Anda di halaman 1dari 2

Kelompok 8

Ni Nyoman Ayu Nirmala Putra (1707532087)


Km. Sri Aprianti Jw (1707532094)

BUDAYA KONTEKS TINGGI DAN BUDAYA KONTEKS RENDAH


Antropolog Edward T. Hall (1976) dalam bukunya 1976 Beyond Culture mengusulkan
sebuah teori tentang budaya konteks tinggi dan rendah. Teori ini membantu kita untuk
lebih memahami pengaruh kuat dari budaya terhadap komunikasi. Menurut cara orang
berkomunikasi, Hall telah membaginya menjadi budaya konteks tinggi dan budaya
konteks rendah. Budaya konteks tinggi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi
dalam menyampaikan pesan, termasuk di dalamnya adalah kebanyakan negara di
Timur Tengah, Asia, Afrika, dan beberapa negara Amerika Selatan. Dalam budaya
komunikasi konteks tinggi ekspresi wajah, tensi, gerakan, kecepatan dan interaksi
lebih bermakna. Sebaliknya, budaya konteks rendah termasuk di dalamnya sebagian
besar negara-negara di Amerika Utara dan Eropa Barat, komunikasi anggota harus
lebih eksplisit dan langsung karena individu tidak diharapkan memiliki pengetahuan
tentang sejarah atau latar belakang satu sama lain. Pendengar diharapkan
memahami makna berdasarkan hanya pada kata-kata yang digunakan pembicara.
Budaya konteks tinggi mempunyai sifat kekerabatan yang sangat dekat, dengan
hubungan antar individu yang sedikit bicara; atau jarang menggunakan gaya
komunikasi eksplisit dan gaya informasi formal, hubungan jangka panjang dan adanya
batasan yang kuat tentang siapa saja yang diterima sebagai kerabat dan siapa saja
yang dianggap "orang luar". Sedangkan, budaya konteks rendah mempunyai sifat
lebih berorientasi aturan, dimana masyarakat mengikuti aturan-aturan eksternal,
lebih banyak dipengaruhi oleh hubungan-hubungan interpersonal dengan durasi
pendek dan keputusan dan aktivitas lebih banyak berfokus pada apa yang harus
segera diselesaikan, yang merupakan bagian dari tanggung jawab individu. Contoh
sederhana dari komunikasi konteks tinggi biasa kita temui di kehidupan sehari-hari
masyarakat Indonesia. Sebagian besar dari kita tentu pernah bertanya “Kamu
kenapa?” kepada pasangan. Pasangan kita kemudian menjawab dengan kalimat
“Aku nggak kenapa-napa” diikuti dengan raut wajah yang muram. Contoh budaya
konteks rendah adalah masyarakat Amerika yang lebih bergantung pada perkataan
yang diucapkan dibanding perilaku nonverbal untuk menyatakan pesan.

Anda mungkin juga menyukai