Anda di halaman 1dari 6

DEFINISI

Opioid adalah bahan psikoaktif yang bekerja dengan mengikat reseptop opioid, yang
ditemukan terutama di pusat dan system saraf perifer dan saluran pencernaan. Reseptor dalam
system orang memediasi efek opioid yang menguntungkan dan efek samping opioid. Opioid
adalah salah satu obat tertua di dunia yang dikenal, penggunaan opium poppy untuk manfaat
terapeutik telah banyak diketahui dalam sejarah.
Analgesik (penghilang rasa akit) adalah efek dari opioid yang menyebabkan persepsi
penurunan nyeri, penurunan reaksi terhadap rasa sakit, serta toleransi sakit meningkat. Efek
samping opioid termasuk sedasi, depresi pernapasan, konstipasi, dan euphoria yang kuat.
Opioid dapat menyebabkan penekanan batuk, yang dapat menjadi keduanya merupakan
indikasi untuk pemberian opioid atau efek samping yang tidak diinginkan.

EPIDEMIOLOGI
Orang dengan ketergantungan opioid paling sering menggunakan herioin. Menurut
DSM-IV-TR, prevalensi seumur hidup pengguna heroin adalah sekitar 1%, dengan 0,2%
pernah mengonsumsi zat tersebut dalam tahun sebelumnya. Jumlah pengguna heroin saat ini
diperkirakan antara sekitar 600.000-800.000. Jumlah orang yang diperkirakan menggunakan
heroin pada suatu waktu dalam kehidupan mereka (pengguna seumur hidup) adalah sekitar
2juta. Rasio pria terhadap wanita dengan ketergantungan heroin adalah sekitar 3 : 1.
Pengguna opioid biasanya mulai menggunakna zat pada usia remaja dan awal 20-an; saat ini,
sebagian besar orang dengna ketergantungan opioid berusia 30-an sampai 40-an. Menurut
DSM-IV-TR, kecenderungan ketergantungan mengalami remisi biasanya dimulai setelah usia
40 tahun dan disebut pendewasaan. Namun, banyak orang tetap tergantung pada opioid
selama 50 tahun atau lebih.

NEUROFARMAKOLOGI
Efek primer opioid diperantai reseptor opioid, yang ditemukan pada paruh kedua
1970-an. Reseptor opioid-μ terlibat dalam regulasi dan mediasi analgesia, depresi napas,
konstipasi, dan ketergantungan; reseptor opioid-κ, dengan analgesia, diuresis dan sedasi;
serta. Reseptor opioid-δ, mungkin dengan analgesia.
Pada tahun 1974, enkefalin, suatu pentapeptide endogen dengna kerja lir-opioid,
diidentifikasi. Penemuan ini menuntun identifikasi tiga kelas opioid endogen di dalam otak,
termasuk endorphin dan enkefalin. Endorphin terlibat dalam transmisi neural dan supresi
nyeri. Zat ini di lepaskan secara alami dalam tubuh ketika seseorang terluka secara fisik dan
sebagian bertanggungjawab atas ketiadaan nyeri saat cedera akut.
Opioid juga memiliki efek signifikan terhadap system dopaminergic dan
noradrenergic. Sejumlah tipe data mengindikasikan bahwa sifat adiktif rewarding opioid
diperantarai melalui aktivitas neuron dopaminergic arena tegmental ventral yang berjalan ke
korteks serebri dan system limbik.
Hasil dari sekurangnya satu penelitian yang menggunakan tomografi emisi positron
(PET scan) menemukan bahwa salah satu efek dari semua opioid adalah penurunan aliran
darah otak pada regio otak tertentu pada orang dengan ketergantungan opioid.

TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN


Toleransi tidak timbul secara seragam terhadap semua kerja obat opioid. Toleransi
terhadap beberapa kerja opioid dapat sangat tinggi sehingga diperlukan peningkatan dosis
seratus kali lipat untuk menghasilkan efek seperti semula. Sebagai contoh, pasien kanker
stadium terminal mungkin memerlukan morfin 200-300mg per hari, sementara dosis 60mg
dapat dengan mudah menjadi fatal pada orang yang belum pernah menggunakan opioid.
Gejala putus opioid tidak tampak kecuali seseorang telah menggunakan opioid dalam jangka
waktu lama atau ketika dihentikan secara mendadak, seperti yang terjadi secara fungsional
ketika antagonis opioid diberikan. Penggunaan jangka panjang opioid menyebabkan
perubahan jumlah dan sensitivitas reseptor opioid, yang memerantarai setidaknya beberapa
efek toleransi dan keadaan putus zat. Meski penggunaan jangka Panjang dikaitkan dengna
peningkatan sensitivitas neuron dopaminergik, kolinergik, dan serotonergic, efek opioid pada
neuron noradrenergik mungkin menjadi mediator utama gejala putus opioid. Penggunaan
opioid jangka pendek tampaknya menurunkan aktivitas neuron noradrenergic di lokus
seruleus, penggunaan jangka panjang mengaktivasi mekanisme homeostatic kompensatorik
di dalam neuron, dan keadaan putus opioid mengakibatkan hiperaktivitas memantul
(rebound). Hipotesis ini juga memberi penjelasan mengapa klonidin, agonis reseptor
adrenergic-α 2 yang menurunkan pelepasan norepinefrin, berguna pada penanganan gejala
putus opioid.

KOMORBIDITAS
Sekitar 90% orang dengan ketergantungan opioid memiliki gangguan psikiatri
tambahan. Diagnosis komorbid psikiatri yang paling sering adalah gangguan depresi mayor,
gangguan penggunaan alcohol, gangguan kepribadian antisosial, dan gangguan ansietas.
Sekitar 15% orang dengan ketergantungan opioid pernah mencoba bunuh diri setidaknya
sekali. Tingginya prevalensi komorbiditas dengan diagnosis psikiatri lain menyoroti perlunya
mengembangakn program penanganan dengan landasan luas yang juga mencakup gangguan
psikiatri pada pasien.

ETIOLOGI
Faktor psikososial
Factor social yang dikaitkan dengna kemiskinan perkotaan mungkin berperan dalam
ketergantungan opioid. Kurang lebih 50% pengguna heroin di perkotaan adalah anak dari
orang tua tunggal atau orang tua yang bercerai dan berasal dari keluarga dengan setidaknya
satu anggota keluarga lain mengalami gangguan terkait zat. Anak yang berasal dari situasi
semacam ini berada pada risiko tinggi ketergantungan opioid, terutama bila mereka juga
menunjukan masalah perilaku di sekolah atau tanda gangguan perilaku lain.
Sejumlah pola perilaku konsisten tampaknya terutama menonjol pada remaja dengan
ketergantungan opioid. Pola ini disebut sebagai sindrom perilaku heroin: depresi yang
mendasari, sering berupa tipe agitative dan kerap disertai gejala ansietas; impulsivitas yang
ditunjukan dengan orientasi pasif-agresif; takut gagal; penggunaan heroin sebagai obat
antiansietas untuk menyamarkan perasaan harga rendah diri, keputusasaan, dan agresi;
strategi penyelesaian masalah yang terbatas dan rendahnya toleransi frustasi disertai
kebutuhan pemuasan segera; sensitivitas terhadap hal-hal yang berhubungan dengan obat,
dengan kesadaran yang tajam tentang hubungan antara perasaan nyaman dan tindakan
mengonsumsi zat; perasaan impotensi perilaku yang dilawan dengan pengambilalihan
sementara situasi kehidupan dengan menggunakan zat; serta gangguan dalam hubungan
social dan interpersonal dengan teman sebaya yang dipertahankan dengan pengalaman
menggunakan zat Bersama.

Faktor biologis dan genetic


Terdapat bukti adanya factor kerentanan yang diturunkan secara genetic yang
meningkatkan kecenderungan mengalami ketergantungan obat. Kembar monozigotik lebih
mungkin sama-sama mengalami ketergantungan opioid disbanding dizigotik.
Orang dengan gangguan terikat opioid mungkin memiliki hipoaktivitas system opiat
yang ditentukan secara genetic. Peneliti sedang meneliti kemungkinan bahwa hipoaktivitas
tersebut mungkin disebabkan reseptor opioid yang terlalu sedikit atau kurang sensitive
melalui pelepasan opioid endogen yang terlalu sedikit, atau melalui konsentrasi yang sangat
tinggi dugaan antagonis opioid endogen. Predisposisi biologi terhadap gangguan terkait
opioid mungkin juga fungsi system neurotransmitter menyebabkan dopaminergic maupun
noradrenergic yang abnormal.

Teori psikodinamik
Perilaku orang yang kecanduan narkotik telah dideskropsikan dalam istilah fiksasi
libidinal, dengan regresi ke tingkat perkembangan psikoseksual pregenital, oral, atau bahkan
yang lebih kuno. Kebutuhan menjelaskan hubungan antara penyalhgunaan zat, mekanisme
defense, pengendalian impuls, gangguan afektif, dan mekanisme adaptif mengarah ke
pergeseran dari formulasi psikoseksual ke formulasi yang menekankan psikologi ego.
Patologi ego yang serius sering dianggap berkaitan dengan penyalahgunaan zat dan dianggap
mengndikasikan gangguan perkembangan yang mendalam. Masalah relasi antara ego dan
afek muncul sebagai area kunci masalah.

DIAGNOSIS
DSM-IV-TR mendaftar beberapa gangguan terkait opioid (Tabel 1) namun hanya
memuat kriteria diagnosis spesifik intoksikasi opioid (table 2) dan keadaan putus opioid
(table 3) dalam bagian gangguan terkait opioid. Kriteria diagnosis gangguan terkait opioid
lain dimuat dalam bagian DSM-IV-TR yang secara spesifik berhubungan dengan gejala
predominan. Sebagai contoh, gangguan mood terinduksi opioid.
Tabel 1. Gangguan Terkait Opioid DSM-IV-TR
Gangguan penggunaan opioid
Ketergantungan opioid
Penyalahgunaan opioid
Gangguan terinduksi opioid
Intoksikasi opioid  apakah dengan gangguan depresi
Keadaan putus opioid
Delirium pada intoksikasi opioid
Gangguan psikotik terinduksi opioid, dengan waham  awitan saat intoksikasi
Gangguan psikotik terinduksi opioid, dengan halusianasi  awitan saat intoksikasi
Gangguan mood terinduksi opioid  awitan saat intoksikasi
Disfungsi seksual terinduksi opioid  awitan saat intoksikasi
Gangguan tidur terinduksi opioid  awitan saat intoksikasi, saat putus zat
Gangguan terkait opioid yang tak-tergolongkan
Tabel 2. Kriteria Diagnosis DSM-IV TR Intoksikasi Opioid
a. Penggunaan opioid baru-baru ini
b. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptive yang secara klinis signifikan
(contoh euphoria inisial yang diikuti apati, disforia, agitasi atau retardasi
psikomotor, daya nilai terganggu, atau fungsi social dan okupasional yang
terganggu)
c. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia pada overdosis berat) dan satu
(atau lebih) tanda berikut, timbul selama, atau segera setelah, penggunaan opioid:
1. Mengantuk atau koma
2. Bicara cadel
3. Hendaya atensi atau memori
d. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih dari diterangkan oleh
gangguan mental lain.
Tentukan apakah: dengan gangguan persepsi

Tabel 3. Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Keadaan Putus Opioid


a. Salah satu hal berikut:
1. Penghentian (atau pengurangan) penggunaan opioid yang berlangsung lama dan
memanjang (beberapa minggu atau lebih)
2. Pemberian antagonis opioid setelah periode penggunaan opioid
b. Tiga (atau lebih) tanda berikut, yang timbul dalam hitungan menit sampai beberapa
hari setelah kriteria A:
1. Mood disforik
2. Mual atau muntah
3. Nyeri otot
4. Lakrimasi atau rinorea
5. Dilatasi pupil, piloereksi, atau berkeringat
6. Diare
7. Menguap
8. Demam
9. Insomnia
c. Gejala pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya yang secara klinis
signifikan dalam gunsi social, okupasional, atau area fungsi penting lain
d. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik diterangkan oleh
gangguan mental lain.

Anda mungkin juga menyukai