
o 3.6Pemberlakuan pembatalan perkawinan
 4Lihat pula
 5Referensi
 6Pranala luar

Etimologi[sunting | sunting sumber]
Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa
Arab yaitu kata nikkah (bahasa Arab: ‫النكاح‬ ) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu
berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: ‫ )نكاح‬yang
berarti persetubuhan.[1][2]

Pernikahan di Indonesia[sunting | sunting sumber]


Syarat pernikahan berdasar undang-undang[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan Pasal 6 UU No. 1/1974 tentang perkawinan, syarat melangsungkan perkawinan adalah
hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan sebuah perkawinan. Syarat-syarat tersebut
yaitu:

 Ada persetujuan dari kedua belah pihak.


 Untuk yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari kedua orang tua. Atau jika
salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya.
 Bila orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas.
Bagi yang beragama Islam, dalam perkawinan harus ada (Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI):

 Calon istri
 Calon suami
 Wali nikah
 Dua orang saksi
 Ijab dan kabul
Menggugat UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi
Pada pertengahan tahun 2014, seorang mahasiswa dan 4 alumni Fakultas Hukum Universitas
Indonesia menggugat Undang-undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi khususnya Pasal 2
ayat 1 UU No. 1/1974 yang berbunyi: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu" yang menghalangi/mempersulit terjadinya
pernikahan beda agama.[3] Pada tanggal 18 Juni 2015, Mahkamah Konstitusi menolak seluruh
gugatan tersebut dengan pertimbangan negara berperan memberikan pedoman untuk menjamin
kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan, agama menetapkan tentang
keabsahan perkawinan, sedangkan UU menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh
negara.[4]
Pernikahan agama[sunting | sunting sumber]
Islam[sunting | sunting sumber]

Acara ijab kabul pada tahun 1977.

Pernikahan dalam Islam merupakan fitrah manusia dan merupakan ibadah bagi


seorang muslim untuk dapat menyempurnakan iman dan agamanya. Dengan menikah, seseorang
telah memikul amanah tanggung jawabnya yang paling besar dalam dirinya terhadap keluarga yang
akan ia bimbing dan pelihara menuju jalan kebenaran. Pernikahan memiliki manfaat yang paling
besar terhadap kepentingan-kepentingan sosial lainnya. Kepentingan sosial itu yakni memelihara
kelangsungan jenis manusia, melanjutkan keturunan, melancarkan rezeki, menjaga kehormatan,
menjaga keselamatan masyarakat dari segala macam penyakit yang dapat membahayakan
kehidupan manusia serta menjaga ketenteraman jiwa.
Pernikahan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu membentuk suatu keluarga yang bahagia, kekal
abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan rumusan yang terkandung
dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa: "Perkawinan merupakan ikatan lahir
dan batin antara seorang wanita dengan seorang pria sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Sesuai dengan rumusan itu, pernikahan tidak cukup dengan ikatan lahir atau batin saja tetapi harus
kedua-duanya. Dengan adanya ikatan lahir dan batin inilah perkawinan merupakan satu perbuatan
hukum di samping perbuatan keagamaan. Sebagai perbuatan hukum karena perbuatan itu
menimbulkan akibat-akibat hukum baik berupa hak atau kewajiban bagi keduanya, sedangkan
sebagai akibat perbuatan keagamaan karena dalam pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan
ajaran-ajaran dari masing-masing agama dan kepercayaan yang sejak dahulu sudah memberi
aturan-aturan bagaimana perkawinan itu harus dilaksanakan.
Dari segi agama Islam, syarat sah pernikahan penting sekali terutama untuk menentukan sejak
kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan melakukan hubungan seksual sehingga terbebas
dari perzinaan. Zina merupakan perbuatan yang sangat kotor dan dapat merusak kehidupan
manusia. Dalam agama Islam, zina adalah perbuatan dosa besar yang bukan saja menjadi urusan
pribadi yang bersangkutan dengan Tuhan, tetapi termasuk pelanggaran hukum dan wajib memberi
sanksi-sanksi terhadap yang melakukannya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, maka hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran hukum masyarakatnya.
Agama Islam menggunakan tradisi perkawinan yang sederhana, dengan tujuan agar seseorang
tidak terjebak atau terjerumus ke dalam perzinaan. Tata cara yang sederhana itu tampaknya sejalan
dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: "Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya." Dari pasal
tersebut sepertinya memberi peluang-peluang bagi anasir-anasir hukum adat untuk mengikuti dan
bahkan berpadu dengan hukum Islam dalam perkawinan. Selain itu disebabkan oleh kesadaran
masyarakatnya yang menghendaki demikian. Salah satu tata cara perkawinan adat yang masih
kelihatan sampai saat ini adalah perkawinan yang tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang
atau disebut nikah siri. Perkawinan ini hanya dilaksanakan di depan penghulu atau ahli agama
dengan memenuhi syariat Islam sehingga perkawinan ini tidak sampai dicatatkan di kantor yang
berwenang untuk itu.
Perkawinan sudah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Adapun yang
termasuk dalam rukun perkawinan adalah sebagai berikut:

 Pihak-pihak yang melaksanakan akad nikah yaitu mempelai pria dan wanita.
 Adanya akad (sighat) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan atau wakilnya (ijab) dan
diterima oleh pihak laki-laki atau wakilnya (kabul).
 Adanya wali dari calon istri.
 Adanya dua orang saksi.
Apabila salah satu syarat itu tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah, dan
dianggap tidak pernah ada perkawinan. Oleh karena itu diharamkan baginya yang tidak memenuhi
rukun tersebut untuk mengadakan hubungan seksual maupun segala larangan agama dalam
pergaulan. Dengan demikian apabila keempat rukun itu sudah terpenuhi maka perkawinan yang
dilakukan sudah dianggap sah.
Perkawinan di atas menurut hukum Islam sudah dianggap sah, apabila perkawinan tersebut
dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 pasal 2 ayat 2 tahun 1974 tentang
perkawinan itu berbunyi: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku." Dipertegas dalam dalam undang-undang yang sama pada pasal 7 ayat 1 yang
menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai usia 19 tahun dan pihak
wanita telah mencapai usia 16 tahun. Jika masih belum cukup umur, pada pasal 7 ayat 2
menjelaskan bahwa perkawinan dapat disahkan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan
atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
Kristen Protestan[sunting | sunting sumber]
Pernikahan di Gereja Bethany Makassar pada tahun 1981.

Pernikahan dari awal abad kedua puluh (1935). Barcelona, Spanyol.

Upacara pernikahan secara agama Kristen Protestan, perkawinan dipandang sebagai


kesetiakawanan bertiga antara suami-istri di hadapan Tuhan. Perkawinan itu suci. Seorang pria dan
seorang wanita membentuk rumah tangga karena dipersatukan oleh Tuhan. Mereka bukan lagi dua,
melainkan satu.
Pada prinsipnya makna perkawinan dalam agama Kristen Protestan memiliki makna kesamaan,
namun dalam ritus dan peraturannya berbeda. Peraturan perkawinan lebih longgar alias tidak
seketat dan serumit dalam perkawinan dalam Kristen Katolik.
Bagi pasangan yang ingin merayakan pernikahan tanpa ada implikasi hukum atau bagi mereka yang
ingin merayakan pembaruan janji setelah beberapa tahun menikah, upacara pernikahan secara
agama adalah pilihan yang ideal.

Pembatalan pernikahan[sunting | sunting sumber]


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap
tidak sah, menganggap tidak pernah ada. Jadi, pembatalan perkawinan berarti menganggap
perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.
Pasal 22 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila
para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan.
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974, Berikut ini adalah pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan:

 Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
 Suami atau istri.
 Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
 Pejabat pengadilan.
Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah:

 Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri.
 Suami atau istri.
 Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.
 Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat
perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut
dalam pasal 67.
Alasan pembatalan perkawinan[sunting | sunting sumber]
Perkawinan dapat dibatalkan, bila:

 Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum yang terdapat pada
Pasal 27 UU No. 1/1974.
 Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya (pasal 27 UU No. 1/1974). Identitas palsu
misalnya tentang status, usia atau agama.
 Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seizin
dan sepengetahuan pihak lainnya (pasal 24 UU No. 01 tahun 1974).
 Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (pasal 22 UU Perkawinan).
Sementara menurut Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan apabila:

 Seorang suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama.


 Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain
yang mafqud (hilang).
 Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
 Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
7 Undang-undang No 1 Tahun 1974.
 Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
 Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pengajuan pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke pengadilan (pengadilan agama bagi muslim
dan pengadilan negeri bagi non-muslim) di dalam daerah hukum di mana perkawinan telah
dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan (suami-istri). Atau bisa juga di tempat tinggal salah
satu dari pasangan baru tersebut.
Cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
Anda atau kuasa hukum Anda mendatangi pengadilan agama bagi yang beragama Islam dan
pengadilan negeri bagi non-muslim (UU No.7/1989 pasal 73).
 Kemudian Anda mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada ketua
pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka
biaya perkara kepada bendaharawan khusus.
 Anda sebagai pemohon, dan suami (atau beserta istri barunya) sebagai termohon harus
datang menghadiri sidang pengadilan berdasarkan surat panggilan dari pengadilan, atau dapat
juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No. 7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No.
9/1975 pasal 26, 27 dan 28 Jo HIR pasal 121, 124, dan 125).
 Pemohon dan termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan
kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka sidang
pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak,
persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya
hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.
 Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
 Pemohon dan termohon menerima akta pembatalan perkawinan dari pengadilan.
 Setelah Anda menerima akta pembatalan, sebagai pemohon Anda segera meminta
penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama atau Kantor
Catatan Sipil.
Batas waktu pengajuan
Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan Anda sendiri (misalnya
karena suami anda memalsukan identitasnya atau karena perkawinan Anda terjadi karena adanya
ancaman atau paksaan), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan
terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan Anda masih hidup bersama sebagai suami-istri, maka hak
Anda untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (pasal 27 UU No. 1
tahun 1974). Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan perkawinan suami
Anda yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan Anda. Kapan pun anda dapat mengajukan
pembatalannya.
Pemberlakuan pembatalan perkawina
Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap
dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan Pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Artinya, anak-anak dari
perkawinan yang dibatalkan, tetap merupakan anak yang sah dari suami Anda. Dan berhak atas
pemeliharaan dan pembiayaan serta waris (pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974).

Anda mungkin juga menyukai