Anda di halaman 1dari 15

PENGERTIAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF

Nama Kelompok:

1. M. Izhar Ikhwanudin 1911050131


2. Fera Kuspita Mara 1911050077

Mata kuliah: Akhlak Tasawuf

Kelas: IIA Pendidikan Matematika

A. Pengertian Tasawuf

Tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan ahlu suffah, yang berarti
sekelompok orang pada masa Rasulullah SAW, yang hidupnya berdiam di serambi-serambi
masjid, mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah SWT. Tasawuf berasal
dari kata shafa. Kata shafa ini berbentuk fi’il mabni mahul sehingga menjadi isim multaq
dengan huruf ya’ nisbah, yang berarti nama bagi orang-orang yang “bersih” atau “suci”.
Istilah tasawuf berasal dari kata shaf. Makna shaf ini di nisbahkan kepada orang-orang yang
ketika sholat selalu berada di saf yang paling depan. Istilah tasawuf dinisbahkan kepada
orang-orang dari bani Shufah. Tasawuf dinisbahkan dengan kata istilah bahasa Grik atau
Yunani, yaitu saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata himah, yang berarti
kebijaksanaan. Orang yang berpendapat seperti ini adalah Mirkas. Yang kemudian diikuti
oleh Jurji Zaidan, dalam kitabnya Adab Al-Lughah Al’arabiyyah. Tasawuf juga berasal dari
kata shaufanah yaitu sebangsa buah-buahan kecil yang berbulu dan banyak tumbuh di padang
pasir di tanah Arab. Tasawuf juga berasal dari kata shuf yang berarti bulu domba.

Pengertian tasawuf secara istilah telah banyak diformulasikan oleh para ahli yang satu
sama lain berbeda sesuai dengan seleranya masing-masing. Al- Junaidi mengatakan bahwa
“Tasawuf adalah bahwa yang hak adalah yang mematikanmu, dan haklah yang
menghidupkanmu.” Dalam ungkapan lain Al-Juanaidi juga mengataka “Tasawuf adalah
beserta Allah tanpa adanaya penghubung.”. Amir bin Usman Al-Maliki mengatakan
“Tasawuf adalah seseorang hamba yang setiap waktunya mengambil waktu yang utama.”
Jadi, kalau kita simpulkan ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari usaha
membersihkandiri, berjuang memerangi hawa nafsu, mencari jalan kesucian dengan makrifat
menuju keabadian, saling mengingatkan antara manusia, serta berpegang teguh pada janji
Allah SWT, dan mengikuti syariat Rasulullah SAW.
B. Ciri umum Tasawuf

Menurut Abu Al-Wafa’ Al-Ganimi At-Taftazani secara umu, tasawuf mempunyai


lima ciri umum, yaitu:

1. Memiliki moral
2. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak
3. Pengetahuan intuitif langsung
4. Timbulnya rasa kebahagiaan sebagai karunia Allah SW, dalam diri seorang sufi karena
tercapainya maqomat
5. Penggunaa symbol-simbol pengungkapan yang biasanya mengandung pengertian
harfiyah dan tersirat.

Tasawuf bertujuan memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan.


Hubungan tersebut mempunyai makna dengan penuh kesadaran bahwa manusia sedang
berada di hadirat Tuhan.

Tasawuf beresensi pasa hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan”
(menjauhi kemewahan duniawi), dalam bentuk “tasawuf amali” kemudian “tasawuf falsafi”.

C. Dasar-dasar Tasawuf Dalam Al-Qur’an dan Hadist

1. Landasan Al-Qur’an
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah dan batiniah.
Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya
melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar
dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunnah serta praktik kehidupan Nabi
Muhammad SAW, dan para Sahabat.
Q. S Al-Ma’idah ayat 54
         
       
          
          

“Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”

Dalam Al-Qur’an, Allah SWT. Pun memerintahkan manusia agar senantiasa bertobat,
membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya
dari-Nya.

        


        
        
       
          
 

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa
(taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-
kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-
sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang
bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan
mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami
cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu."

Al-Qur’an memegaskan tentang pertemuan dengan Allah SWT. Dimana pun hamba-
hamba-Nya berasa. Hal ini sebagaimana ditegaskan-Nya:

          


   

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui.”

Bagi kaum sufi, ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada, di sana pula
Tuhan dapat dijumpai. Allah SWT. Pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang
yang dikehendaki-Nya, sebagaimana firman-Nya:
          
          
        
            
           


“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah
seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di
dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang
tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang
minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di
atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Al-Qur’an pun mengingatkan agar tidak diperbudak oleh kehidupa duniawi dan
kemewahan harta benda sebagaimana firman Allah SWT:

          
     

“Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah
kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai
menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.”

Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat diatas menjadi salah satu dasar untuk menjauhi
kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan.

Demikian sebagian ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai landasan kaum sufi dalam
melaksanakan praktik-praktik kesufiannya.

2. Landasan Hadist
Sejalan dengan apa yang disitir dalam Al-Qur’an, tasawuf juga dapat dilihat dalam
kerangka hadist. Dalam hadist Rasulullah SAW banyak dijumpai keterangan yang
berbicara tentang kehidupan rohaniah manusiawi.berikut ini beberapamatan hadist yang
dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
Artinya:
“barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka akan mengenal Tuhan-Nya,”
Hadist di atas melukiskan kedekatan hubungan antara Tuhan dan manusia, sekaligus
mengisyaratkan arti bahwa manusia dan Tuhan adalah satu. Oleh sebab itu, barang
siapa yang ingin mengenal Tuhan cukup mengenal dan merenungkan perihal dirinya
sendiri.
Dalam sebuah hadist qudsi, Rasulullah SAW menyabdakan pernyataan Allah SWT
sebagai berikut.
Artinya:
“aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar
mereka mengenal-Ku.”
Selanjutnya, dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat petunjuk yang
menggambarkan bahwa beliau adalah seorang sufi. Nabi Muhammad SAW telah
melakukan pengasingan diri ke gua hira menjelang datang nya wahyu. Beliau menjauhi
pola kehidupan kebendaan ketika orang Arab tengah tenggelam di dalamnya, seperti
dalam praktik perdagangan yang didasarkan pada prinsip menghalalkan segala cara.
Dikalangan sahabat pun terdapat orang yang mengikuti praktik bertasawuf,
sebagaimana yang dipraktikan Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq,
misalnya berkata: “ Aku mendapatkan kemuliaan dalam ketakwaan, ke fana’an dalam
keagungan, dan kerendahan hati.” Khalifah Umar bin Khattab pernah berkhotbah di
hadapan jamaah kaum muslim dalam keadaan berpakaian yang sangat sederhana.
Khalifah Ustman Bin Affan banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan
membaca Al-Qur’an.
Uraian dasar-dasar tasawuf ini, baik Al-Qur’an, Hadist, maupun teladan dari sahabat,
ternyata merupakan benih-benih tasawuf dalam kedudukannya sebagai ilmu tentang
tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Dengan kata lain,ilmu tentang moral dan
tingkah laku manusia terdapat rujukannya dalam Al-Qur’an. Dari sini jelaslah bahwa
pertumbuhan pertamnya, tasawuf ternyata ditimba dari sumber Al-Qur’an.

D. Sejarah Tasawuf

Terdapat 2 Faktor yang mendorong kelahiran tasawuf1, yaitu :

1
Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf (Depok : PT. RAJAGRAFINDO
PERSADA, 2013), hal. 4 - 5
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal antara lain :

a. Tasawuf lahir karena paham Kristen yang menjauhi dunia dan hidup mengasingkan
diri dari biara – biara. Sikap hidup yang menjauhi dunia dan keramaian dunia ini
memang terlihat jelas dalam perilaku para sufi dengan paham zuhut yang mereka
anut.

b. Tasawuf lahir karena pengaruh filsafat phytagoras yang berpendapat bahwa roh
manusia kekal dan berada di dunia sebagai orang asing

c. Munculnya tasawuf dalam islam sebagai pengaruh dari filsafat emanasi Plotinus
yang membawa paham wujud memancar dari zat Tuhan. Masuknya ke dalam materi
menyebabkan roh menjadi kotor. Untuk kembali kepada Tuhan roh harus
dibersihkan terlebih dahulu dengan sikap meninggalkan dunia dan mendekatkan diri
kepada Tuhan seerat mungkin

d. Tasawuf lahir karena pengaruh nirwana. Menurut ajaran Buddha bahwa seseorang
meninggalkan dunia dan melakukan kontemplasi.

e. Tasawuf lahir karena pengaruh ajaran Hinduisme yang mendorong manusia


meninggalkan dunia dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kebenaran teori – teori yang menitikberatkan faktor ekstern ini memang tidak dapat
dipastikan. Semua serba mungkin karena taswuf lahir pada saat umat islam telah
mempunyai kontak dengan dunia luar dan agama lain.

2. Faktor Internal
Faktor internal adalah Al- Qur’an, Al-Hadist, dan peilaku Nabi Muhammad SAW.
Salah satu contoh ayat Al-Qur’an yang berisi perintah tasawuf adalah :
Artinya :

Apabila bamba-bamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),


bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintab)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Dalam sejarah perkembangannya, tasawuf atau ajaran kaum sufi dapat dibedakan dalam
beberapa periode, dan setiap periode tersebut mempunyai karakteristik dan tokoh
masing-masing. Secara rinci akan dibahas mengenai periode-periode tersebut.2 :
2
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009), hal. 37
1. Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
a. Tasawuf Masa Rasulullah Saw
Pada masa ini banyak ditemui contoh-contoh kehidupan sufi yang terdapat pada diri
Rasulullah Saw. Dalam kehidupan beliau sehari-hari yang penuh dengan kehidupan
yang sangat sederhana dan penuh dengan penderitaan, juga beliau menghabiskan
waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt. Sebelum diangkat sebagai Rasul,
beliau sering melakukan khalwat di Gua Hira’ (Bukit Nur) untuk mendapat petunjuk
dari Tuhan. Didapati beliau melakukan khalwat berulang-ulang kali dengan bekal
hanya beberapa potong roti kering dengan air minum serta buah-buahan yang hal ini
menggambarkan makanan yang sangat sederhana bagi seorang sufi.
Di tempat itu, beliau mengasingkan diri (uzlah) dan memisahkan diri (infirad) dari
masyarakat Quraisy yang sudah rusak dan menyimpang dari ajaran Tuhannya.
Beliau ingin mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan orang-orang
Quraisy tersebut menuju suatu kehidupan yang membawa kepada kesempurnaan dan
kebahagiaan dunia akhirat. Maka dari itu, beliau hendak bertemu (liqa’) dengan
Allah dan ingin meminta petunjuk kepada-Nya. Setelah beliau mendapat petunjuk
melalui malaikat jibril, maka mulailah beliau mengajak manusia agar berusaha
menyempurnakan kehidupannya dan harus memiliki pribadi yang baik dan akhlak
yang luhur demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang disebut dengan
sa’atud daraini.
Kemudian setelah beliau diangkat sebagai Rasul dan telah menjabat sebagai
pemimpin atau kepala negara di Madinah, kehidupan beliau juga nampak sederhana
sekali. Dalam rumah tidak ada perabot rumah tangga yang mewah, makanan yang
enak, dan jarang terdapat alat-alat rumah tangga. Untuk urusan makan, jangankan
makanan yang lezat, makanan yang biasa dimakan sehari-hari belum tentu tersedia
pada setiap waktu makan. Sayyidah Aisyah r.ha. pernah mengatakan bahwa dalam
sehari-hari Rasulullah Saw tidak pernah makan sampai dua kali dan paling banyak
makanan yang tersimpan tidak lebih dari sepotong roti yang itupun dimakan oleh
tiga orang. Diketahui pula beliau tidur di atas tikar sampai berbekas pada pipi beliau.
b. Pada Masa Sahabat
Para sahabat dalam kehidupan keserhariannya selalu mencontoh kehidupan
Rasulullah SAW. Yang serba sederhana, yang hidupnya semata-mata diabdikan
kepada Tuhannya. Diantara para sahabat yang selalu mengikuti kesederhanaan
Rasulullah Saw. Adalah sebagai berikut.
1) Abu Bakar Ash-Shiddiq (wafat 13 H)S
eorang saudagar yang kaya raya di Makkah, namun ia rela meninggalkan semua
harta bendanya demi mengikuti dakwah Rasulullah Saw. Abu Bakar juga
memiliki akhlak yang tinggi dan selalu hidup saleh dan taqwa. Pada masa
kehidupannya hanya memakai pakaian sehelai kain saja. Bahkan segala harta
bendanya dikorbankan demi kepentingan agama dan negara. Disebutkan dalam
sebuah riwayat, pada saat Rasulullah Saw masih hidup yang ketika itu akan
menghadapi perang Tabuk, beliau bertanya kepada para sahabat siapakah yang
bersedia memberikan harta bendanya di jalan Allah. Abu Bakar kemudian
menjawab bahwa dirinya akan menyerahkan seluruh harta kekayaannya.
Kemudian setelah Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar terkait sesuatu
yang akan ditinggalkan untuk dirinya dan keluarganya, Abu Bakar menjawab
bahwa cukup baginya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya.

2) Umar bin Khaththab (wafat 23 H)S


ahabat Nabi Saw yang memiliki jiwa yang murni dan akhlak yang tinggi. Ada
riwayat yang mengisahkan kehidupan sufisme Umar, yang semuanya ketika ia
menjabat sebagai khalifah. Yang pertama ketika Umar naik ke atas mimbar untuk
menyampaikan pidato, sedangkan pakaian yang ia pakai bertambal-tambal. Yang
kedua, ketika Abdullah bin Umar masih kecil bermain-main dengan temannya,
semua temannya tersebut mengejek karena pakaian yang dipakainya penuh
tambalan. Hal tersebut akhirnya disampaikan kepada ayahnya, Umar bin Khattab,
yang pada saat itu menjabat sebagai kepala negara. Ayahnya pun sedih karena
tidak memiliki cukup uang untuk membelikan baju untuk anaknya. Maka
ditulislah surat kepada pegawai Baitul Mal untuk meminjam uang sebagai ganti
pemotongan gaji bulan depan. Setelah menerima surat tersebut kemudian pegawai
tersebut bertanya kepada Umar apakah yakin bahwa umurnya sampai bulan
depan. Mendengar hal tersebut, Umar akhirnya tersedu sambil mengeluarkan air
mata dan akhirnya tidak jadi meminjam uang di Baitul Mal. Dan masih banyak
lagi cerita yang mengisahkan kehidupan Umar yang sangat sufistik tersebut.

3) Ustman bin ‘Affan (wafat 35 H)


Adalah sosok yang diberi oleh Allah kelapangan rezeki. Meski begitu ia tidak
terlalu terpengaruh dengan kekayaannya. Ia selalu memegang Al-Qur’an pada
tangannya. Menjelang malam hari ia hanya belajar Al-Qur’an sampai jauh
malam. Bahkan ketika dibunuh oleh pemberontak, ia berada dalam membaca Al-
Qur’an. Sifat sufisme yang dimiliki Utsman yang lain ialah, ketika terjadi
kemarau panjang pada masa Khalifah Abu Bakar. Banyak penduduk Madinah
yang menderita kelaparan karena stok makanan telah menipis. Abu Bakar hanya
menyuruh sabar dan menunggu pertolongan dari Allah. Tidak lama setelah itu,
ada kira-kira seribu ekor unta milik Utsman bin Affan datang dari Syam dengan
membawa bahan makanan dan minyak. Setelah unta-unta tersebut berhenti di
depan rumah Utsman, banyak pedagang yang ingin membeli barang dagangannya
tersebut dengan berbagai macam tawaran, bahkan ada pedagang yang
mengajukan tawarannya hingga sepuluh kali lipat. Akan tetapi Utsman hanya
memerintahkan untuk mengumpulkan para fakir miskin pada keesokan harinya
dan memberikan hasil dagangannya itu secara cuma-cuma.

4) Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H)


Sifat kesederhanaannya tidak kalah dengan para sahabat yang lain. Ketika
menjabat sebagai khalifah, pakaian yang ia pakai banyak yang sobek, dan ketika
sobek ia sendiri yang menjahitnya. Suatu ketika ia ditanya seseorang mengapa
sampai seperti itu (pakaiannya yang sobek), ia hanya menjawab untuk
mengkhuyukkan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang beriman.
c. Pada Masa Tabi’in
Tokoh-tokoh sufi dari kalangan tabi’in merupakan murid dari para tokoh sufi dari
kalangan sahabat. Tokoh-tokoh ulama sufi pada masa tabi’i n ini adalah sebagai
berikut.
1) Al-Hasan Al-Bashry (22 H-110 H)
Hasan Basri belajar tasawuf kepada Huzaifah bin Yaman yang kemudian
menjadikannya sebagai orang besar dalam perkembangan ilmu tasawuf, bahkan
dianggap sebagai imam orang-orang sufi.
Hasan Basri lahir di Madinah pada tahun 21 Hijriyah atau 632 Masehi, dan
meninggal pada tahun 110 H. Hasan Basri adalah salah seorang tabi’in yang terbesar
dan ternama, baik dalam ilmu pengetahuan maupun dalam kesalehan dan kehidupan
zuhudnya. Hasan Basri pula yang mula-mula membahas ilmu-ilmu kebatinan,
kemurnian akhlak, dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa. Dr. Hasan Ibrahim
Hasan menerangkan dalam bukunya ‘Tarikhul Islam’, bahwa kehidupan tasawuf
yang asli itu berada dalam kehidupan Hasan Basri. Hasan Basri pernah bertemu
dengan 70 orang yang mengikuti perang Badar dan 300 orang sahabat yang lain.
Hasan Basri memiliki kepribadian yang sangat menarik. Ketika kecil ia pernah
mendapat pujian dari Ali bin Abu Thalib. Suatu ketika, Ali bin Abu Thalib masuk ke
dalam masjid di Basrah. Dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita di
dalam masjid, maka Ali mendatangi mereka dan berusaha mengusirnya keluar
masjid. Namun tiba-tiba ia mendapati salah seorang di antara mereka seorang anak
yang tampan, yakni Hasan Basri. Hasan Basri pada saat itu sedang asyik bercerita,
dan Ali sangat tertarik dengan ceritanya itu. Demi memelihara ketenangan dan
ketenteraman dalam masjid karena ramainya anak-anak, maka Ali mengajukan
pertanyaan kepada Hasan Basri, “Hai anak muda! Aku ingin bertanya kepadamu dua
perkara. Jika engkau dapat menjawabnya, maka aku akan biarkan engkau berbicara
terus. Tetapi jika engkau tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, engkau
akan kukeluarkan dari dalam masjid ini seperti anak-anak yang lain”. Anak muda
yang bernama Hasan Basri itu pun berkata, “Silakan bertanya wahai Amirul
Mukminin”. Kemudian Ali bin Abu Thalib pun bertanya, “Ceritakan kepadaku apa
kebaikan agama dan apa pula kerusakannya?”. Dijawab oleh Hasan Basri,
“Kebaikan agama itu adalah hidup wara’, dan kerusakan agama itu adalah hidup
tamak”. Setelah dijawab demikian, maka Ali pun berkata, “Engkau benar, dan
sekarang berbicaralah”.
Dasar ajaran tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan
dunia semata-mata menuju kepada Allah, bertawakal kepada-Nya, khauf (takut), dan
raja’ (pengharapan). Masing-masing konsep atau dasar ajaran tasawuf Hasan Basri
tersebut akan diuraikan berikut:
a) Zuhud berarti hati tidak menyenangi dunia dan berpaling terhadap keindahan
dan kemewahannya karena berbuat taat kepada Allah. Zuhud adalah suatu
tingkatan jiwa yang tinggi, dan ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam
perasaan takut dan harap di dalam hati.
b) Takut (khauf) bukan berarti takut kepada Allah, namun takut akan terjerumus
ke dalam jurang kemaksiatan yang menyebabkannya mendapat murka Allah
Swt. Pandangan inilah yang menyebabkan Hasan Basri bersedih hati,
senantiasa takut dan gemetar, kalau ia tidak dapat mengerjakan perintah Allah
sepenuhnya dan tidak dapat menghentikan larangan Allah sepenuhnya karena
digoda oleh syetan dan hawa nafsu keinginan. Dalam hal ini kadang-kadang
orang merasa biarlah masuk neraka daripada kena murka.
c) Setelah merasa takut kepada kemurkaan Allah, maka ikutilah ketakutan itu
dengan pengharapan (raja’). Kalau seorang manusia setelah berusaha
memenuhi segala perintah Allah dan berusaha menjauhkan dirinya dari
kejahatan, namun karena kelalaian dan nafsunya, ternyata masih mampu
menyeretnya ke jurang kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa, terus
selalu menanamkan rasa harapan terhadap ampunan dari Allah Swt. Maka dari
itu, tujuan pokok dari khauf dan raja’ ialah ingin terbebas dari kejahatan dan
ingin mencapai kebaikan dan ketaqwaan.

2) Rabi’ah Al-Adawiyyah (96-185 H/ 713-801 M)


Seorang sufi wanita yang besar pada masa ini juga ialah bernama Rabiah binti
Ismail Al-Adawiyah, yang dikenal dengan nama Rabiatul Adawiyah. Menurut
Ibnu Hilqan, Rabiatul Adawiyah wafat sekitar tahun 135 H/796 M. Ia dikenal
sebagai seorang yang hidup saleh dan taqwa. Sepanjang hari ia menegakkan
ibadah, seperti shalat dan berpuasa. Ia memiliki murid yang terdiri dari kaum
wanita.
Secara garis besar, konsep tasawuf Rabiatul Adawiyah dikenal dengan ajaran
cinta (mahabbah atau hubbulillah). Tingkatan zuhud yang tadinya dirintis oleh
Hasan Basri, yakni zuhud karena takut kepada kemurkaan Allah dan mengharap
kepada ampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabi’atul Adawiyah kepada zuhud
karena cinta. Cinta yang telah suci murni itu lebih tinggi daripada takut dan
harap, karena cinta yang suci murni tidak mengharapkan apa-apa.

3) Sufyan Ats-Tsauri (97-161 H/ 715-778 M)


Sufyan Tsauri lahir pada tahun 97 H/602 M, dan wafat di Basrah tahun 121
H/732 M. Ia merupakan seorang ulama hadits yang terkenal dan seorang tabi’in
yang sangat zahid dan tak tertandingi. Dalam hal meriwayatkan hadits, ia dijuluki
sebagai ‘Amirul Mukminin dalam hal hadits’.
Sifat beliau yang sangat kuat ialah tidak mau mendekati raja-raja. Ia hidup pada
zaman khalifah Al-Manshur. Setelah menerima ilmu dari gurunya, Hasan Basri,
ia pun mengembara dari sebuah kota ke kota lain untuk menerangkan intisari
agama kepada murid-muridnya. Sufyan Tsauri pernah mengungkapkan perihal
kesufiannya, bahwa jangan kau rusak agamamu dengan kemewahan dan
kemegahan yang berlimpah ruah, karena hal itu akan menyebabkan umat Islam
tenggelam dalam keduniawian, dan tidak dapat lagi dibedakan mana yang halal
dan mana yang haram. Ia juga merasa tidak ada faedahnya berbicara kepada
orang-orang yang bermulut manis kepada ulama, tetapi rakyat kian lama kian
sengsara
Pada abad pertama hijriyah, para ulama tasawuf hanya berada dibeberapa kota
yang tidak jauh dari kota madinah, seperti kota mekkah, kufah, bashrah, dan
beberapa kota kecil lainnya. Akan tetapi, pada abad kedua hijriyah, ulama-ulama
tersebut sudah menyebar ke berbagai negeri di wilayah kekuasaan Islam. Pada
abad pertama ini, istilah ‘sufi’ masih kurang dikenal oleh masyarakat Islam,
kecuali sebutan ahli zuhud dengan istilah ‘sufi’ atau ‘sufiyah’. Cirri lain yang
terdapat pada perkembangan tasawuf pada abad pertama dan kedua hijriyah
adalah kemurniaannya dibandingkan dengan kemurnian tasawuf pada abad-abad
sesudahnya. Pada waktu itu, ajaran tasawuf mulai tercampuri ajaran filsafat dan
tradisi agama serta kepercayaan yang dianut umat manusia sebelum Islam.

d. Abad ketiga Hijriyah


Pada abad ini, terlihat perkembangan tasawuf yang pesat ditandai dengan adanya
segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti ajaran tasawuf yang
berkembang pada masa itu sehingga mereka membaginya menjadi tiga macam,
yaitu:
1) Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa
2) Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak
3) Tasawuf yang berintikan metafisika
Adapun tokoh-tokoh sufi yang terkenal pada abad ketiga, yaitu:
1) Abu Sulaiman Ad-Darani (wafat 215 H)
2) Ahmad bin Al-Hawary Ad-Damasqiy (wafat 230 H)
3) Dzun An-Nun Al-Mishri (155-245 H/ 770-860 M)
Abul Faidh Zin-Nun Al-Misri atau yang lebih dikenal dengan Zunnun Al-Misri,
berasal dari Naubah, yakni daerah di antara Sudan dan Mesir. Ia wafat pada tahun
246 H/860 M. Ia adalah salah seorang murid Imam Malik dan boleh dikatakan
bahwa ia adalah yang pertama kali menetapkan teori-teori di dalam ilmu tasawuf
pada abad ketiga. Ia banyak sekali memperluas pemahaman tentang jalan menuju
Allah. Tujuannya terkait ilmu tasawuf ialah bagaimana cara mencintai Tuhan,
membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut akan
berpaling jalan.
Pernah ditanya oleh seseorang apa hakikat cinta itu. Zunnun Al-Misri menjawab,
“Bahwa engkau mencintai apa yang dicintai Allah, dan engkau membenci apa
yang dibenci-Nya. Engkau memohon ridha-Nya, dan sekalian engkau tolak yang
akan menghalangimu menuju Dia. Jangan takut akan kebencian orang yang
membenci. Dan jangan mementingkan diri dan melihatnya, karena dinding yang
sangat tebal untuk melihat-Nya ialah lantaran melihat diri sendiri. Orang yang arif
adalah bangga dalam kefakirannya. Apabila disebutnya nama Allah, ia merasa
bangga, dan apabila disebut nama dirinya, ia merasa miskin”.Mengenai konsep
taubat, Zunnun Al-Misri mengungkapkan bahwa taubat terbagi menjadi dua
macam, yaitu taubatnya orang awam, yakni taubat dari dosa, dan taubatnya orang
khawash, yaitu taubat dari kelalaian. Demikian pula dengan konsep ma’rifat,
olehnya dibagi menjadi tiga macam, yaitu ma’rifat mukmin biasa (mu’miniin),
ma’rifat ahli bicara (mutakallimin) dan hukama’, dan ma’rifat waliyullah yang
dekat kepada Tuhan dan kenal akan Tuhan dalam hatinya (muqarrabiin). Ma’rifat
yang terakhir inilah setinggi-tingginya martabat.
4) Abu Yazid Al-Bustami (wafat 261 H/ 874 M)
Abu Yazid Al-Busthami memiliki nama kecil Thaifur. Namanya sangat istimewa
dan cukup melekat dalam hati orang-orang sufi. Al-Busthami pernah berkata,
“Kalau kamu melihat seseorang yang sanggup melakukan pekerjaan keramat
yang besar-besar, walaupun dia sanggup terbang di udara, maka janganlah kamu
tertipu sebelum kamu melihat bagaimana dia mengikut suruh dan menghentikan
tegah dan menjaga batas-batas syariat”. Meski perkataannya tersebut terasa sulit
dimengerti, namun bisa ditangkap sebuah pengertian bahwa tasawuf yang
diamalkan tidak keluar daari batas-batas syara’.
Ada pula perkataannya yang terdengar ‘ganjil’ dan dalam, dan seseorang
(termasuk kita) harus berhati-hati dalam memahaminya. Karena bila salah dalam
memahaminya, maka tentu akan menyangka bahwa Al-Busthami memilih jalan di
luar ketentuan agama, atau minimal dia telah tersesat. Seperti konsep ‘Hulul’
yang olehnya dikatakan, “Hamba dan Tuhan sewaktu-waktu bisa berpadu
menjadi satu”. Atau juga perkataan yang lain yang dikutip oleh Abdul Hamid
Zahrawi dalam kitabnya ‘Al-Fiqh wa At-Tasawwuf’, “Tidak ada Tuhan
melainkan saya. Sembahlah saya , amat sucilah saya. Alangkah besar kuasaku”.
Selanjutnya terkait konsep perjalanan menuju fana’, ia mengatakan bahwa,
“Permulaan adanya aku di dalam alam wahdaniyat-Nya, aku menjadi burung
yang tubuhnya dari Ahdiyat, dan kedua sayapnya dari daimunah (tetap dan
kekal). Maka senantiasa aku terbang di udara kaifiyat sepuluh tahun lamanya,
sehingga aku dalam udara demikian rupa 100.000.000 kali. Maka senantiasa aku
terbang dan terbang lagi di dalam medan azal. Maka terlihatlah olehku pohon
ahdiyat ….”. Pada akhirnya beliau berkata, “Akhirnya sadarlah aku dan tahulah
aku, bahwa sama sekali itu hanyalah tipuan dan khayalan belaka”.
Kata-kata yang demikian itu disebut dengan Syathathat, artinya ialah kata-kata
yang penuh dengan khayalan. Karena itu perkataan ini tidak dapat dikenakan
hukum, sebab orang pada saat itu sedang dimabuk oleh fana’nya, bukan mabuk
karena pengaruh alkohol. Perkataan yang tidak lazim tersebut inilah yang
akhirnya memunculkan suatu istilah ‘As-Sakar’ (mabuk) dan ‘Al-Isyq’ (rindu
dendam).
5) Junaid Al-Baghdadi (wafat 298 H)
6) Al-Hallaj (lahir 244 H/ 838 M)
Husain bin Mansuh Al-Hallaj lahir di Persia pada tahun 244 H/858 M, yang
sebelumnya ia beragama Majusi, kemudian masuk Islam dan terkenal dengan
julukan Abu Mughis. Al-Hallaj adalah seorang yang memiliki riwayat yang luar
biasa dalam bidang tasawuf. Pandangannya sempat membuat ramai di dunia fiqih,
sebab pada masa itu terjadi pertentangan antara ulama fiqih dengan ulama
tasawuf karena faktor salah dalam memahami konsep tasawuf. Ada ratusan ulama
fiqih pada saat itu menentang ajaran tasawufnya sehingga pada akhir hidupnya
dijatuhi hukuman mati.
Secara ringkasnya, ajaran tasawuf Al-Hallaj terdiri dari tiga hal, antara lain:
Hulul, berarti ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri manusia (nasut). Hal ini
akan terjadi ketika kebatinan seorang manusia sudah suci bersih di dalam
menempuh perjalanan dalam hidup kebatinan, maka tingkat hidupnya akan naik
dari maqam (tingkatan) ke maqam yang lain, misalkan dari muslimin, mukminin,
shalihin, dan muqarrabin. Pada maqam muqarrabin, orang sudah sangat dekat
dengan Tuhan sehingga timbullah penyatuan dirinya dengan Tuhan.
Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muhammad sebagai asal-usul segala
kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan. Dan dengan perantaranya lah
seluruh alam ini dijadikan. Menurut Al-Hallaj, Nabi Muhammad itu terdiri dua
rupa: Yang pertama adalah yang qadim, yaitu terjadi sebelum terjadinya seluruh
yang ada. Yang kedua adalah yang berupa manusia, yakni sebagai Nabi dan
Rasul. Rupa yang kedua (manusia/Nabi/Rasul) ini akan menempuh kematian, dan
rupa yang pertama bersifat qadim. Rupa yang pertama inilah yang oleh Al-Hallaj
sebagai asal-usul segala sesuatu.
Wihdatul Adyan, yaitu kesatuan segala agama. Ia berpendapat bahwa semua
agama, baik Islam, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, meski berbeda dalam hal
nama, namun pada hakikatnya adalah satu. Orang memilih suatu agama atau lahir
dalam suatu agama bukan atas dasar kehendaknya sendiri, melainkan sudah
ditentukan oleh Allah Swt melalui takdir-Nya.
Pada akhir abad ketiga hijriyah timbul perkembangan baru dalam sejarah tasawuf,
yang ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan dan pengajaran, yang di
dalamnya terdapat kegiatan pengajaran tasawuf dan pelatihan rohaniah.
e. Abad keempat Hijriyah
Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat, karena usaha
maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawuf. Akibatnya,
kota Baghdad yang menjadi satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan
tasawuf yang paling besar, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya.
Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad dipelopori oleh
beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara lain:
1) Musa Al-Anshari, mengajarkan ilmu tasawuf di khurasan (Persia atau iran), dan
wafat di sana tahun 320 H.
2) Abu Hamid bin Muhammad Ar-Rubazy, mengajarkan ilmu tasawuf di salah satu
kota di mesir, dan wafat di sana tahun 322 H.
3) Abu Zaid Al-Adamy, mengajarkan ilmu tasawuf di semenanjung Arabiyah, dan
wafat di sana tahun 314 H.
4) Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab As-Saqafy, mengajarkan ilmu tasawuf di
Naisabur dan Syaraz hingga wafat tahun 328 H.
Ciri-ciri yang terdapat pada abad ini adalah makin kuatnya unsure filsafat yang
memengaruhi corak tasawuf karena banyaknya buku filsafat yang tersebar di
kalangan umat Islam hasil terjemahan orang-orang Muslim sejak permulaan Daulah
Abbasiyah.
f. Abad Kelima Hijriyah
Ajaran filsafat Neo-Platonisme, filsafat Persia dan India, banyak mewarnai ajaran
tasawuf sehingga mewujudkan corak tasawuf falsafi yang sangat bertentangan
dengan ajaran tasawuf pada masa sahabat dan tabi’in. karena ituah, pada abad
kelima hijriyah ini terdapat tiga golongan, yaitu Fuqaha, Ahli tasawuf, dan ahli
tasawuf teologi atau ahli tasawuf sunni.
Imam Ghazali mengembalikan citra ahli tasawuf di kalangan umat Islam dengan
mempertemukan ilmu zahir (ilmu syari’at) dengan ilmu batin (ilmu tasawuf) dan
berusaha memurnikannya dari unsur-unsur filsafat yang dinilainya membingungkan
umat Islam. Pada abad-abad inilah, terlihat tanda-tanda semakin dekatnya corak
tasawuf dengan ajaran tasawuf yang diamalkan pada abad pertama hijriyah.

g. Abad keenam Hijriyah dan Abad ketujuh Hijriyah


Pada abad VI Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur
dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang
maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Dr. Ibrahim Hasan Ibrahim dalam bukunya
‘Tarikhul Islam’ menamainya sinkretisme filsafat dengan tasawuf. Sehingga dalam
hal ini, perjalanan tasawuf masih sama seperti pada abad V Hijriyah. Ditambah lagi
adanya akibat dari besarnya pengaruh Tasawuf Al-Ghazali yang berhasil
mengkompromikan ilmu kebatinan dengan filsafat. Teorinya mengenai hakikat
bukan semata-mata dengan akal, namun juga dengan perasaan.
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyimpulkan, bahwa tasawuf falsafi
mempunyai empat obyek utama dan menurut Abu Al-Wafa bisa dijadikan karakter
sufi falsafi, yaitu:
1) Latihan rohaniah (riyadhah) dan perjuangan batin (mujahadah) dengan rasa,
intuisi, serta instropeksi.
2) Illuminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib.
3) Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan.
4) Munculnya ungkapan-ungkapan baru atau istilah-istilah yang pengertiannya
masih samar-samar, seperti kasyaf (tirai penyingkap), tajalli (Tuhan telah jelas
dan nyata), wihdatul muthlaqah (kesatuan yang mutlak), hulul (penjelmaan Tuhan
ke dalam hamba), dan ittihad (persatuan antara hamba dengan tuhan)
Beberapa ulama tasawuf yang sangat berpengaruh dalam perkenbangan tasawuf pada
abad ini adalah sebagai berikut:
1) As-Suhrawardi AlMaqtul (wafat 587 H/ 1191 M)
2) Al-Ghaznawy (wafat 545 H/1151 M)
3) Unzar Ibnul Faridh
4) Ibnu Sabi’in
5) Jalaluddin Ar-Rumi
h. Abad kedelapan Hijriyah
Dengan terlampauinya abad ketujuh hijriyah hingga masuk abad kedelapan hijriyah,
tidak terdengar lagi perkembangan dan pemikiran baru dalam tasawuf. Pada masa
ini, banyak pengarang kaum sufin yang mengemukakan pemikirannya tentang ilmu
tasawuf, tetapi pemikiran mereka tidak mendapat perhatian yang sungguh-sungguh
dari umat Islam.
Penyebab mundurnya tasawuf di dunia Islam pada abad ini antara lain:
1) Pada masa itu adalah masa suram-suramnya cahaya perasaan dan pemikiran
karena ada rasa keputusasaan dalam dunia Islam. Hal ini dikarenakan Baghdad
sebagai jantungnya ilmu pengetahuan telah dihancurkan oleh bangsa Mongol.
Ditambah lagi kekuasaan Islam berpindah ke Asia Kecil (Turki) oleh Turki
Utsmani. Sejak itulah pelita timur lambat laun redup.
2) Bangsa Barat mengalami zaman Renaissance yang mendorong kemajuan bangsa
Barat dalam mengambil alih peradaban dunia.
3) Umat Islam hanya bertaklid dalam segala bidang ilmu, yaitu menurut saja kepada
apa yang ditulis dan dijelaskan oleh orang-orang terdahulu. Tidak hanya tasawuf,
kondisi taklid ini juga terjadi pada beberapa bidang ilmu, seperti ilmu fiqih, Al-
Qur’an, hadits, dan teologi (kalam).
Lebih lanjut dengan semakin surutnya perkembangan tasawuf pada abad VIII
Hijriyah ini, maka tidak ada lagi pemikiran baru dalam dunia tasawuf. Meski ada
beberapa ahli sastrawan sufi seperti Al-Kassyani atau Al-Kisani (w. 739 H/1321 M)
yang telah banyak menulis buku-buku tentang tasawuf, namun dia tidak
mengeluarkan pendapat yang baru. Ada pula seorang sufi besar pada abad ini yang
bernama Abdul Karim Al-Jaili, seorang pengarang kitab ‘Insan Kamil’. Isi bukunya
sempat membuat gempar para ulama fiqih, karena isinya memperindah konsep-
konsep pikiran Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain.
Di dalam abad kesepuluh Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang besar di Mesir,
yaitu Abdul Wahab Sya’rani. Ia memiliki banyak karangan, namun sebagian besar
isinya sulit diterima oleh rasa, harus memakai akal. Kemudian di abad keduabelas
Hijriyah, muncul kembali seorang sufi yang bernama Abdul Ghani An-Nablusi (w.
1143 H/1735 M), seorang pengikut Ibnu Arabi.
i. Tasawuf di Tanah Persia
Masuknya agama Islam di tanah Persia dengan sendirinya telah berjasa
mengembangkan kebudayaan, kesenian, dan kesusastraan bangsa Persia. Begitu
halnya dengan tasawuf, yang berkembang cepat dan menjadi bahan atau sendi yang
tidak dapat dipisahkan lagi dari perkembangan seluruh tasawuf Islam. Boleh
dikatakan bahwa setelah bahasa Arab, bahasa Persia juga berperan penting dan besar
pengaruhnya dalam membantuk tasawuf dan filsafat Islam serta pandangan hidup
mereka.
Islam tumbuh dan memiliki corak ke-Persia-annya sejak abad ketiga Hijriyah.
Dalam perkembangannya, filsafat dan tasawuf di Persia menggunakan dua bahasa,
yakni bahasa Arab dan bahasa Pahlevi (Persia). Pengaruh tasawuf di Persia ini
cukup besar, dan berkembang hingga ke Turki, India, dan Afghanistan. Sampai
sekarang yang kurang lebih 1.000 tahun lebih kebudayaan Persia-Islam masih hidup
dengan suburnya.
Berkat perkembangan kebudayaan di Persia lah, banyak muncul para ulama besar,
filsuf terkenal, serta para sastrawan, seperti Al-Ghazali, Ibnu Sina, serta ahli bahasa
yang bernama Sibawaihi. Singkatnya, dalam perkembangan tasawuf, Persia telah
memberikan jasa yang besar, bahkan ada yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf
belum mencapai tingkat kepuasan bila belum mendalami tasawuf dari Persia.
Hubungan antara Islam-kebudayaan Persia yang terjalin erat di masa lalu akhirnya
putus setelah Persia (sekarang Iran) mendeklarasikan dirinya menggunakan paham
Syi’ah sebagai mazhab kerajaan/Negara. Padahal mayoritas umat Islam di dunia
menganut paham Ahlus Sunnah. Namun sekali lagi, pengaruh tasawuf Persia amat
besar dalam dunia Islam.
Di Indonesia sendiri, pengaruh tasawuf Persia lebih dahulu datang daripada
pengaruh tasawuf atau ajaran Islam dari tanah Arab. Thariqat yang terkenal di
Indonesia, thariqat Naqsyabandiyah, adalah salah satu thariqat tasawuf yang berasal
dari Persia. Kata ‘Naqsyabandi’ sendiri berasal dari bahasa Persia.
   

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Bangun Nasution, 2013. Rayani Hanun Siregar, Akhlak Tasawuf (Depok : PT. Raja
Gravindo Persada.

Rosihon Anwar, 2009. Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai