Manifestasi Klinis Tumor Otak Dan Komplikasi Terapi
Manifestasi Klinis Tumor Otak Dan Komplikasi Terapi
NEUROLOGY CHAPTER 73
Clinical Features of Brain Tumors and Complications of
Their Treatment
Oleh:
PPDS
dr. Winda Nirmala
Pembimbing:
dr. Dessika Rahmawati, Sp.S
LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
Manifestasi Klinis Tumor Otak dan Komplikasi Terapi
Afasia. Tumor yang melibatkan frontal inferior atau lobus temporal superior pada hemisfer
dominan sering muncul dengan kesulitan berbahasa. Sama seperti gejala tumor otak lainnya,
gangguan berbahasa biasanya ringan saat awal gejala dan akan berkembang secara gradual; namun,
afasia dengan onset mendadak dapat muncul dalam keadaan kejang dan mungkin dianggap sebagai
transient ischemic attack. Sebagian besar pasien tumor otak dengan afasia mempunyai gangguan
baik ekspresif maupun reseptif dalam berbahasa. Beberapa lokalisasi berbahasa antar individual dan
reorganisasi dapat muncul dalam sekitar tumor otak, penggunaan mapping stimulasi kortikal dapat
membuat area indentifikasi yang penting untuk bahasa pada pasien dengan gangguan berbahasa
yang ringan (De Witt Hamer et al, 2012). Teknik intraoperatif ini dapat meningkatkan reseksi tumor
ketika meminimalisir resiko defisit berbahasa yang permanen.
Gangguan visual. Tumor otak dapat menyebabkan beberapa gejala visual bergantung porsi
mana yang terlibat pada jalur visual. Organisasi somatotrofik dari pengelihatan sering menyebabkan
gejala visual yang merefleksikan lokasi tumor, lokalisasi dapat membutuhkan pemeriksaan mendetail
dan dibutuhkan pasien yang kooperatif. Tumor yang menyerang retina atau saraf optik anterior
terhadap kiasma menyebabkan gejala visual monokular yang bervariasi mulai dari skotoma hingga
buta monokular. Tumor yang muncul dari sella, sebagian besar adalah adenoma pituitary,
craniofaringioma, dan meningioma, dapat menekan kiasma optik, menyebabkan hemianopsia
bitemporal, yang akan menjadi simetris sesuai letak tumor. Tumor parietal dapat menyebabkan
gangguan visual kontralateral, yang mungkin sulit dibedakan dengan visual loss. Umumnya pada
kasus tumor dengan pertumbuhan yang lambat, onset defisit visual dapat muncul secara gradual
sehingga pasien mungkin tidak mencari pertolomgan medis selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Selain hilangnya pengelihatan itu sendiri, tumor yang melibatkan mesensefalon
atau pons, atau mengkompresi nervus 3,4,6 dapat mengganggu pergerakan mata yang akan
menyebabkan pandangan dobel. Kompresi mesensefalon dorsal, kebanyakan disebabkan oleh tumor
pineal, dapat menyebabkan vertical gaze palsy, dengan sundroma Parinaud yaitu nistagmus
konvergen-retraksi, disosiasi pupil, dan retraksi kelopak mata.
Beberapa gejala visual fokal dapat merupakan gejala peningkatan tekanan intrakranial
(Lepore,2002). Pengelihatan dobel dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
menyebabkan palsy nervus 6; gejala ini diasumsikan akibat traksi dari nervus itu sendiri. Dilatasi
pupil yang diikuti diplopia akibat palsy nervus 3 dapat merupakan pertanda herniasi uncal.
Hemiparese kontralateral sering ditemukan, hemiparesis ipsilateral dapat merupakan akibat dari
kompresi pendunkel serebral kontralateral (Kernohan notch). Akhirnya, peningkatan tekanan
intrakranial direfleksikan pada nervus optikus, dimana tanda papiledema dapat bermanifestasi
sebagai menurunnya ketajaman pengelihatan dengan episode visual loss transien yang dikenal
sebagai obskurasi visual.
Kejang. Kejang adalah manifestasi tumor otak yang umum dan dapat muncul saat presentasi
awal atau kapan saja pada perjalanan penyakit. Kejang dengan onset baru atau dengan frekuensi
yang meningkat membutuhkan re-evaluasi. Insiden kejang bervariasi pada tipe tumor dan lokasinya.
Tumor yang melibatkan korteks serebral kebanyakan dapat menyebabkan kejang, dan tumor lobus
temporal, frontal, dan parietal umumnya berhubungan dengan kejang bila dibandingkan dengan
tumor pada lobus occipital. Sebaliknya, tumor pada nukleus gray yang dalam, sella, dan fossa
posterior jarang menyebabkan kejang. Kejang lebih umum didapatkan pada tumor otak primer bila
dibandingkan dengan tumor metastase, dan tumor dengan pertumbuhan lambat dan low-grade
dapat menyebabkan kejang yang lebih sering bila dibandingkan dengan tumor high-grade. Beberapa
tumor glial low-grade dan tumor glioneural umumnya epileptogenik (lapp et al,2013; van Breemen
et al, 2007), termasuk tumor dysembryoblastic neuroepithelial (dimana kejang muncul pada 100%
pasien), ganglioma (80-90%), dan oligodendroglioma low-grade (90%) dan astrocytoma (75%).
Meskipun terdapat frekuansi tinggi kejang pada tumor otak, penggunaan obat anti epileptik (OAE)
tidak direkomendasikan, walaupun OAE biasanya digunakan pada 1-2 minggu postoperatif untuk
menurunkan resiko kejang perioperatif.
Kejang yang disebabkan tumor atak biasanya fokal, dengan gejala kejang awal atau tanda
postictal akan merefleksi lokasi tumor otak. Namun, generalisasi sekunder yang cepat dapat
mengaburkan gejala awal, yang akan membuat sulit untuk mengetahui onset kejang parsial.
Akhirnyam banyak kejang yang dicatat sebagai kejang general dan tidak terlokalisasi, pada evaluasi
pasien tumor otak dengan penurunan kesadaran, penting juga untuk memikirkan sinkop dan
gelombang tekanan intrakranial selain kejangnya.
Gejala Umum
Nyeri kepala. Nyeri kepala merupakan alasan umum pasien menemui dokter neurologi dan
walaupun mereka muncul pada beberapa poin pada 50%-70% pasien dengan tumor otak,
kebanyakan nyeri kepala tanpa tanda dan gejala neurologis tidak berhubungan dengan tumor. Nyeri
kepala umumnya dideskripsikan pasien sebagai tipe bifrontal dan menyerupai tension, dengan
konstran dan tekanan tumpul, walaupun nyeri mungkin menyerupai migrain, terutama pada pasien
dengan riwayat migrain. Nyeri kepala klasik pada tumor otak muncul pada pagi hari dengan mual
dan muntah dan akan membaik seiring waktu; namun, gejala ini hanya muncul pada 5-17% dari
semua pasien tumor otak, 42% pada tumor fossa posterior.
Nyeri kepala dapat berhubungan dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial, termasuk
mual dan muntah, dan memburuk dengan manuver valsava. Pasien dengan tumor infratentorial juga
dapat mengalami nyeri kepala occipital. Schanoma dan meningioma fossa posterior dapat muncul
dengan nyeri kepala trigeminal autonomik. Nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk dan nyeri pulsatil bisa
didapatkann pada pasien dengan adenoma dan meningioma pituitary (Gondim et al, 2009; Schankin
et al 2007). Episode nyeri kepala dan tanda gelombang plateau mungkin muncul pada tumor
pedunculated dari ventrikel ke-3 yang menyebabkan obstruksi intermiten aliran cairan serebrospinal
yang dipresipitasi oleh perubahan posisi. Nyeri kepala lebih umum pada metastase otak dan
glioblastoma dimana sebagian besar pasien akan mengeluhkan nyeri kepala, dan hanya 10% pasien
low grade glioma yang mengalami nyeri kepala. Faktor predisposisi pada pasien tumor otak dengan
nyeri kepala meliputi riwayat nyeri kepala sebelumnya, lokasi dan ukuran tumor, edema di
sekitarnya, efek massa, dan midline shift. Nyeri kepala onset baru pada orang dewasa tanpa riwayat
nyeri kepala sebelumnya atau perubahan kualitas, beratnya, dan lokasi dari nyeri kepala lokal yang
telah ada harus dievaluasi dengan pemeriksaan neurologis yang detail dan neuroimaging.
Mual dan muntah. Mual dan muntah dapat merupakan gejala umum dari peningkatan
tekanan intrakranial pada pasien dengan tumor otak pada fossa posterior. Muntah muncul sebagai
akibat dari stimulasi trigger zone kemotaktik pada area postrema di dekat dasar ventrikel ke-4, yang
sensitif terhadap peningkatan tekanan intrakranial. Alternatif lain, regio ini dapat dikompresi
langsung oleh tumor midline dari fossa posterior seperti medulloblastoma atau ependymoma.
Tumor bayang otak yang melibatkan traktus solitarius juga dapat menyebabkan muntah pada
keadaan hipertensi intrakranial. Muntah proyektil umumnya didapatkan pada anak-anak dengan
tumor fossa posterior, dan jarang didapatkan pada orang dewasa. Muntah sebagai semiologi kejang
jarang terjadi, tetapi telah dideskripsikan pada tumor insular dan lobus mesiotemporal.
Sinkop. Pasien tumor otak dapat mengalami sinkop atau hilang kesadaran dan tonus
transien yang diakibatkan oleh berbagai macam penyebab. Perubahan posisi dapat memicu
gelombang tekanan dan sinkop pada pada pasien dengan penekanan tekanan intrakranial. Sinkop
juga dapat disebabkan oleh keterlibatan tumor atau kompresi batang otak. Massa ventrikel ke-3
seperti kista koloid atau tumor pineal umumnya didapatkan pada anak-anak, dapat menyebabkan
sinkop yang disebabkan oleh obstruksi intermiten dari aquaductus serebral. Sinkop mungkin juga
merupakan akibat dari defisiensi hormon yang disebabkan oleh tumor pituitary, atau umumnya
insufisiensi adrenal yang terjadi akibat penurunan cepat kortikosteroid. Sinkop harus dibedakan
dengan kejang general, dimana lebih umum pada populasi pasien ini dan membutuhkan terapi
dengan agen anti-epileptik. Akhirnya, kelainan ritme cardiac dengan atau tanpa kejang harus
disingkirkan sebagai penyebab sinkop pada pasien tumor otak.
Status mental dan perubahan perilaku. Status mental nonspesifik dan perubahan kognitif
banyak didapatkan pada pasien dengan tumor otak, walaupun mungkin awal gejalanya ringan.
Gejala dapat meliputi perubahan perilaku, iritabilitas, disinhibisi, kekurangan inisiatif, emosional
yang labil, inatensi, apatis, somnolen, dan letargi. Gajala ini dapat dilihat pada 34% pasien dengan
tumor otak. Gejala kognitif dan perilaku sulit untuk dilokalisasi, walapun mereka biasanya
berkorelasi dengan keterlibatan korpus kalosum, thalamus, atau lobus frontal. Status mental
mungkin berubah dan sebagai tanda peningkatan tekanan intrakranial. Pasien dengan gejala fokal
progresif gradual seperti afasia (terutama afasia reseptif), apraksia, agnosisa, aleksia, atau abulia
mungkin dinilai sebagai gangguan status mental atau kebingungan, dan evaluasi neurologis
mendetail penting untuk membedakan gejala fokal ini dengan perubahan status mental.