Anda di halaman 1dari 3

Pertanyaan Tentang Cita-Cita

Oleh: Dafrin Muksin

Di balik gelap malam yang hitam pekat, Lutfi masih terjaga. Badannya mematung di atas kasur,
dengan mata yang terbuka seperti mayat hidup. Nyaris setiap malam, ketika selimut kegelapan
menghampiri, Lufi memikirkan cita-citanya. Melintasi samudera, menelusuri alam semesta,
bertanya pada bintang-bintang untuk memecahkan pertanyaan tentang cita-cita.

Pertanyaan tentang cita-cita begitu dekat dengan kehidupan manusia. Pertanyaan itu ada,
semenjak manusia dilahirkan, sejak manusia mulai mengenal lapar, uang, seks, dan kekuasaan.
Namun apa jadinya jika pertanyaan tentang cita-cita, datang seperti malaikat pencabut nyawa
dan pergi seperti iblis yang terusir dari surga.

Lutfi telah dihantui pertanyaan cita-cita semenjak di bangku SD Maginti, Kabupaten Muna
Barat. Pertanyaan itu datang semenjak Kepala Sekolah, mengisi kelas motivasi, ketika mendekati
Ujian Nasional.

“Tuliskan cita-cita kalian. Siapa yang ingin menjadi Guru, Dokter, dan Tentara? Angkat tangan”
pertanyaan itu dilahap dengan cepat, disambut para siswa dengan teriakan “saya Pak Guru”….
“Saya Pak Guru”.

“Sekarang tuliskan cita-cita kalian dan dikumpulkan sebelum jam istirahat,” tegas Kepala
Sekolah.

Sejak awal, Lutfi hanya bisa mematung dengan wajah bulat penuh kebingungan, tidak
menganjungkan tangan apalagi berteriak. Setelah diberikan tugas menuliskan cita-cita, Lutfi
sontak kanget, seluruh tubuhnya gemetar, benda-benda di sekelilingnya terlihat bergerak dan
menari-nari di hadapannya.

“Apa yang harus aku tuliskan, aku tidak punya cita-cita, belum lagi cacing-cacing di perut terus
melakukan demonstrasi, akibat tidak sempat sarapan. Aku lapar,” keluh Lutfi di dalam hati.

Jarak sekolah dari rumah Lutfi lumayan jauh. Belum lagi jalan menuju sekolah masih jauh dari
peradaban. Ketika gelap membawa hujan, jalan mejadi lapangan bermain babi-babi hutan. Jarak
sekolah yang jauh, karena takut terlambat, sesekali sarapan menjadi tidak penting. Seperti kata
Descartes “aku berpikir maka aku ada,” dengan begitu, lapar akan ada apabila dipikirkan.
Karenanya, lapar jangan berfikir. Lapar adalah ilusi.

Waktu berlari begitu cepat, tidak tersa 20 menit lagi bel istirahat akan berbunyi. Semua siswa
diminta untuk mengumpulkan tugas dan diminta untuk menyampaikan cita-cita yang sudah
dituliskan. Tidak ada coretan sedikitpun di atas kertas milik Lutfi. Sialnya, Lutfi menjadi orang
pertama yang ditunjuk untuk menyampaikan cita-citanya. Dengan badan yang berat, Lutfi
melangkah ke depan. Langka kaki yang biasanya saling mengejar, kini lambat mejadi kura-kura.
Gemuruh tepuk tangan menjadi sangat bising. Tiba-tiba suasana menjadi hening, namun
keheningan itu dipenuhi dengan mata-mata yang tajam penuh curiga, mengintai untuk
memangsa.

“Ehmm… sebenarnya aku… aku… tidak punya cita-cita”

Wahahahahahaha… tawa pun pecah. Tepuk tangan berubah menjadi tawa penuh bencana.
Tertangkap oleh mata yang penuh malu, seolah hukum rajam, semua tangan melempari batu
kepadanya. Lutfi di sanksi seperti pelaku kejahatan (seksual).

“Kenapa kamu tak punya cita-cita nak,” tanya Kepala Sekolah.

“Aku tidak punya cita-cita karena aku anak petani. Aku sadar dengan kondisi keluargaku, jika
sepatu sekolah saja tidak bisa dibeli bagaimana mungkin aku menjadi seorang dokter”

Dring… Dring! Bel istirahat telah berbunyi pertanda jam kelas Kepala Sekolah tela berakhir.
Lutfi berduka, kembali dengan mata berkaca-kaca.

Semenjak saat itu, dunia menjadi gelap dengan penuh pertanyaan tentang cita-cita. Namun takdir
berkata lain, setelah lulus SD Lutfi tetap melanjutkan sekolah SMP, SMA, dan bahkan Perguruan
Tinggi. Lutfi memilih setia di bangku pendidikan karena tidak memiliki cita-cita. Perguruan
tinggi adalah tempat pelarian terbaik untuk menghindari pertanyaan cita-cita.

Dulu kakek pernah memuji Lutfi di hadapan ayah dan ibunya.

“Lufi itu anak yang pintar. Kalau sudah besar nanti: dengan fisik yang kuat dan poster tubuh
yang tegap tinggi, hidung yang menjulang, dan sepasang mata yang tajam, Lutfi harus jadi
Tentara”

Lutfi sempat berfikir untuk mengikuti seleksi TNI, namun setelah mendaftar kuliah–berstatus
sebagai mahasiswa yang banyak mengonsumsi bacaan sejarah reformasi 1998 dan bacaan politik
meruntuhkan bangunan cita-cita untuk menjadi TNI. Sebagai Mahasiswa aktivis hijau hitam,
Lufi bercita-cita menjadi politisi. Pilihan menjadi politisi, sejalan dengan keinginannya untuk
memajukan daerah.

Belakangan mulai pesimis, sebab dunia politik sudah dikuasai oleh sistem kapitalisme. Untuk
mejadi seorang politisi syarat wajib yang dipenuhi adalah modal kapital. Politisi yang terlahir
dari capital, maka kebijakannya juga akan mengutamakan capital. Sehingga politik menjadi
makhluk yang buas, menerkam ruang hidup masyarakat. Lufi gagal bercita-cita menjadi politisi.

Melihat kondisi politik yang semakin kejam, Lutfi beralih untuk membaca karya-karya sastra
dengan mengoleksi novel. Lutfi mulai jatuh cinta pada sastra. Benih cinta sastra itu semakin
menggebu-gebu ketika berinteraksi dengan sangat intim bersama karya-karya Pramoeda Ananta
Toer dengan kata kunci “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi
dalam perbuatan” (Baca Bumi Manusia). Kecintaan pada sastra juga membawanya bertemu
dengan pendiri Forum Lingkar Pena Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa lewat karya- karyanya:
novel maupun film yang diadaptasi dari novel dengan sprit berkarya untuk berdakwah, berbagi,
dan menginspirasi.

Hal itu merubah gaya hidup seorang Lutfi: dari penikmat warung kopi ke penikmat senja.
Akhirnya pertanyaan tentang cita-cita tersapu bersih menyerupai angin yang menghempas debu
jalanan. Lutfi memilih menjadi penulis, baginya menjadi penulis adalah sebaik-baiknya cita-cita,
sebab dengan menulis menjadi abadi. Karena hidup hanya sekali, maka menulis lah! []

Anda mungkin juga menyukai