Skizofrenia Paranoid
Pembimbing:
Oleh:
DESEMBER 2019
Kesimpulan
Dalam keluarga Tn NS yang berbentuk Commune Family, terdiri dari Tn.NS (53 thn)
merupakan anak kedua dia keluarga tsb, penderita yaitu Nn. SH (43 thn) dan Tn A (40
tahun) yang beralamat di Cempaka Baru RT/RW 15/3, Kemayoran Jakarta Pusat.
Diagnosa klinis penderita adalah Skizofrenia Paranoid. Penderita adalah anak ke 6 dari 7
bersaudara. Kedua orang tua pasien sudah meninggal dan pasien saat ini tinggal dirumah
peninggalan orang tuanya bersama 1 kakak dan 1 adiknya.
STATUS PENDERITA
A. PENDAHULUAN
Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang penderita
skizofrenia paranoid berjenis kelamin perempuan dan berusia 43 tahun yang tinggal di
Cempaka Baru RT/RW 15/3, Kemayoran Jakarta Pusat. Skizofrenia merupakan salah satu
gangguan psikotik yang paling sering terjadi. Gangguan ini dapat terjadi baik pada wanita
(usia awitan 25 - 35 tahun) maupun pria (usia awitan 15 - 25 tahun). Skizofrenia sendiri
adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran dan persepsi yang timbul
dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi.
Seorang pasien dapat dikatakan pasien skizofrenia bila manifestasi klinis yang terjadi
sudah selama 1 (satu) bulan (berdasarkan PPDJI-III).
B. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. SH
Umur : 43 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Anak ke :6
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status Perkawinan : Belum menikah
Alamat : Cempaka Baru RT/RW 15/3, Kemayoran Jakarta Pusat
Suku : Jawa
Tanggal kunjungan : 2 Desember 2019
C. Anamnesis
1. Sebab dibawa ke RS:
Pasien dibawa oleh ibu-nya karena sering tertawa, menangis, berteriak dan
berbicara sendiri di dalam kamar
2. Riwayat perjalanan penyakit :
Pasien datang dengan diantar ibu kandungnya ke Rumah Sakit Jiwa
Soeharto Heerdjan ( RSJSH ) kurang lebih 20 tahun lalu karena sejak 2 bulan
terakhir sering tertawa, menangis, berteriak dan berbicara sendiri didalam kamar.
Menurut pengakuan pasien, pasien sering diajak bicara oleh orang asing yang
masuk ke dalam dirinya. Pada awalnya suaranya tidak jelas dan hanya bergumam
saja. Setelah beberapa hari muncul suara tersebut, os merasa ketakutan karena
merasa suara yang muncul menakutkan. Os mengaku suara tersebut sering
menyuruhnya berbuat jahat dan melukai dirinya sendiri dengan ancaman-
ancaman. Kakak pasien mengatakan perilaku tidak biasa mulai ditunjukan pasien 2
bulan sebelum dibawa ke RSJSH; misalnya sering mandi tengah malam,
menguras dan mencuci bak mandi tengah malam, mencoret-coret dinding rumah,
membuang dan membakar perabotan rumah. 1 bulan sebelum dibawa ke RSJSH,
pasien pernah meminum baygon karena mendengar suara perintah untuk
melakukan hal tersebut. Pasien menyangkal adanya hilang minat, mudah lelah,
susah tidur, susah makan, senang yang berlebihan, konsumsi rokok, alcohol dan
obat-obatan.
8. Riwayat kebiasaan
Riwayat merokok (-)
Riwayat minum alkohol (-)
Riwayat olahraga: tidak ada
Riwayat pengisian waktu luang: (-)
E. PROSES PIKIR
I. Arus Pikir
1. Produktivitas : Cukup
2. Kontinuitas : Cukup ( jawaban sesuai dengan pertanyaan)
3. Hendaya Berbahasa : Tidak ada
II. Isi Pikir
1. Preokupasi : Tidak ada
2. Waham : Waham dikendalikan
3. Obsesi : Tidak ada
4. Gagasan Rujukan : Tidak ada
5. Gagasan Pengaruh : Ada
F. PENGENDALIAN IMPULS
Kemampuan mengendalikan impuls cukup baik saat di ruangan.
Pasien bersikap tenang selama di wawancara. Tidak melakukan hal yang
membahayakan bagi dirinya maupun pasien lain.
G. DAYA NILAI
I. Daya Nilai Sosial
Tidak terganggu ( pasien mengetahui bahwa marah dan memukul tidak
baik )
II. Uji Daya Nilai
Tidak terganggu ( pasien mengetahui memberikan tempat duduk pada
orang tua di kereta adalah hal baik )
III. Penilaian Realita
Terganggu ( karena pasien memiliki waham dan halusinasi )
H. TILIKAN
Tilikan Derajat 4 ( Pasien menyadari dirinya sakit dan juga mengetahui
bahwa gangguan tersebut berasal dari pikirannya sendiri, namun belum
dapat menerapkannya untuk perbaikan)
I. RELIABILITAS
Dapat dipercaya ( dalam waktu yang berbeda dapat memberikan kesimpulan
yang sama )
Formulasi Diagnostik
Susunan formulasi diagnostik ini berdasarkan ikhtisar penemuan bermakna
dengan urutan untuk evaluasi multiaksual, dan berdasarkan ikhtisar penemuan
bermakna, kasus ini dapat dinyatakan mengalami gangguan jiwa karena adanya :
1. Distress/ penderitaan/ keluhan
Berbicara dan tertawa sendiri, berteriak, menangis tanpa sebab
2. Gangguan ( hendaya ) Fungsi
Gangguan dalam sosialisasi, fungsi interpersonal dan fungsi pekerjaan
terganggu
3. Gejala Kejiwaan berupa
a. Waham : dikendalikan
b. Halusinasi : Auditorik dan Visual
c. Perilaku terdisorganisasi : berbicara dan tertawa sendiri,
berteriak, menangis tanpa sebab
Gangguan Jiwa ini bukan merupakan gangguan mental organik, karena tidak
adanya:
Penyakit organic spesifik yang diduga berkaitan dengan gangguan jiwa
Penurunan kesadaran patologis
Gangguan sensorium atau gangguan neurologis
Gangguan fungsi kognitif ( memori, intelektual, dan learning )
Gangguan jiwa ini juga bukan merupakan akibat penyalahgunaan NAPZA, karena :
Tidak ada riwayat penggunaan NAPZA
Menurut PPDGJ III, pasien ini memenuhi kriteria diagnostic Skizofrenia , yaitu :
Adanya waham dikendalikan
Adanya halusinasi ( Auditorik dan Visual )
Gejala-gejala tersebut telah lama berlangsung selama kurun waktu 1 bulan
atau lebih
Adanya penarikan diri dan larut dalam diri sendiri
Tidak memenuhi kriteria diagnostic skizoafektif ( tidakada gangguan mood
afek yang menonjol )
Daftar problem
1. Organobiologik : Tidak ada
2. Psikologik : waham dan halusinasi ( auditorik dan visual )
3. Sosiobudaya : Hendaya fungsi pekerjaan
Penatalaksanaan
Psikofarmaka
Risperidon 2 x 2 mg
Adalah antipsikotik golongan atipikal yang potensial tinggi, digunakan untuk
menghilangkan gejala positif
Trihexylphenidyl 2 x 2 mg
Merupakan antikolinergik digunakan apabila ada gejala ekstrapiramidal
akibat penggunaan antipsikotik atipikal. Jika tidak ada gejala tidak
diberikan.
Psikoterapi
Persuasif memotivasi pasien dan menganjurkan pasien untuk selalu
minum obat secara teratur agar penyakitnya sembuh dan menjelaskan
kepada pasien apa yang akan terjadi jika obat tidak diminum
Meyakinkan pasien bahwa ia sanggup mengatasi masalah yang
dihadapinya
Menggoyahkan keyakinan pasien bahwa waham tersebut tidak benar
Psikoterapi suportif dari keluarga
Memberikan bimbingan yang baik sehingga pasien lebih dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya
IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA
A. FUNGSI HOLISTIK
1. Fungsi Biologis
Keluarga terdiri dari Tn.NS (53 thn) merupakan anak kedua dia keluarga tsb,
penderita yaitu Nn. SH (43 thn) dan Tn A (40 tahun) Keluarga tidak mengetahui
penyebab dari penyakit yang diderita pasien. Semasa hidup, kedua orang tua dari nn
SH sangat menyayangi pasien dan selalu berada disisi pasien, saling mendukung dan
memotivasi pasien untuk rutin berobat
2. Fungsi Psikologis
Hubungan pasien dengan keluarganya cukup harmonis saling pengertian dan
tidak saling menjauhi
3. Fungsi Sosial
Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu, hanya sebagai anggota
masyarakat biasa.
KESIMPULAN
Fungsi psikologis pasien terganggu dan sosial dalam keluarga Nn. SH dalam
kondisi baik
B. GENOGRAM KELUARGA
Diagram 1. Genogram Keluarga
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
a. Pengetahuan
Keluarga tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit yang
diderita oleh pasien. pasien sering berobat ke puskesmas untuk control
b. Sikap
Keluarga ini sangat menyayangi penderita, keluarga ini sangat perduli
terhadap kesehatan penderita
Kamar
Dapur +
tidur 2
ruang makan
Kamar
mandi Kamar
tidur 3
Kamar
tidur 1
Garasi
Ruang tamu
+ Ruang
keluarga
Teras
Pembahasan
DEFINISI
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu
sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek
tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi pikiran
dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai kenyataan, dan
mencakup waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam
beberapa jenis, menurut gejala utama yang terdapat pada pasien, salah satunya
adalah skizofrenia paranoid.9 Skizofrenia paranoid merupakan subtipe yang paling
umum (sering ditemui) dan paling stabil, dimana waham dan halusinasi auditorik
jelas terlihat.1,2,7 Pada pasien skizofrenia paranoid, pasien mungkin tidak tampak
sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala paranoid.6
EPIDEMIOLOGI
Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka
insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Menurut DSM-IV-
TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan
beberapa variasi geografik.3 Skizofrenia yang menyerang kurang lebih 1 persen
populasi, biasanya bermula di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan
mengenai orang dari semua kelas sosial.3,7
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan risiko
morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa
remaja atau awal dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun atau di atas
usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia yang lebih awal
daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, dan
untuk wanita usia puncak onsetnya adalah 25 sampai 35 tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung mengalami
hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita lebih cenderung
memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan
penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin skizofrenia wanita lebih baik dibandingkan
hasil akhir pasien skizofrenia pria.3
ETIOLOGI
Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7
Namun, skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan gabungan
antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor
neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut:
2.4.1 Faktor Neurobiologis
2.4.1.1 Faktor Genetika
Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas),
skizofrenia adalah gangguan bersifat keluarga.7 Penelitian tentang
adanya pengaruh genetika atau keturunan terhadap terjadinya
skizofrenia tersebut telah membuktikan bahwa terjadinya peningkatan
risiko terjadinya skizofrenia bila terdapat anggota keluarga lainnya
yang menderita skizofrenia, terutama bila hubungan keluarga tersebut
dekat (semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin tinggi
risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi
perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita skizofrenia. 2
Pada penelitian anak kembar, terjadi peningkatan resiko seseorang
menderita skizofrenia akan lebih tinggi pada kembar identik atau
monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali lebih sering dibandingkan
kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui gen
resesif.9 Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi
selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan
terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak. Angka presentasi terjadinya
skizofrenia dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
MANIFESTASI KLINIS
Pada DSM-IV (Diagnostic and statistical manual) menyebutkan bahwa tipe
paranoid ditandai oleh keasyikan (preokupasi) pada satu atau lebih waham atau
halusinasi dengar yang sering, dan tidak ada perilaku spesifik lain yang
mengarahkan pada tipe terdisorganisasi atau katatonik.4 Skizofrenia paranoid secara
klasik ditandai oleh adanya waham persekutorik (waham kejar) atau waham
kebesaran.
PATOFISIOLOGI
KRITERIA DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria
DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien skizofrenia, yaitu:7
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood
mayor, autisme, atau gangguan organik.
Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari subtipe
yang telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi
perilaku yang paling menonjol.7 Berdasarkan PPDGJI-III, maka pedoman diagnostik
skizofrenia paranoid (F20.0), yaitu :5
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Sebagai tambahan :
Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah,
atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “passivity”
(delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam,
adalah yang paling khas
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah gangguan psikotik
lain, dapat berupa gangguan skizofreniform dan gangguan skizoafektif. Pada
gangguan skizofreniform, gejalanya sama dengan skizofrenia, namun berlangsung
sekurang-kurangnya 1 bulan, tetapi kurang dari 6 bulan. 3 Pada pasien dengan
skizofreniform, akan kembali ke fungsi normal ketika gangguan hilang. Bila suatu
sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama skizofrenia,
maka hal itu adalah gangguan skizoafektif, yang mempunyai gambaran baik
skizofrenia maupun gangguan afektif (gangguan mood).3
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,
sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran mental).2,9
Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan pengobatan dan
bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat berfungsi terus, bekerja
sederhana di rumah atau pun di luar rumah.9 Penatalaksanaan yang dapat diberikan
pada pasien skizofrenia paranoid dapat berupa penatalaksanaan non-farmakologis
dan farmakologis.
PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGIS
Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat
di rumah sakit.6 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada
pasien dan membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka.
Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit
pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. 4 Rawat inap
diindikasikan terutama untuk :1,3
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan,
maupun mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya,
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun
lingkungan
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS
Pemberian obat-obat anti-psikosis
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom
psikosis fungsional) merupakan penatalaksanaan yang utama.
3
Pengobatan anti-psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-an. Pemilihan
jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan
(fase akut atau kronis) dan efek samping obat. 8,9 Fase akut biasanya
ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang
perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat
pengobatan simtomatik.13 Obat anti-psikosis efektif mengobati “gejala
positif” pada episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena
passivity) dan mencegah kekambuhan.2,9 Obat-obat ini hanya mengatasi
gejala gangguan dan tidak menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan
dapat diberikan secara oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot
jangka panjang.2
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia,
pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek
samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan
mengurangi ketaatanberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan
(adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau
antipsikosis tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah.9
PROGNOSIS
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti bahwa sudah
tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu
akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi mental). 9 Sekarang dengan
pengobatan modern, ternyata bila penderita itu datang berobat dalam tahun pertama
setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama
sekali (full remission atau recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke
masyarakat walaupun masih didapati cacat sedikit yang mereka masih harus sering
diperiksa dan diobati selanjutnya (social recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama untuk
menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik pertama, sehat dalam
waktu satu tahun, 80% mengalami episode selanjutnya dalam lima tahun, dan 10%
meninggal karena bunuh diri.2 Kira-kira 50 persen dari semua pasien dengan
skizofrenia mencoba bunuh diri sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai
15 persen pasien skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode follow-up
20 tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk
melakukan bunuh diri.
KESIMPULAN
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti “terpisah” atau
“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau
ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Skizofrenia merupakan suatu
sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul,
anhedonia, deteriorasi, serta dapat ditemukan uji kognitif yang buruk.
Emil Kraepelin membagi skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utam
yang terdapat pada pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid. Skizofrenia
paranoid merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil,
dimana waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat. Pada pasien skizofrenia
paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala
paranoid.
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia paranoid harus dilakukan sesegera
mungkin setelah didiagnosis, sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara
onset gejala dan penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk
(kemunduran mental). Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi
dengan pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah. Terapi yang
diberikan dapat dengan non-formakologi (rawat inap dan terapi psikososial) melalui
keluarga dan lingkungannya dan farmakologi dengan pemberian obat anti-psikosis
tipikal (APG-I) atau anti-psikosis atipikal (APG-II) berdasarkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat).
DAFTAR PUSTAKA
1. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Editor : Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. 2014:910-3.
2. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena, Etiologi, Penangan dan Prognosis. Editor :
Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius Katona, Claudia Cooper, dan Mary
Robertson. Edisi 4. Jakarta : Erlangga. 2012:18-21.
3. Skizofrenia. Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock - Buku
Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014:147-68.
4. Skizofrenia. Editor : I. Made Wiguna S. Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri - Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa Aksara Publisher.
2010:699-744.
5. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham : Skizofrenia (F20). Editor :
Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-
5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2013:46-8.
6. Skizofrenia dan Gangguan Waham (Paranoid). Editor : Husny Muttaqin dan Frans
Dany. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2013:147-50.
7. Skizofrenia. Editor : Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri.
Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2013:173-98.
8. Obat Anti-psikosis. Editor : Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 2007:14-22.
9. Skizofrenia. Editor : Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press. 2009:259-81.
10. Terapi Biologis - Antagonis Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal. Editor : Husny
Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2.
Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014:498-502.
11. Antipsychotic Agents. Stahl’s Essential Psychopharmacology. 4 th Edition. Diunduh
dari : http://stahlonline.cambridge.org/essential_4th_chapter.jsf
12. Psychosis and Schizophrenia. Editor : Stahl, Stephen M. Antipsychotics and Mood
Stabilizers : Stahl’s Essential Psychopharmacology. 3rd Edition. England : Cambridge
University Press. 2008:26-34.
13. Psikotropik. Editor : Sulistia Gan Gunawan, Rianto Setiabudy, dkk. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2007:161-9.