Di satu sisi, keterbukaan perekonomian dengan sistem devisa bebas dan berbagai langkah
deregrdasi yang ditempuh pemerintah telah memberikan manfaat yang besar bagi
perkembangan perekonomian domestik. Dalam beberapa tahun sebelum krisis, dinamisme
perekonomian Indonesia cukup tinggi dengan laju inflasi yang cenderung menurun dan
surplus neraca pembayaran dalam jumlah besar.
Perkembangan yang mantap tersebut memberikan keyakinan kepada investor. baik dalam dan
luar negeri, atas prospek perekonomian Indonesia sehingga semakin mendorong masuknya
arus modal dan semakin memperdalam proses integritas perekonomian nasional ke dalam
perekonomian global.
Namun di sisi lain, dinamisme perekonomian yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya disertai
dengan upaya untuk menata pengalaman dunia usaha dan menciptahan penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, sebagaimana yang tercermin pada kurangnya transparansi dan
konsisten pelaksanaan kebijakan. Sementara itu. kelemahan informasi semakin memperburuk
kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan pernerintah. Berbagai faktor ini
memperlemah kondisi fundamental mikro ekonomi sehingga meningkathan kerentanan
perekonomian terhadap guncangan guncangan eksternal.
Kelemahan fundamentaI mikro ekonomi juga tercermin pada kerentanan yang terdapat di
sektor keuangan, khususnva perbankan.
Terdapat lima factor yang mengakibatkan kondisi mikro perbankan nasional menjadi rentan
terhadap gejolak ekonomi (lihat Laporan Tahunan Bank Indonesia l971/ 1998) yaitu:
Selain itu, buruknya pengelolaan dunia usaha juga terkait dengan belum adanya perangkat
hukum yang efektif, terutama dalam penyelesaian kepailitan usaha. Berbagai kelemahan ini
mengakibatkan dunia usaha cenderung melakukan investasiyang berlebihan pada sektor-
sektor ekonomi yang rentan tehadap penrbahan nilai tukar dan suhu bunga, seperti sector
properli.
Ada dua alasan yang mendorong kecenderungan investasi yang berlebihan tersebut.
Konsenkuensinya, jumlah utang luar negri swasta meningkat tajam hingga tahun 1996.
Dengan perekonomian yang masih memiliki berbagai kelemahan mendasar tersebut maka
gejolak nilai tukar yang terjadi sejak pertengahan tahun 1977 berubah cepat menjadi krisis
ekonomi dan keuangan yang sangat dalam.
Disektor luar negeri, pengaruh krisis nilai tukar telah menyebakan arus modal keluar neto,
khususnya sector swasta,yang sangat besar sehingga neraca pembayaran mengalami deficit
unutk pertama kalinya sejak tahub 1989/1990. Selain itu, posisi pinjaman dan beban
angsuran pembayaran luar negeri naik sangat tinggi, terutama dalam rupiah, sehingga banyak
perusahaan yang dapat memenuhi kewajibannya.
Di sektor perbankan. krisis nilai tukar yang terjadi telah menyebabkan terganggunya fungsi
intermediasi, yang ditandai dengan banyaknya bank menjadi insolvent. Hal ini teriadi karena
meningkatnya kerentanan terhadap posisi hutang dalam USD sehingga memberatkan sisi
liability bank. Sisi aset bank memburuk sebagaimana tercermin pada meningkatnya kredit
bermasalah atau non performing loan akibat banyaknya debitur yang gagal bayar (default).
Sementara itu, upaya pengetatan likuiditas melalui kenaikan suku bunga yang dilakukan guna
menstabilkan inflasi dan nilai tukar telah pula menyebabkan negative spread di sektor
perbankan. Krisir yang berkelanjutan telah mengakibatkan perbankan menjadi semakin rawan
(fragile).
Pada sisi lain kepercayaan masyarakat semakin merosot, khususnya sejak pencabutan izin
usaha l6 bank pada bulan November 1997. Hal ini terjadi karena kebijakan tersebut dilakukan
tanpa persiapan yang memadai untuk menghindari rush atau bank run. Penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan tersebut terlihat dari pemindahan dana oleh
penabung ke instrumen atatu bank yang lebih aman baik di dalam maupun luar negeri,
Langkah kebijakan yang diambil selama krisis ini terfokus kepada mengembalikan kestabilan
mikroekonomi dan membangun kembali infrastruktur ekonomi, khususnya sector perbankan
dan dunia usaha. Dalam Menghadapi kondisi kompleks tersebut diatas, diterapkan program
program ekonomi antara lain sebagai berikut (syahril sabirin, Gubernur Bank Indonesia,
2002)
Di bidang moneter, ditempuh kebijakan moneter ketat untuk mengurangi laju inflasi dan
penurunan atau depresiasi nilai mata uang secara berlebihan.
Di bidang perbankan, ditempuh kebijakan yang akan memperbaiki kelemahan-kelemahan
sistem perbankan berupa program restrukturisasi perbankan yang bertujuan untuk
mengatasi dampak krisis clan menghindari terjadinya krisis serupa di masa datang,
Di bidang fiskal. ditempuh kebijakan yang lebih terfokus kepacla upaya relokasi
pengeluaran Untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif kepada kegiatan-kegiatan yang
diharapkan dapat mengurangi social cost yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi, misalnya
dalam bentuk Program Jaring Pengamanan Sosial.