Anda di halaman 1dari 18

Air "Mutanajjis" dalam Madzhab Syafi'i

Air mutanajjis adalah air yang sudah kena najis. Ada dua jenis air mutanajjis.

Pertama, air yang kadarnya sedikit. Pengertiannya, air yang kapasitasnya kurang dari dua qullah.
Begitu najis masuk ke dalamnya, air ini langsung disebut air mutanajjis –sekalipun najisnya sedikit
dan ciri-cirinya sebagai air tidak berubah, seperti warna, aroma, dan rasa. Ukuran dua qullah adalah 500
liter Baghdad, yang setara dengan 192, 857 kg. Ukuran kubiknya, 1,25 hasta (panjang, lebar dan tinggi).
Satu hasta yakni sepanjang dari ujung ke siku (orang dewasa).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umarradhiyallahu anhuma, ‘Aku mendengar ketika


Rasulullahshallallahu alaihi wa sallamditanya tentang hukum air yang terletak di tanah tak bertuan, air
lain yang diminum oleh binatang buas dan melata. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab,

" ‫" إ َذا َكانَ الما ُء قلَّتَي ِْن لَ ْم يَحْ ِم ِل الخَ بَث‬

“Jika kadarnya dua qullah, tak mengandung najis.” Dalam riwayat Abu Daud berbunyi "  ُ‫فَإَّنهُ ال يَ ْنجُس‬ "
(Air itu tak bernajis). (H.R. Abu Daud, no. 65, Tirmidzy, Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Pengertian hadits: apabila air kurang dari dua qullah, dihukum sebagai air nahis sekalipun tidak berubah.

Pengertian di atas didukung oleh hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu alaihi
wa sallam bersabda,

" ُ‫" إ َذا ا ْستَ ْيقَظَ أَ َح ُد ُك ْم ِم ْن نَو ِم ِه فَالَ يَ ْغ ِمسْ يَ َدهُ في اإلنَا ِء َحتَّى يَ ْغسلها ثَالَثا ً فَإنَّهُ الَ ي ْد ِري أَ ْينَ بَاَتت ي ُده‬

“Jika salah satu dari kalian bangun tidur, janganlah langsung mencemplungkan tangannya ke dalam
wadah air sebelum membasuhnya 3 kali karena ia tidak tahu tempat tanggannya tadi malam.” (H.R.
Muslim, no. 278)

Di dalam hadits ini, beliau shallallahu alaihi wa sallam melarang seseorang yang baru bangun tidur untuk
langsung mencemplungkan tangannya ke air, khawatir tercampur dengan najis yang tak terlihat. Maklum,
najis yang tak terlihat bisa membuat air berubah. Beliaushallallahu alaihi wa sallam tentu tidak melarang
hal tersebut apabila dimasukkannya tangan ke dalam air tidak menyebabkannya terkena najis.

Kedua, air yang kadarnya banyak, yakni berkapasitas dua qulah atau lebih. Air ini tidak serta merta
menjadi mutanajjis hanya dengan jatuhnya suatu najis ke dalamnya. Akan menjadi air mutanajjis, jika
salah satu dari ketiga cirinya, yakni warna, rasa atau bau, mengalami perubahan terlebih dahulu. Dasarnya
adalah ijma’ para ulama.

An-Nawawy mengungkapkan:

.‫ فهو نجس‬،ً‫ فغيرت طعما ً أو لونا ً أو ريحا‬،‫ أجمعوا أن الماء القليل أو الكثير إذا وقعت فيه نجاسة‬:‫قال ابن المنذر‬

“Ibnu Al-Mundzir  berpendapat, air dengan kadar yang sedikit ataupun banyak dan berubah rasa, warna,
atau baunya karena tercampur najis, maka air tersebut menjadi air bernajis menurut ijma’ para ulama.”
(Al-Majmu’, 2/160)
Sumber: Al-Fiqh Al-Manhajy, Musthafa Al-Bugha, Musthafa Al-Khann dan Ali Asy-Syurbajy
Penerjemah: Misran, Lc
Diketik oleh Hasan Al-Jaizy dari buku Fikih Manhaji, Kitab Fikih Lengkap Imam Asy-Syafi’i, Darul
Uswah

Pengertian Air Mutlak, Musta’mal, Musyamas dan Air


Najis

Pengertian Air Mutlak, Musta’mal, Musyamas dan Air Najis merupakan


kelanjutan pembahasan yang lalu kita telah mengkaji masalah Jenis Air
Yang Bisa Digunakan Untuk Bersesuci. 

Jika pada pembahasan yang lalu kita mengkaji jenis-jenis air, maka dalam
kesempatan ini kita akan mengkaji hukum menggunakan air. Dilihat dari segi
hukumnya, maka air dibagi menjadi empat jenis yaitu Air Mutlak, Musta’mal.
Musyamas dan Air Najis. 

Apa Itu Air Mutlak

Ada dua definisi Air Mutlak yang diberikan oleh ulama. Menurut pendapat yang
shohih Air Mutlak adalah air yang tidak memiliki nama yang tetap. {Kifayatul
Akhyar 1/12;}. Pendapat lain mengatakan bahwa Air Mutlak adalah air yang
tetap pada sifat penciptaannya. {Al-Fiqhul Minhaji Ala Madzhabi Imam Syafi’i
1/20}.
Dalil bahwa bersesuci harus menggunakan Air Mutlak adalah sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan yang lainnya dari Abu Huoiroh Ra
sebagai berikut:

‫و َهريقوا َعلى َب ْولِه‬ ُ‫ دَ عُوه‬:‫ فقال النبي صلى هللا عليه وسلم‬،‫إليه الناس ليقعوا به‬ ‫ فقام‬،‫قام أعرابي فبال في المسجد‬
- ْ‫ َذنوبا مِنْ َماء‬:‫ أو‬- ‫َسجْ الً مِن َماء‬

Artinya: Seorang a’robi (orang kampung) berdiri dan kencing di dalam masjid.
Kemudian orang-orang berdiri dan mencegahnya. (melihat kejadian itu) Nabi
SAW bersabda: “Biarkanlah orang itu dan siramlah air kencingnya menggunakan
ember yang penuh dengan air...” (HR. Bukhori 1/54 {220}; Sunan Nasa’i 1/48
{56} ; Musnad Ahmad 2/282 {7799} ; Sunan Baihaqi 2/268 {4410}.

Apa Itu Air Musta’mal

Air Musta’mal adalah  air yang telah digunakan untuk bersesuci; baik


mensucikan najis maupun hadats. Air Musta’mal itu suci namun tidak bisa
mensucikan. Karenanya kita boleh meminum Air Musta’mal namun kita tidak
boleh wudu atau membersihkan najis menggunakan Air Musta’mal. 

Dalil bahwa air  Air Musta’mal itu suci adalah sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh imam bukhori dengan redaksi sebagai berikut:
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َيعُو ُدنِي َوأَ َنا َم ِريضٌ اَل أَعْ قِ ُل‬
َ ِ ‫ت َج ِابرً ا َيقُو ُل َجا َء َرسُو ُل هَّللا‬
ُ ْ‫ْن ْال ُم ْن َكد ِِر َقا َل َسمِع‬
ِ ‫َعنْ م َُح َّم ِد ب‬
‫صبَّ َعلَيَّ مِنْ َوضُو ِئ ِه‬ َ ‫َف َت َوضَّأ َ َو‬

Artinya: “Dari Muhammad Bin Munkadir dia berkata saya mendengar Jabir
berkata : Rosululloh SAW menjenguk ku saat aku sakit kemudian beliau wudhu
dan menyiramkan air wudhunya pada ku.” (Bukhori 1/113 {194} ; Baghowi;
Syarah Sunah 8/336 {2219}).

Seandainya air Air Musta’mal niscaya Rosululloh SAW tidak akan menyiramkan


air bekas wudhu beliau.

Dalil bahwa Air Musta’mal tidak mensucikan adalah hadits yang diriwayatkan


oleh Imam Muslim dari Abu Huroiroh dengan redaksi sebagaberikut:

» ٌ‫ « الَ َي ْغ َتسِ ُل أَ َح ُد ُك ْم فِى ْال َما ِء ال َّدائ ِِم َوه َُو ُج ُنب‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ ‫َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬

Artinya: Rosululloh SAW bersabda janganlah salah satu kalian mandi di air yang
diam dalam keadaan junub. (HR. Muslim 1/163 {684} ; Sunan Ibnu Majjah 1/382
{608} ; Ibnu Hibban 4/62 {1252} ; Nasa’i 1/124 {220).

Larangan ini menunjukan bahwa Air Musta’mal tidak bisa mensucikan. Sebab


seandainya air musta’mal mensucikan niscaya Rosululloh SAW tidak melarang.
Apa Itu Air Musyamas

Air Musyamas Adalah air yang panas sebab terkena sinar matahari. Hukum
menggunakan Air Musyamas adalah makruh. Kemakruhan tersebut memiliki dua
syarat yaitu digunakan untuk badan di daerah beriklim panas. {Busyro Karim
1/75; Al-Iqna’ 1/22} 

Dalil kemakruhan Air Musyamas adalah sebuah riwayat dari Umar ra yang


dinukil oleh Imam Syafii dalam kitab Al-Umm sebagai berikut:

َ ‫ث ْال َب َر‬
‫ص‬ ُ ‫ُور‬ ِ ‫أَنَّ ُع َم َر كان َي ْك َرهُ االِ ْغت َِسا َل ِب ْال َما ِء ْال ُم َشم‬
ِ ‫َّس وقال إ َّن ُه ي‬

Artinya: “Sesungguhnya Umar memakruhkan mandi menggunakan Air


Musyamas dan dia berkata sesungguhnya Air Musyamas dapat mengakibatkan
pernyakit baros.” {Al-Umm 1/3}.

Apa Itu Air Najis

Sebenarnya Air Najis dalam bab ini lebih tepat disebut dengan air mutanajis.
Namun orang-orang pada umumnya menyebut air yang terkena najis dengan
sebutan Air Najis. Air mutanajis adalah air sedikit yang terkena najis sekalipun
tiga sifatnya tidak berubah yakni warnanya, rasanya dan baunya atau air banyak
yang terkena najis kemudian salah satu dari sifatnya berubah. 
Dalil bahwa air sedikit menjadi najis bila terkena najis adalah sebuah hadits dari
Ibn Umar bahwa Rosululloh SAW bersabda:

‫إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث‬

Artinya: “Apabila air mencapai dua kullah maka ia tidak najis.” (Sunan Abu
Dawud 1/23 {63} ; Sunan Nasa’i 1/91 {50} ; Sunan Kubro 1/261; Tirmidzi 1/123
{67})

Mafhum mukholafahnya nya, jika air kurang dari dua kullah maka menjadi
mutanajis.

Sementara dalil bahwa air banyak tidak najis ketika terkena najis apabila tidak
berubah adalah ijma. Ibn Mandzur berkata:

‫ فهو نجس‬،ً‫ فغيرت طعما ً أو لونا ً أو ريحا‬،‫ إذا وقعت فيه نجاسة‬،‫أجمعوا أن الماء القليل أو الكثير‬

Artinya: Ulama sepakat bahwa air sedikit atau air banyak apabila kejatuhan najis
kemudian rasanya, warnanya dan baunya berubah maka air tersebut menjadi
najis.
c. Ulama Asy-Syafi`iyyah 

Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk
mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila
jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk
mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu` 

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka
belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik
mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh
dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas / menetes dari tubuh. 

Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk
mandi atau untuk mencuci najis. Karean statusnya suci tapi tidak mensucikan. (Lihat Mughni Al-
Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5 hal. 1,8) 

Asy-Syirazi (w. 476 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan dalam


kitabnya Al-Muhadzdzab sebagai berikut :

،‫ فأما المستعمل في طهارة الحدث فينظر فيه‬.‫ ومستعمل في طهارة النجس‬،‫ مستعمل في طهارة الحدث‬: ‫الماء المستعمل ضربان‬
‫ وهل تجوز‬.‫ كما لو غسل به ثوب طاهر‬،ً‫فإن استعمل في رفع حدث فهو طاهر ألنه ماء طاهر القى محالً طاهراً فكان طاهرا‬
‫ فيه قوالن المنصوص أنه ال يجوز ألنه زال عنه إطالق اسم الماء فصار‬:‫ من أصحابنا من قال‬:‫به الطهارة أم ال ؟ فيه طريقان‬
‫ يجوز الوضوء به ألنه استعمال لم يغير صفة الماء فلم يمنع الوضوء به كما لو‬:‫ وروي عنه أنه قال‬،‫كما لو تغير بالزعفران‬
‫ ومن أصحابنا من لم يثبت هذه الرواية‬.‫غسل به ثوب طاهر‬
Air musta’mal ada 2 jenis :
Air yang digunakan untuk bersuci dari hadats dan air yang dipakai untuk mensucikan najis. Air
musta’mal yang bekas digunakan untuk bersuci dari hadats maka perlu diteliti dulu, jika air tersebut
bekas digunakan untuk menghilangkan hadats maka air itu suci, dikarenakan air tersebut bertemu
dengan tempat yang suci. Sebagaimana jika memakainya untuk mencuci baju yang suci (tidak ada
najis). Namun apakah lantas air tersebut bisa dipakai untuk bersuci?
Dalam hal ini ada 2 cara. Ashab kami (Syafi’iyah) berkata : di dalam permasalahan ini ada 2
pendapat yang telah dinashkan.
Pendapat yang pertama yaitu tidak boleh menggunakan air musta’mal untuk bersuci dikarenakan
telah hilang kemuthlakan dalam penamaannya (tidak disebut lagi sebagai air muthlak) sama halnya
dengan air muthlak yang bercampur dengan minyak za’faran (suci namun tidak mensucikan).
Pendapat yang kedua yang diriwayatkan juga oleh ashab kami adalah boleh berwudhu dengan air
musta’mal dikarenakan perubahannya tidak mengubah sifat air tersebut, maka tidak mengapa
berwudhu dengannya sebagaimana air yang dipakai untuk menyuci baju.
Namun riwayat ini tidak dipakai oleh para Ash-hab kami..
Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, jilid 1 hal. 8 | Syari

AIR MUSTA’MAL
Dalam perbahasan fiqh tentang air untuk bersuci, terdapat perbahasan hukum air musta’mal.
Padanya berlaku perbezaan pandangan yang banyak di kalangan ulama mazhab. Dalam
mazhab asy-Syafi’i sendiri terdapat beberapa pandangan yang berbeza di antara satu ulama
dengan ulama yang lainnya untuk soal air musta’mal ini.

Apa Itu Air Musta'mal?

Secara asalnya, air itu adalah suci lagi menyucikan dengan merujuk kepada air muthlaq.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Kami turunkan air yang suci dari
langit.” (Surah al-Furqon, 25: 48) Begitu juga dalil hadis tentang sucinya air laut sebagaimana
kata Rasulullah apabila ditanya oleh para sahabat sama ada boleh berwudhu’ dengan air laut
tidak, maka Rasulullah menjawab:

َّ ‫ه َُو‬
‫الطهُو ُر َماؤُ هُ ْال ِح ُّل َم ْي َت ُت ُه‬

“Ianya suci dan bangkainya halal dimakan.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, 1/117, no. 64. Dinilai
sahih oleh at-Tirmidzi)

Kemudian terdapat perbezaan pendapat dalam menentukan kesucian air yang telah disentuh
oleh tangan, yang telah digunakan untuk menyucikan hadas, atau yang telah terkena najis.
Perbahasan ini akan masuk ke dalam perbahasan seterusnya iaitu pembahagian jenis-jenis air.
Dan salah satu jenisnya adalah air musta’mal.

Sebahagian pandangan menyatakan air musta’mal adalah air yang kuantitinya kurang dari dua
qullah yang telah disentuh oleh anggota badan atau yang telah digunakan untuk menyucikan
hadas, sama ada untuk wudhu’ atau mandi wajib. Sebahagian pandangan lagi mengemukakan
air musta’mal adalah air yang kurang dari dua qullah yang telah digunakan untuk menyucikan
hadas pada basuhan yang pertama.

Kuantiti ukuran dengan unit qullah ini juga turut diperselisihkan di kalangan para ulama.
Secara umumnya, air yag kurang dari 2 qullah adalah air yang kurang dari isipadu 216 liter.

Hukum air musta’mal juga turut diperselisihkan, ada yang menyatakan bahawa air musta’mal
ini suci tetapi tidak menyucikan. Ada yang mengemukakan bahawa air musta’mal ini tidak
menyucikan hadas mahupun najis. Manakala sebahagian lagi mengemukakan air musta’mal ini
suci lagi menyucikan. (lihat: Ibnu Qudamah, al-Mughni, 1/29-30)

Perincian perbahasan perbezaan pandangan tentang hukum air musta’mal ini boleh disemak
dari banyak kitab-kitab fiqh muktabar yang antaranya seperti al-Umm oleh Imam asy-Syafi’i,
al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab oleh Imam an-Nawawi, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah, Fathul
Bari oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, ‘Aunul Ma’bud oleh al-Adzim Abadi, Subulus Salam oleh ash-
Shan’ani, dan termasuk juga kitab-kitab fiqh kontemporari seperti Shahih Fiqhus Sunnah oleh
Abu Malik Kamal.

Apa Dalil-dalilnya?

Setelah meneliti beberapa pandangan, penulis lebih cenderung terhadap pendapat yang
menyatakan air musta’mal adalah suci dan menyucikan selagi mana sifat air tersebut tidak
berubah dari konsteks rasa, warna, atau bau dan padanya tidak bercampur dengan najis.

Pendapat ini dikuatkan dengan dalil-dalil yang banyak sebagai pedoman. Antaranya adalah
sebagaimana hadis berikut:
َ ‫ان أَ ْخ َب َرهُ أَ َّن ُه َرأَى ع ُْث َم‬
َ ‫ان ب َْن َع َّف‬
‫ان‬ َ ‫ان َم ْولَى ع ُْث َم‬
َ ‫أَنَّ حُمْ َر‬

ِ ‫َس َل َوجْ َه ُه ثَاَل ًثا َو َي َد ْي ِه إِلَى ْالمِرْ َف َقي‬


َ ‫ْن ثَاَل‬
‫ث‬ َ ‫غَسلَ ُه َما ُث َّم أَ ْد َخ َل َيمِي َن ُه فِي اإْل ِ َنا ِء َف َمضْ َم‬
َ ‫ض َواسْ َت ْنشَقَ ُث َّم غ‬ َ ‫ار َف‬ ٍ ‫ث م َِر‬ َ ‫دَ َعا ِبإِ َنا ٍء َفأ َ ْف َر َغ َعلَى َك َّف ْي ِه ثَاَل‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َمنْ َت َوضَّأ َ َنحْ َو وُ ضُوئِي َه َذا ُث َّم‬ َ ِ ‫ْن ُث َّم َقا َل َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬
ِ ‫ار إِلَى ْال َكعْ َبي‬ ٍ ‫ث م َِر‬ َ ‫َس َل ِرجْ لَ ْي ِه ثَاَل‬َ ‫ار ُث َّم َم َس َح ِب َر ْأسِ ِه ُث َّم غ‬ ٍ ‫م َِر‬
‫ِيه َما َن ْف َس ُه ُغف َِر لَ ُه َما َت َق َّد َم مِنْ َذ ْن ِب ِه‬
ِ ‫ثف‬ ُ ‫ْن اَل ي َُح ِّد‬
ِ ‫صلَّى َر ْك َع َتي‬ َ

Bahawasanya Humran – bekas hamba kepada ‘Utsman (B. ‘Affan) mengkhabarkan - bahawa ia
telah melihat ‘Utsman B. ‘Affan minta untuk diambilkan sebuah bekas (berisi air). Kemudian
beliau menuangkan pada tapak tangannya tiga kali lalu membasuh keduanya. Kemudian
beliau memasukkan tangan kanannya ke dalam bekas tersebut (mencedok air) lalu
berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, kemudian membasuh mukanya tiga
kali, kemudian membasuh kedua tangannya sehingga ke siku tiga kali, kemudian mengusap
kepala, kemudian membasuh kedua kakinya tiga kali hingga ke kedua mata kakinya.

Setelah itu beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Sesiapa berwudhu’ seperti wudhu’ku ini, kemudian dia solat dua rakaat dan tidak berbicara
di antara keduanya, maka dosanya yang telah lalu akan diampunkan.” (Hadis Riwayat al-
Bukhari, 1/277, no. 155)

Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu berkata:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِب ْال َها ِج َر ِة َفأُت َِي ِب َوضُو ٍء َف َت َوضَّأ َ َف َج َع َل ال َّناسُ َيأْ ُخ ُذ‬
َ ‫ون مِنْ َفضْ ِل َوضُو ِئ ِه َف َي َت َم َّسح‬
‫ُون ِب ِه‬ َ ِ ‫َخ َر َج َعلَ ْي َنا َرسُو ُل هَّللا‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah keluar bersama-sama kami ketika waktu
tengah hari, lalu dibawakan air kepada beliau untuk berwudhu’, dan beliau pun berwudhu’
dengannya. Kemudian para sahabat mengambil sisa-sisa air wudhu’ beliau, lalu
mengusapkan (berwudhu’) dengannya.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 1/319, no. 181)

Imam al-Bukhari rahimahullah meletakkan hadis ini dalam bab, “Menggunakan Sisa Wudhu’
Orang Lain.”

Kata al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah (Wafat: 852H), “Dari hadis ini, dapat
difahami bahawa air sisa wudhu’ tersebut adalah air yang mengalir dari anggota wudhu’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Kemudian beliau menyimpulkan, “Maka ini adalah dalil
yang jelas bahawa air musta’mal adalah air yang suci (untuk mengangkat hadas).” (Fathul
Bari, 1/295)

Dalam hadis yang lain:

‫ َفأ َ ْك َفأ َ َعلَى‬،‫ َف َت َوضَّأ َ لَ ُه ْم وُ ضُو َء ال َّن ِبيِّ صلى هللا عليه وسلم‬،ٍ‫ َفدَ َعا ِب َت ْو ٍر مِنْ َماء‬،‫ْن َز ْي ٍد ُس ِئ َل َعنْ وُ ضُو ِء ال َّن ِبيِّ صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫َع ْب ِد هللا ب‬
‫ ُث َّم أَ ْد َخ َل َي َدهُ َف َغ َس َل َوجْ َه ُه َثالَ ًثا‬،ٍ‫ث َغ َر َفات‬ َ ‫ َف َمضْ َم‬،‫ ُث َّم أَ ْد َخ َل َيدَ هُ فِي ال َّت ْو ِر‬،‫ فَغَ َس َل َيدَ ْي ِه َثالَ ًثا‬،‫َي ِد ِه م َِن ال َّت ْو ِر‬
ِ َ‫ َواسْ َت ْن َث َر ِب َثال‬، َ‫ض َواسْ َت ْنشَق‬

“‘Abdullah B. Zaid pernah ditanya tentang wudhu’nya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Lalu
beliau minta diambilkan satu gayung air, beliau pun memperlihatkan kepada mereka cara
wudhu’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau menuangkan air dari gayung ke telapak
tangannya lalu mencucinya tiga kali, kemudian memasukkan tangannya ke dalam bekas
mengambil air, beliau berkumur-kumur serta memasukkan air ke dalam hidung dengan air
yang sama sebanyak tiga kali, kemudian memasukkan tangannya ke dalam bekas mengambil
air lalu membasuh mukanya tiga kali dengan air yang sama... (sehingga selesai).” (Hadis
Riwayat al-Bukhari, 1/317, no. 180)
Hadis ini menunjukkan dengan air yang sama boleh digunakan untuk tiga kali pengulangan
penyucian bagi setiap anggota wudhu’. Dan bolehnya mencelupkan tangan ke dalam air di
dalam bekas untuk berwudhu’.

Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan:

—‫وروى عن علي وابن عمر وأبي امامه وعطاء والحسن ومكحول والنخعي انهم قالوا فيمن نسى مسح رأسه فوجد في لحيته بلال يكفيه مسحه‬
‫ قال ابن المنذر وهذا يدل على أنهم يرون المستعمل مطهرا قال وبه أقول‬:‫بذلك البلل‬

Diriwayatkan daripada ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Abu Umamah, ‘Atha’, al-Hasan, Makhul, dan an-
Nakha’i, bahawasannya mereka berkata:

“Sesiapa yang lupa membasuh kepalanya (ketika berwudhu’) kemudian ia mendapati ada air
yang membasahi janggutnya, maka cukuplah ia membasuh kepalanya dengan air tersebut.”
Beliau (Ibnu al-Mundzir) berkata lagi:

“Ini menunjukkan bahawa mereka menetapkan air musta’mal itu adalah menyucikan. Dan
dengan pendapat inilah aku berpegang.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1/153)

Hadis berikut juga menjadi dalil sucinya air musta’mal:

(Ketika berhenti dalam satu perjalanan) Abu Juhaifah menceritakan:

َ ‫اب ِم ْن ُه َش ْي ًئا َت َم َّس َح ِب ِه َو َمنْ لَ ْم يُصِ بْ ِم ْن ُه أَ َخ َذ مِنْ َبلَ ِل َي ِد‬


‫صاح ِِب ِه‬ َ ‫ص‬َ َ‫ك ْال َوضُو َء َف َمنْ أ‬
َ ِ‫ُون َذل‬ ُ ‫ْت ِباَل اًل أَ ْخ َر َج َوضُوءًا َف َرأَي‬
َ ‫ْت ال َّن‬
َ ‫اس َي ْب َت ِدر‬ ُ ‫َو َرأَي‬
“Aku melihat Bilal mengeluarkan air wudhu’, lalu aku melihat orang-orang bersegera
mendatangi air wudhu’ tersebut. Maka siapa yang mendapat sedikit darinya, ia pun
berwudhu’ dengannya, dan sesiapa yang tidak mendapatnya maka mereka mengambil air
tersebut dari basahan tangan sahabatnya yang lain.” (Hadis Riwayat Muslim, 3/68, no. 778)

Seterusnya, hadis daripada ar-Rubayyi’. Beliau berkata:

َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم َس َح ِب َر ْأسِ ِه مِنْ َفضْ ِل َما ٍء َك‬


‫ان فِي َي ِد ِه‬ َ َّ‫أَنَّ ال َّن ِبي‬

“Bahawasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengusap kepalanya dari sisa air wudhu’
yang di tangannya.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 1/162, no. 111. Bab: Sifat Wudhu’ Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dinilai hasan oleh al-Albani)

Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahawa air sisa wudhu’ pada satu anggota boleh
dimanfaatkan untuk menyucikan bahagian anggota wudhu’ yang lainnya pula.

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (Wafat: 728H) mengatakan, “Air musta’mal yang
digunakan untuk menyucikan hadas tetap dianggap sebagai suci.” (Majmu’ al-Fatawa, 20/519)

Wallahu a’lam, dari sini menunjukkan bahawa air musta’mal itu adalah suci secara umumnya.
Malah banyak lagi hadis-hadis lainnya yang menguatkan perkara ini.

Hadis Yang Diperselisihkan


Kemudian para ulama berselisih sama ada lelaki boleh bersuci menggunakan sisa air wanita
atau pun tidak. Demikian juga sebaliknya sama ada wanita boleh bersuci menggunakan sisa air
lelaki atau pun tidak. Di antara hadis yang diperselisihkan adalah sebagaimana dalam Riwayat
Abu Daud:

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَنْ َت ْغ َتسِ َل ْال َمرْ أَةُ ِب َفضْ ِل الرَّ ج ُِل أَ ْو َي ْغ َتسِ َل الرَّ ُج ُل ِب َفضْ ِل ْال َمرْ أَ ِة َزا َد ُم َس َّد ٌد َو ْل َي ْغ َت ِر َفا َجمِيعًا‬
َ ِ ‫َن َهى َرسُو ُل هَّللا‬

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang wanita mandi menggunakan sisa air
seorang lelaki, atau seorang lelaki mandi menggunakan sisa air wanita.” Musaddad (perawi)
menambah, “Masing-masing perlu mengambil (menyedok) air sendiri-sendiri secara bersama.”
(Sunan Abi Daud, 1/115, no. 74. Dinilai sahih oleh al-Albani)

Juga dalam Riwayat Abu Daud:

‫ُور ْال َمرْ أَ ِة‬ َ َ َ َّ‫أَنَّ ال َّن ِبي‬


ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َن َهى أنْ َي َت َوضَّأ الرَّ ُج ُل ِب َفضْ ِل َطه‬

“Bahawsanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang seorang lelaki berwudhu’


menggunakan air sisa seorang wanita.” (Sunan Abi Daud, 1/116, no. 75. Hadis ini
diperselisihkan kesahihannya)

Hadis ini menimbulkan beberapa kesimpulan pandangan yang saling berbeza dari kalangan
ulama sama ada dari kalangan sahabat, tabi’in, atau setelah mereka.

Dari itu, sebahagian ulama telah berusaha melakukan usaha menjama’kan (kompromi) di
antara dalil-dalil tersebut. Dan hasilnya membuahkan beberapa kesimpulan pandangan.
Pandangan yang pertama mengatakan, “Boleh berwudhu’ dengan air sisa tersebut. Ini adalah
pendapat majoriti ulama. Mereka beralasan dengan apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
Shahihnya dari Ibnu ‘Abbas bahawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mandi dengan
menggunakan air sisa mandian isterinya Maimunah. Manakala dalam kitab Sunan yang
empat dari Ibnu ‘Abbas pula menjelaskan seorang wanita dari kalangan isteri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mandi kerana junub, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
datang dan berwudhu’ dengan air sisanya. Isteri beliau tersebut pun berkata, “Aku telah
mandi dengan air tersebut.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda, “Sebenarnya air tersebut tidak menjadi najis dengan sesuatu pun.” Dalam
riwayat yang lain, “Air tersebut tidak berjunub.” (Aunul Ma’bud, 1/151- al-Maktabah as-
Salafiyah)

Juga sebagaimana hadis daripada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

َ ُّ‫ت أَ ْغ َتسِ ُل أَ َنا َوال َّن ِبي‬


ٌ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم مِنْ إِ َنا ٍء َوا ِح ٍد ِكاَل َنا ُج ُنب‬ ُ ‫ُك ْن‬

“Aku pernah mandi bersama-sama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari satu bekas, dan
ketika itu kami sedang dalam keadaan junub.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 1/499, no. 290)

Pandangan kedua mengatakan, “Larangan tersebut merujuk kepada air yang jatuh atau
menitik dari anggota wudhu’ atau mandi (ketika mengangkat hadas), manakala hadis-hadis
yang membolehkan tersebut adalah merujuk kepada air yang masih tersisa di dalam bekas.”
(lihat: al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 1/153. Fathul Bari, 1/300. ‘Aunul Ma’bud, 1/151.
Shahih Fiqhus Sunnah, 1/107)

Manakala pandangan yang ketiga pula mengatakan, “Larangan dalam hadis tersebut hanya
merujuk kepada hukum makruh (tanzih), dan wudhu’ atau mandinya adalah sah dengan air
sisa tersebut.” (lihat: Fathul Bari, 1/300. Aunul Ma’bud, 1/151- al-Maktabah as-Salafiyah,
Shahih Fiqhus Sunnah, 1/107)

Wallahu a’lam, padangan yang pertengahan adalah pandangan ketiga ini. Iaitu makruh bagi
lelaki menggunakan sisa air wudhu' atau air mandi wanita. Demikian juga sebaliknya, makruh
bagi seorang wanita menggunakan sisa air wudhu' atau air mandi lelaki.

Walau bagaimanapun, pilihlah mana-mana pendapat yang dirasakan memuaskan dan


mententeramkan hati bagi kesempurnaan amalan ibadah kita asalkan padanya didirikan
dengan hujah (dalil).

Wallahu a’lam.

D I C A T A T O L E H   N A W A W I B I N S U B A N D I   D I   S E L A S A , N OV E M B E R 2 2 , 2 0 1 1    

LABEL: BERSUCI

Artinya: Madzhab Syafi'i mendefinisikan air musta'mal sebagai air sedikit yang digunakan untuk
melakukan sesuatu yang wajib secara hakiki (untuk orang mukallaf) atau non-hakiki (bukan
mukallaf) seperti menghilangkan hadas atau menghilangkan najis. Yang dimaksud air sedikit
adalah air yang kurang dari dua qullah. Apabila seseorang berwudhu atau mandi wajib dari air
sedikit lalu ia mencelupkan tangannya untuk membasuh tangan setelah membasuh wajah
dengan tangannya, maka air menjadi musta'mal. Air menjadi musta'mal dengan beberapa
syarat: syarat pertama, digunakan untuk bersuci yang wajib, apabila berwudhu untuk shalat
sunnah atau menyentuh Al-Quran, dan lainnya maka air tidak disebut musta'mal dengan
mencelupkan. Syarat kedua, air itu berada pada basuhan pertama. Apabila membasuh wajah di
luar bejana satu kali, lalu meletakkan tangannya untuk membasuh untuk kedua atau ketiga
kalinya, maka air tersebut bukan musta'mal. Syarat ketiga, air itu sedikit sejak awal. Apabila air
itu awalnya dua qullah atau lebih, lalu dipisah dalam satu wadah maka ia tidak menjadi
musta'mal dengna mencelupkan padanya. Sama dengan itu (bukan musta'mal) apabila air
musta'mal yang sedikit dikumpulkan sampai menjadi dua qullah, maka ia menjadi banyak dan
tidak apa-apa mencelupkan anggota tubuh ke dalamnya. Syarat keempat, air terpisah dari
tubuh. Apabila air mengalir pada tangan dan belum terpisah darinya, maka air itu bukan
musta'mal.

Anda mungkin juga menyukai