Anda di halaman 1dari 24

Pengertian Adopsi  Inovasi

Adopsi   inovasi   mengandung   pengertian   yang   kompleks   dan dinamis.  Hal  ini  dise


babkan  karena  proses  adopsi  inovasi  sebenarnya adalah menyangkut  proses  pengambilan ke
putusan, dimana  dalam  proses ini  banyak  faktor  yang  mempengaruhinya.  Berarti  dalam  hal  i
ni  adalah proses pengambilan keputusan untuk menerima ide-ide baru.

Karena dalam proses adopsi inovasi diperlukan informasi yang cukup, maka calon
adopter biasanya senantiasa mencari informasi dari sumber informasi  yang relevan. Ada tiga hal
yang diperlukan bagi calon adopter dalam kaitannya dalam proses adopsi inovasi, yaitu:

a. Adanya pihak  lain yang telah melaksanakan adopsi inovasi dan berhasil dengan


sukses. Pihak yang tergolong kriteria ini dimaksudkan sebagai sumber informasi yang r
elevan.
b. Adanya suatu proses adopsi inovasi yang berjalan secara sistematis, sehingga
dapat diikuti dengan mudah oleh calon adopter.
c. Adanya hasil adopsi inovasi yang sukses dalam artian telah memberikan
keuntungan, sehingga dengan demikian informasi seperti ini akan memberikan dorongan
kepada calon adopter untuk melaksanakan adopsi inovasi.
B.   Tahapan Adopsi Inovasi
Ada empat tahapan dalam proses adopsi inovasi, yaitu :

a.    Tahap Kesadaran
Pada  tahapan  ini  petani  untuk  pertama  kalinya  belajar  tentang sesuatu yang
baru.  Informasi  yang  dipunyai  tentang  teknologi  baru yang  akan di adopsi  itu  masih bersifat 
umum. Ia mengetahui sedikit sekali bahkan informasi yang yang diketahui tersebut kadang-
kadang tidak  ada  kaitannya  dengan kualitas khusus yang diperlukan  untuk melakukan adopsi.

b.    Tahapan Menaruh Minat


Pada tahapan ini petani mulai mengembangkan informasi yang diperoleh dalam
menimbulkan dan mengembangkan minatnya untuk adopsi inovasi. Ia mulai mempelajari secara
lebih terperinci tentang ide baru tersebut, bahkan tidak puas  kalau hanya mengetahui saja tetapi
ingin berbuat yang lebih dari itu. Oleh karena itu, pada tahapan ini, petani  tersebut mulai
mengumpulkan informasi dari berbagai pihak, apakah itu dari media cetak ataupun dari media
elektronik.

c.    Tahapan Evaluasi
Pada tahapan ini, seseorang yang telah mendapatkan informasi dan bukti yang telah
dikumpulkan pada tahapan-tahapan sebelumnya dalam menentukan apakah ide baru tersebut
akan diadopsi atau tidak, maka diperlukan kegiatan yang disebut evaluasi atau
penilaian. Maksudnya tentu saja
untuk mempertimbangkan lebih lanjut apakah minat  yang telah  ditimbulkan  tersebut  perlu  dite
ruskan  atau tidak.  Hal  ini  berarti petani  mulai  menilai  secara  sungguh-sungguh dan 
mengaitkannya dengan situasi yang mereka miliki.

d.    Tahapan Mencoba
Pada tahapan ini, petani atau individu dihadapkan dengan suatu masalah yang nyata. Ia
harus menuangkan buah pikirannya tentang minat dan evaluasi tersebut dalam suatu kenyataan
yang sebenarnya. Pemikiran  itu harus dituangkan dalam praktek, sesuai dengan apa yang
disebut dengan tahapan mencoba dari dari ide baru tersebut. hal ini  berarti  bahwa  ia harus
belajar, apa yang disebut ide baru, bagaimana melakukannya, mengapa harus ia lakukan,
dengan siapa ia melakukan ide baru tersebut, apakah dilakukan sendiri atau berkelompok dan
dimana ia harus melakukan percobaan tersebut.

e.    Tahapan Adopsi
Pada tahan ini, petani atau individu telah memutuskan bahwa ide   baru yang ia pelajari
adalah cukup baik untuk diterapkan dilahannya dalam skala yang agak luas. Tahapan adopsi ini
barang kali yang paling   menentukan dalam proses kelanjutan pengambilan keputusan lebih
lanjut.

C.   Sifat Adopsi Inovasi


Sifat adopsi inovasi ini akan menentukan kecepatan adposi inovasi. Berikut adalah sifat-
sifat adopsi inovasi, yaitu :

a.    Apakah Memberi Keuntungan atau Tidak


Sejauh mana inovasi baru itu akan memberikan keuntungan daripada teknologi lama
yang digantikannya. Bila memang benar bahwa teknologi baru akan memberikan keuntungan
yang relatif lebih besar dari nilai yang dihasilkan oleh teknologi lama, maka kecepatan proses
adopsi inovasi akan berjalan lebih cepat.

b.    Kompabilitas
Seringkali teknologi baru yang menggantikan teknologi lama tidak saling mendukung,
namun banyak pula dijumpai penggantian teknologi lama dengan teknologi baru yang
merupakan kelanjutan saja. Bila teknologi baru itu  merupakan kelanjutan dari teknologi yang
lama yang telah dilaksanakan petani, maka kecepatan proses adopsi inovasi akan berjalan relatif
lebih cepat. Hal ini disebabkan karena pengetahuan petani yang sudah terbiasa untuk
menerapkan teknologi lama yang tidak banyak berbeda dengan teknologi baru tersebut.

c.    Kompleksitas
Inovasi suatu ide baru atau teknologi baru yang cukup rumit untuk diterapkan akan
mempengaruhi kesepatan proses adopsi inovasi. Artinya, makin mudah teknologi baru tersebut
dapat dipraktekkan, maka makin cepat pula proses adopsi inovasi yang dilakukan petani. Oleh
karena itu, agar proses adopsi inovasi dapat berjalan lebih cepat maka penyajian inovasi baru
tersebut harus lebih sederhana.

d.    Triabilitas
Triabilitas merupakan persamaan dari kata kemudahan. Artinya makin mudah teknologi
baru tersebut dilakukan maka relatif makin cepat proses adopsi inovasi yang dilakukan petani.

e.    Observabilitas
Observabilitas disini maksudnya adalah dapat diamatinya suatu inovasi. Seringkali
ditemukan bahwa banyak kalangan petani yang cukup   sulit untuk diajak mengerti mengadopsi
inovasi dari teknologi baru, walaupun teknologi baru tersebut telah memberikan keuntungan
karena telah dicoba di tempat lain.

D.   Faktor yang Mempengaruhi Proses Adopsi Inovasi


a.    Saluran komunikasi

Peranan saluran komunikasi ini sangat penting. Inovasi  yang disampaikan secara
individual akan berjalan secara lebih cepat bila dibandingkan dengan inovasi tersebut dilakukan
secara masal. Walaupun pendapat demikian tidak selalu benar, hal itu dikarenakan masih
banyak faktor lain yang mempennaruhi kecepatan proses adopsi inovasi. Para peneliti membagi
saluran komunikasi menjadi (1) saluran interpersonal dan media massa, dan (2) saluran lokal
dan saluran kosmopolit. Saluran interpersonal adalah saluran yang melibatkan pertemuan tatap
muka (sumber  dan penerima) antara dua orang atau lebih.

b.    Ciri sistem sosial

Faktor selanjutnya adalah ciri dari sistem sosial yang ada di masyarakat di mana calon
adopter itu bertempat tinggal. Masyarakat yang lebih modern akan relatif lebih cepat bila
dibandingkan dengan masyarakat yang tradisional. Di samping itu masyarakat dengan individu-
individu kosmoplitas akan relatif lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada masyarakat
yang bersifat lokalitas.

c.    Kegiatan promosi penyuluh pertanian

Proses adopsi inovasi ini juga dipengaruhi oleh peranan komunikator yang biasanya
ditampilkan oleh penyuluh pertanian. Semakin giat penyuluh pertanian melaksanakan promosi
tentang adopsi inovasi, maka semakin cepat  pula adopsi inovasi yang dilakukan oleh
masyarakat tani.

d.    Sumber informasi

Sumber informasi juga sangat berpengaruh terhadap proses adopsi inovasi. Sumber
informasi dapat berasal dari media masa, tetangga, teman, petugas penyuluh pertanian,
pedagang, pejabat desa atau dari informan yang lain.

e.    Faktor-faktor geografis

Faktor-faktor geografis juga dapat mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi. Kondisi


alam dari suatu daerah dapat berpengaruh terhadap kecepatan adopsi inovasi. Wilayah yang
memiliki kondisi alam yang sulit akan berpengaruh juga terhadap kecepatan adopsi inovasi.
Misalnya wilayah yang topografinya curam dan berbukit-bukit akan lebih sulit dibandingkan
dengan wilayah yang datar. Lokasi juga berpengaruh terhadap kecepatan adospi inovasi. Lokasi
ini tentu berhubungan dengan jarak dan keterjangkauan. Daerah yang memiliki jarak yang jauh
dengan  sumber informasi atau daerah yang terisolir akan cukup sulit dalam proses adopsi
inovasi.

E.    Produktivitas Pertanian
Berdasarkan tinjauan Geografis, Sumaatmadja (1988:166), mengemukakan bahwa:
Pertanian sebagai suatu
sistem  keruangan, merupakan  perpaduan subsistem fisis dengan subsistem manusia. Kedalam s
ubsistem fisis   termasuk komponen-komponen tanah, iklim,
hidrografi, topografi  dengan segala proses alamiahnya. Sedangkan dalam
subsistem manusia termasuk tenaga kerja, kemampuan teknologi, tradisi  yang  berlaku
dalam  kehidupan masyarakat, kemampuan ekonomi, dan kondisi politik setempat.
Pendapat diatas mengemukakan bahwa dalam sistem usaha pertanian akan banyak
dipengaruhi faktor-faktor baik fisik maupun sosial, adapun  faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi usaha pertanian salah satunya adalah produktivitas pertanian.

Partadireja (1980: 7), mengatakan bahwa:


Produksi per hektar ditentukan oleh keadaan dan kesuburan tanah, varietas tanaman,
penggunaan pupuk organik, tersedianya air dalam jumlah dalam yang cukup dan alat-alat
pertanian yang semuanya itu tremasuk modal, teknik bercocok tanam, teknologi yang
didalamnya termasuk organisasi, manajemen dan gagasan- gagasan serta tenaga kerja.

Pendapat di atas mengungkapkan bahwa, hasil produktifitas dalam pertanian akan


banyak dipengaruhi kondisi fisik lahan pertanian itu sendiri, pengelolaan usaha tani yang baik
pula, serta modal yang cukup.

Produksi lahan pertanian sangat dipengaruhi tingkat kesuburan tanah dan bagaimana
pengelolaannya, yang dimaksud “produktivitas lahan pertanian adalah kemampuan lahan untuk
memproduksi sesuatu spesies tanaman atau suatu sistem penanaman pada suatu sistem
pengelolaan tertentu. Aspek pengelolaan yang dimaksud misalnya pengaturan jarak tanam,
pemupukan, dan pengairan.

F.    Tingkat Pendapatan Petani


Perbedaan  kebijaksanaan  antar  sektor  pertanian  dan  industri dapat  dilihat  dalam 
keperluan  akan  kebijaksanaan  yang  berada  antara penduduk kota dan penduduk pedesaan
adalah sedemikian rupa sehingga mempunyai akibat dalam pola pengeluaran konsumsi dan
perilaku lain-lainnya. Pendapatan pada beberapa negara Asia penduduk desa jauh lebih rendah
daripada penduduk kota yang hampir dari setengahnya. Mubyarto (1995:  250)  mengemukakan
ada tiga hal yang menyebabkan rata-rata pendapatan penduduk kota lebih yaitu :

a.    Kestabilan dan kemantapan yang lebih besar dari pendapatan penduduk kota.
b.    Lebih banyaknya  lembaga-lembaga ekonomi dan
keuangan yang dapat mendorong kegiatan ekonomi.
c.    Lebih banyaknya fasilitas pendidikan dan kesehatan dikota yang  memungkinkan  rata-
rata  produktivitas  tenaga  kerja  di kota lebih tinggi.

Sasaran pertanian ada dua yaitu sasaran sebelum panen atau sasaran pra panen dan
sasaran pasca penen. Sasaran pra panen ialah hasil pertanian setinggi-tingginya. Sasaran ini
merupakan sasaran tahap pertama atau sasaran tahap  pertama atau sasaran fisik. Sasaran tahap
kedua yaitu sasaran ekonomis atau sasaran akhir ialah pendapatan atau keuntungan yang
sebanyak-banyaknya tiap satuan lahan yang diusahakan karena hasil panen tinggi belum tentu
memberikan keuntungan atau pendapatan tinggi pula.

Tingkat pendapatan dapat menunjukkan            tinggi rendahnya keadaan sosial


ekonomi masyarakat tertentu. Hal ini sesuai dengan permasalahan yang timbul di Indonesia yaitu
masih rendahnya tingkat pendapatan sebagian besar petani.

Usaha untuk meningkatkan pendapatan petani dari lahan pertaniannya merupakan salah
satu tujuan usaha pertanian. Tinggi rendahnya pendapatan   petani ditentukan beberapa hal
diantaranya pengolahan lahan, pemupukan dan pengairan. Selain itu juga keadaan cuaca, sifat-
sifat tanah dan  keadaan sosial budaya petani akan ikut menentukan pula, seperti yang
dikemukakan arsyad (1987: 25) sebagai berikut :
Besar kecilnya pendapatan petani dari usaha taninya terutama ditentukan oleh luas lahan
garapan. Kecuali itu, faktor lain yang menentukkan diantaranya produktivitas dan kesuburan
tanah. Jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.

Pendapatan petani menurut Arsyad tersebut tergantung pada modal dan pengolahan
lahan. Kedua hal tersebut menentukan hasil jerih payah petani. Semakin besar modal yang
dimiliki dan didukung dengan pengolahan lahan yang baik akan menentukan besarnya
pendapatan yang diperoleh petani. Sebaliknya modal yang dimiliki sedikit kurang didukung
pengolahan lahan pertanian yang maksimal hasilnya pun akan sedikit.
Pendapatan petani memiliki cirri khas sendiri yaitu penerimaan penghasilan hanya
setiap musim panen sekali. Kadangkala dalam setahun penerimaan penghasilan tersebut bisa
sampai dua atau tiga kali, tetapi ada juga  yang hanya satu kali.  Sehingga terdapat perbedaan
antara pola pengeluaran dalam masyarakat petani. Pendapatan petani hanya diterima sekali
panen, sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat.
Pendapatan petani pada umumnya ditandai tidak adanya surplus produksi pertanian,
sehingga menyebabkan terbatasnya kemampuan mereka  dalam investasi. Pendapatan per kapita
yang sangat rendah di bawah kebutuhan minimum menyebabkan produktivitasnya rendah dan
membatasi dirinya untuk kesepatan berusaha. Sehingga untuk menutupi kebutuhan yang tidak
terbatas petani mencari sumber pendapatan lain di luar sektor pertain.
Jumlah rumah tangga petani di Indonesia didominasi petani kecil, sebagaimana
diungkapakan Soekartawi (1986:6), bahwa karakteristik petani kecil di Indonesia ialah sebagai
berikut:
a.    Petani yang pendapatannya rendah, kurang dari 240 Kg beras perkapita pertahun.
b.    Petani yang memiliki lahan sempit, yaitu lebih kecil dari 0,25 hektar lahan sawah di Jawa atau 
0,5 hektar di luar jawa
c.    Petani yang kekurangan modal dan memiliki tabungan terbatas.
d.    Petani yang memiliki pengetahuan terbatas dan kurang dinamis.

Tinggi rendahnya pendapatan petani ditentukan beberapa faktor, hal
ini  senada dengan pendapat yang diungkapkan Arsyad (1989:  2). Bahwa:
Besar kecil  pendapatan petani dari usaha  taninya  terutama ditentukan oleh luas lahan
garapan. Kecuali ada faktor lain yang turut menentukan, diantaranya produktivitas dan
kesuburan tanah,  jenis komoditas yang diusahakan serta tingkat penerapan teknologi pertanian.
Kedua pendapat di atas pada dasarnya memiliki maksa yang sama bahwa semakin besar
modal yang dimiliki dan didukung dengan pengelolaan yang baik maka semakin besar pula
pendapatan yang akan diperolah petani dari hasil pertaniannya, tetapi yang menjadi masalah
pada umumnya bagi  petani yaitu pendapatan yang diperoleh petani setiap musim panen,
sedangkan pengeluaran harus dilakukan setiap saat dalam waktu yang sangat
mendesak sebelum panen tiba.

G.   Studi Kasus Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian


ADOPSI TEKNOLOGI M-BIO (Pengajuan Terdaftar Paten nomor P 20000939) SEBAGAI
UPAYA PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN BERKELANJUTAN (Tindak lanjut
KKN-PPM 2007)
Oleh : Rudi Priyadi dan Rina Nuryati

Adopsi Teknologi M-Bio sebagai pupuk hayati yang merupakan kultur campuran dari
berbagai mikroorganisme yang menguntungkan bagi perbaikan tanah dan tanaman, dan
dikembangkan di Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi pada usaha budidaya tanaman padi
dengan System Rice Intensification (SRI) merupakan aplikasi teknologi pertanian ramah
lingkungan yang mendukung program pembangunan berkelanjutan, karena secara teknis
dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya setempat dan pemanfaatan limbah ( sampah
tanaman, pupuk kandang, pupuk hijau, sampah kota, sampah dapur, dsb), serta dihindari sama
sekali penggunaan bahan kimia baik berupa pupuk maupun pestisida.

Pengujian di lapangan sejak tahun 1998 teknologi ini telah mampu memberikan
peningkatan hasil pada beberapa komoditas pertanian. Dan Berdasarkan hasil uji pendahuluan
yang dilakukan di Laboratorium Produksi Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi teknologi ini
mampu menghasilkan 300 gram GKP per rumpun tanaman padi. Kemudian di PKBM Al-
Hidayah yang merupakan salah satu kelompok masyarakat yang telah mengadopsi teknologi ini
satu rumpun tanaman padi mampu memberikan hasil rata-rata sebesar 160 gram GKP.
Sementara itu di lahan sawah satu rumpun tanaman padi hanya menghasilkan rata-rata 80 gram
GKP (Rina Nuryati dkk, 2008).

Sehubungan dengan hal tersebut maka teknologi tersebut perlu segera disosialisasikan
kepada para petani untuk diadopsi pada usaha budidaya tanaman padi yang dilakukannya karena
menurut Wiraatmadja (1985) penemuan baru itu tidak akan banyak manfaatnya, apabila tidak
diketahui dan tidak digunakan oleh banyak orang. Sehubungan dengan hal tersebut maka telah
dilakukan sosialisasi teknologi tersebut melalui penyelenggaraan KKN PPM 2007 yang ditindak
lanjuti dengan Program Penerapan Ipteks 2009.

Tujuan yang ingin dicapai dari penyelenggaraan program ini adalah untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas sekaligus efektivitas dan efisiensi usahatani yang
dilakukan melalui pemanfaatan bahan organik yang banyak tersedia di lingkungan sekitar petani,
mengurangi ketergantungan petani pada penggunaan pupuk anorganik yang sering kali
mengalami kelangkaan pada saat musim tanam tiba, dihasilkannya bahan pangan pokok bagi
masyarakat yang aman dan sehat serta bebas dari berbagai bahan kimia yang berbahaya,
menjamin keberlangsungan proses produksi dari usahatani yang dilakukan sekaligus menjamin
kelestarian lingkungan di mana proses produksi dilakukan sehingga mendukung proses
pembangunan pertanian yang berkelanjutan, kemudian yang paling penting adalah meningkatnya
pendapatan dan taraf hidup petani   pada khususnya sekaligus meningkatkan aktivitas
perekonomian pada sektor lainnya.

Bahan dan Metode


Kegiatan dilakukan di Desa Setiawaras Kecamatan Cibalong Kabupaten Tasikmalaya,
yang pada Bulan Oktober 2007 desa ini telah dijadikan lokasi pelaksanaan Kuliah Kerja Nyata
sebagai Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat atau di kenal dengan KKN-PPM oleh Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Universitas Siliwangi dengan Fakultas
Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Dan dalam penyelenggaraannya mendapatkan
dana hibah dari Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DP2M) Dikti
melalui Universitas Gajah Mada Yogyakarta sebagai Koordinator KKN-PPM. Selanjutnya pada
tahun 2009 diteruskan dengan pelaksanaan Program Penerapan Ipteks 2009 yang dalam
pelaksanaannya didanai dari APBN Ditjen Pendidikan Tinggi.

Desa Setiawaras terpilih sebagai lokasi penyelenggaraan kegiatan KKN-PPM 2007 dan
Program Penerapan Ipteks 2009 karena desa ini memiliki potensi desa yang cukup besar bagi
pengembangan tanaman budidaya, khususnya padi, dengan luas lahan sawah beririgasi seluas
915,4 ha dan luas lahan sawah tadah hujan seluas 233.568 Ha. Sedangkan luas desa keseluruhan
seluas 1.829.418 Ha berupa lereng dan memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.365 penduduk
dengan jumlah kelompok tani sebanyak 10 kelompok tani .

Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah Metoda penyuluhan yang disertai
dengan diskusi dan tanyajawab untuk meningkatkan mutu pengetahuan dan pengalaman petani.
Kemudian Metode pelatihan digunakan untuk membantu petani dalam meningkatkan
kemampuan teknis persiapan dan pelaksanaan aplikasi teknologi M-Bio yang diteruskan dengan
kegiatan monitoring dan evaluasi untuk melihat perkembangan dari hasil adopsi Teknologi M-
Biopada budidaya tanaman padi.

Dalam upaya untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani serta
untuk mengetahui tingkat adopsi petani sasaran program terhadap Teknologi M-Bio sekaligus
untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat
adopsi Teknologi M-Bio, selama kegiatan monitoring danevaluasi dilakukan wawancara dengan
petani sasaran program yang dalam pelaksanaannya dipandu dengan bantuan daftar pertanyaan
atau kuesioner.

Penyebaran kuesioner dilakukan kepada 26 petani responden di sembilan Dusun yang


ada di Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak supaya hasil yang diperoleh representative
dan mewakili populasi yang diamati. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan Analisis Nilai Tertimbang (Rasyid, 1995) untuk mengetahui tingkat pengetahuan
dan keterampilan petani, serta untuk mengetahui tingkat adopsi petani terhadap Teknologi M-
Bio. Sementara itu untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan
petani dengan tingkat adopsi Teknologi M-Bio dilakukan analisis dengan menggunakan Analisis
Kendall-W.

Hasil dan Pembahasan


Sosialisasi Teknologi M-Bio yang telah dilaksanakan melalui penyelenggaraan Program
KKN PPM 2007 telah berhasil menggugah kesadaran sebagian besar petani di Desa Setiawaras
untuk melaksanakan budidaya tanaman padi secara organik dengan memanfaatkan berbagai
sumber bahan organik yang tersedia di sekitar petani. Aplikasi Teknologi M-Bio ini sudah
diterapkan pada usaha pembuatan pupuk organik padat, pupuk organik cair dan pestisida nabati
serta pada teknis budidaya tanaman padi di lapangan  yang dalam pelaksanaannya dipadukan
dengan system budidaya tanaman padi SRI.
Pengembangan usaha pembuatan pupuk organik ini seiring dengan program
Departemen Pertanian yang telah mencanangkan dan memprogramkan pengembangan pertanian
organik, dan sejalan dengan program Revitalisasi Pertanian, dengan aspek peningkatan mutu,
nilai tambah, efisiensi sistem produksi, serta kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
merupakan isu yang menjadi sasaran utama.Kondisi di atas ini diketahui berdasarkan hasil
survey pendahuluan yang dilakukan dalam rangka persiapan penyelenggaraan Program
Penerapan Ipteks 2009 yang merupakan program tindak lanjut dari penyelenggaraan KKN PPM
2007. Kesadaran petani dalam melaksanakan usaha budidaya tanaman padi organik ini juga
didukung oleh potensi sumber bahan organik di Desa Setiawaras yang cukup berlimpah.

Potensi bahan organik lainnya juga tersedia dari luar Desa Setiawaras yaitu bahan
organic yang berasal dari limbah usaha penggergajian kayu yang kapasitasnya dapat mencapai
18 ton/hari dan limbah dari pabrik kapur berupa abu/kapur dolomite yang dapat ditambahkan
pada pupuk organik yang dibuat dengan aplikasi Teknologi M-Bio untuk meningkatkan kualitas
pupuk organik yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono Hardjowigeno (1992)
yang menyatakan bahwa pemberian kapur dolomite berguna untuk menaikkan pH tanah agar
unsure-unsur hara seperti P mudah diserap tanaman dan keracunan Al dapat dihindarkan.

Budidaya tanaman padi organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio di Desa Setiawaras
ini menurut hasil wawancara dengan petani telah berhasil menaikkan produktivitas tanaman padi
sebesar 10-15 persen.

Hal ini disebabkan karena pupuk organik dengan aplikasi teknologi M-Bio mempunyai
kandungan unsure hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan kompos/pupuk kandang (tanpa
fermentasi kultur mikroba),. Diantaranya kandungan N dan K meningkat masing-masing 100
persen dan 30 persen dengan C/N = 8, pupuk organik tersebut apabila diaplikasikan ke dalam
tanah maka bahan organiknya akan digunakan sebagai makanan bagi mikroorganisme efektif
untuk berkembang biak di dalam tanah, sehingga juga sekaligus sebagai penyedia unsur
hara/makanan bagi tanaman.

Oleh karena itu selain berguna untuk menambah komponen bahan organik untuk
perbaikan sifat fisika tanah dan menambah unsur-unsur hara, juga
mengandung  antibiotik (menekan patogen/pembawa penyakit) dan mikroorganisme yang
bermanfaat yang diharapkan dapat memperbaiki sifat biologi tanah (Analisis Laboratorium
Analis Kimia Bogor, 2007). Hal tersebut menyebabkan kebutuhan unsur hara tanaman dapat
terpenuhi sehingga dapat meningkatkan produktivitas tanaman padi yang diusahakan.
Keberhasilan penyelenggaraan KKN PPM 2007 juga mendapatkan apresiasi dan
dukungan dari pemerintah,yaitu dengan dikucurkannya bantuan ternak sapi sebanyak 50 ekor
kepada kelompok tani di Desa Setiawaras. Bantuan ternak sapi ini diterima oleh kelompok tani
pada tahun 2007 yaitu sekitar 2 bulan setelah penyelengaraan KKN PPM 2007 berakhir. Kondisi
ini semakin menggairahkan petani untuk melakukan usaha budidaya tanaman padi dengan
aplikasi pupuk organik sekaligus melakukan usaha ternak sapi potong yang limbah kandangnya
dimanfaatkan untuk keperluan pembuatan pupuk organik.

Hal yang lebih menggembirakan dari hasil survey pendahuluan diketahui bahwa saat ini
Kelompok Tani “Kalapa Herang” di Dusun Cipigan yang merupakan salah satu kelompok tani
sasaran program KKN PPM 2007 telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk
organik dengan Aplikasi Teknologi M-Bio dan produknya telah masuk ke perusahaan Pupuk
Kujang di Cikampek dengan kapasitas pemesanan sebanyak 100 – 200 ton/bulan.

Keadaan ini tentu saja menjadi peluang yang sangat menjanjikan bagi peningkatan
aktivitas perekonomian kelompok tani Kalapa Herang pada khususnya dan masyarakat Desa
Setiawaras pada umumnya. Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh kelompok tani tersebut saat
ini adalah terbatasnya kapasitas produksi yang dapat dicapai sehubungan dengan keterbatasan
alat dan peralatan yang dimiliki untuk memenuhi stándar mutu yang telah ditetapkan oleh pihak
Pupuk Kujang.

Kondisi ini pada akhirnya mendorong kelompok tani Kalapa Herang untuk menjalin
kerjasama dengan kelompok tani lain dari Desa Setiawaras yang telah menjadi sasaran program
penyelenggaraan KKN PPM 2007 untuk mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik guna
merespon peluang pasar yang telah tersedia, dan ternyata mendapat tanggapan yang positif,
meskipun dalam pelaksanaannya masih memerlukan pembinaan lebih lanjut untuk mampu
menghasilkan pupuk organik seperti yang telah dihasilkan oleh Kelompok Tani Kalapa Herang
untuk mampu menembus pasar PT. Pupuk Kujang Cikampek. Hal ini menyebabkan saat ini
aktivitas perekonomian masyarakat di Desa Setiawaras lebih hidup dan lebih maju.

Namun demikian keberhasilan tersebut belum dicapai oleh seluruh petani yang ada di
Desa Setiawaras karena proses adopsi terhadap suatu teknologi dari setiap individu petani
berbeda-beda. Hal ini dapat dilihat dari masih terdapatnya sebagian petani yang dalam proses
pembuatan pupuk organiknya belum melaksanakan proses pembuatan sesuai dengan prosedur
yang telah diberikan. Seperti tidak dilakukannya pengecekan suhu secara berkala terhadap bahan
pupuk organik padat yang dibuat, padahal ini penting dilakukan agar proses fermentasi bahan
organik berjalan sempurna guna menjamin kualitas pupuk organik yang dihasilkan. Demikian
juga dengan proses aplikasi di lapangan masih terdapat beberapa tahapan yang tidak
dilaksanakan oleh sebagian petani sasaran program.

Menurut Rogers dalam Hanafi (1997), proses keputusan terhadap suatu teknologi baru
terdiri dari empat tahapan yaitu (1) tahap pengenalan, di mana seseorang mengetahui adanya
suatu inovasi baru dan memperoleh beberapa keterangan tentang bagaimana inovasi tersebut
berfungsi, (2) tahap persuasi, yaitu dimana seseorang membentuk sikap berkenan atau tidak
terhadap inovasi tersebut, (3) Tahap Keputusan yaitu dimana seseorang terlibat dalam kegiatan
yang membawanya pada pemilihan untuk menerima atau menolak inovasi dan (4) Tahap
Konfirmasi yaitu di mana seseorang mencari penguat bagi keputusan inovasi yang telah
dibuatnya. Pada tahap ini mungkin seseorang mengubah keputuannya apabila memperoleh
informasi yang bertentangan.

Sehubungan dengan hal tersebut maka setelah suatu program kegiatan selesai
dilaksanakan sebaiknya diteruskan dengan program tindak lanjut yang sejalan dengan program
yang telah dilakukan untuk memberikan bimbingan dan pendampingan sekaligus pencerahan
sebagai upaya penyegaran guna menjamin keberlangsungan program yang telah disampaikan.

Selanjutnya dengan berpedoman pada hasil survey pendahuluan maka pelaksanaan


Program Penerapan Ipteks 2009 hanya ditujukan pada petani atau kelompok tani tertentu saja
yang masih menghadapi kendala tertentu dalam adopsi Teknologi M-Bio. Sehubungan dengan
hal tersebut maka kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang merupakan Metode yang digunakan
dalam Program Penerapan Ipteks 2009 pun disesuaikan dengan kondisi petani atau kelompok
tani tertentu, karena ternyata permasalahan yang dihadapi oleh petani maupun kelompok tani
sangat khusus dan bersifat lokal sehingga pemecahan masalah atau solusinya pun hanya berlaku
untuk petani atau kelompok tani tertentu.

Dalam pelaksanaannya, penyuluhan dan pelatihan ini tidak selalu harus dilakukan
secara bersamaan karena seringkali hanya dengan memberikan penyuluhan saja petani sudah
mengerti atau sudah paham tentang materi yang semula ditanyakan tanpa harus diikuti dengan
kegiatan pelatihan. Meskipun pada keadaan tertentu memang kadang-kadang kedua kegiatan
tersebut harus dilakukan bersamaan karena petani merasa perlu untuk mendapat penjelasan lebih
detail lagi. Dengan demikian penyuluhan dan pelatihan yang dilaksanakan pada kegiatan ini
umumnya hanya bersifat tukar pikiran dan pendapat saja, karena sebagian besar petani Di Desa
Setiawaras sudah paham tentang Teknologi M-Bio dan hanya perlu memberikan penekanan pada
point-point tertentu saja untuk menambah keyakinan akan keefektifan teknologi ini. Di samping
itu guna menjamin keberlangsungan program selanjutnya, sekaligus untuk membantu dalam
memberikan bimbingan teknis dalam aplikasi teknologi di lapangan telah ditunjuk kelompok tani
pembina yaitu kelompok tani Kalapa Herang yang ada di Dusun Cipigan.

Sebagai kegiatan selanjutnya dari Program Penerapan Ipteks 2009 adalah kegiatan
monitoring dan evaluasi dilakukan untuk melihat, memantau sekaligus mengkaji progam
Penerapan Ipteks yang telah dilaksanakan. Monitoring dan evaluasi disertai dengan memberikan
bimbingan dan pendampingan kepada petani di lapangan secara langsung, serta melakukan
kembali wawancara disertai dengan menyebarkan kembali daftar pertanyaan atau kuesioner.

Hal ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan keterampilan petani
tentang kegiatan yang dilaksanakan sekaligus untuk mengetahui tingkat adopsi progam, setelah
program Penerapan Ipteks 2009 dikerjakan oleh petani sasaran program, juga ditujukan untuk
mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani dengan tingkat adopsi
Program Penerapan Ipteks 2009.

Hasil penyebaran kuesioner kepada 26 petani responden di sembilan Dusun yang ada di
Desa Setiawaras yang ditetapkan secara acak dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan
Analisis Kendall-W, dengan hasil analisis dan pembahasan sebagai berikut :

1.    Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani


Pengetahuan petani yang dianalisis pada program Penerapan Ipteks ini meliputi
pengetahuan petani tentang pupuk organik dan tentang Teknologi M-Bio, sementara dari
keterampilan petani dianalisis meliputi keterampilan dalam menentukan sumber bahan organik,
menentukan alat dan bahan untuk proses pembuatan pupuk organik, keterampilan dalam proses
pembuatan pupuk organik pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk
melaksanakan aplikasi pupuk organik dan aplikasi Teknologi M-Bio di lapangan.

Pengukuran tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diklasifikasikan dalam 3


kategori yaitu rendah (skor 20 – 33,3), sedang (skor 33,3 – 46,66), dan tinggi (46,66 – 60). Hasil
analisis diketahui bahwa tingkat pengetahuan dan keterampilan petani diperoleh skor 48,35
dengan skor ideal 60,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani di Desa Setiawaras telah memiliki pengetahuan yang
memadai tentang pupuk organik termasuk tentang sumber bahan organik yang dapat digunakan
untuk pembuatan pupuk organik. Demikian juga dengan pengetahuan petani tentang maksud dan
tujuan penggunaan pupuk organik serta tentang aplikasi pupuk organik di lapangan, petani di
Desa Setiawaras sudah memahaminya, sehingga pupuk organik sudah digunakan secara umum
pada usaha budidaya tanaman padi yang dilaksanakannya.

Demikian juga dalam hal pengetahuan petani tentang maksud dan tujuan aplikasi
Teknologi M-Bio, tentang aplikasi Teknologi M-Bio pada teknis pembuatan pupuk organik
padat, cair, pestisida nabati termasuk aplikasinya di lapangan, petani sudah tahu dan sudah
memahaminya. Selanjutnya dari segi keterampilannya petani sudah memiliki keterampilan yang
memadai untuk menentukan sumber bahan organik guna dipakai dalam pembuatan pupuk
organik, sudah mampu menentukan alat dan bahan yang digunakan untuk proses pembuatan
pupuk organik. Demikian juga dengan keterampilan dalam melaksanakan proses pembuatan
pupuk organik dengan aplikasi Teknologi M-Bio termasuk melaksanakan aplikasi pupuk organik
dan aplikasi Teknologi M-Bio, secara umum tentang hal tersebut sudah mampu dilaksanakan
oleh petani Di Desa Setiawaras.

2.    Tingkat Adopsi Petani Terhadap Teknologi M-Bio


Variabel adopsi yang dianalisis meliputi variabel adopsi Teknologi M-Bio dalam proses
pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses pembuatan pupuk organik cair, pada prose
pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasinya di lapangan. Pengukuran tingkat adopsi
terhadap Program Penerapan Ipteks 2009 diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu rendah (skor 22
– 36,67), sedang (skor 36,67 – 51,34) dan tinggi (51,34 – 66). Berdasarkan hasil analisis
diketahui bahwa tingkat adopsi petani terhadap teknologi M-Bio diperoleh skor 57,57 dengan
skor ideal 66,00 sehingga berada pada kategori tinggi.

Hal ini menunjukkan bahwa petani Di Desa Setiawaras pada umumnya sudah
menerapkan Teknologi M-Bio pada proses pembuatan pupuk organik padat/kering, pada proses
pembuatan pupuk organik cair, pada pembuatan pestisida nabati dan pada proses aplikasi
Teknologi tersebut di lapangan. Dengan sudah diadopsinya teknologi ini maka dihasilkan pupuk
organik dan pestisida berkualitas sekaligus ramah lingkungan.

Salah satu indikator keberhasilan dari aplikasi Teknologi M-Bio ini berdasarkan hasil
wawancara dengan responden diketahui bahwa saat ini telah terjadi peningkatan produktivitas
tanaman padi yang mencapai 5 sampai 10 persen.

3.    Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Keterampilan Petani dengan Adopsi


Teknologi M-Bio
Dalam upaya mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dan keterampilan petani
dengan adopsi Teknologi M-Bio yang merupakan Program pokok Penerapan Ipteks 2009,
dilakukan dengan menggunakan Analisis Kendall-W.

Hasil analisis diperoleh nilai level of significant sebesar 0,005 dengan nilai korelasi


sebesar 0,415, selanjutnya apabila dibandingkan dengan taraf nyata sebesar 0,025 maka
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pengetahuan dan keterampilan
petani dengan adopsi Teknologi M-Bio. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat
pengetahuan dan keterampilan petani maka akan semakin tinggi tingkat adopsi petani terhadap
Teknologi M-Bio. Dan sebaliknya semakin rendah tingkat pengetahuan dan keterampilan petani
maka semakin rendah pula tingkat adopsi Teknologi M-Bio.

Dengan demikian dalam upaya untuk meningkatkan adopsi Teknologi M-Bio di tingkat
petani diperlukan upaya untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para petani.
Karena dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan petani, maka akan menjadikan
petani lebih produktif dalam menerapkan penemuan-penemuan baru baik berupa teknologi
maupun manajemen usahatani pada umumnya (Mubyarto, 1989).

Peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani salah satunya dapat dilakukan


melalui pelaksanaan progam lanjutan dari program yang telah dilaksanakan seperti Program
Penerapan Ipteks ini. Karena suatu program yang akan dicoba untuk disosialisasikan kepada para
petani perlu dilaksanakan secara teratur dan berkelanjutan, sehubungan dengan adanya
keterbatasan kemampuan pada masing-masing individu petani untuk mengadopsi suatu teknologi
baru termasuk adanya berbagai perkembangan di lapangan  yang menyebabkan petani 
memerlukan bimbingan dan arahan yang lebih lanjut.

Seperti yang terjadi saat ini pada Kelompok Tani Kalapa Herang di Desa Setiawaras
yang telah berhasil mengembangkan usaha pembuatan pupuk organik sehingga terdapat
permintaan dari PT. Pupuk Kujang Cikampek sebanyak 100 – 200 ton/bulan. Hal ini
memerlukan bimbingan dan arahan termasuk pendampingan untuk menjamin kualitas, kuantitas
dan kontinuitas produksi yang bisa dihasilkan guna mempertahankan kepercayaan pasar yang
telah ada bahkan untuk menjangkau pasar yang lebih luas.

Dengan demikian diharapkan setelah program Penerapan Ipteks ini selesai dilaksanakan
dapat diteruskan dengan program berikutnya yang sejalan dengan program yang telah
diselenggarakan sehingga program pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan dapat
terwujud.

DAFTAR PUSTAKA

Rina Nuryati, Betty Rofatin, Tenten Tedjaningsih, Rudi Priyadi. 2008. Keragaan Usahatani Tanaman Padi
Pada

Polybag. Jurnal Agribisnis Program Pascasarjana Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Hanafi. 1997. Memasyarakatkan Ide-ide Baru. Usaha Nasional. Surabaya. Harian Umum Pikiran Rakyat,
Edisi tanggal 15 September 2008.

Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3S. Jakarta.

Rasyid. 1995. Prilaku Kepemimpinan dan Dinamika Kelompok sebagai Determinan Penting bagi
Peningkatan Produktivitas Kerja Kelompok Karyawan. Disertasi Pascasarjana UNPAD.
Bandung.

Sarwono Hardjowigeno. 1992. Ilmu Tanah. PT. Melon Putra. Jakarta.

Wiraatmadja. 1983. Penyuluhan Pertanian. Direktorat Pendidikan Menengah. Jakarta

By Ali Ahsan Al Haris di November 17, 2015

Reaksi: 
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
Label: KOMUNIKASI AGRIBISNIS

No comments:
Post a Comment
PEMBAHASAN

2.1 Persepsi Petani Terhadap Inovasi Teknologi


Inovasi adalah segala sesuatu ide, cara-cara ataupun obyek yang dipersepsikan
oleh seorang sebagai sesuatu yang baru. Havelock 1973 dalam Valera et al., (1987)
menyatakan bahwa inovasi merupakan segala perubahan yang dirasakan sebagai
sesuatu yang baru oleh masyarakat yang mengalaminya.
Seseorang menganggap baru, tetapi belum tentu ide yang sama itu baru bagi
orang lain. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide,
perilaku, produk, informasi, dan pratek-praktek baru yang belum banyak diketahui,
diterima, dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam
suatu lokalitas tertentu, yang mendorong terjadi perubahan-perubahan disegala aspek
kehidupan masyarakat demi terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu/warga
masyarakat yang bersangkutan.
Individu petani dalam memahami suatu inovasi melalui proses persepsi.
Persepsi adalah stimulus yang mengenai individu itu kemudian diorganisasikan dan
diinterpretasikannya sehingga individu menyedari tentang apa yang diinderanya
(Walgito, 2006). Ketika individu petani mendengar atau melihat suatu inovasi
teknologi, maka muncul stimulus yang diterima alat inderanya, kemuadian melalui
proses persepsi suatu inovasi teknologi baru yang ditangkap oleh indera sebagai
sesuatu yang berarti dan bermanfaat baginya. Melalui suatu interpretasi dan
pemaknaan dari suatu teknologi maka muncul keyakinan dan kepercayaan terhadap
inovasi teknologi tersebut. Akan tetapi individu petani masih memerlukan pembuktian
terhadap kebenaran inovasi tersebut melalui uji coba atau melihat kepada sesama
petaninya yang telah mencoba.
Davidoff mengatakan bahwa stimulus yang diterima alat indera, kemuadian
melalui persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah
diorganisasikan dan diinterpretasikan (Walgito, 2006). Dengan demikian menurut
Walgito (2006) persepsi merupakan proses pengorganisasian dan penginterpretasian
terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga merupakan sesuatu yang
berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrated dalam diri individu.
Persepsi petani terhadap suatu inovasi teknologi baru (misalnya teknologi
budidaya jagung Hibrida) adalah merupakan proses pengorganisasian dan interpretasi
terhadap stimulus yang diterima oleh individu petani, sehingga inovasi teknologi
tersebut merupakan yang berarti dan bermanfaat serta merupakan aktivitas yang
terintegrasi dalam diri individu sebelum mengambil kebutusan untuk berperilaku.
Bentuk kebutusan berpelilaku adalah merupakan tindakan individu untuk menerpakna
inovasi teknologi yang telah diyakini dan dibuktikan.
Persepsi petani terhadap sesuatu inovasi teknologi baru dapat dipengaruhi oleh faktor
internal (dari dalam diri individu) dan faktor eksternal (atau dari stimulus itu sendiri
dan lingkungan). Suatu inovasi teknologi baru yang dipersepsi erat kaitannya terhadap
kondisi lingkungan (agro-ekosistem) dan tingkat kesulitan untuk menerapkan teknologi
tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesulitan inovasi teknologi itu merupakan faktor-
faktor internal individu dalam mempersepsikan kemampuan diri sendiri untuk
melakukan tindakan atau penerapan sebagai pola perilakunya.
Secara psikologis persepsi individu petani terhadap suatu inovasi teknologi
sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemberian makna atau arti dari simbol-simbol
teknologi itu, pengalaman individu, perasaan, keyakinan, pengetahuan tentang
inovasi, kemampuan berfikir, sumber referensi dan dan motivasi untuk belajar.
Faktor-faktor tersebut akan berpengaruh pada seorang individu petani dalam
mengadakan atau melakukan persepsi terhadap inovasi teknologi. Belajar adalah
memperoleh dan memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola sikap
melalui pengalaman dan praktek (Van den Ban dan Hawkins, 2000).
Antara pengetahuan, sikap, kepribadian dan perilaku merupakan faktor yang
saling terkait yang mengarahkan individu dalam melakukan suatu usaha yang
bermanfaat bagi kehidupan dan masa depannya. Menurut Puspadi (2002), Perubahan-
perubahan sikap petani menyebabkan perubahan kebutuhan petani. Kebutuhan petani
saat ini adalah tingkat pendapatan yang layak dan ketersediaan uang segar sebagai
instrumen untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan dirinya dan
mempertahankan dirinya.
Petani banyak belajar dari pengalamannya sendiri maupun pengalaman orang
lain tentang suatu inovasi teknologi dengan mencoba serangkain tindakan yang
beragam. Tingkat tindakan yang dilakukan petani tergantung pada tingkat manfaat
dan keuntungan yang akan diterima. Seorang petani dengan pendidikan yang rendah
seringkali bersifat apatis terhadap inovasi sebagai akibat kegagalan yang dialaminya
pada masa lampau, karena kurangnya pengetahuan tentang inovasi. Sifat-sifat apatis
tersebut banyak dialami oleh sebagian besar petani lahan kering akibat kegagalan
usahatani yang dialaminya yang disebabkan oleh faktor kondisi iklim yang tidak
menentu.
Suatu inovasi teknologi yang diterima petani selalu menilai perilaku diri sendiri
akan kemampuan untuk melakukan teknologi itu dengan baik. Jika seorang petani
dengan tingkat penilaian diri atau pengendalian perilaku yang tinggi gagal mencapai
hasil yang diinginkan, maka ia akan mencoba lagi untuk menemukan yang lebih baik.
Sebaliknya jika seorang petani dengan tingkat penilaian perilaku dirinya rendah, maka
cepat berhenti berusaha terutama pada pekerjaan-pekerjaan tertentu atau inovasi-
inovasi yang spesifik (Van den Ban dan Hawkins, 2000).
2.2 Perubahan Sikap Pertani
Selain faktor psikologis yang menentukan sikap, juga komunikasi sosial
merupakan determinan paling dominan menentukan sikap seorang petani terhadap
inovasi teknologi pertanian. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa suatu inovasi
teknologi baru yang diterima individu petani melalui proses persepsi. Terbentuknya
sikap seseorang menurut Mar’at (1984) yaitu dipengaruhi oleh faktor internal
(fisiologis dan psikologis) dan faktor eksternal (pengalaman, situasi, norma-norma,
hambatan dan dorongan).
Menurut Baron dan Byrne, Garungan dan Mayers, dan Allport dalam Azwar
(2002; Walgito (2006), mengatakan bahwa sikap mengandung tiga komponen yang
membentuk struktur sikap yang saling menunjang, yaitu komponen kognitif, afektif,
dan konatif. Komponen kognitif (komponen perceptual) yaitu komponen yang
berkaitan dengan pengetahuan, pandangan atau ide, keyakinan dan konsep.
Komponen afektif (komponen emosional), yaitu menyangkut perasaan seseorang yang
dihubungkan dengan keyakinan, seperti rasa senang atau tidak senang terhadap obyek
sikap. Sedangkan komponen konatif (komponen perilaku), yaitu komponen yang
berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap obyek sikap. Komponen ini
menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan
bertindak atau perilaku seseorang terhadap obyek sikap. Perilaku petani terhadap
adopsi teknologi jika teknologi tersebut memberikan manfaat sesuai tujuan yang ingin
dicapainya.
Kenyataan bahwa sikap petani terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi
oleh faktor internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor internal
(faktor-faktor di luar diri individu). Akan tetapi yang lebih dominan mempengaruhi
sikap dan keputusan petani terhadap suatu inovasi adalah faktor-faktor eksternal.
Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi
sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial. Proses belajar sosial
yang sering dilakukan petani dalam menjaring informasi inovasi teknologi baru
bersifat pembelajaran observasional. Menurut Teori Pembelajaran Sosial Bandura
(1977), pengaruh modeling menghasilkan pembelajaran melalui fungsi informatik.
Individu dapat mencapai gambaran simbolis tentang aktivitas-aktivitas yang berfungsi
sebagai pemandu untuk pelaksanaan tindakan yang sesuai. Sikap petani terhadap
inovasi teknologi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam (agro-ekosistem dan
agro-klimat), ini adalah salah satu faktor yang mungkin disebut Mar’at (1984) sebagai
“hambatan” yang merupakan salah satu variabel eksternal yang menentukan sikap
terutama kesesuaian teknologi tersebut terhadap kondisi ago-ekosistem dan agro-
klimat setempat.
Sikap yang dimiliki seseorang memberikan corak pada perilaku atau tindakan
orang yang bersangkutan (Walgito, 2006). Krech dan Crutchfield dalam Walgito
(2006), mengatakan bahwa perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi
oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan. Para ahli psikologi sosial
memberikan pengertian tentang sikap yang sedikit berbeda-beda namun pada
dasarnya semuanya bertujuan untuk mengetahui prilaku seseorang. Walgito (2006)
mendefinisikan sikap adalah suatu organisasi yang mengandung pendapat,
pengetahuan, perasaan, keyakinan tentang sesuatu yang sifatnya relatif konstan pada
perasaan tertentu dan memberikan dasar untuk berperilaku. Van den Ban dan Hawkins
(2000) mendefinisikan sikap sebagai perasaan pikiran, dan kecenderungan seseorang
yang kurang lebih bersifat parmanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam
lingkungan. Dengan demikian komponen-komponen sikap meliputi pengetahuan,
pendapat, pikiran, keyakinan dan perasaan-perasaan dan kecenderungan bertindak.
Festinger dalam Walgito (2006) mengemukakan bahwa sikap individu biasanya
konsisten satu dengan yang lain dan juga dalam tindakan konsisten satu dengan yang
lain. Akan tetapi bagi petani sikap dan tindakan bisa konsisten apabila inovasi yang
diyakininya dapat memberikan manfaat dan keuntungan, apabila suatu inovasi
tersebut tidak memberikan manfaat maka sikapnya dapat berubah pada inovasi yang
lain. Perubahan sikap dapat secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan sikap
secara langsung dalam arti adanya hubungan secara langsung antara individu dengan
individu, antara individu dengan kelompok, dan natara kelompok dengan kelompok.
Sedangkan melalui hubungan tidak langsung adalah dengan perantaraan alat media
komunikasi massa, baik cetak maupun elektronik (Walgito, 2006). Dalam psikologi
komunikasi peranan media komunikasi (Rakhmat, 1989) menjelaskan bahwa media
massa mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perubahan sikap petani terhadap
adopsi inovasi teknologi pertanian.
Dewasa ini banyak psikologi sosial berasumsi bahwa diantara faktor-faktor lain,
perilaku dipengaruhi oleh tujuannya. Tujuan perilaku ini tidak hanya dipengaruhi oleh
sikap seseorang, tetapi juga oleh harapan lingkungan sosialnya, terhadap perilaku
tersebut, norma-norma subyektif, serta kemampuanya untuk melakukan perilaku itu,
yaitu penilaian perilaku sendiri (Van den Ban dan Hawkins, 2000). Perubahan
penerapan atau adopsi teknologi oleh petani dari sistem tradisional ke sistem modern
merupakan salah satu bentuk yang namapk dari perubahan sikap dan perilaku petani.
Perubahan sikap petani terhadap adopsi teknologi dipengaruhi oleh proses interkasi
dan komunikasi dalam sistem sosial. Untuk memperoleh informasi seorang individu
petani selalu mengadakan interkasi, komunikasi, dan belajar sosial tentang suatu
teknologi yang dibutuhkan.
Teori Ronsenberg mengatakan bahwa sikap dapat berubah jika terjadi
perubahan komponen kognitif dan komponen afektif. Apabila komponen kognitif
berubah, maka komponen afektif akan berubah yang pada akhirnya perilaku juga
berubah. Sebaliknya apabila komponen afektif, maka komponen kognitifnya juga
berubah dan perilaku akan berubah (Walgito, 2006).
Afektif atau afek adalah suatu penilaian positif atau negatif terhadap suatu
obyek (Azwar, 2002). Berkaitan dengan adopsi teknologi, seorang individu petani akan
selalu menilai suatu inovasi teknologi terhadap kemampuannya, ksesuaian terhadap
kondisi lingkungan, tujuan yang ingin dicapai serta norma-norma dalam masyarakat.
Terdapat keterkaitan antara perilaku, karekateristik individu dan lingkungan.
Sehubungan dengan hal tersebut Kurt Lewin merumuskan model hubungan perilaku
yang mengatakan bahwa perilaku (B) adalah fungsi dari karakteristik individu (P) dan
lingkungan (E) (Azwar, 2002; Walgito, 2006). Hal serupa juga dikemukakan oleh Ajzen
dan Fishbein dalam Azwar (2002) yang mencoba melihat perilaku yang dilakukan atas
kemauan sendiri dengan berdasarkan pada asumsi-asumsi (a) bahwa manusia
umumnya melakukan sesuatu dengan cara-cara yang masuk akal; (b) bahwa manusia
mempertimbangkan semua informasi yang ada; (c) bahwa secara eksplisit maupun
implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan mereka.
2.3 Perilaku Petani Terhadap Adopsi Inovasi
Inovasi adalah suatu gagasan, praktek, atau obyek yang di rasa baru oleh
seseorang. Ini merupakan suatu cara yang baru dalam melakukan sesuatu tindakan
(Rogers, 1983). Aspek dari corak baru suatu inovasi dinyatakan dalam pengetahuan,
sikap, atau suatu keputusan untuk menggunakannya.
Proses adopsi inovasi merupakan proses kejiwaan/mental yang terjadi pada diri
petani pada saat menghadapi suatu inovasi, dimana terjadi proses penerapan suatu
ide baru sejak diketahui atau didengar sampai diterapkannya ide baru tersebut. Pada
proses adopsi akan terjadi perubahan-perubahan dalam perilaku sasaran umumnya
akan menentukan suatu jarak waktu tertentu. Cepat lambatnya proses adopsi akan
tergantung dari sifat dinamika sasaran.
Rogers (1983) adopsi adalah proses mental, dalam mengambil keputusan untuk
menerima atau menolak ide baru dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan
dan penolakan ide baru tersebut. Adopsi juga dapat didefenisikan sebagai proses
mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
Adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan
kepada pihak kedua, sampai ide tersebut diterima oleh masyarakat sebagai pihak
kedua. Selanjutnya menurut Mardikanto (1993) adopsi dalam penyuluhan pertanian
dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa pengetahuan,
sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang
disampaikan penyuluh kepada sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak
sekedar “tahu” tetapi dengan benar-benar dapat dilaksanakan atau diterapkan
dengan benar serta menghayatinya. Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat
diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain sebagai cerminan dari
adanya perubahan sikap, pengetahuan, dan keterampilannya. Herianto (2005)
menjelaskan dari sisi intensitas adopsi yaitu tingkat penggunaan inovasi. Adopsi suatu
inovasi baru biasanya diukur dari persentase penerapan komponen inovasi dari usaha
tani tertentu pada persatuan luas lahan. Bulu (2010) menjelaskan bahwa tingkat
adopsi inovasi dapat diukur dari kualitas adopsi dan kuantitas adopsi. Kualitas adopsi
diartikan sebagai ketepatan dalam menerapkan komponen inovasi dari usaha tani
tertentu secara sempurna. Kuantitas adopsi adalah jumlah penerapan komponen
inovasi dari usaha tani tertentu sesuai anjuran. Pada situasi kondisi tertentu atau
kondisi dari pengadopsi itu sendiri yang tidak memungkinkan sehingga tidak semua
komponen inovasi dari usaha tani tertentu dapat diadopsi.
Sehubungan dengan itu Rogers (1983) dan Ray, (1998), mengemukakan lima
tahap proses adopsi yaitu: (1) Awareness (tahu dan sadar), pertama kali mendapat
suatu ide dan praktek baru, (2) Interest (minat), mencari rintisan informasi, (3)
Evaluation (evaluasi), menilai manfaat inovasi yaitu penilaian tentang untung ruginya
sesuatu inovasi bila ia melaksanakannya (mudah dikerjakan), (4) Trial (mencoba),
mencoba menerapkan ivovasi pada skala kecil, (5) Adoption (adopsi), menerapkan
inovasi pada skala besar pada usahataninya.
Lima tahap inovasi ini bukan merupakan pola kaku yang pasti diikuti oleh petani,
tetapi sekedar menunjukkan adanya lima urutan yang sering ditemukan oleh peneliti
maupun penyuluh. Peneliti menunjukkan perlunya waktu yang lama antara saat
pertama kali petani mendengar suatu inovasi dengan saat melakukan adopsi.
Pengklasifikasian kelompok pengadopsi berikut persentasenya ditunjukkan
dalam Gambar simpangan baku (standar deviasi) dari rata-rata dijadikan ukuran atau
garis pembatas kelompok inovator, pengadopsi awal, mayoritas awal, mayoritas
lambat dan kelompok lamban. Kategorisasi tersebut memberikan gambaran
keragaman sikap dan perilaku individu petani dalam proses adopsi inovasi teknologi.
Sumber informasi yang digunakan dalam setiap tahap proses adopsi yang
menunjukkan urutan peringkat dimana peranan media masa dan komunikasi sosial
dalam proses adopsi teknologi. Komunikasi sosial hampir terdapat pada semua
tahapan proses adopsi. Rogers (1983) mempertimbangkan bahwa tingkat adopsi dari
suatu inovasi tergantung pada persepsi adopter tentang karakteristik teknologi
tersebut. Lima atribut yang mendukung penjelasan tingkat adopsi dari suatu inovasi
meliputi: (1) keuntungan relatif, (2) kecocokan, (3) kompleksitas, (4) trialabilitas, dan
(5) observabilitas.
Keuntungan relatif: Keuntungan relatif menjadi tingkat yang mana suatu
inovasi dirasa lebih baik daripada menggantikan gagasan yang baru. Kecocokan:
Kecocokan menjadi tingkat yang mana suatu inovasi dirasa konsisten dengan nilai-nilai
yang ada, pengalaman masa lalu, dan potensi kebutuhan adopter. Kompleksitas:
Kompleksitas merupakan tingkatan di mana suatu inovasi dirasa lebih lanjut secara
relatif sukar untuk dipahami dan digunakan. Trialabilitas: "Trialabilitas merupakan
tingkatan di mana suatu inovasi mungkin dicoba dengan pada suatu basis terbatas."
Trialabilitas merupakan tingkatan di mana suatu inovasi mungkin dicoba pada suatu
basis terbatas.
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi

Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor-faktor yang


mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (1981) menyatakan bahwa adopsi inovasi
dipengaruhi oleh (a) tidak bertentangan dengan pola kebudayaan yang telah ada, (b)
struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, dan (c) persepsi masyarakat terhadap
inovasi. Kecepatan proses adopsi dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri-ciri
pribadi, sosial, budaya dan lingkungan serta sumber informasi. Selain faktor-faktor
yang telah diuraikan di atas Lionberger dalam Cambell dan Barker (1997) mengatakan
bahwa faktor lain yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variabel internal
(personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan (pendukung).
Menurut Bulu (2008), melaporkan bahwa faktor-faktor karekateristik pribadi, seperti
sikap, motivasi, dan pengetahuan bukan lagi faktor dominan yang mempengaruhi
tingkat adopsi inovasi. Lebih lanjut mengatakan bahwa faktor dominan yang
mempengaruhi tingkat adopsi inovasi pertanian adalah faktor sosial (modal sosial).
Modal sosial merupakan salah satu faktor utama yang mampu menggerakkan semua
elemen dalam proses adopsi inovasi. Modal sosial yang semakin kuat secara konsisten
meningkat adopsi inovasi pertanian. Sebaliknya tingkat adopsi inovasi yang semakin
tinggi secara konsisten memperkuat modal sosial dalam proses adopsi inovasi
pertanian. Dengan demikian antara modal sosial dan tingkat adopsi inovasi pertanian
mempunyai hubungan timbal balik (saling mempengaruhi) (Bulu, 2008).

2.5 Proses Difusi Inovasi Sebagai suatu Jaringan

Difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses dimana dikomunikasikannya inovasi


kepada petani dalam suatu sistem sosial melalui saluran-saluran komunikasi tertentu,
pada suatu kurung waktu tertentu pula (Ray, 1998). Dengan demikian difusi inovasi
merupakan salah satu bentuk proses komunikasi antar pihak pengirim dan penerima
informasi melalui jaringan tertentu baik jaringan komunikasi maupun kerjasama,
sehingga dicapai pengertian yang sama mengenai informasi yang dikomunikasikan.
Difusi adalah proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu
dari waktu ke waktu diantara anggota sistem sosial (Van Den Ban dan Hawkins, 2000;
Cruz, 1987 dalam Valera, 1987).
Saluran-saluran yang digunakan dalam menggkomunikasi pesan inovasi
merupakan suatu jaringan-jaringan. Informasi inovasi yang dikomunikasikan itu
mengacu kepada adanya pemikiran baru, yaitu inovasi sendiri, namun harus mampu
memberikan kepercayaan (trust) dan keyakinan bagi pengguna yang menerima
informasi tersebut.. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda
dengan proses adopsi inovasi. Dari beberapa pengertian di atas, maka difusi inovasi
pertanian diartikan sebagai preses penyebaran inovasi pertanian dari petani yang
sudah mengadopsi kepada petani yang belum mengadopsi melalui saluran komunikasi
tertentu pada suatu sistem sosial yang sama dalam dimensi waktu yang tertentu.
Difusi dari suatu inovasi mengacu pada keseluruhan proses dimana inovasi yang di
gelar antar petani sampai sejumlah besar petani sudah mengadopsi. Bukan untuk
mengetahui bagaimana petani tertentu bergerak secara bertahap ke arah adopsi,
tetapi bagaimana suatu inovasi dapat diadopsi oleh banyak petani. Kecepatan proses
difusi inovasi sangat tergantung pada pemanfaatan modal sosial melalui jaringan-
jaringan dalam pertukaran informasi inovasi.
Rogers dan Shoemaker (1971) dalam Valera et al., (1987), menunjukkan unsur-unsur
yang rumit di dalam difusi dari gagasan baru; dimana inovasi dikomunikasikan melalui
saluran tertentu, dari waktu ke waktu di antara anggota suatu sistem sosial.
Saluran komunikasi digunakan oleh agen perubahan untuk menyebarkan suatu
inovasi kepada para klien nya. Saluran media massa adalah yang sering dan paling
cepat, merupakan suatu alat yang efisien untuk menjangkau sejumlah besar
pendengar atau petani. Saluran hubungan antar pribadi (interpersonal), atau
komunikasi tatap muka satu persatu dari klien, memang lebih efektif ketika orang
ingin menciptakan suatu sikap baik ke arah suatu inovasi.
Waktu adalah suatu faktor penting dalam proses difusi. Dimensi waktu di dalamnya
meliputi:
•Proses keputusan inovasi (adopsi), dimana seseorang melalui pengetahuan
pertama menyangkut inovasi sampai pada penolakan atau adopsi;
•Inovatif dari individu, merupakan hubungan kekeluargaan antara pengadopsi
awal – pengadopsi akhir dimana seseorang mengadopsi suatu inovasi ketika
membandingkan dengan anggota sistem sosial lain;
•Penentuan tingkat adopsi, di mana pada umumnya di ukur oleh banyaknya
anggota sistem yang sudah mengadopsi inovasi itu.
Sistem sosial mengacu pada tempat atau masyarakat. Struktur sistem sosial
dapat mempunyai suatu pengaruh penting atas gagasan baru. Struktur sistem sosial
dapat menghalangi/merintangi atau memudahkan tingkat adopsi dan difusi dari
gagasan baru. Norma-Norma, status sosial, peran, posisi, hirarki, dan seterusnya suatu
sistem sosial dapat mempengaruhi perilaku dari individu. Model perubahan yang
berpengaruh, merupakan kombinasi dari teori Rogers mengenai perilaku manusia
dalam proses adopsi dan teori Lewis tentang keseimbangan (Berton, 1972 dalam Ray,
1998).

Anda mungkin juga menyukai