Anda di halaman 1dari 2

Matinya Negara–Kota

Oleh: Dafrin Muksin

Covid-19, Virus yang berasal dari Wuhan, China ini membikin kota-kota di belahan dunia
termasuk Indonesia secara serentak menjadi redup. Kebisingan, kemacetan, akses transportasi,
kesemrawutan canda dan tawa di pusat kota menjadi gelap dan sunyi. WHO telah menetapkan
Virus Corona sebagai pandemi, sehingga menjadi kecemasan bagi penduduk planet bumi.
Kehidupan kota menjadi tidak normal. Kota yang dalam sejarah peradaban umat manusia
sebagai pusat kehidupan sosial, ekonomi, dan politik mengalami kelumpuhan bahkan menuju
kematian.
Tentu, kota memiliki sejarah kelahiran dan kejayaan pada masanya. Jika kita menelusuri sejarah
kota lebih jauh, kelahiran kota sangat lekat dengan perkembangan kapitalisme. Menurut Max
Weber, kelahiran dan perkembangan kota merupakan bagian tak terpisahkan dari etos
kapitalisme yang bersandarkan pada nilai-nilai rasionalitas, ekspansi perdagangan, kerja keras,
efisiensi, dan penghargaan terhadap waktu.
Bagi para teoritis dan sejarawan sosial menyebutkan bahwa kelahiran sebuah kota karena adanya
mengapolis, adanya minoritas sosial kreatif, dan penaklukan sebagai kekuatan-kekuatan sejarah.
Kota dibangun untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Itulah sebabnya kota-kota awal
di zaman Yunani ditemukan berada di lembah dan pegunungan tinggi. Medan seperti itu
dianggap strategis, memberikan rasa aman untuk melangsungkan hidup (Ahmad Suhelmi, 2001:
26).
Dalam sejarah pemikir politik barat, istilah kota dikenal dengan negara kota yang sangat berbeda
dengan ngara yang kita kenal saat ini. Misalnya dalam struktur politik negara kota tidak dikenal
perbedaan tegas antara masyarakat dengan negara. “Negara adalah masyarakat, dan masyarakat
adala negara.” Setiap warga negara dapat terlibat langsung dalam pengambilan keputusan politik.
Pada perkembangannya, dengan dalil jumlah penduduk yang relaif lebih besar dan struktur social
politik yang kompleks, negara modern melakukan pembatasan politik masyarakat melalui
demokrasi perwakilan. Hal itu menciptakan kerengangan antara kepentingan masyarakat dan
kepentingan negara. Sangat kontras antara pejabat negara dan masyarakat. “Pemerintah bukan
negara.”
Dalam konteks Indonesia, ketika kita membaca tulisan Ilham Daeng Makkelo tentang Sejarah
Perkotaan: Sebua Tinjauan Histografi dan Tematis, kelahiran kota dapat dilihat dari tiga
pendekatan, yakni: kota tradisional, kota kolonial, dan kota modern. Kota tradisional adalah kota
yang dulunya merupakan pusat kerajaan-kerajaan awal Nusantara sebelum datangnya kekuasaan
kolonial. Seperti kota-kota di Jawa Tengah, Jogja, dan Surakarta.
Kota kolonial ditandai dengan benteng, barak, perkantoran, rumah-rumah, gedung societeit,
ruma ibadah, serta adanya peran dan hegomoni kolonial Belanda di berbagai bidang. Sedangkan
kota modern, berlatar belakang pada simbol-simbol modern yang sangat sarat dengan pubrik
industri. Salah satu ciri khas kota modern, yakni pembagian pemukiman berdasarkan atas kelas
sosial yang melekat pada setiap individu. Sehingga penghuni kota yang lama tergeser oleh
penghuni baru yang lebih tajir. Juga mereka yang menguasai BUMN, Pertamina, dan Tambang
Batu Bara memiliki legitimasi yang kuat dalam kehidupan kota.
Kota terus menerus dikampanyekan sebagai kemajuan peradaban manusia. Belakangan kita
mengenal istilah Smart City. Kota yang diimajinasikan memiliki kecanggihan teknologi untuk
memudakan kerja-kerja manusia. Tenaga manusia digantikan dengan mesin, robotik, dan
kecerdasan buatan atau intelegensi artificial. Pubrik-pubrik dibangun, hotel, bandara, dan gedung
pencakar langit seolah menjadi penyangga wajib bagi keberlangsungan kota. Tak tangung-
tangung lahan-lahan pertanian produktif digusur, udara digantikan dengan pencemaran, dan
sungai digantikan dengan limbah.
Pembangunan kota, tidak hanya alam yang dieksploitasi, tetapi juga manusia. Hal itu secara
detail diabadikan oleh Roanne Van Voorst, seorang Antropolog Belanda, dalam bukunya Tempat
Terbaik di Dunia. Ronne bercerita tentang tragedi kehidupan kaum miskin kota di Jakarta.
Bagaimana mereka mempertahankan kehidupan yang setiap harinya terancam oleh banjir dan
perampasan ruang hidup–tangan besi penguasa.
Pada hari-hari ini, kita menyaksikan kota menjadi makluk yang buas yang siap menerkam
keidupan manusia. Kodisi itu semakin diperparah dengan hadirnya Covid-19, sehingga kota-kota
besar, misalnya, Jakarta, Jogja, Surabaya, Bandung, dan beberapa kota lainnya saat ini tidak lagi
menjadi tempat tinggal yang aman. Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan
Covid-19 Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Selatan,
dan Kalimantan Selatan yang nota benenya kawasan maju di Indonesai adalah wilayah yang
sangat terdampak covid-19. Kepadatan penduduk memungkinkan terjadinya percepatan
penyebaran Covid-19.
Akibat dari Covid-19 sektor ekonomi mengalami kelumpuhan baik di tingkat global, nasional,
maupun lokal. Covid-19 merubah perilaku masyarakat kota. Demi pencegaan Covid-19,
Pemerintah menbuat kebijakan Pembatasan Sosial Beskala Besar (PSBB) yang mengharuskan
mall, pusat wisata, pasar, lembaga pendidikan, dan tempat-tempat ibadah ditutup. Semua
aktivitas menjadi di rumahkan. Covid-19 tidak mengenal kelas. Semua masyarakat kota
meraskan dampaknya.
Ekonomi kota redup, menandakan kehidupan masyarakat kota semakin terancam. Olenya itu,
tidak menuntuk kemungkinan desa akan menjadi pertahanan kehidupan manusia di waktu yang
akan datang. Covid-19 menuntun manusia untuk peduli terhadap desa. Jika demikian, maka
tugas utama adalah menjaga desa dari perampokan pihak-piak yang tidak bertanggung jawab.
Saat ini, kota tidak lagi menjadi tempat yang aman atau tempat terbaik di dunia. Pun negara tidak
memberikan jaminan rasa aman. UU Minerba disahkan dan eksploitasi alam melalui investasi
tambang terus menerus dilakukan. Secara gamlang dapat dikatan bawa negara–kota kehilagan
esensi–megalami kematian. Sebab, sangat bertentangan dengan sejarah awal pembentukan kota.
Di mana pada zaman Yunani negara kota adalah tempat yang istimewa, tempat untuk
mendapatkan rasa aman.
Maka beruntunglah mereka yang tidak dilahirkan di kota. Nasip tebaik adalah dilairkan di desa
dan yang tersial adalah dilahirkan di kota. Terlebih lagi terjebak di kota karena Covi-19,
sehingga tak dapat kembali ke desa. []

Anda mungkin juga menyukai