Anda di halaman 1dari 15

Nama : Siti Rofina Hamzani

NIM : 18621618

Mata Kuliah : Mutu Layanan Kebidanan

TUGAS RESUME

MUTU PELAYANAN KEBIDANAN

A. Sejarah Perkembangan Mutu Pelayanan Kebidanan

Mutu pelayanan kesehatan adalah memenuhi dan melebihi kebutuhan serta harapan
pelanggan melalui peningkatan yang berkelanjutan atas seluruh proses. Pelanggan meliputi
pasien, keluarga, dan yang lain yang datang untuk mendapatkan pelayanan dokter, ataupun
tenaga medis lainnya. ( Mary R. Zimmerman)

Mutu pelayanan kesehatan sangat melekat dengan faktor- faktor subjektivitas individu
yang berkepentingan dalam pelayanan kesehatan, seperti pasien, masyarakat dan organisasi
masyarakat, profesi layanan kesehatan, dinas kesehatan, dan pemerintah daerah sehingga akan
membentuk pendangan yang bereda dalam definisi mutu pelayanan kesehatan.

Definisi mutu layanan kebidanan adalah sebagai berikut:

1. Mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja,
proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau
konsumen.

2. Mutu adalah gambaran total sifat dari suatu produk atau jasa pelayanan yang berhubungan
dengan kemampuan untuk memberikan kebutuhan kepuasan pelanggan (ASQC dalam
Wijoyo,1999)

3. Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri dari suatu barang atau jasa yang dihasilkan,
didalamnya terkandung sekaligus pengertian akan adanya rasa aman dan terpenuhinya kebutuhan
para pengguna barang atau jasa yang dihasilkan tersebut (Din ISO 8402, 1986).
 Sejarah Perkembangan Pelayanan Mutu Kebidanan di Indonesia
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, angka kematian ibu dan anak sangat tinggi.
Tenaga penolong persalinan adalah dukun. Pada tahun 1807 di masa pemerintahan Gubernur
Jendral Hendrik William Deandles, para dukun dilatih untuk melakukan pertolongan persalinan,
tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama kerena tidak tersedianya pelatih kebidanan.
Pelayanan kesehatan pada saat itu hanya diperuntutkan bagi orang-orang Belanda yang
ada di Indonesia. Kemudian pada tahun 1849 dibuka pendidikan Dokter Jawa di Batavia,
tepatnya di Rumah Sakit Militer Belanda yang sekarang dikenal dengan RSPAD Gatot Subroto.
Seiring dengan dibukanya pendidikan dokter tersebut pada tahun 1851, dibuka pendidikan bidan
bagi wanita pribumi di Batavia oleh seorang dokter militer Belanda bernama dr. W. Bosch
lulusan sekolah ini kemudian bekerja dirumah sakit dan juga di masyarakat. Mulai saat ini
pelayanan kesehatan ibu dan anak dilakukan oleh dukun dan bidan.
Pada tahun 1952, mulai diadakan pelatihan bidan secara formal agar dapat meningkatkan
kualitas pertolongan persalinan. Pelatihan untuk para dukun masih berlangsung sampai sekarang.
Pelatihan ini diberikan bidan. Perubahan pengetahuan dan ketrampilan tentang pelayanan
kesehatan ibu dan anak secara menyeluruh di masyarakat dilakukan melalui kursus tambahan
yang dikenal dengan istilah Kursus Tambahan Bidan (KTB) pada tahun 1953 di Yogyakarta,
yang akhirnya dilakukan pula di kota-kota besar lainnya. Seiring dengan pelatihan tersebut
didirikan pula Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dengan bidan sebagai penanggung jawab
pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan yang diberikan mencakup pelayanan antenatal, ponatal,
pemeriksaan bayi dan anak, termasuk imunisasi serta penyuluhan gizi. Sedangkan di luar BKIA
bidan memberi pertolongan persalinan di rumah keluarga dan melakukan kunjungan rumah
sebagai upaya tindak lanjut pasca persalinan.
Bermula dari BKIA kemudian terbentuklah suatu pelayanan terintegrasi bagi masyarakat
yang dinamakan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) pada tahn 1957 Puskesmas memberi
pelayanan di dalam gedung dan di luar gedung dan berorientasi pada wilyah kerja. Bidan yang
bertugas di Puskesmas berfungsi memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, termasuk
pelayanan keluarga berencana baik di luar gedung maupun di dalam gedung.pelayanan yang
diberikan di luar gedung adalah pelayanan kesehatan keluarga dan pelayanan di pos pelayanan
terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu mencakup lima kegiatan yaitu pemeriksaan
kehamilan, pelayanan keluarga berencana, imunisasi, gizi, dan kesehatan lingkungan.
Mulai tahun 1990 pelayanan kebidanan diberikan secara merata dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kebijakan ini merupakan instruksi presiden (Inpres) yang disampaikan
secara lisanpada sidang kabinet tahun 1992. Kebijakan ini mengenai perlunya mendidik bidan
untuk ditempatkan di desa. Tugas pokok bidan di desa adalah sebagai pelaksanan kesehatan KIA
khususnya dalam pelayanan kesehatan ibu hamil, bersalin, dan nifas serta pelayanan kesehatan
bayi baru lahir, termasuk pembinaan dukun bayi (paraji). Sehubungan dengan itu, bidan desa
juga menjadi pelaksana pelayanan kesehatan bayi dan keluarga berencana yang dilakukan sejalan
dengan tugas utamanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan ibu. Dalam melaksanakan tugas
pokoknya bidan desa melaksanakan kunjungan rumah pada ibu dan anak yang memerlukannya,
mengadakan pembinaan Posyandu di wilayah kerjanya, serta mengembangkan pondok bersalin
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat.
Hal tersebut di atas adalah bentuk pelayana yang diberikan oleh bidan di desa. Pelayanan
bidan di desa berorientasi pada kesehatan masyarakat, sedangkan bidan yang bekerja di rumah
sakit berorientasi pada individu. Tugas bidan di rumah sakit mencakup pelayanan di poliklinik
antenatal, poliklinik keluarga berencana, ruang perinatal, kamar bersalin, kamar operasi
kebidanan, dan ruang nifas. Bidan di rumah sakit juga memberi pelayanan bagi klien yang
mengalami gangguan kesehatan reproduksi, mengajarkan senam hamil, serta memberi
pendidikan perinatal.
Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan tugasnya didasarkan pada kemampuan
serta kewenangan yang diberikan. Kewenangan tersebut diatur melalui peraturan mentri
kesehatan (permenkes). Permenkes yang menyangkut wewenang bidan selalu mengalami
perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat serta kebijakan pemerintah
dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Permenkes tersebut diantaranya adalah :

1. Permenkes No. 5380/IX/1963 yang menyatakan bahwa wewenanag bidan terbatas pada
pertolongan persalinan normal secara mandiri, didampingi tugas lain.

2. Permenkes No. 363/IX/1980 yang kemudian diubah menjadi permenkes 623/1989,


menyatakan bahwa wewenang bidan dibagi menjadi dua, yaitu wewenang umum dan khusus.
Dalam wewenang khusus ditetapkan bahwa bidan melaksanakan tindakan kusus di bawah
pengawasan dokter. Hal ini berarti bahwa bidan dalam melaksanakan tugasnya tidak
bertanggung jawabdan bertanggung gugat atas tindakan yang dilakukan. Berdasarkan Permenkes
ini bidan melaksanakan praktik perorangan di bawah pengawasan dokter.

3. Permenkes No. 572/IV/1996 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan. Bidan dalam
melaksanakan praktiknya diberi kewenangan yang mandiri. Kewenangan tersebut disertai
kemampuan dalam melaksanakan tindakan. Dalam wewenang tersebut mencakup :

a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan anak


b. Pelayanan keluarga berencana
c. Pelayanan kesehatan masyarakat

4. Permenkes No. 900. Menkes/SK/VII/2002 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan.
Bidan dalam melaksanakan praktiknya diberi kewenangan untuk memberikan pelayanan yang
meliputi :
a. Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan pranikah, antenatal. Intranatal, posnatal,
bayi baru lahir, dan balita.
b. Pelayanan keluarga berencana yang meliputi pemberian obat dan alat kontrasepsi
melalui oral, suntikan, pemasangan dan pencabutan AKDR dan AKBK tanpa penyulit.

Dalam tahun 1952 setelah kemerdekaan indonesia, disetiap kabupaten mulai didirikan
Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA) sampai akhir tahun 1973 setelah didrikan 6810 BKIA,
yang kemudian diintegrasikan kedalam puskesmas. Dalam pertengahan repelita III (1980-1984)
telah dikembangkan 500 puskesmas dan pos pelayanan terpada (Posyandu) mulai didirikan ditiap
desa, dibawah pembinaan dan pengawasan puskesmas, dengan lima kegiatan atau meja untuk
perawatan anak balita, ibu hamil, dan keluarga berencana. Posyandu mencerminkan peran serta
masyarakat dalam upaya penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir yang dilakukan oleh kader
kesehatan.

Tahun 1978 peran dukun masih dominan. Jumlah persalinan oleh dukun kurang lebih
72.6% Departemen kesehatan melalui program penempatan bidan di desa sebanyak 54.956,dapat
meningkatkan cakupan persalinan dari 52%. (Susenas, 1998) menjadi 64% (Susenas, 2001).
Persalinan dukun menurun menjadi 36% tetapi persalinan dirumah ibu hamil masih tinggi.
Perkembangan fasilitas dan tenaga kesehatan untuk pelayanan kesehatan ibu di Indonesia,
jumlah rumah sakit 994, puskesmas 7550, posyandu 238.699, polindes 46.965 dengan bidan di
desa 59.913, dokter umum 29.124, dokter spesialis obstetri ginekologi (SpOG) 1800. Dengan
demikian, satu dokter SpOG melayani 200.000, dokter umum untuk 25.103 penduduk dan satu
bidan di tiap desa. (Poedji Rochjati)

Dalam melaksanakan tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan rujukan


sesuai dengan kondisi pasien, kewenangan, serta kemampuannya. Wewenang bidan dalam
pelayanan kebidanan di bidang keluarga berencana mencakup penyediaan alat kontrasepsi, yaitu
oral (pil KB), suntik, kondom, AKDR, AKBK, baik pemasangan maupun pencabutan. Pada
keadaan darurat bidan juga diberi wewenang untuk memberikan pelayanan kebidanan yang
ditujukan untuk menyelamatkan jiwa. Permenkes tersebut juga menegaskan bahwa bidan dalam
menjalankan praktiknya harus sesuai dengan kewenangan, kemampuan, pendidikan,
pengalaman, serta berdasarkan standar profesi. Di samping itu bidan diwajibkan merujuk kasus-
kasus yang tidak dapat di tangani, menyimpan rahasia, meminta petunjuk persetujuan untuk
tindakan yang akan dilaksanakan, memberi informasi serta membuat rekam medis dengan baik.
Petunjuk pelaksanaan yang lebih rinci mengenai kewenangan bidan terdapat pada petunjuk
pelaksanaan (jutlak) yang dituangkan dalam Lmpiran Keputusan Dirjen Binkesmas Permenkes
No. 1506/tahun 1997.
Pencapaian kemampuan bidan sesuai dengan Permenkes 572/1996 tidak mudah, karena
kewenangan yang diberikan oleh departemen kesehatan mengandung tuntutan bahwa bidan
sebagai tenaga profesional harus memiliki kemampuan profesi yang mandiri. Pencapaian
kemampuan tersebut diperoleh melalui institusi pelayanan yang meningkatkan kemampuan
bidan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Perkembangan pelayanan kebidanan menuntut kualitas bidan yang handal dan


profesional serta upaya pemantauan (monitoring) pelayanan. Oleh karena itu adanya konsil
kebidanan adalah suatu keharusan. Pendidikan bidan yang berorientasi pada profesional dan
akademik serta memiliki kemampuan melakukan penelitian adalah suatu trobosan dan syarat
utama untuk percepatan peningkatan kualitas pelayanan kebidanan. (Poedji Rochjati)
 Sejarah Perkembangan Pelayanan Kebidanan Internasional

Kebidanan dan keperawatan di Australia dimulai dengan tradisi dan latihan yang
dipelopori oleh Florence Nightingale pada abad ke-19. Pada tahun 1824 kebidanan masih belum
dikenal sebagai dari pendidikan medis di Inggris dan Australia. Kebidanan masih banyak
didominasi oleh dokter. Sebagian besar wanita yang melahirkan tidak di rawat dengan
selayaknya oleh masyarakat. Ketidakseimbangan seksual dan moral di Australia telah membuat
prostitusi berkembang dengan cepat. Hal ini menyebabkan penduduk wanita banyak yang hamil
dan jarang dari mereka yang dapat memperoleh pelayanan dari bidan maupun dokter karena
status sosial mereka.

Pendidikan bidan yang pertama kali di Australia dimulai pada tahun 1862. Lulusan waktu
itu telah dibekali dengan pengetahuan teori dan praktik. Pendidikan diploma kebidanan di mulai
pada tahun 1893 dan mulai tahun 1899 hanya bidan yang sekaligus perawat yang telah terlatih
yang boleh bekerja di rumah sakit. Pada tahun 1913 sebanyak 30% persalinan ditolong oleh
bidan. Meskipun ada peningkatan jumlah dokter yang menangani persalinan antara tahun 1900
sampai 1940, tidak ada penurunan yang berarti pada angka kematian ibu. Bidan terus disalahkan
akan hal itu. Kenyataannya wanita kelas menengah keatas yang di tangani oleh dokter dalam
persalinannya mempunyai resiko infeksi yang lebih besar dari pada wanita miskin yang ditangani
oleh bidan.

Kebidanan di Australia telah mengalami perkembangan yang pesat sejak 10 tahun terahir.
Dasar pendidikan telah berubah dari Tradisional Hospital Based Programme menjadi Tetiary
Course Of Studies untuk menyelesaian pelayanan kebutuhan dari masyarakat. Tidak semua
institusi pendidikan kebidanan di Australia yang telah melaksanakan perubahan ini, bebrapa
masih menggunakan program pendidikan yang berorientasi pada rumah sakit. Kekurangan yang
dapat dilihat dalam pendidikan kebidanan di Australia hampr sama dengan pelaksanaa
pendidikan di Indonesia. Belum ada persamaan persepsi mengenai pengimplementasian
kurikulum di masing-masing institusi, sehingga lulusan bidan mempunyai kompetensi klinik
yang berbeda tergantung dari institusi pendidikannya. Hal ini ditambah dengan kurangnya
kebujakan formal dan tidak adanya standar nasional. Menurut Nationel Reviuw Of Nurse
Education 1994, tidak ada direct entri untuk pendidikan bidan di Australia. Mahasiswa
kebidanan harus menjadi perawat dahulu sebelum mengikuti pendidikan bidan. Sebab di
Australia kebidanan masih menjadi sub spesiaisai dalam keperawatan. Didalamnya termasuk
pendidikan tentang keluarga berencana, kesehatan wanita, perawatan genecologi, perawatan
anak, kesehatan anak dan keluarga, serta kesehatan neonatus dan remaja. Adanya peraturan ini
semakin mempersempit peran dan ruang kerja bidan.

Selendia baru dan canada menerepkan rogram direc entry selama 3 tahun dalam
pendidikan bidan. Sebelumnya, di selendia baru ada perawatkebidanan dimana perawat dapat
menambah pendidikannya untuk menjadi seorang bidan sedangkan di canada tidak ada.
Bagaimanapun kedua negara tersebut yakin bahwa untuk mempersiapkan bidan yang dapat
bekerja secara otonom dan dapat membrikan dukungan kepada wanita untuk mengontrol
persalinannya sendiri. Penting untuk mendidik wanita yang sebelumnya belum pernah
berkecimpung dalam sistem kesehatan yang menempatkan kekuatan dan kontrol medis. Karena
itu program direc entry lebih di utamakan

Kedua negara tersebut menggunakan dua model pendidikan yaitu pembelajaran teori dan
magang. Pembelajaran teori di kelas difokuskan pada teori dasar yaitu pembelajaran teori dan
magang. Pembelajaran teori dikelas di fokuskan pada teori dasar, yang akan melahirkan bidan-
bidan yang dapat mengartikulasikan teorinya sendiri dalam praktik, memanfaatkan penelitian
dalam praktik mereka dan berfikir kritis tentang praktik. Dilengkapi dengan belajar magang,
dimana mahasiswa bekerja dengan bimbingan dan pengawasan bidan yang berpraktik dalam
waktu yang cukup lama. Bidan tersebut memberikan role model yang penting untuk proses
pembelajaran. Satu mahasiswa akan bekerja dengan satu bidan, sehingga mereka tidak akan
dikacaukan dengan bermacam-macam model praktik. Mahasiswa bidan juga akan mulai belajar
tentang model Partnership. Model ini terdiri dari partnership antara wanita dan mahasiswa bidan,
mahasiwa bidan dengan bidan, mahasiswa bidan dengan guru bidan, guru bidan dengan bidan,
partnership antara program kebidanan dengan profesi kebidanan, serta program kebidanan
dengan wanita.

Parnership ini menjaga agar program pendidikan tetap pada tujuan utamanya, yaitu
mencetak bidan-bidan yang dapat bekerja secara otonom sebagai pemberi asuhan maternitas
primer. Selandia baru ada canada telah sukses dalam menghidupkan kembali status bidan dan
status wanita. Keselarasan antara pendidikan bidan dan ruang lingkup praktik kebidanan dalah
bagian penting dari sukses tersebut.

B. Evaluasi Mutu Pelayanan Kebidanan

Evaluasi atau penilainan adalah suatu proses untuk menentukan nilai atau jumlah
keberhasilan dari pelaksanaan suatu program dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan.
Sebelum melakukan penilaian atau evalusi ini harus di ingat bahwa penilaian atau evaluasi
dilakukan pada tahap akhir (summative evaluaton) sehingga perhatian hendaknya lebih ditujukan
pada unsur keluaran (output) dari program menjaga mutu. Dalam hal ini merujuk pada mutu
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Penilaian atau evaluasi ini dapat ditemukan pada
setiap tahap pelaksanaan program dan secara umum. Penilaian atau evaluasi dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Penilaian atau evaluasi pada tahap awal, yaitu penilaian yang dilakukan pada saat
merencanakan suatu program (formative evaluation). Tujuan utamanya adalah untuk meyakinkan
bahwa rencana yang disusun benar-benar telah sesuai dengan masalah yang ditemukan. Penilaian
yang di maksudkan untuk mengukur kesesuaian program dengan masalah atau kebutuhan
masyarakat dan disebut dengan studi penjajakan kebutuhan (need assessment study)

2. Penilaian atau evaluasi pada tahap pelaksanaan program, yaitu penilaian pada saat program
sedang dilaksanakan (promotive evaluation). Tujuan utamanya adalah untuk mengukur apakah
program yang sedang dilaksanakan telah sesuai dengan rencana atau tidak, atau apakah terjadi
penyimpanagan-penyimpanagn yang dapat merugikan pencapaian tujuan dari program tersebut.
Pada umumnya ada dua bentuk penilaian atau evaluasi pada tahap pelaksanaan yaitu program
pemantauan (monitoring) dan penilaian atau evaluasi berkala (periodical evaluation).

3. Penilaian atau evaluasi pada tahap akhir program, yaitu penilaian yang dilakukan pada saat
program telah selesai dilaksanakan (summative evaluation). Tujuan utamanya adalah secara
umum dapat dibedakan atas dua macam yakni untuk mengukur keluaran (output) serta untuk
mengukur dampak (impact) yang di hasilkan. Dari kedua macam penilaian akhir ini, diketahui
bahwa penilaan keluaran lebih mudah dari pada penilaian dampak karena pada penilaian dampak
diperlukan waktu yang lama.
C. Pilar Strategi Pelayanan Kebidanan

Untuk memperkuat budaya organisasi, semua kegiatan harus menuju peningkatan mutu
yang terus menerus. Untuk mewujutkan peningkatan mutu pelayanan terus menerus, pilar
utamanya terdiri atas hal-hal berikut :

1. Visi manajement dan komitmen

Nilai organisasi dan komitmen dari semua level yang sangat diperlukan.

2. Tanggung jawab

Agar setiap orang bertanggung jawab, maka perlu standar yang kuat.

3. Pengukuran umpan balik

Perlu dibuat sistem evaluasi sehingga dapat mengukur apakah kita mempunyai informasi
yang cukup.

4. Pemecahan dan proses perbaikan

Ketepatan waktu, pengorganisasian sistem yang efektif untuk menyelesaikan keluahan,


dan masalah sistem memerlukan proses perbaikan dalam upaya meningkatkan kepuasan
pelanggan.

5. Komunikasi

Perlu ada mekanisme komunikasi yang jelas. Jika ada informasi, maka petugas atau staf
merasa di abaikan dan tidak dihargai.

6. Pengembangan staf dan pelatihan

Pengembangan staf dan pelatihan berhubungan dengan pengembangan sumber daya yang
dapat memengaruhi kemampuan organisasi dalam memberikan pelayanan.

7. Keterlibatan tim kesehatan

Perlu keterlibatan tim kesehatan agar mereka terlibat dan berperan serta dalam strategi
organisasi.
8. Penghargaan dan pengakuan sebagai bagian dari strategi

perlu memberikan penghargaan dan pengakuan kepada visi pelayanan dan nilai sehingga
individu maupun tim mendapat insentif untuk melakukan pekerjaan dengan baik.

9. Keterlibatan dan pemberdayaan staf

Staf yang terlibat adalah yang mempunyai keterikatan dan tanggung jawab.

10. Mengingatkan kembali dan pemberdayaan

Petugas harus diingatkan tentang prioritas pelayanan yang harus diberikan.

(Satrianegara, M. Fais. 2010. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan Serta
Kebidanan)

 Upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan mencakup:

1. Penataan organisasi

Penataan organisasi mejadi organisasi yang efisien, efektif dengan struktur dan uraian
tugas yang tidak tumpang tindih, dan jalinan hubungan kerja yang jelas dengan berpegang pada
prinsip Organization Through The Function

2. Regulasi peraturan perundangan

Pengkajian secara komprehensip terhadap berbagai peraturan perundangan yang telah ada
dan diikuti dengan regulasi yang mendukung pelaksanann kebijakan tersebut di atas.

3. Pemantapan jejaring

Pengembangan dan pemantapan jejaring dengan pusat unggulan pelayanan dan sistem
rujukannya akan sangat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelayanan kesehatan, sehingga
dengan demikian akan meningkatkan mutu pelayanan.

4. Standarisasi
Standarisasi merupakan kegiatan penting yang harus dilaksanakan, meliputi standar
tenaga baik kuantitatif maupun kualitatif, sarana dan fasilitas, kemampuan, metode, pencatatan
dan pelaporan dan lain-lain. Luaran yang diharapakan juga harus distandarisasi.

5. Pengembangan sumber daya manusia

Penyelenggaraan berbagai pendidikan dan pelatihan secara berkelanjutan dan


berkesinambungan untuk menghasilkan sdm yang profesional, yang kompeten dan memiliki
moral dan etika, mempunyai dedikasi tinggi, kreatif dan inovatif serta bersikap antisipatif
terhadap berbagai perubahan yang akan terjadi baik perubahan secara lokal maupun global.

6. Quality Assurance

Berbagai komponen kegiatan quality assurance harus segera dilaksanakan dengan diikuti
oleh perencanaan dan pelaksanaan berbagai upaya perbaikan dan peningkatan untuk mencapai
peningkatan mutu pelayanan. Data dan informasi yang diperoleh dianalisis dengan cermat dan
dilnjutkandengan penyusunan rancangan tindakan perbaikan yang tepat dengan melibatkan
semua pihak yang berkepentingan. Semua ini dilakukan dengan dengan pendekatan Tailor’s
Model dan Plan Do Control Action (PDCA).

7. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan dengan membangun


kerjasamadan kolaborasi dengan pusat-pusat unggulan baik yang bertaraf lokalatau dalam negeri
maupun internasional. Penerapan berbagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pembiayaan.

8. Peningkatan peran serta masyarakat dan organisasi profesi

Peningkatan peran organisasi profesi terutama dalam pembinaan anggota sesuai dengan
standar profesi dan peningkatan mutu sumber daya manusia

9. Peningkatan kontrol sosial

Peningkatan pengawasan dan kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan


kesehatan akan meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan mutu pelayanan.
(Satrianegara, M. Fais. 2010. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan Serta
Kebidanan)

 Strategi Peningkatan Mutu Pelayanan

Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam pendekatan untuk mencapai pelayanan
prima melalui peningkatan mutu pelayanan, yaitu sebagai berikut :

1. Pelanggan dan harapannya

Harapan pelanggan mendorong upaya peningkatan mutu pelayanan. Organisasi


pelayanan kesehatan mempunyai banyak pelanggan potensial. Harapan mereka harus
diidentifikasi dan diprioritaskan lalu membuat kriteria untukmenilai kesuksesan.

2. Perbaikan kinerja

Bila harapan pelanggan telah diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah melaksanakan


kinerja staf dan dokter untuk mencapai konseling, adanya pengakuan, dan pemberian reward.

3. Proses perbaikan

Proses perbaikan juga penting. Sering kali kinerja disalahkan karena masalah pelayanan
dan ketidakpuasan pelanggan pada saat proses itu sendiri tidak dirancang dengan baik untuk
mendukung pelayanan.dengan melibatkan staf dalam proses pelayanan, maka diidentifikasi
masalah proses yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan, mendiagnosis penyebab,
mengidentifikasi dan menguji pemecahan atau perbaikan.

4. Budaya yang mendukung perbaikan terus menerus

Untuk mencapai pelayanan prima diperlukan organisasi yang tertib. Itulah sebabnya perlu
untuk memperkuat budaya organisasi sehingga dapat mendukung peningkatan mutu. Untuk
dapat melakukannya harus sejalan dengan dorongan peningkatan mutu pelayanan terus-menerus.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan agar lebih bermutudan terjangkau oleh
masyarakat, maka perlu dilaksanakan berbagai upaya. Upaya ini harus dilakukan secara
sistematk, konsisten dan terus-menerus.

(Satrianegara, M. Fais. 2010. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan Serta
Kebidanan)

 Mekanisme Peningkatan Mutu Pelayanan menurut Trilogi Juran adalah


sebagai berikut :

1. Quality planning, meliputi :

a. Menentukan pelanggan

b. Menentukan kebutuhan pelanggan

c. Mengembangkan proses yang mampu menghasilkan produk sesuai dengan gambaran


produk

d. Mengembangkan gambaran produk sesuai dengan kebutuhan pelanggan

e. Mentransfer rencana menjadi kebutuhan pelaksanaan.

2. Quality control, meliputi :

a. Mengevaluasi kinerja produk saat ini

b. Membandingkan kinerja sesungguhnya dengan tujuan produk

c. Melaksanakan atau memperbaiki keadaan

3. Quality improvement, meliputi :

a. Mengembangkan infrastruktur

b. Mengidentifikasi peningkatan mutu

c. Membentuk tim mutu


d. Menyiapkan tim dengan sumberdaya dan pelatihan serta motivasi untuk mendiagnosis,
dan mengembangkan pengawasan untuk mempertahankan peningkatan.

(Satrianegara, M. Fais. 2010. Buku Ajar Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan Serta
Kebidanan)

Daftar Pustaka

Prawirohadjo, Sarwono. 2016. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka

AA Gde, Muninjaya. 2014. Manajemen Mutu Kesehatan Edisi 2. Yogyakarta: EGC

Satrianegara, M. Fais. 2010. Buku Ajar Organisasi dan Mutu Manajemen Pelayanan Kesehatan
Serta Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Tjiptono, F. dan Diana, A. 2011. Total Quality Management. Jakarta: EGC

Wiyono, Djoko. 2010. Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: AUP Press

Anda mungkin juga menyukai