Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Poliomielitis merupakan penyakit menular yang dapat menyebabkan

paralisis ireversibel dan kematian pada anak. Predileksi virus polio pada sel kornu

anterior medula spinalis, inti motorik batang otak dan area motorik korteks otak,

menyebabkan kelumpuhan serta atrofi otot. Mengingat penyakit ini menyebabkan

kelumpuhan, maka polio menjadi salah satu penyakit yang penting untuk

dieradikasi secara global. Dunia sangat beruntung karena ditemukan vaksin yang

efektif untuk mencegah polio. Dikenal dua jenis vaksin polio, yaitu oral polio

vaccines (OPV) dan inactivated polio vaccines (IPV). Namun terdapat masalah,

yaitu circulating vaccine derived polio viruses (cVDPVs) dan kejadian vaccine

associated paralytic poliomyelitis (VAPP), yang merupakan kasus polio paralitik

yang disebabkan oleh virus vaksin. Maka pemakaian OPVdiubah dari tOPV

menjadi bOPV. Di. Wilson (2001) menyatakan bahwa penyakit polio

(Poliomyelitis) tersebut dinilai berbahaya karena dapat menyebabkan komplikasi,

kerusakan otak yang menyebabkan kelumpuhan pada organ dalam, kelumpuhan

pada kaki, otot-otot dan bahkan kematian (polio bulbar). Menurut Wilson (2001)

disebutkan bahwa individu yang terjangkit polio jenis paralisis spinal tidak akan

sembuh disebabkan vaksinasi hanya dapat dilakukan sebelum tertular. Strain

poliovirus jenis ini menyerang saraf tulang belakang yang dapat menyebabkan

kelumpuhan pada kaki secara permanen. Akan tetapi polio jenis ini tidak

mematikan karena tidak menyerang organ vital. Perkembangan ilmu pengetahuan

di bidang matematika juga turut memberikan peranan penting dalam mencegah


meluasnya penyebaran penyakit polio (Poliomyelitis). Penyebaran penyakit polio

dapat dibentuk menjadi sebuah model epidemi SEIV. Pada model epidemic SEIV,

populasi dibagi menjadi 4 komparteman yakni sub populasi rentan (susceptibles),

populasi sub laten (exposed), sub populasi terinfeksi (infectious), dan sub populasi

vaksin penyakit (Vaccination). Berdasarkan data dari WHO (2008), penyebaran

penyakit polio dapat ditekan dengan program vaksinasi. Sampai saat ini, program

vaksinasi masih dipercaya sebagai cara yang paling efektif dalam menekan

penyebaran penyakit polio. Oleh karena itu, vaksinasi perlu diperhatikan dalam

model sebagai upaya untuk mencegah meluasnya penyakit.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kata poliomielitis berasal dari istilah medis untuk menggambarkan

dampak virus polio pada medula spinalis. Polio berasal dari bahasa Yunani

yang berarti abu-abu dan saraf tulang belakang (myelon). Poliomyelitis

adalah penyakit manusia eksklusif yang ditularkan dari pasien atau

pembawa bebas gejala melalui rute fecal-oral. Manifestasi bervariasi mulai

dari asimptomatik (paling umum) hingga bentuk kelumpuhan yang paling

parah. Poliomielitis merupakan suatu penyakit kelumpuhan syaraf yang

bersifat akut yang disebabkan karena virus RNA golongan Enterovirus,

Famili Picornaviridae, satu subgroup dengan virus Coxsackie dan

Echovirus. Ada tiga jenis virus polio yaitu strain 1 (Brunhilde), strain 2

Lansing dan strain 3 Leon. Strain 1 adalah yang paling paralitogenik dan

sering menimbulkan wabah sedangkan strain 2 yang paling jinak. Tidak

ada imunitas silang antar subtipe virus polio. Predileksi virus polio pada

sel kornu anterior medula spinalis, inti motorik batang otak dan area

motorik korteks otak, sehingga menyebabkan kelumpuhan serta atrofi otot.

Poliomielitis dapat menimbulkan wabah epidemi dan endemi. Penyakit ini

dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar (50-70%) menyerang

pada anak-anak di bawah usia tiga tahun, pernah dilaporkan adanya

kejadian pada masa neonatal. Penyakit ini sempat menghilang dari

Indonesia sejak tahun 2000 namun kembali ditemukan lagi pada tahun
2005. Manusia adalah satu satunya inang dari virus polio. Penularan

tersering terjadi secara infeksi droplet dari orofaring/saliva (jarang) atau

tinja penderita yang infeksius. Faktor yang mempengaruhi penularlan

adalah sanitasi dan higiene lingkungan yang buruk.

Virus polio ini dapat hidup sampai berbulan–bulan pada suhu

kamar tahan terhadap alkohol 70%, ether dan mati dengan chlorine,

formaldehide dan jika terpapar suhu di atas 50°C dan sinar ultra violet.

Virus yang tertelan akan menginfeksi epitel orofaring, tonsil, kelenjar

limfe leher dan usus kecil. Infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat

viremia yang menyusul replikasi cepat virus ini. Invasi virus ke susunan

saraf masih merupakan kontroversial apakah hematogen atau melalui

perjalanan saraf.

2.2. Epidemiologi

Polio dapat menyerang pada usia berapa pun, tetapi polio terutama

menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun. Pada awal abad ke-20, polio

adalah salah satu penyakit yang paling ditakuti di negara-negara industri,

melumpuhkan ratusan ribu anak setiap tahun. Pada tahun 1950an dan 1960an

polio telah terkendali dan praktis dihilangkan sebagai masalah kesehatan

masyarakat di negara-negara industry. Hal ini setelah pengenalan vaksin yang

efektif.

Pada 1988, sejak Prakarsa Pemberantasan Polio Global dimulai, lebih dari

2,5 miliar anak telah diimunisasi polio. Sekarang masih terdapat 3 negara endemis
yang melaporkan penularan polio yaitu Afganistan, Pakistan dan Nigeria. Pada

Juni 2018, dilaporkan adanya kasus polio di negara tetangga Papua New Guinea,

sehingga diperlukan adanya peningkatan kewaspadaan dini terhadap masuknya

virus polio ke Indonesia.

Sejarawan telah meletakkan bukti keberadaan poliomielitis di zaman kuno.

Lukisan-lukisan Mesir dari periode 1403 hingga 1365 SM menggambarkan anak-

anak dengan anggota tubuh yang cacat, berjalan dengan tongkat. Pada 1789,

seorang dokter Inggris Michael Underwood memberikan deskripsi klinis pertama

di mana ia menyebut polio sebagai ‘‘ kelemahan dari ekstremitas bawah. ’Polio

dikenal sebagai Penyakit Heine-Medin karena kontribusi dokter Jakob Heine dan

Karl Oskar Medin pada tahun 1840.2,3 Di Amerika Serikat, epidemi polio lumpuh

lokal mulai muncul sekitar tahun 1900. Pada bulan Juni 1916, sebuah arahan

dikeluarkan oleh otoritas kesehatan masyarakat AS di Brooklyn, New York,

mengenai keberadaan epidemi polio. Lebih dari 27.000 pasien dilaporkan, dan

kematian lebih dari 6000 di negara itu. Ada lebih dari 2000 kematian di New

York City saja. Otoritas menyadari bahwa mereka berurusan dengan masalah

yang tidak dapat dikendalikan ketika epidemi polio mulai muncul setiap musim

panas. Puncaknya terjadi pada tahun 1940 hingga 1950 ketika '' polio '' dikaitkan

dengan '' murka Allah. '' Karantina anak-anak yang terpapar menyebabkan

kepanikan dan kecemasan yang meluas di kalangan orang tua.

Revolusi medis yang mendesak datang di bentuk vaksin polio yang

diperkenalkan pada tahun 1950 oleh Salk dan Sabin. Jumlah kasus polio menurun

dari hampir 58.000 menjadi hanya 5.600 dalam waktu setahun. Penurunan lebih
lanjut dalam jumlah kasus terlihat setelah gelombang kedua imunisasi massal.

Pada 1961, hanya 161 kasus yang tercatat. Kasus polio lumpuh terakhir melalui

transmisi endemik tercatat pada tahun 1979 di Amerika Serikat bagian barat daya.

Pada tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan resolusi

untuk membebaskan dunia dari polio tipe liar pada tahun 2000 dalam bentuk

Global Polio Eradication Initiative. Pada tahun 1994, Wilayah WHO di Amerika

disertifikasi bebas polio diikuti oleh WHO Wilayah Pasifik Barat pada tahun

2000. Organisasi Kesehatan Dunia Wilayah Eropa dinyatakan bebas polio dari 3

jenis virus polio liar (tipe 1, 2, dan 3) pada bulan Juni 2002. Sebuah peta dunia

yang menggambarkan negara-negara polioendemi, daerah-daerah wabah virus

polio baru-baru ini, dan negara-negara yang berisiko tinggi terhadap wabah virus

polio digambarkan sebagai Gambar 1.

Gambar 1. Penyebaran Wabah Polio Virus

2.3. Etiologi
Virus penyebab polio pertama kali ditemukan di tahun 1909 oleh Karl

Landsteiner dan Erwin Popper, dua orang dokter dari Austria. Virus polio (VP)

adalah virus RNA ultra mikroskopik yang termasuk genus Enterovirus, dalam

famili Picornaviridae. 2 Virus single stranded 30% terdiri dari virion, protein

mayor (VP1 sampai 4) dan satu protein minor (VPg). Virus terdiri dari 3 serotipe

yaitu serotipe 1, 2, dan 3 masing-masing disebut juga serotipe Mahoney, Lansing,

dan Leon. Perbedaan ketiga jenis strain terletak pada segmen nukleotida. Virus

polio serotipe 1 adalah antigen yang paling dominan dalam membentuk antibodi

netralisasi. Serotipe 1 adalah yang paling paralitogenik dan sering menimbulkan

KLB, sedangkan serotipe 3 adalah yang paling tidak imunogenik.

2.4. Patogenesis dan Manifestasi Klinis

Manusia adalah satu satunya inang dari virus polio. Penularan tersering

terjadi secara infeksi droplet dari orofaring/saliva (jarang) atau tinja penderita

yang infeksius. Faktor yang mempengaruhi penularlan adalah sanitasi dan higiene

lingkungan yang buruk. Virus polio ini dapat hidup sampai berbulan–bulan pada

suhu kamar tahan terhadap alkohol 70%, ether dan mati dengan chlorine,

formaldehide dan jika terpapar suhu di atas 50°C dan sinar ultra violet. Virus yang

tertelan akan menginfeksi epitel orofaring, tonsil, kelenjar limfe leher dan usus

kecil. Infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat viremia yang menyusul replikasi

cepat virus ini. Invasi virus ke susunan saraf masih merupakan kontroversial

apakah hematogen atau melalui perjalanan saraf. Virus polio menempel dan

berbiak pada sel yang mengandung PVR (Polio virus reseptor) dan dalam waktu

sekirar 3 jam setelah infeksi terjadi kolonisasi. Sel yang mengandung PVR antara
lain sel di tenggorok , usus halus dan sel motor neuron di susunan syaraf

pusat.Virus yang masuk pada saluran pencernaanakan menempel dan bereplikasi

secara lokal kamudian menyebar kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar

limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bisa dihambat oleh secretory IgA.

Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada sistem

retikuloendothelial, terutama pada jaringan limfa usus dan patch dari peyer.

Kerusakan yang terjadi mengenai sel motor sususnan syaraf pusat, pada anterior

horn madulla spinalis, pada otak kerusakan terutama terjadi pada sel motor

formatio retikularis dari pons dan medulla, nucleus vestibulus, serebellum.

Replikasi pada otak akan menyebabkan kerusakan yang permanen.

Masa inkubasi Poliomielitis berkisar antara 3 -6 hari dan kelumpuhan akan

terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di

sumsum tulang belakang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan serta atrofi,

sedang virus yang berbiak di batang otak akan meyebabkan kelumpuhan bulbar

dan kelumpuhan pernafasan. Manifestasi klinis paparan virus polio pada manusia

ada 4 bentuk yaitu:

1. Inapparent infection tanpa gejala klinik yang banyak terjadi (72%)

2. Minor Illness (abortif Poliomielitis) dengan gejala panas yang tidak

terlalu tinggi, perasaan lemas, tidak ada nafsu makan dan sakit

pada tenggorokan, gangguan gastrointestinal, dan nyeri kepala

ringan. Pemeriksaan fisik dalam batas normal, pemeriksaan CSS

normal dan sembuh dalam waktu 24-72 jam.


3. Non paralitik Poliomielitis (meningitis aseptik), ditandai dengan

adanya demam tinggi 39,5 °C, sakit kepala, nyeri pada ototr,

hiperestesi dan parestesi, tidak ada nafsu makan, mual, muantah,

konstipasi atau diare dapat timbul. Pada pemeriksaan fisik

didapatkan kaku kuduk, brudzinki dan kernig positif, perubahan

refleks permukaan dan refleks dalam dimana refkes tersebut mulai

menurun. Hasil lumbal pungsi didapatkan adanya kenaikan sel,

pada permulaan PMN (polimorfonuklear) kemudian berubah

menjadi mononuklear, protein normal atau sedikit meningkat dan

kadar glukosa normal.

4. Paralitik Poliomielitis, dimulai dengan gejala seperti non paralytik

Poliomielitis ditambah dengan diketemukannya kelumpuhan pada

satu atau dua ekstremitas dan hilangnya refleks superfisial atau

refleks tendon dalam (tipe spinal). Pada major illness, gejala klinis

dimulai dengan demam, kelemahan yang terjadi dalam beberapa

jam, nyeri kepala dan muntah. Dalam waktu 24 jam terlihat

kekakuan pada leher dan punggung. Penderita terlihat mengantuk,

iritabel, dan kecemasan. Onset terjadinya paralisis tiba tiba dan

berlangsung dalam beberapa jam dapat melibatkan lebih dari satu

ektremitas. Pada kasus yang ringan biasanya kelumpuhan bersifat

asimetris dan anggota gerak bagian bawah lebih sering terkena

dibanding anggota gerak bagian atas namun pada kasus yang berat

dapat terjadi kuadriplegi dan kelumpuhan yang bersifat bulber


akibat kerusakan pada batang otak sehingga terjadi insufisiensi

pernafasan, gangguan menelan, kelumpuhan pita suara dan

kesulitan bicara, saraf yang terkena adalah saraf V,IX,X,XI dan

kemudian VII (tipe bulber), dan tipe bulbo spinal manifestasi

klinisnya gabungan kelumpuhan tipe spinal dan bulber. Manifestasi

klinis paralisis terbagi dua yaitu spinal dan bulbar. Pada

poliomielitis spinal, kelemahan bagian proksimal lebih berat dari

distal, lebih sering mengenai fleksor, asimetris dan pada kasus

yang ringan hanya mengenai beberapa motor unit. Paralisis

ekstremitas bawah lebih sering dari pada ekstremitas atas dan otot

tubuh paling jarang terkena. Otot mengalami kelumpuhan flaksid,

refleks tendon menghilang, dan atropi terjadi 5-7 hari setelah

lumpuh. Derajat kerusakan medula spinalis dapat dibedakan dari

gejala klinis. Gejala klinis poliomielitis bulbar berupa gangguan

menelan dan fonasi, paralisis otot fasialis unilateral atau bilateral,

dan terkadang kelumpuhan otot lidah. Bentuk yang paling berat

adalah polioensefalitis. Kasus kelumpuhan tipe ensefalitis (jarang)

ditemukan adanya disorientasi, iritabel, mengantuk dan ditemukan

kelumpuhan tipe perifer dan syaraf kranialis yang terjadi

bersamaan.

5. Post polio sindrom adalah bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun)

setelah infeksi virus polio dengan gejala klinik polio paralitik yang

akut. Gejala yang timbul adalah nyeri otot, paralisis rekuren atau
timbul paralisis baru. Faktor faktor yang mempengaruhi

manifestasinklinis infeksi virus polio belum diketahui dengan pasti

namun diduga ada hubungannya dengan virulensi virus dan faktor

karakteristik tubuh manusianya. Makin tua umur penderita makin

tinggi kejadian paralitik Poliomielitis dan makin tinggi angka

mortalitasnya. Kehamilan juga meningkatkan resiko terjadinya

paralitik poliomielitis. Tosilektomi dapat mengubah inapparent

infection menjadi poliomielitis tipe bulbar. Aktifitas fisik dan

trauma selama masa preparalitik meningkatkan resiko

paralitik,sering terjadi kelumpuhan pasca kegiatan otot,

suseptibilitas genetic frekuensi infeksi akan lebih besar pada

penderita dengan HL-A3 dan HL-A7.

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan

penunjang berupa demam, pemeriksaan darah tepi tidak menunjukkan

kelainan yang spesifik atau terjadi leukositosis dengan predominan PMN

pada fase akut. Hasil lumbal pungsi didapatkan adanya kenaikan sel, pada

permulaan PMN (polimorfonuklear) kemudian berubah menjadi

mononuklear, protein normal atau sedikit meningkat dan kadar glukosa

normal. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan peningkatan

jumlah sel bervariasi 20-300 sel/l, pada umumnya dalam 72 jam pertama

terjadi dominasi PMN, selanjutnya dominasi limfosit, penurunan kadar

gula, dan peninggian kadar protein. Pemeriksaan serologi peninggian titer


antibodi 4 x atau lebih antara fase akut dan konvalesens. Diagnosis pasti

poliomeilitis ditegakkan berdasarkan isolasi virus dri feses, faring, urin,

ataupun cairan serebrospinal (jarang). Isolasi virus, dilakukan dengan

sampel tinja terutama dalam waktu 2 minggu setelah kelumpuhan. Secara

keseluruhan, 80% terkena orang mengeluarkan virus dalam 2 minggu

pertama, yang menurun menjadisekitar 25% di minggu ketiga Pengeluaran

virus terjadi secara intermiten sehingga sampai diambil dua kali dengan

selang waktu 24 jam. Sampel dari faring dan cairan serebro spinalis

kemungkinan positifnya sedikit. Kehadiran virus di orofaring biasanya di

awal infeksi. Virus jarang dapat diisolasi dari CSF dalam beberapa kasus

meningitis aseptik. Selama fase pertama viremia (3-5 hari setelah infeksi),

virus dapat diisolasi dari darah, tetapi tidak dari kepentingan diagnostik.

Pemeriksaan EMG (Elektro Miografi) untuk membedakan kelumpuhan

karena kelainan di otot.

2.6. Tatalaksana

Tata laksana kasus lebih ditekankan pada tindakan suportif dan

pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota gerak diusahakan kembali

berfungsi senormal mungkin, sebaiknya penderita dirawat minimal 7 hari

atau sampai penderita melampaui masa akut. Polio abortif memerlukan

analgesik atau sedativa, diet yang adekuat dan istirahat sampai panas

turun, aktifitas minimal selama 2 minggu dan pemeriksaan

neuromuskuloskeletal yang teliti setelah 2 bulan. Polio nonparalitik sama

dengan polio abortif, ditambah penggunaan kompres untuk mengurangi


spasme otot. Penderita polio paralitik harus dirawat di rumah sakit sampai

fase akut dilewati. Perawatan khusus diperlukan pada penderita dengan

kelumpuhan bulbar atau ensefalitis, sesuai dengan derajat berat

penyakitnya. Perawatan fisioterapi dan rehabilitasi diberikan pada masa

konvalesens. Tidak ada pengobatan yang spesifik, tata laksana ditekankan

pada tindakan pencegahan dengan pemberian Imunisasi. Terapi

poliomielitis bersifat suportif. Tata laksana suportif secara komprehensif

akan menurunkan mortalitas yang disebabkan ganguan respirasi dan

kardiovaskular. Fungsi respirasi harus dijaga, apalagi bila terjadi

kelemahan otot faring, laring ,dan terdapat gangguan menelan sehingga

dapat mengakibatkan pneumonia aspirasi. Terapi untuk gangguan respirasi

bervariasi tergantung dari beratnya penyakit. Bila gangguan ringan dapat

dilakukan fisioterapi atau jika mungkin postural drainage. Bila kapasitas

vital menurun sampai 30-50%, O2 arteri menurun, atau respirasi iregular

dapat dilakukan trakeostomi dan pemakaian alat bantu pernafasan.

Fisioterapi dimulai pada masa konvalesens untuk mencegah kontraktur.

Braces mungkin dapat dipakai untuk mengkompensasi kelemahan otot.

Penderita yang selamat dari gangguan pernafasan pada fase akut biasanya

mempunyai prognosis baik. Dilaporkan penyulit poliomielitis yang berupa

kelemahan motorik yang progresif yang timbul beberapa tahun atau

dekade setelah infeksi utama. Umumnya, kasus kelemahan otot pada

dewasa dikeluhkan oleh penderita poliomielitis ringan pada masa anak.


Beberapa tahun kemudian otot yang terkena mengalami paresis yang

progresif dan fasikulasi.

2.7 Pencegahan

Pencegahan terjadinya infeksi virus polio dengan pemberian

imunisasi. Terdapat dua macam vaksin yaitu virus yang in aktif (Salk) dan

live attenuated virus (sabin). Terdapat perbedaan yang fundamental dari

kedua vaksin, meliputi preparat, cara pemakaian, stabilitas, kemampuan

pencegahan paralisis, dan penyulit imunisasi. Live attenuated virus vaccine

lebih efektif dalam pencegahan polio dibandingkan virus yang inaktivasi.

Sesudah pemberian vaksin live attenuated secara oral, maka attenuated

virus akan mengadakan replikasi di orofaring dan traktus gastrointestinalis

bagian bawah. Ekskresi virus dapat ditemukan pada sekresi oral atau

dalam feses 24 – 28 jam setelah pemberian vaksin.

Jenis vaksin polio:

1. Oral poliovirus vaccine (OPV) OPV sering disebut sebagai vaksin polio

Sabin sesuai nama penemunya, bentuk trivalen (tOPV) untuk mencegah

tiga jenis virus polio. Vaksin tOPV adalah vaksin hidup yang dilemahkan

(liveattenuated virus vaccine), diberikan tiga dosis secara serial untuk

memberikan kekebalan seumur hidup. Vaksin polio oral lebih efektif

untuk pemberantasan poliomielitis, karena virus yang dilemahkan akan


mengadakan replikasi di traktus gastrointestinalis bagian bawah. Hal ini

dapat menutup replikasi virus sehingga virus lain tidak dapat menempel

dan menyebabkan kelumpuhan. Kemampuan ini dapat menekan transmisi

virus saat KLB. Namun, vaksin OPV adalah virus yang dilemahkan, yang

dapat mengalami mutasi sebelum dapat bereplikasi dalam usus dan

diekskresi keluar. Hal ini menimbulkan kerugian berupa munculnya

circulating vaccine derived polio viruses (cVDPVs) dan vaccineassociated

paralytic poliomyelitis (VAPP). Saat ini, mulai dipertimbangkan

pemberian vaksin OPV bivalent (bOPV) yang berisi virus tipe 1 dan 3

sesuai rekomendasi WHO.9

2. Inactivated poliovirus vaccine (IPV) Vaksin polio inaktif (IPV)

sebenarnya lebih dulu ditemukan daripada OPV, disebut juga vaksin polio

Salk, sesuai dengan nama penemunya Jonas Salk di tahun 1955. Vaksin

IPV berisi virus inaktif, berisi 3 tipe virus polio liar. Vaksin yang

disuntikkan akan memunculkan imunitas yang dimediasi IgG dan

mencegah terjadinya viremia serta melindungi motor neuron. Vaksin IPV

mampu mencegah kelumpuhan karena menghasilkan antibodi netralisasi

yang tinggi. Pada tahun 1980an, komposisi awal IPV yang ditemukan Salk

dikembangkan sehingga memiliki kandungan antigen yang lebih tinggi,

dikenal sebagai enhancedpotency IPV (eIPV) dan digunakan sampai

sekarang. Pemberian IPV pada berbagai studi dilaporkan dapat

menyebabkan serokonversi terhadap ketiga tipe virus polio sebesar 94%

setelah pemberian dua dosis dan 99-100% setelah pemberian injeksi 3


dosis. Keuntungan lain IPV adalah dapat diberikan pada kasus dengan

status immunocompromised. Namun bila dibandingkan dengan OPV,

vaksin inaktif ini kurang kuat dalam memberikan perlindungan mukosa

dan kurang efektif untuk menimbulkan herd immunity. Harga vaksin IPV

ini juga relatif mahal.2,5,9,10 Di negara maju, pemberian IPV lebih

direkomendasikan karena dapat mengurangi angka kejadian VAPP dan

VDPV.

Terdapat dua perbedaan dasar antara vaksin virus live attenuated dan vaksin

virus in-aktif yaitu:

1. Dengan vaksin hidup, rangsangan antigen tidak tergantung dari dosis yang

diberikan

2. Respons imun pada vaksin hidup tidak hanya dari antibodi dalam sirkulasi

tetapi juga pada respons lokal pada saluran cerna. Selain peninggian IgG, IgM,

IgA serum juga terbentuk IgA pada mukosa nasal dan duodenal.

Gambar 2. Perbandingan vaksin OPV dan IPV


2.8 Prognosis

Prognosis pada polio non paralitik pada umumnya baik, biasanya sembuh

sempurna. Pada Poliomielitis paralitik prognosisnya tergantung pada berat

ringannya kelumpuhan yang terjadi. Angka kematian pada poliomielitis

paralitik 5-10%, lebih tinggi pada dewasa dan bayi. Pada kasus paralisis

ringan membaik pada 20-30% kasus dalam waktu 6 bulan, minimal terjadi

perbaikan dalam waktu 1-2 tahun. Sekitar 20% kasus dengan paralisis

spinal perlu pengobatan operatif. Paralisis otot proksimal tungkai memiliki

prognosis lebih baik dibandingkan paralisis otot perut dan otot oppones

policis. Perbaikan fungsi otot terjadi selama 18 bulan sampai 2 tahun.

Angka kematian meningkat sampai 80% pada kasus Poliomielitis tipe

bulber. Paresis bulbar parsial biasanya sembuh sempurna.


BAB III

KESIMPULAN

Kasus polio alami terakhir yang didefinisikan di Inggris adalah

pada tahun 1984. Antara tahun 1985 dan 2002, dilaporkan 40 kasus polio

paralitik.24 Dari jumlah tersebut, 30 adalah polio paralitik yang terkait

vaksin. Pada 6 pasien, infeksi tertular ke luar negeri, dan pada 5 pasien,

sumber infeksi tidak diketahui. Virus liar itu tidak terdeteksi. Pada tahun

2000, suatu pelepasan terjadi di Hispaniola. Isolat penyebabnya adalah

rekombinan dari strain vaksin dan virus yang tidak diketahui. Polio-

lumpuh polio terkait vaksin akan terus berlanjut karena virus sudah lama

digunakan. Data ilmiah membuktikan tanpa keraguan bahwa

pemberantasan polio juga akan mengharuskan pembubaran OPV, jika

tidak akan ada kebangkitan di dunia yang bebas polio karena polio dan

polio yang disebabkan oleh polio karena polio yang beredar vaksin karena

virus yang beredar di pasaran.Polio-freecountries akan menjadi ancaman

saat mengimpor suatu ancaman virus polio yang diturunkan dari tempat-

tempat di mana OPV digunakan. Tetapi tantangan terbesar adalah untuk

menghentikan transmisi sirkulasi sildainstruktur. Pada tahun 2020, WHO

mengumumkan penyelesaian pemberantasan polio sebagai Programmatic


Emergency. Program Stop Transmission of Polio (STOP) diluncurkan

untuk memperkuat pengawasan dan mempromosikan kampanye vaksinasi

maksimum.30 Banyak faktor yang menimbulkan tantangan untuk

menyelesaikan pemberantasan. Medan yang sulit secara geografis

membuat pengiriman vaksin menjadi sulit. Ada masalah sanitasi serius. Di

beberapa daerah, kerja sama dari pemerintah daerah masih kurang.

Beberapa faksi religius telah berkampanye menentang upaya vaksin.31

Krisis tidak terkendali dengan batas-batas politik negara-negara, tetapi

masih ada perubahan dalam bentuk gelombang air di luar wilayah bebas-

ekspor. Satu-satunya terobosan baru-baru ini terjadi di provinsi Xinjiang,

Cina pada tahun2011.32 Wilayah ini telah disertifikasi sebagai pabean tiga

hingga 10 tahun terakhir. Investigasi melacak asal usulnya dari strain polio

liar dari Pakistan. Manajemen penangkaran pada kolosal akhirnya mulai

mengandung wabah ini. Vaksin polio oral dari 43,7 juta dosis telah

dikeluarkan di sekitar vaksinasi. Laporan ini melaporkan fakta yang sudah

diketahui bahwa sampai saat polio dimusnahkan dari semua negara,

negara-negara bebas polio akan berada di bawah ancaman. Upaya ribuan

orang yang bekerja secara religius selama beberapa dekade seharusnya

tidak sia-sia.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehndiratta, M. M., & Mehndiratta, P. (2014). Poliomyelitis: Historical Facts,


Epidemiology, and Current Challenges in Eradication. The Neurohospitalis
Journal, 4(4), 223-229.

2. Satari, H. I. (2016). Eradikasi Polio. Sari Pediatri Journal, 18(3), 246-250.


3. WHO. Diakses pada tanggal 12 September 2016. Didapat dari:
http://www.polioeradication.org/mediaroom/newsstories/ WHO-Removes-
Nigeria-from-Polio-Endemic-List-/tabid/526/ news/1291/Default.aspx

4. Committee on Infectious Diseases. Poliomyelitis prevention: revised


recommendations for use of inactivated and live oral poliovirus vaccines.
Pediatrics 2012;103:171-2.

5. Melnick JL. Current status of poliovirus infections. Clin Microbiol Rev.


2016;9(3):293-300.

6. Schaulies JS, Schaulies SS, Meulen VT. Infections of the central nervous system.
In: Topley and Wilson’s Microbiology and Microbial Infections, Virology. Vol. 2.
10th ed. WileyBlackwell; 2005:1401-1498.

7. Chatterjee A, Vidyant S, Dhole TN. Polio eradication in India: Progress, but


environmental surveillance and vigilance still needed. Vaccine 2013;31:1268-75.

8. Committee on Infectious Diseases. Poliovirus. Pediatrics 2011;128:805-8.


9. Chatterjee A, Vidyant S, Dhole TN. Polio eradication in India: Progress, but
environmental surveillance and vigilance still needed. Vaccine 2013;31:1268-75.

Anda mungkin juga menyukai