Anda di halaman 1dari 9

TEXT BOOK READING BRADLEY’S IN CLINICAL

NEUROLOGY CHAPTER 73
Clinical Features of Brain Tumors and Complications of
Their Treatment

Oleh:
PPDS
dr. Winda Nirmala

Pembimbing:
dr. Dessika Rahmawati, Sp.S

LABORATORIUM/SMF NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DR.SAIFUL ANWAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
Manifestasi Klinis Tumor Otak dan Komplikasi Terapi

MANIFESTASI KLINIS TUMOR OTAK


Peninjauan Gejala
Pasien dengan tumor otak primer dan metastase dapat mempunyai gejala neurologis yang
bervariasi. Manifestasinya tidak spesifik untuk subtipe tumor secara individu atau umumnya pada
tumor otak, gejala dapat disalah artikan dengan kondisi neurologis lainnya. Secara umum, tanda dan
gejala dipengaruhi oleh lokasi tumor, ukuran, dan kecepatan pertumbuhan. Beberapa gejala
mungkin fokal, membuat klinis lokal pada tumor penyebab, sementara lainnya lebih menyebar dan
tidak terlokalisasi. Penting untuk dicatat bahwa pasien tumor otak mungkin hanya memiliki sangat
sedikit gejala saat dilakukan diagnosa.
Gejala tumor otak fokal disebabkan oleh invasi tumor ke parenkim otak, atau dengan
kompresi lokal dari tumor, edema yang berhubungan, atau perdarahan. Sebaliknya, sebagian besar
dari gejala umum merupakan hasil dari peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan efek
massa dari tumor, edema maligna, atau hidrosefalus dari cairan serebrospinal yang disebabkan oleh
obstruksi. Tumor otak jarang menyebabkan gejala konstitusional yang berhubungan dengan kanker
sistemik seperti demam, keringat malam, atau penurunan berat badan. Gejala tumor otak umumnya
subakut dan progresif, berkembang dalam hitungan hari atau minggu. Namun, karena gejala awal
biasanya ringan, rekognisi yang terlambat dapat membuat penampakan penyakit seperti akut.
Pengecualian yang jelas meliputi gejala kejang, perdarahan, dan herniasi, yang dapat muncul tiba-
tiba. Bahkan tumor otak yang besar dapat menimbulkan beberapa gejala. Pada kenyataannya, bukti
radiologis midline shift atau herniasi yang disebabkan tumor otak mungkin mempunyai konsekuensi
klinis yang minimal, berlawanan dengan neuropatologi akut (Gambar 73.1). Namun, pemeriksaan
neurologi yang normal tidak dapat menyingkirkan adanya tumor otak.
Usia pasien dapat mempengaruhi gejala, seperti pada kasus orang lanjut usia dimana atrofi
serebral mungkin mengurangi efek massa, atau bayi dengan lingkar kepala yang meningkat.
Komorbiditas pasien juga mempengaruhi rekognisi gejala tumor otak, seperti nyeri kepala pada
pasien dengan riwayat migraine dan riwayat perubahan kognitif pada orang dewasa. Akhirnya, gejala
pasien dengan tumor otak dapat bervariasi, tidak ada tanda atau gejala yang spesifik untuk
mendiagnosa tumor otak. Di sisi lain, wawancara dan pemeriksaan neurologis dibutuhkan
bersamaan dengan rasa curiga yang tinggi, terutama pada populasi beresiko seperti mereka yang
dengan riwayat kanker sistemik, terkena radiasi otak, atau predisposisi sindroma tumor. Memahami
cara timbulnya tumor dan terkadang “red flags” akan membantu klinisi untuk mengetahui kapan
akan mencurigai suatu diagnosa.
Tanda dan Gejala Spesifik
Gejala Fokal
Gejala Motor Fokal. Lobus frontal adalah lokasi umum untuk tumor otak primer maupun
metastase yang sering menyebabkan kelemahan motorik di wajah atau ekstremitas kontralateral.
Kelemahan dapat disebabkan oleh tumor yang menyerang atau menekan traktus motorik di korteks,
white matter subcortikal, capsula interna, atau batang otak. Gejala biasanya dimulai dengan
inkoordinasi atau hilangnya kontrol motorik dan semakin lama akan semakin memberat, sehingga
pasien mungkin tidak merasa kelemahan saat awal, walaupun mungkin kelemahan ini sudah dapat
terlihat dari pemeriksaan neurologis. Perkembangan kelemahan ini tidak seperti kelemahan
mendadak pada stoke, walaupun kelemahan mendadak dapat terjadi setelah kejang pada kasus
perdarahan intratumoral. Karena perdarahan umum terjadi, umumnya pada astrocytoma pilocytic,
high grade glioma, dan metastase dari melanoma dan tiroid dan kanker sel renal, penting untuk
melakukan follow-up MRI setelah 1-2 bulan pada pasien dengan gejala yang tidak dapat dijelaskan
dari perdarahan intrakranial.
Tumor otak jarang muncul sebagai manifestasi motor ekstrapiramidal, dan walaupun
dilaporkan beberapa pasien dengan tumor thalamus atau basal ganglia dengan manifestasi tremor
atau parkinsonism, gejala ini jarang muncul pada kasus umum.
Ataksia. Tumor di cerebellum dan batang otak yang menginfiltrasi pedunkel serebelar dapat
menyebabkan tanda dan gejala ataksia. Tumor hemisfer serebelar dapat menyebabkan ataksia
ipsilateral, dengan gejala yang lebih sedikit. Sebaliknya,keterlibatan vermis serebelar cenderung
menyebabkan tanda dan gejala yang lebih simtomatis, meliputi ataksia truncal, sering dengan
nystagmus, scanning dysartria dan gait ataksia. Jarang ditemukan gait ketidakseimbangan pada
pasien tumor otak. Hal ini mungkin dikarenakan kelemahan ekstremitas yang ringan, gangguan
disequilibrium atau sensorik, dan sebuah pemeriksaan neurologis detail yang dibutuhkan untuk
menyingkirkan penyebab ataksia. Sebagai tambahan dari gejala ataksia, tumor serebelar yang besar
dapat menyebablan obstruksi aliran cairan serebrospinal (dengan gejala peningkatan tekanan
intrakranial) atau kompresi struktur batang otak. Ataksia dan gejala penyerta lainnya yang
disebabkan oleh tumor serebelar lebih umum ditemukan pada anak-anak, dimana lebih dari separuh
tumor otak primer muncul pada fossa posterior (Pollack,1994). Sebaliknya, ataksia jarang ditemukan
pada orang dewasa, dimana kurang dari 20% tumor otak pada orang dewasa muncul dari fossa
posterior.
Gambar 73.1 MRI (T2 FLAIR) menunjukkan glioblastoma frontal kiri yang besar dengan
herniasi subfalcine yang menyebabkan gejala minimal dalam bentuk nyeri kepala ringan.

Afasia. Tumor yang melibatkan frontal inferior atau lobus temporal superior pada hemisfer
dominan sering muncul dengan kesulitan berbahasa. Sama seperti gejala tumor otak lainnya,
gangguan berbahasa biasanya ringan saat awal gejala dan akan berkembang secara gradual; namun,
afasia dengan onset mendadak dapat muncul dalam keadaan kejang dan mungkin dianggap sebagai
transient ischemic attack. Sebagian besar pasien tumor otak dengan afasia mempunyai gangguan
baik ekspresif maupun reseptif dalam berbahasa. Beberapa lokalisasi berbahasa antar individual dan
reorganisasi dapat muncul dalam sekitar tumor otak, penggunaan mapping stimulasi kortikal dapat
membuat area indentifikasi yang penting untuk bahasa pada pasien dengan gangguan berbahasa
yang ringan (De Witt Hamer et al, 2012). Teknik intraoperatif ini dapat meningkatkan reseksi tumor
ketika meminimalisir resiko defisit berbahasa yang permanen.
Gangguan visual. Tumor otak dapat menyebabkan beberapa gejala visual bergantung porsi
mana yang terlibat pada jalur visual. Organisasi somatotrofik dari pengelihatan sering menyebabkan
gejala visual yang merefleksikan lokasi tumor, lokalisasi dapat membutuhkan pemeriksaan mendetail
dan dibutuhkan pasien yang kooperatif. Tumor yang menyerang retina atau saraf optik anterior
terhadap kiasma menyebabkan gejala visual monokular yang bervariasi mulai dari skotoma hingga
buta monokular. Tumor yang muncul dari sella, sebagian besar adalah adenoma pituitary,
craniofaringioma, dan meningioma, dapat menekan kiasma optik, menyebabkan hemianopsia
bitemporal, yang akan menjadi simetris sesuai letak tumor. Tumor parietal dapat menyebabkan
gangguan visual kontralateral, yang mungkin sulit dibedakan dengan visual loss. Umumnya pada
kasus tumor dengan pertumbuhan yang lambat, onset defisit visual dapat muncul secara gradual
sehingga pasien mungkin tidak mencari pertolomgan medis selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Selain hilangnya pengelihatan itu sendiri, tumor yang melibatkan mesensefalon
atau pons, atau mengkompresi nervus 3,4,6 dapat mengganggu pergerakan mata yang akan
menyebabkan pandangan dobel. Kompresi mesensefalon dorsal, kebanyakan disebabkan oleh tumor
pineal, dapat menyebabkan vertical gaze palsy, dengan sundroma Parinaud yaitu nistagmus
konvergen-retraksi, disosiasi pupil, dan retraksi kelopak mata.
Beberapa gejala visual fokal dapat merupakan gejala peningkatan tekanan intrakranial
(Lepore,2002). Pengelihatan dobel dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial yang
menyebabkan palsy nervus 6; gejala ini diasumsikan akibat traksi dari nervus itu sendiri. Dilatasi
pupil yang diikuti diplopia akibat palsy nervus 3 dapat merupakan pertanda herniasi uncal.
Hemiparese kontralateral sering ditemukan, hemiparesis ipsilateral dapat merupakan akibat dari
kompresi pendunkel serebral kontralateral (Kernohan notch). Akhirnya, peningkatan tekanan
intrakranial direfleksikan pada nervus optikus, dimana tanda papiledema dapat bermanifestasi
sebagai menurunnya ketajaman pengelihatan dengan episode visual loss transien yang dikenal
sebagai obskurasi visual.
Kejang. Kejang adalah manifestasi tumor otak yang umum dan dapat muncul saat presentasi
awal atau kapan saja pada perjalanan penyakit. Kejang dengan onset baru atau dengan frekuensi
yang meningkat membutuhkan re-evaluasi. Insiden kejang bervariasi pada tipe tumor dan lokasinya.
Tumor yang melibatkan korteks serebral kebanyakan dapat menyebabkan kejang, dan tumor lobus
temporal, frontal, dan parietal umumnya berhubungan dengan kejang bila dibandingkan dengan
tumor pada lobus occipital. Sebaliknya, tumor pada nukleus gray yang dalam, sella, dan fossa
posterior jarang menyebabkan kejang. Kejang lebih umum didapatkan pada tumor otak primer bila
dibandingkan dengan tumor metastase, dan tumor dengan pertumbuhan lambat dan low-grade
dapat menyebabkan kejang yang lebih sering bila dibandingkan dengan tumor high-grade. Beberapa
tumor glial low-grade dan tumor glioneural umumnya epileptogenik (lapp et al,2013; van Breemen
et al, 2007), termasuk tumor dysembryoblastic neuroepithelial (dimana kejang muncul pada 100%
pasien), ganglioma (80-90%), dan oligodendroglioma low-grade (90%) dan astrocytoma (75%).
Meskipun terdapat frekuansi tinggi kejang pada tumor otak, penggunaan obat anti epileptik (OAE)
tidak direkomendasikan, walaupun OAE biasanya digunakan pada 1-2 minggu postoperatif untuk
menurunkan resiko kejang perioperatif.
Kejang yang disebabkan tumor atak biasanya fokal, dengan gejala kejang awal atau tanda
postictal akan merefleksi lokasi tumor otak. Namun, generalisasi sekunder yang cepat dapat
mengaburkan gejala awal, yang akan membuat sulit untuk mengetahui onset kejang parsial.
Akhirnyam banyak kejang yang dicatat sebagai kejang general dan tidak terlokalisasi, pada evaluasi
pasien tumor otak dengan penurunan kesadaran, penting juga untuk memikirkan sinkop dan
gelombang tekanan intrakranial selain kejangnya.

Gejala Umum
Nyeri kepala. Nyeri kepala merupakan alasan umum pasien menemui dokter neurologi dan
walaupun mereka muncul pada beberapa poin pada 50%-70% pasien dengan tumor otak,
kebanyakan nyeri kepala tanpa tanda dan gejala neurologis tidak berhubungan dengan tumor. Nyeri
kepala umumnya dideskripsikan pasien sebagai tipe bifrontal dan menyerupai tension, dengan
konstran dan tekanan tumpul, walaupun nyeri mungkin menyerupai migrain, terutama pada pasien
dengan riwayat migrain. Nyeri kepala klasik pada tumor otak muncul pada pagi hari dengan mual
dan muntah dan akan membaik seiring waktu; namun, gejala ini hanya muncul pada 5-17% dari
semua pasien tumor otak, 42% pada tumor fossa posterior.
Nyeri kepala dapat berhubungan dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial, termasuk
mual dan muntah, dan memburuk dengan manuver valsava. Pasien dengan tumor infratentorial juga
dapat mengalami nyeri kepala occipital. Schanoma dan meningioma fossa posterior dapat muncul
dengan nyeri kepala trigeminal autonomik. Nyeri kepala seperti ditusuk-tusuk dan nyeri pulsatil bisa
didapatkann pada pasien dengan adenoma dan meningioma pituitary (Gondim et al, 2009; Schankin
et al 2007). Episode nyeri kepala dan tanda gelombang plateau mungkin muncul pada tumor
pedunculated dari ventrikel ke-3 yang menyebabkan obstruksi intermiten aliran cairan serebrospinal
yang dipresipitasi oleh perubahan posisi. Nyeri kepala lebih umum pada metastase otak dan
glioblastoma dimana sebagian besar pasien akan mengeluhkan nyeri kepala, dan hanya 10% pasien
low grade glioma yang mengalami nyeri kepala. Faktor predisposisi pada pasien tumor otak dengan
nyeri kepala meliputi riwayat nyeri kepala sebelumnya, lokasi dan ukuran tumor, edema di
sekitarnya, efek massa, dan midline shift. Nyeri kepala onset baru pada orang dewasa tanpa riwayat
nyeri kepala sebelumnya atau perubahan kualitas, beratnya, dan lokasi dari nyeri kepala lokal yang
telah ada harus dievaluasi dengan pemeriksaan neurologis yang detail dan neuroimaging.
Mual dan muntah. Mual dan muntah dapat merupakan gejala umum dari peningkatan
tekanan intrakranial pada pasien dengan tumor otak pada fossa posterior. Muntah muncul sebagai
akibat dari stimulasi trigger zone kemotaktik pada area postrema di dekat dasar ventrikel ke-4, yang
sensitif terhadap peningkatan tekanan intrakranial. Alternatif lain, regio ini dapat dikompresi
langsung oleh tumor midline dari fossa posterior seperti medulloblastoma atau ependymoma.
Tumor bayang otak yang melibatkan traktus solitarius juga dapat menyebabkan muntah pada
keadaan hipertensi intrakranial. Muntah proyektil umumnya didapatkan pada anak-anak dengan
tumor fossa posterior, dan jarang didapatkan pada orang dewasa. Muntah sebagai semiologi kejang
jarang terjadi, tetapi telah dideskripsikan pada tumor insular dan lobus mesiotemporal.
Sinkop. Pasien tumor otak dapat mengalami sinkop atau hilang kesadaran dan tonus
transien yang diakibatkan oleh berbagai macam penyebab. Perubahan posisi dapat memicu
gelombang tekanan dan sinkop pada pada pasien dengan penekanan tekanan intrakranial. Sinkop
juga dapat disebabkan oleh keterlibatan tumor atau kompresi batang otak. Massa ventrikel ke-3
seperti kista koloid atau tumor pineal umumnya didapatkan pada anak-anak, dapat menyebabkan
sinkop yang disebabkan oleh obstruksi intermiten dari aquaductus serebral. Sinkop mungkin juga
merupakan akibat dari defisiensi hormon yang disebabkan oleh tumor pituitary, atau umumnya
insufisiensi adrenal yang terjadi akibat penurunan cepat kortikosteroid. Sinkop harus dibedakan
dengan kejang general, dimana lebih umum pada populasi pasien ini dan membutuhkan terapi
dengan agen anti-epileptik. Akhirnya, kelainan ritme cardiac dengan atau tanpa kejang harus
disingkirkan sebagai penyebab sinkop pada pasien tumor otak.
Status mental dan perubahan perilaku. Status mental nonspesifik dan perubahan kognitif
banyak didapatkan pada pasien dengan tumor otak, walaupun mungkin awal gejalanya ringan.
Gejala dapat meliputi perubahan perilaku, iritabilitas, disinhibisi, kekurangan inisiatif, emosional
yang labil, inatensi, apatis, somnolen, dan letargi. Gajala ini dapat dilihat pada 34% pasien dengan
tumor otak. Gejala kognitif dan perilaku sulit untuk dilokalisasi, walapun mereka biasanya
berkorelasi dengan keterlibatan korpus kalosum, thalamus, atau lobus frontal. Status mental
mungkin berubah dan sebagai tanda peningkatan tekanan intrakranial. Pasien dengan gejala fokal
progresif gradual seperti afasia (terutama afasia reseptif), apraksia, agnosisa, aleksia, atau abulia
mungkin dinilai sebagai gangguan status mental atau kebingungan, dan evaluasi neurologis
mendetail penting untuk membedakan gejala fokal ini dengan perubahan status mental.

KOMPLIKASI TERAPI TUMOR OTAK


Tumor otak primer diterapi denga kombinasi radiasi, operasi, dan kemoterapi. Bab ini
mendiskusikan komplikasi neurologis yang dapat muncul dari terapi tumor otak primer. Sebuah
diskusi yang luas mengenai efek samping potensial dari terapi tumor otak atau komplikasi neurologis
dari terapi anti-kanker, terdapat di luar lingkup bab ini.
Operasi
Reseksi operasi dapat meningkatkan gejala tumor otak dengan meredakan efek massa,
dengan meningkatkan kontrol kejang, dan bergantung dengan tipe tumor, dengan menurunkan
resiko kekambuhan dan meningkatkan keselamatan. Kebanyakan seri menunjukkan mortalitas
perioperatif 1.5%-3% dengan kraniotomi. Komplikasi neurologis dari operasi mungkin merupakan
hasil dari cedera langsung di otak atau infark arteri atau vena. Insiden bervariasi dari 5% sampai 32%
dengan seri paling baru menunjukkan insiden yang lebih rendah. Komplikasi regional mungkin
menyebabkan perdarahan, kebocoran cairan serebrospinal, atau infeksi luka. Terdapat peningkatan
resiko gangguan penyembuhan luka atau pembersihan luka dengan operasi multipel, radiasi atau
terapi dengan agen anti-angiogenik seperti bevacizumab (Barami dan Fernandes, 2012). Kejang
postoperatif dapat muncul pada 1%-7.5% pasien setelah kraniotomi. Mutisme serebelar setelah
operasi fossa posterior midline dapat dilihat pada 24% anak.
Secara umum, faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan resiko komplikasi neurologis
meliputi usia >60 tahun, status performa yang buruk, kecakapan atau lokasi yang dalam dan operasi
sebelumnya atau radiasi. Penelitian terbaru menunjukkan resiko tertinggi komplikasi neurologis
adalah di antara operasi pertama dan kedua (4.8% vs 12.1%) dan setelahnya. Sebaliknta, komplikasi
regional tertinggi menunjukkan peningkatan setiap operasi (6% sampai 22% dari 1 sampai ≥4 operasi
(Hoover et al, 2013). Tahap lanjut neurosurgery meliputi neuroinvaginasi, mapping cortical, monitor
neurofisiologi intraoperatif, MRI intraoperatif, MRI fungsional, dan kraniotomi tanpa sedasi akan
menurunkan komplikasi neurologis.
Radiasi
Kerusakan radiasi pada otak dapat akut (dalam beberapa hari), awal tertunda (1-6 bulan),
dan lambat tertunda (bulanan sampai tahunan). Ensefalopati akut berkaitan dengan peningkatan
tekanan intrakranial dan muncul sebagai nyeri kepala, muntah, dan tanda fokal, dan fatigue.
Ensefalopati awal tertunda dapat muncul sebagai penurunan status neurologis dan somnolen.
Pasien dengan glioma maligna mungkin menunjukkan area dengan penyengatan kontras pada MRI
dalam beberapa bulan dari kemoradiasi dengan temozolomide. Perkembangan pseudo ini dapat
diatasi dengan kortikosteroid (Brandsma et al 2008), dan harus dibedakan dengan progres penyakit
sebenarnya yang dapat merubah terapi. Ensefalopati lambat tertunda mungkin dilihat sebagai
nekrosis radiasi dengan tanda fokal yang berespon terhadap kortikosteroid, atau atrofi dengan
ventrikulomegali dan leukoensefalopati yang bermanifestasi sebagai hilangnya memori, ataksia gait,
dan inkontinensia yang mungkin membaik dengan shunt ventrikuloperitoneal (Thiessem dam
DeAngelis, 1998). Resiko leukoensefalopati lebih tinggi pada radiasi seluruh otak, usia yang tua,
faktor resiko vaskular, dan kombinasi kemoradiasi. Penurunan neurokognitif dapat dilihat pada
banyak pasien setelah radiasi, tan terapinya tidak mudah. Sebuah penelitian acak menunjukkan
bahwa pasien dengan radiasi yang diterapi dengan antagonis reseptor NMDA memantine
mempunyai fungsi kognitif yang lebih baik seiring berjalannya waktu, walaupun hal ini tidak
signifikan secara statisti (Brown et al 2013). Neuropati kranial meliputi neuropati optik mungkin
berkembang sebagai komplikasi akhir. Vaskulopati radiasi dapat muncul beberapa tahun kemudian
dan akan menyebabkan iskemia termasuk stroke yang diakibatkan stenosis vaskular intrakranial atau
perdarahan dari kavernoma. Serangan migrain menyerupai stroke setelah radiasi atau sindroma
SMART telah dijelaskan (Black et al 2006; Kerklaan et al 2011). Komplikasi akhir launnya meliputi
meningioma akibat radiasi, glioma, sarkoma, dan tumor sheath perifer.
Kemoterapi dan Terapi Biologis
Temozolamide adalah agen alkylating yang digunakan dalam terapi awal glioblastoma, dan
dapat ditoleransi dengan baik tanpa adanya efek samping neurologis. Efek samping relevan
neurologis lainnya meliputu fatigue dan trombositopenia yang dapat mempunyai predisposisi
terhadap perdarahan baik intrakranial maupun intatumoral.
Nitrosoureas (lomustine dan carmustine) secara umum tidak menyebabkan neurotoksisitas
pada dosis yang digunakan untuk terapi tumor otak primer. Pemberian intravena dosis tinggi atau
intraarterial dosis tinggi, terutama pada pasien yang telah mendapatkan radiasi sebelumnya, dapat
menyebabkan ensefalopati, kejang, dan neuropati optik. Carmustine biodegradable wafers dapat
digunakan di atas tumor saat akan dilakukan reseksi, tetapi terapi dapat diperumit dengan adanya
infalamasi, infeksi, kebocoran cairan serebrospinal, dan kejang (Sabel dan Giese, 2008).
Procarbazine (atay PCV-procarbazine, CCNU/lomustine, vincristine) dapat menyebabkan
ensefalopati dan neuropati perifer.
Vincristine dapat menyebabkan neuropati sensorimotor, neuropati kranial, dan neuropati
otonom. Faktor resiko meliputi usia tua, dosis, obat-obatan neurotoksik lainnya, dan neuropati
sebelumnya.
Methotrexate dapat menyebabkan neurotoksisitas akut atau kronik setelah penggunaan
oral, intravena, maupun intratekal. Ensefalopati akut dapat diakibatkan oleh intrathecal atau injeksi
intravena dosis tinggi. Meningitis aseptik atau myelopathy dapat terjadi setelah terapi intrathecal.
Leukoensefalopati kronis atau difus mungkin terjadi selama beberapa bulan hingga tahun setelah
terapi. Terdapat efek sinergis dari radiasi kranial.
Bevacizumab adalah antibodi monoklonal manusia melawan vascular endothelial growth
factor, dan merupakan satu-satunya target terapi yang disetujui oleh FDA untuk terapi glioblastoma.
Efek samping neurolois meliputi perdarahan intrakranial atau intratumoral, kejadian iskemik
(termasuk stroke/TIA), sindroma leukoensefalopati posterior reversibel (RPLS), dan gangguan
penyembuhan luka yang membutuhkan kraniotomi.

Anda mungkin juga menyukai