Anda di halaman 1dari 3

Republika

Minggu, 30 Desember 2007

Anting
Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim

Dalam tiap acara keluarga besar kami, sejak kecil aku merasa Antinglah yang jadi
selebritis. Dari sekian puluh cucu eyang putri, cuma dia yang cantik. Konon, Anting mirip
leluhur kami, garwa kepala prajurit Pangeran Diponegoro yang lari ke Malang.

Saya yang belajar biologi, sebetulnya heran genetik leluhur (teori Mendel) eyang cuma
jatuh ke Anting. Padahal, ada sekian puluh cucu perempuam eyang, termasuk aku (Dini).
Anting paling beruntung. Om Didit (papa Anting) pengusaha restoran yang sukses. Di
Jakarta saja punya lima belas cabang, padahal yang dijual hanya bakso dan ayam goreng
khas Malang. Mama bisa lebih enak membuat masakan itu, tapi tidak pernah sukses
memperdagangkannya.

Dibanding Om Didit, ekonomi keluarga kami kalah jauh. Mama dan Papa, lulusan IKIP
Malang, hanya guru SMA. Bisa dibayangkan, sejak kecil, aku dan Mbak Anting seperti
bumi dan langit. Sekalipun, sebisa-bisanya kala lebaran mama memberiku baju yang lebih
bagus dari yang lainnya, agar aku tidak terlampau merasa kalah dengan Anting.

Tapi, papa selalu memprotes sikap mama. "Kamu tidak mendidiknya dengan baik.
Seharusnya Dini sejak kecil diajari memahami realitas hidup ini. Aku bukan pebisnis.
Gajimu dan gajiku tidak akan sama dengan pendapatan Om Didit."

Sejak remaja aku tidak suka mendengarkan itu. Seolah-olah aku betul-betul miskin, dan
tidak akan pernah sejajar dengan Anting. Apalagi, pada waktu remaja Anting sudah
bermain sinetron. Saat itu aku sudah tidak suka menceritakan pada teman-teman sekelasku
bahwa dia sepupuku. Pastinya mereka tidak akan pernah percaya, bagaimana mungkin aku
bisa bersaudara dengan Anting yang cantik dan anak orang kaya itu.

Semua orang tahu kami tinggal di perumahan BTN. Kedua orang tuaku hanya punya
sepeda motor. Aku dan adikku, Dina, memang pernah membicarakan hal itu dan kukatakan
padanya, "Jangan bilang sama orang, kalau Anting itu kakak sepupumu. Mereka tidak bakal
percaya." "Mbak, teman-temanku percaya kok. Malah mereka bilang, sampeyan dan Anting
itu mirip. Cuma saja baju sampeyan bukan baju bermerek." Aku benci mendengarkan itu.
Sejak remaja aku sudah bertekad untuk tidak akan pernah kalah dengan Anting, yang
semakin kelihatan naik daun.

Aku kini menjadi wartawan sebuah harian nasional. Suatu kali redaksi daerah
memanggilku. "Dini, coba liput Anting, dia kan saudara sepupumu. Kamu akan berkerja
sama dengan seorang wartawati senior dari Jakarta. Liputannya untuk halaman tokoh. Akan
dimuat dua minggu lagi. Menurut kabar, dia akan menjadi artis terbaik tingkat ASEAN."

Aku menganggukkan kepala. Sesungguhnya aku tidak suka tugas itu! Tulisanku akan
menjadikannya lebih populer. Aku, secara individu maupun secara lembaga, akan ikut
membesarkanya. Aku benci memikirkan itu. Kala remaja aku adalah bayang-bayangnya.
Aku tidak ingin mendorongnya menjadi orang besar dengan tulisanku di koran tersebut.

Tapi, tidak mungkin aku menolak tugas. Aku bisa disingkirkan dari media itu. Aku benci.
Aku seorang sarjana teknik material. Seharusnya aku berada di perusahaan yang tidak ada
sangkut pautnya dengan Anting. Tapi, kehidupanku berbicara lain. Setelah hampir enam
bulan menganggur, setelah tamat SI, aku cuma bisa diterima di media tersebut.

Sebetulnya, sampai hari ini, aku tidak suka bekerja di tempat seperti ini. Apalagi, harus
bertemu dengan Anting, ikutan membesarkan orang yang membuat aku merasa tidak berarti
apa-apa di muka keluarga besar kami, juga di muka Tom (pacarku) yang selalu dengan
terkagum-kagum bilang, "Astaga, aku tidak tahu Anting, tapi luar biasa ya bakat dan
cantiknya."

Tentu saja aku tidak menunjukkan perasaan tidak sukaku pada Anting di muka Tom.
ketidaksukaanku itu akan membuat hasil liputanku amburadul. Padahal, aku ingin sekali ke
Jakarta untuk membuktikan aku bisa menulis untuk media ini. Saat kukatakan tugasku ini
pada Dina, gadis remaja itu berkata kepadaku, ''Mintakan fotonya ya, Mbak, dengan tanda
tangan, biar teman sekelasku tahu kalau aku ini adiknya selebritis."

Dan, mama menambahi, "Kalau kau ketemu Anting, aku mau kirim keripik tempe untuk
Om Didit dan tantemu, mangga yang masak di batang dari teman yang punya kebun
mangga di Probolinggo."

Aku berlagak sibuk dan masuk ke kamar. Mengotak-atik komputer, mencoba membuat
format untuk profil Anting. Menurut teman-teman, wartawati senior yang akan meliput
bersamamu, orang yang cerewet. Dan aku harus berhati-hati, karena pengaruhnya besar
pada atasan. Bisa jadi, aku diberhentikan dengan tidak hormat, kalau dia tidak suka, kepada
pekerjaan yang aku lakukan. Bisakah dibayangkan aku sebetulnya tidak selalu ingin
menjadi orang kedua sejak kecil. Aku sering mengatakan pada diriku sendiri, "Aku harus
punya nilai lebih dari Anting."

Aku tidak pernah sepakat dengan omongan papa yang mengatakan bahwa, "Tidak setiap
orang bisa menjadi nomor satu. Di dunia ini, pasti ada yang nomor dua dan tiga. Kita
adalah aktris dan aktor yang disutradarai oleh-Nya. Setiap orang pegang peranan, hanya
untuk kembali kepada-Nya."

Aku sangat marah mendengar ucapan papa. Menurutku papa seharusnya tidak pasrah
seperti itu. Dia seharusnya mengambil S2, S3 dan menjadi guru besar di universitas, bukan
hanya guru SMA. Waktu itu mama bercerita, "Papamu tidak mau kuliah di luar kota,
karena takut membebani orang tuanya. Dia menyuruh adik-adiknya yang sekolah di luar
kota. Secara ekonomi mereka tidak seberuntung aku dan saudara-saudaraku." "Toh adik
papa yang kaya-kaya itu tidak memberi bantuan kepada kita sekalipun papa sudah
berkorban untuk adik-adiknya."

Mama tersenyum, "Nduk, kita kan sudah cukup sekalipun tidak sekaya Pakde Didit." Yah,
aku tidak tahu bagaimana seharusnya menghadapi Anting. Dia pasti akan menegakkan
kepalanya di mukaku, kala berbicara seolah-olah dunia ini cuma dia yang memiliki. Tentu
saja, dia tidak jelek seluruhnya. Kadang-kadang Anting memberiku sebotol parfum dari
kelas bermerek. Kadang-kadang, dia menyelipkan uang kepada adikku yang membuat
adikku berjingkrak-jingkrak.

Tapi, aku memang tidak begitu suka padanya. Apakah aku membencinya? Mungkin juga
tidak. Kadang-kadang kalau pulang lebaran dia bercerita banyak. Tentang sinetron, atau
jalan-jalannya ke luar negeri, dan aku menikmati juga ceritanya. Dia pasti tidak lupa
memberi mama parfum, yang pasti tidak akan terbeli oleh kami. Jadinya, aku mungkin
orang yang lagi iri hati saja. Dalam diskusi panjang dengan Tom, dia mengatakan,
"Seharusnya kita mengukur baju kita sendiri."
Aku merasa omongannya tidak jelek. Tapi, aku selalu tidak mau terkurung omongan orang.
Berhari-hari aku membikin profilnya dan kukirim ke wartawati senior yang akan meliput
bersamaku. Wartawati itu bilang, "Saya sudah pas dengan semua pertanyaanmu, dan sudut
yang kau ambil. Cuma aku harus menambah di sana-sini, tapi tidak banyak."

Pulang dari wawancara, seluruh keluargaku mendapat hadiah termasuk aku. Dia
memberiku laptop yang sudah lama aku inginkan. Anting bilang, "Ini pakailah. Aku baru
beli tiga bulan lalu, namun aku tidak suka warnanya. Kan kamu sekarang wartawati."

Hari minggu pagi adikku berteriak-teriak, liputan yang aku buat tentang Anting sudah ada
di koran. Kemudian, wartawati senior dari Jakarta meneleponku, "Ini pekerjaan yang bagus.
Saya merekomodasi kamu untuk bekerja di pusat saja."

Setelah itu, aku membaca lagi jawaban atas surat lamaranku yang datang kemarin. Aku
diterima bekerja di sebuah perusahaan baja di Jakarta. Aku sudah menata kopor untuk
keberangkatanku besok Senin. Dan, aku juga sudah menulis e-mail kepada Tom, pacarku,
yang sedang meliput gempa bumi di Sumbawa.***

Anda mungkin juga menyukai