Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
Sepsis didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap penyakit infeksi
ditandai dengan disfungsi organ yang mengancam nyawa dan merupakan masalah
kesehatan di dunia saat ini. Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat
karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen dan nutrisi ke jaringan sehingga
dibutuhkan penanganan kegawat daruratan segera. Hal tersebut yang menjadikan
sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif
(ICU). Di Amerika insidensi sepsis berkisar 66-132 per seratus ribu populasi.
Sepsis berat hampir 25 % dirawat di ICU , umumnya diakibatkan usia lanjut,
imunocompomise, dan penyakit berat yang mendasarinya. Sepsis merupakan
penyebab kematian kedua di ICU pada non-coronary disease.
Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur. Pada dewasa, sepsis
umumnya terdapat pada orang yang mengalami immunocompromise, yang
disebabkan karena adanya penyakit kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas
sepsis di negara yang sudah berkembang menurun hingga 9%, namun tingkat
mortalitas pada negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, masih tinggi
yaitu 50-70% dan apabila berlanjut pada syok sepsis dan disfungsi organ multiple,
angka mortalitasnya dapat mencapai 80%.
Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (World Health
Organization) pada tahun 2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang
perawatan intensif pada negara maju, dan insidensinya mengalami kenaikan.
Setiap tahunnya terjadi 750.000 kasus sepsis di Amerika Serikat. Hal seperti ini
juga terjadi di negara berkembang, dimana sebagian besar populasi dunia
bermukim. Kondisi seperti standar hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi,
infeksi kuman akan meningkatkan angka kejadian sepsis.
Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab utama mortalitas pada
pasien dengan kondisi kritis. Pada tahun 2004, WHO menerbitkan laporan
mengenai beban penyakit global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab tersering dari kematian pada negara berpendapatan rendah.1
Berdasarkan hasil dari Riskesdas 2013 yang diterbitkan oleh Kemenkes, penyakit
infeksi utama yang ada di Indonesia meliputi ISPA, pneumonia, tuberkulosis,

1
hepatitis, diare, malaria. Dimana infeksi saluran pernafasan dan tuberkulosis
termasuk 5 besar penyebab kematian di Indonesia.
Kondisi serupa juga terjadi di negara Mongolia, dimana penyakit infeksi
merupakan 10 penyebab kematian tertinggi di negara tersebut. Dan pada suatu
penelitian yang diadakan pada tahun 2008, angka kejadian sepsis pada pasien
yang masuk ke ICU di RS Mongolia didapatkan dua kali lebih besar dibandingkan
dengan angka di negara maju.
Istilah sepsis berasal dari bahasa Yunani “sepo” yang artinya membusuk
dan pertama kali dituliskan dalam suatu puisi yang dibuat oleh Homer (abad 18
SM). Kemudian pada tahun 1914 Hugo Schottmuller secara formal
mendefinisikan “septicaemia” sebagai penyakit yang disebabkan oleh invasi
mikroba ke dalam aliran darah. Walaupun dengan adanya penjelasan tersebut,
istilah seperti “septicaemia:, sepsis, toksemia dan bakteremia sering digunakan
saling tumpang tindih.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu standar untuk istilah tersebut dan pada
tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan Society of
Critical Care Medicine (SCCM) mengeluarkan suatu konsensus mengenai
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, dan sepsis berat.
Sindrom ini merupakan suatu kelanjutan dari inflamasi yang memburuk dimulai
dari SIRS menjadi sepsis, sepsis berat dan septik syok.
Dan pada bulan Oktober tahun 1994 European Society of Intensive Care
Medicine mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan sepsis-related organ
failure assessment (SOFA) score untuk menggambarkan secara kuantitatif dan
seobjektif mungkin tingkat dari disfungsi organ. 2 hal penting dari aplikasi dari
skor SOFA ini adalah:
1. Meningkatkan pengertian mengenai perjalanan alamiah disfungsi organ dan
hubungan antara kegagalan berbagai organ.
2. Mengevaluasi efek terapi baru pada perkembangan disfungsi organ.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2012, sepsis diartikan sebagai adanya
infeksi yang disertai dengan manifestasi klinis dari infeksi sistemik. Sepsis juga
merupakan komplikasi infeksi yang berpotensi mengancam nyawa. Sepsis berat
merupakan keadaan sepsis yang diikuti dengan gangguan fungsi organ, hipotensi
atau hipoperfusi jaringan. Sedangkan sepsis dengan hipotensi ialah sepsis dengan
tekanan sistolik <90mmHg atau ratarata tekanan arteri (Mean Arterial Pressure)
<65 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40mmHg.
Perkembangan dari Multiple Organ Dysfunction / Multiple Organ Failure
(MODS/MOF) akan menyebabkan suatu keadaan yang dinamakan syok septik.
Syok septik didefinisikan sebagai suatu keadaan kegagalan sirkulasi akut yang
ditandai dengan hipotensi arteri persisten meskipun dengan resusitasi cairan yang
cukup ataupun adanya hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi
laktat yang >4mg/dL) yang tidak dapat dijelaskan oleh sebab-sebab lain.
2.2 Epidemologi
Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di
Amerika Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar
80% kasus sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa
selama tahun 1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak
terkait. Kejadian sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000,
menjadi sekitar 660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok
septik per tahun di Amerika Serikat. Dari tahun 1999 sampai 2005 ada 16.948.482
kematian di Amerika Serikat. Dari jumlah tersebut, 1.017.616 dikaitkan dengan
sepsis (6% dari semua kematian). Sebagian besar kematian terkait sepsis terjadi di
rumah sakit, klinik dan pusat kesehatan (86,9%) dan 94,6% dari ini adalah pasien
rawat inap tersebut.
Banyak studi epidemiologi terhadap 6 juta orang menunjukkan bahwa
insiden terjadinya sepsis adalah 3 orang per 1000 populasi per tahunnya atau
sekitar 750.000 kasus per tahun di Amerika Serikat. Tingkat rawat inap akibat
sepsis yang berat 2 kali lipat selama dekade terakhir, dan dengan angka kematian

3
saat ini 30%. Perkiraan baru-baru ini menunjukkan bahwa angka kematian
berdasarkan populasi disesuaikan dengan peningkatan umur.

2.4 Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat
disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur).
Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah
Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Spesies
Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya,
sepsis merupakan suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi normal dari
host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus
syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga
70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram
negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya.
Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat
mengungkapkan etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses
tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh kultur. Insidensi sepsis yang lebih
tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang
menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi
sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya
dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur invasif (misalnya pemasangan
kateter), dan ventilasi mekanis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah
infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih,
perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus

4
urinarius)
6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus
atau kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi
8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat terdeteksi
2.5 Patofisiologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu
protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein)
yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme
LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor
dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme.
Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan
CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui
nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu
faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel.
Kompleks LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui
toll like receptor-2 (TLR2).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic
acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram
positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai
superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen
berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan Vβ-
chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar
untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih.

5
Gambar 1. Skema Infeksi – Sepsis

Gambar 2.Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi,


trombosis, dan fibrinolisis terhadap infeksi

6
Gambar 3. Gambaran klinis
a. Peran sitokin pada sepsis
Mediator inflamasi merupakan mekanisme pertahanan pejamu terhadap
infeksi dan invasi mikroorganisme. Pada sepsis terjadi pelepasan dan aktivasi
mediator inflamasi yang berlebih, yang mencakup sitokin yang bekerja lokal
maupun sistemik, aktivasi netrofil, monosit, makrofag, sel endotel, trombosit dan
sel lainnya, aktivasi kaskade protein plasma seperti komplemen, pelepasan
proteinase dan mediator lipid, oksigen dan nitrogen radikal. Selain mediator
proinflamasi, dilepaskan juga mediator antiinflamasi seperti sitokin
antiinflamasi,reseptor sitokin terlarut, protein fase akut, inhibitor proteinase dan
berbagai hormon.
Pada sepsis berbagai sitokin ikut berperan dalam proses inflamasi, yang
terpenting adalah TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12 sebagai sitokin proinflamasi dan
IL-10 sebagai antiinflamasi. Pengaruh TNF-α dan IL-1 pada endotel
menyebabkan permeabilitas endotel meningkat, ekspresi TF, penurunan regulasi
trombomodulin sehingga meningkatkan efek prokoagulan, ekspresi molekul
adhesi (ICAM-1, ELAM, V-CAM1, PDGF, hematopoetic growth factor, uPA,
PAI-1, PGE2 dan PGI2, pembentukan NO, endothelin-1.1 TNF-α, IL-1, IL-6, IL-

7
8 yang merupakan mediator primer akan merangsang pelepasan mediator
sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), tromboxan A2 (TXA2), Platelet
Activating Factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin,
intestinal vasoaktif peptida seperti histamin dan serotonin di samping zat-zat lain
yang dilepaskan yang berasal dari sistem komplemen. Awal sepsis
dikarakteristikkan dengan peningkatan mediator inflamasi, tetapi pada sepsis berat
pergeseran ke keadaan immunosupresi anti-inflamasi.
b. Peran komplemen pada sepsis
Fungsi sistem komplemen: melisiskan sel, bakteri dan virus, opsonisasi,
aktivasi respons imun dan inflamasi dan pembersihan kompleks imun dan produk
inflamasi dari sirkulasi. Pada sepsis, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui
jalur alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari komplemen
yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan pada reseptor di sel
menimbulkan respons inflamasi berupa: kemotaksis dan adhesi netrofil, stimulasi
pembentukan radikal oksigen, ekosanoid, PAF, sitokin, peningkatan permeabilitas
kapiler dan ekspresi faktor jaringan.
c. Peran NO pada sepsis
NO diproduksi terutama oleh sel endotel berperan dalam mengatur tonus
vaskular. Pada sepsis, produksi NO oleh sel endotel meningkat, menyebabkan
gangguan hemodinamik berupa hipotensi. NO diketahui juga berkaitan dengan
reaksi inflamasi karena dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi,
ekspresi molekul adhesi dan menghambat agregasi trombosit. Peningkatan sintesis
NO pada sepsis berkaitan dengan renjatan septik yang tidak responsif dengan
vasopresor.
d. Peran netrofil pada sepsis Pada keadaan infeksi terjadi aktivasi, migrasi
dan ekstravasasi netrofil dengan pengaruh mediator kemotaktik. Pada keadaan
sepsis, jumlah netrofil dalam sirkulasi umumnya meningkat, walaupun pada
sepsis berat jumlahnya dapat menurun. Walaupun netrofil penting dalam
mengeradikasi kuman, namun pelepasan berlebihan oksidan dan protease oleh
netrofil dipercaya bertanggung jawab terhadap kerusakan organ. Terdapat 2 studi
klinis yang menyatakan bahwa menghambat fungsi netrofil untuk mencegah

8
komplikasi sepsis tidak efektif, dan terapi untuk meningkatkan jumlah dan fungsi
netrofil pada pasien dengan sepsis juga tidak efektif .
Infeksi sistemik yang terjadi biasanya karena kuman Gram negatif yang
menyebabkan kolaps kardiovaskuler. Endotoksin basil Gram negatif ini
menyebabkan vasodilatasi kapiler dan terbukanya hubungan pintas arteriovena
perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan
kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer meyebabkan terjadinya hipovolemia
relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan
cairan intravaskular ke interstisial yang terlihatsebagai edema.Pada syok sepsis
hipoksia, sel yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan
melainkan karena ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin
kuman Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptive akan menhyebabkan
gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ
multiple (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat
seluler (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai
akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain
yang ikut berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial
depressant substance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri,
gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari terapi yang diberikan.

e. Tahap Perkembangan Sepsis


 Infeksi Proses patologi yang disebabkan oleh invasi
mikroorganisme patogenik ke jaringan tubuh yang normalnya
steril.
 Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) Respons
peradangan sistemik terhadap beragam serangan klinis yang berat.
Respons ini berupa dua atau lebih dari kondisi-kondisi berikut:
a. Suhu tubuh >38°C atau <36°C
b. Denyut nadi >90 kali/menit
c. Laju nafas >20 kali/menit atau PaCO2<4,3 kPa (<32 Torr) / 32
mm HG

9
d.Jumlah leukosit >12.000 sel/mm3, <4.000 sel/mm3, atau >10%
sel neutrofil batang
 Sepsis Sindrom klinis ditandai dengan adanya infeksi dan respon
inflamasi sistemik, yang bermanifestasi dalam dua atau lebih
kondisi-kondisi seperti yang ditemukan pada SIRS sebagai akibat
infeksi.
 Sepsis berat Sepsis yang menyebabkan hipoperfusi jaringan atau
disfungsi organ.
 Syok septik Sepsis berat dengan hipotensi, walaupun resusitasi
cairan yang adekuat telah diberikan, disertai adanya kelainan
perfusi.
 Multiple organ dysfunction syndrome (MODS) Adanya perubahan
fungsi organ pada pasien yang sakit akut di mana homeostasis
tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi.
2.6 Diagnosa
Penegakkan Diagnosis Sepsis
A. Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan
informasi mengenai faktor resiko potensial terjadinya infeksi,
berhubunagn dengan patogen spesifik pada area jaringan tertentu.
B. Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum
pasien, tanda-tanda vital. Gambaran klasik sepsis berat adalah pasien
hipermetabolik dengan temperatur tinggi, takikardia, takipnea, sirkulasi
vasodilatasi hiperdinamik, tekanan diastolik rendah.
C. Pemeriksaan Penunjang
o Darah lengkap
Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim
dijumpai, leukopenia bisa saja terjadi. Seringkali laju endap darah
meningkat. Kadar laktat darah umumnya meningkat seperti halnya kadar
gula darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada pasien dengan
disfungsi liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus, miokardium,
dan koagulopati) dapat ditemukan. Tanda-tanda dan gejala-gejala lain

10
dapat berhubungan dengan sumber infeksi mulamula. Pengambilan level
laktat harus dalam 3 jam.
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik,
trombositopenia, pemanjangan waktu prothrombin dan tromboplastin
parsial, penurunan kadar fibrinogen serum dan peningkatan produk fibrin
split, anemia, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2, serta perubahan

morfologi dan jumlah neutrofil. Peningkatan neutrofil serta peningkatan


leukosit imatur, vakuolasi neutrofil, granular toksik, dan badan Dohle
cenderung menandakan infeksi bakteri. Neutropenia merupakan tanda
kurang baik yang menandakan perburukan sepsis. Pemeriksaan cairan
serebrospinal dapat menunjukkan neutrofil dan bakteri. Pada stadium awal
meningitis, bakteri dapat dideteksi dalam cairan serebrospinal sebelum
terjadi suatu respons inflamasi.

Tabel 1. Indikator laboratorium untuk sepsis

11
o Kultur
Sebaiknya dilakukan sebelum dilakukan terapi antimikrobial dan
proes pengambilan sebaikanya tidak menjadi penyebab penundaan
pemberian terapi antibiotik. Pengambilan kultur sebelum antimikrobial
berguna untuk konfirmasi infeksi dan mengetahui patogen penyebab.
Pengambilan kultur darah harus selesai dalam 3 jam. Untuk
mengoptimalisasi identifikasi organisme penyebab, direkomendasikan
untuk mengambil sedikitnya 2 set kultur darah (botol aerob dan anaerob),
dengan satu diambil decara perkutaneus dan satu diambil vascular access
device, jika device <48 jam digunakan. Darah ini dapat diambil bersamaan
waktu jika diambil dari tempat yang berbeda. Kultur dapat dari urin,
cerebrospinal fluid, luka, sekret pernafasan dan cairan tubuh lain yang
mungkin menjadi penyebab infeksi.
o Gram stain Terutama untuk spesimen pernafasan, untuk
menentukan adanya sel inflamatori.
o Biomarker Level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat
untuk menentukan patern akut inflamasi dari sepsis.
o Polymerase chain reaction, mass spectroscopy, microarray
diharapkan dapat menjadi cara identifikasi patogen yang lebih cepat.

2.7 Manifiestasi Klinis


Kriteria untuk diagnosis sepsis dan sepsis berat pertama kali dibentuk pada
tahun 1991 oleh American College of Chest Physician and Society of Critical
Care Medicine Consensus.

12
Tabel 2. Kriteria untuk SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok septik berdasarkan
Konsensus Konfrensi ACCP/SCCM 1991
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care
Medicine (ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis
dengan akronim PIRO (Predisposition, Infection, Response to the infectious
challenge, and Organ dysfunction).
Berikut merupakan kriteria diagnosis untuk sepsis berdasarkan Surviving Sepsis
Campaign 2012:
1. Variabel umum
- Demam (>38.3C)
- Hipotermia ( <36C)
- Laju nadi >90x/menit atau lebih dari 2 standar deviasi di atau nilai
normal sesuai usia
- Takipneu
- Gangguan status mental
- Edema secara signifikan atau balance cairan positif (>20 ml/kg selama
24 jam)
- Hiperglikemia (glukosa plasma >140 mg/dl atau 7,7 mmol/l) tanpa
disertai dengan diabetes.
2. Variabel inflamasi
- Leukositosis (jumlah sel darah putih >12.000 µL)
- Leucopenia (jumlah sel darah putih <4000 µL)

13
- Jumlah sel darah putih normal disertai dengan >10% bentuk imatur
- C-reactive protein plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia
- Prokalsitonin plasma lebih dari 2 standar deviasi di atas nilai normal
sesuai usia
3. Variabel hemodinamik
- Hipotensi arterial (tekanan sistolik <90 mmHg, Mean Arterial Pressure
menurun >40 mmHg pada dewasa atau kurang dari 2 standar deviasi di
bawah normal sesuai usia).
4. Variabel disfungsi organ
- Hipoksemia arterial (PaO2/FiO2 <300)
- Oligouria akut (output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal
2 jam setelah pemberian resusitasi cairan yang adekuat)
- Kelainan koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60)
- Ileus (tidak adanya bising usus)
- Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 µL L)
- Hiperbilirubinemia (total plasma bilirubin >4mg/dL atau 70 µmol/L).
5. Variabel perfusi jaringan
- Hiperlaktatemia (>1mmol/L)
- Penurunan capillary refill atau mottling
Sedangkan kriteria diagnosis untuk sepsis berat adalah sebagai berikut:
a. Sepsis dengan hipotensi
b. Laktat di atas batas atas nilai normal
c. Output urin <0,5 ml/kg berat badan /jam selama minimal 2 jam setelah
pemberian resusitasi cairan yang adekuat
d. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <250 tanpa disertai dengan
pneumonia sebagai sumber infeksi
e. Kerusakan paru akut dengan PaO2/FiO2 <200 disertai dengan
pneumonia sebagai sumber infeksi
f. Kreatinin >2,0 mg/dL (178,8 µmol/L)
g. Bilirubin >2mg/dL (34,2 µmol/L) 8. Jumlah platelet <100.000 µL
h. Koagulopati (INR>1,5)

14
Kemudian pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsensus
internasional yang ketiga yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan
waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang meningkat.
Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure
Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru
seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi
dan penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi.2 Istilah Sepsis menurut
konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa yang
disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Penggunaan kriteria
SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak membantu lagi.
Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan
laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau
hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang
mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang
dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.10 Disfungsi organ didiagnosis
apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2.
Dan istilah sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi
baru ini adalah pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis
dari sepsis dan syok septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi
keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi
pasien sepsis di luar ICU.2 Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap
dibandingkan penggunanaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan
pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang.
Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali
kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.10
Dan septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas
sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara
signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean
arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun
telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.

15
Tabel 3. Skor SOFA

Tabel 3. Skor qSOFA


Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan
skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan
dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat
membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera
memulai atau mengeskalasi terapi.

16
2.8 Tatalaksana
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh
SCCM dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis
Guidelines pertama kali dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun
2008 dan 2012. Pada bulan Januari 2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis
Guidelines dipresentasikan pada pertemuan tahunan SCCM dan dipublikasikan di
Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine dimana didapatkan banyak
perkembangan baru pada revisi yang terbaru. Komponen dasar dari penanganan
sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan
hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis
(kultur dan pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis,
transfusi) dan pencegahan infeksi.

1. Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed
therapy)
Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et
al pada tahun 2001 merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya.
Terapi yang diarahkan oleh tujuan secara dini (Early goal directed therapy)
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman oksigen
jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar laktat arteri.
Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan
dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah yang standar. Resusitasi
harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi. Selama 6 jam
pertama resusitasi.
Tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis-induced hypoperfusion adalah:
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians
ventrikular yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal tinggi,
target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.
2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg

17
3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70% Saturasi oksigenisasi superior
vena cava (Scvo2) atau mixed venous oxygen saturation (SvO2) 70% or
65%,
4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan
oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).
Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan
level laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan. Terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% atau
mixed venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan resusitasi
cairan, transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian
dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit). Untuk mencapai cairan yang
adekuat pemberian cairan inisial kristaloid, minumun 30 ml/kg untuk dewasa dan
tambahan albumin pada pasien yang membutuhkan cukup banyak kristaloid untuk
mempertahankan cukup MAP. Sebaiknya menghindari hetactarh, karena koloid
buatan tidak terbukti menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal
akut.
Skrining untuk sepsis dan perkembangan keadaan Skrining rutin perlu
dilakukan pada pasien dengan sakit berat pada severe sepsis untuk mendapatkan
terapi lebih awal. Mengurangi waktu untuk diagnosis sepsis berat menjadi
komponen penting untuk menurunkan angka kematian akibat disfungsi
multiorgan.
2. Terapi antimikroba
Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak
diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur diambil.
Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan dapat penetrasi ke tempat
yang diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba empiris tergantung pada riwayat
penyakit pasien meliputi intoleransi obat, penggunaan antibiotik sebelumnya (3
bulan), penyakit penyerta, sindrom klinis, dan patogen berdasarkan komunitas dan
rumah sakit.

18
Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatidf dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom syok
toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien tertentu.
Iinisial kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk pasien
dengan sulit untuk disembuhkan, Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus
mempertimbangkan mengenani virulensi dan prevalensi methicillin resistant
staphylococcus aureus dan resistensi spektrum luas beta laktam dan carbapenem
untuk gram negatif bacilli di beberapa komunitas dan seting kesehatan.
Terapi antifungal empirik, seperti: echinocandin, triazoles (fluconazole,
amfoterisin B). - Pemilihan terapi antibiotik definitif tergantung pada tipe
patogen, karakteristik pasien, dan regimen terapi rumah sakit. Karena pasien
dengan sepsis berat atau syok septik punya latar yang sedikit untuk menentukan
terapi, maka terapi pilihan inisial harus spektrum luas untuk dapat melawan
patogen luas. Setelah patogen kausatif diidentifikasi, baru dilakukan de-eskalasi
dengan memakan agen antimikroba yang sesuai patogen tersebut, lebih aman, dan
biaya yang paling efektif. Dapat juga digunakan antimikroba kombinasi setelah
tes susceptibilitas dilakukan,
Level procalcitonin dan biomarker lain dapat membantu untuk
diskontinuitas penggunaan antimikroba empirik pada pasien yang klinis sepsis
namun tidak ada cukup bukti infeksi. Penggunaan antibiotik yang dapat mencegah
pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki keuntungan, terutama pada
keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat pelepasan endotoksin,
misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ. Patogen bakteri yang resisten
terhadap beberapa obat seperti Acinetobacter dan Pseudomonas spp.
Pada pasien infeksi berat yang berhubungan dengan gagal pernafasan dan
syok septik, kombinasi terapi dengan spektrum beta laktam dan aminoglikosida
atau fluoroquinolon disarankan uuntuk P. Aeruginosa.
Kombinasi beta-laktam dan makrolid untuk pasien dengan syok septik dari
infeksi bakteri Steptococcus pneumoniae. Terapi kombinasi empiris ini sebaiknya
tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. De-eskalasi menggunakan single-agent terapi
yang tepat setelah ada profil patogen yang kemungkinan menginfeksi
teridentifikasi. Terkecuali, pada monoterapi aminoglikosida, khususnya pada P.

19
Aeruginosa karena untuk mencegah endocarditis, maka prolong terapi harus
dilakukan. Durasi dari terapi antibiotik adalah 7-10 hari. Penentuhan meneruskan,
menurunkan, atau menghentukan terapi intimikrobial tergantuk pada informasi
klinis pasien.
Terapi antiviral diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan sepsis
berat atau syok septik dengan penyebab virus.
- terapi antiviral pada pasien dengan influenza berat, dan resiko tinggi
untuk komplikasi - terapi dengan neuraminidase inhibitor (oseltamivir dan
zanamivir) untuk H1N1 virus, influenza A(H3N2), influenza B.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan
data mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada
bukti bahwa terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
Indikasi terapi kombinasi yaitu:
 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat patogen
(Pseudomonas aureginosa, Enterokokus)
3. Kontrol Sumber Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi
dibutuhkan sebagai pertimbangan untuk mengendalikan kontrol sumber untuk
didiagnosis atau dieksklusi sesegera mungkin dan intervensi harus dilakukan pada
kontrol sumber dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan. Misalnya
infeksi jaringan lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis).
4. Pencegahan Infeksi Dekontaminasi oral selektif dan dekontaminasi
pencernaan selektif harus diketahui dan diinvestigasi sebagai metode untuk
mengurangi kasus pneumonia yang terkait ventilator. Hal ini harus menjadi
perhatian pada pelayanan kesehatan secara efektif.
Glukonat klorhexidin chlorhexidine gluconate (CHG) oral dapat
digunakan sebagai dekontaminasi orofaring untuk mengurangi resiko pneumonia
yang terkait ventilator pada pasien dengan sepsis berat di ICU. Pencegahan lain
meliputi penanganan perawatan selama di ICU, pengguunaan kateter, managemen
jakan nafas, pengangkatan kepala di kasur, suction.
5. Terapi suportif

20
a. Oksigenasi Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai
dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik
segera dilakukan.
b. Terapi cairan Kristaloid adalah cairan pertama yang sebagai pilihan
untuk resusitasi pada sepsis berat dan syok septik. Oksigenasi pada keadaan
hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau
kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
 Tidak menggunakan hydroxyethyl starches untuk resusitasi cairan pada
sepsis berat dan syok septik.
 Albumin dalam resusitasi cairan untuk sepsis berat dan syok sepsis
ketika pasien membutuhkan jumlah substansial dari kristaloid.
 Target cairan pertama pada pasien dengan sepsis mengakibatkan
hipoperfusi jaringan dengan dugaan hipovolemia adalah mencapai minimal 30
ml/kg dari kristaloid. Pemberian yang lebih cepat dan jumlah cairan yang lebih
banyak mungkin dibutuhkan oleh beberapa pasien.
Vasopresor Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial
rata-rata (MAP) 65 mmHg. Norepinephrine merupakan pilihan utama
vasopressor. Epinefrin (ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi dari
norepinefrin) digunakan ketika agen tambahan dibutuhkan untuk menjaga tekanan
darah yang memadahi. Vasopresin 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada
norepinefrin dengan tujuan untuk menaikkan MAP atau menurunkan dosis
norepinefrin. Dopamin dapat menjadi alternative vasopressor selain norepinefrin
hanya pada pasien tertentu. Misalnya pada pasien dengan resiko rendah
takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan
pada pengobatan syok septik kecuali pada lingkup dimana norepinefrin yang
berhubungan dengan aritmia yang serius, curah jantung diketahui akan tinggi atau
tekanan darah akan secara persisten rendah, atau sebagai terapi penyelamat ketika
kombinasi obat inotropic atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah telah
gagal untuk mencapai target MAP. Dopamin dosis rendah seharusnya tidak
digunakan untuk proteksi renal.
d. Terapi Inotropik

21
Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit
diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam keadaan
disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena peningkatan tekanan
pengisian jantung dan curah jantung yang rendah atau gejala hipoperfusi yang
terus menerus, meskipun mencapai volume intravascular secara adekuat dan MAP
yang cukup.
e. Kortikosteroid
Sebaiknya tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati
pasien dewasa syok septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi vasopressor
dapat menjaga kestabilan hemodinamik. Jika hal tersebut tidak tercapai,
direkomendasikan untuk memakai hidrokortison saja dengan dosis 200mg per
hari. Tidak diperbolehkan menggunakan tes stimulasi ACTH untuk
mengidentifikasi orang dewasa dengan syok septik yang seharusnya menerima
hidrokortison. Pasien dalam terapi hidrokortison diturunkan dosisnya jika
vasopressor tidak lagi digunakan. Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi
sepsis tanpa syok.
f. Pemberian produk darah
Setelah hipoperfusi jaringan telah diselesaikan dan jika tidak ada keadaan
khusus, seperti iskemia miokardial, hipoksemia yang berat, perdarahan akut, atau
penyakit jantung iskemik, direkomendasikan bahwa transfusi sel darah merah
hanya dilakukan ketika konsentrasi Hb menurun hingga <7 g/dl dan untuk
mencapai target Hb 7-9 g/dl pada orang dewasa. Tidak dianjurkan untuk
menggunakan eritropoietin sebagai terapi spesifik dari anemia terkait sepsis. FFP
tidak diberikan untuk mengkoreksi abnormalitas pembekuan pada kondisi tidak
perdarahan atau prosedur invasif terencana. Pada pasien dengan sepsis berat,
diberikan profilaksis platelet jika jumlahnya <10.000/mm3 (10x109/L) pada
kondisi tidak ada perdarahan. Disarankan untuk transfusi trombosit profilaksis
jika jumlahnya <20.000/mm3 (20x109/L) jika pasien memiliki resiko perdarahan
yang signifikan. Jumlah trombosit yang lebih tinggi (≥50.000/mm3) disarankan
pada perdarahan aktif, pembedahan, atau prosedur invasif.
g. Imunoglobulin

22
Tidak menggunakan imunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan
sepsis berat atau syok septik
h. Selenium
Tidak menggunakan selenium intravena untuk pengobatan sepsis berat.
i. Kontrol gula darah
j. Pendekatan menurut protocol dalam manajemen glukosa darah pada
pasien sepsis berat di ICU memerlukan insulin jika hasil tes gula darah dua kali
berturut turut ≤180 mg/dl. Protokol ini mengharuskan target gula darah mencapai
≤180mg/dl daripada ≤110 mg/dl. Nilai glukosa darah dimonitor setiap 1-2 jam
hingga nilai glukosa dan pemberian insulin stabil dan kemudian setiap 4 jam.
k. Renal Replacement
Therapy Terapi pengganti ginjal yang berkelanjutan dan hemodialisis
intermiten adalah setara dengan pasien dengan sepsis berat dan gagal ginjal akut.
Dapat terus melakukan terapi untuk mengatur keseimbangan cairan dalam pasien
sepsis yang tidak stabil hemodinamiknya.
i. Bikarbonat
Tidak menggunakan sodium bikarbonat untuk tujuan memeperbaiki
hemodinamik atau mengurangi kebutuhan vasopresor pada pasien dengan
hipoperfusi yang menyebabkan asidemia laktat dengan pH ≥7,15. m. Profilaksis
DVT (Deep Vein Thrombosis) Pasien dengan sepsis berat menerima
farmacoprofilaksis harian terhadap tromboemboli vena (VTE). Hal ini harus
dilakukan dengan low molecular weight heparin (LMWH) secara subkutan. Jika
nilai creatinine clearance adalah <30 mL / menit, dapat menggunakan dalteparin
atau bentuk lain dari LMWH yang memiliki tingkat metabolisme ginjal rendah
atau UFH.
Pasien dengan sepsis berat diobati dengan kombinasi terapi farmakologis
dan perangkat kompresi penumatik intermiten jika memungkinkan. Pasien sepsis
yang memiliki kontraindikasi untuk digunakannya heparin (misalnya,
trombositopenia, koagulopati yang parah, perdarahan aktif, perdarahan
intraserebral baru-baru ini) tidak menerima farmakofilaksis, tetapi menerima
pengobatan profilaksis mekanik, seperti stoking kompresi atau perangkat

23
kompresi intermiten , kecuali kontraindikasi. Ketika resiko menurun,
farmakofilaksis dapat dimulai. n.
Profilaksis stress ulcer Dapat menggunakan H2 blocker atau PPI pada
pasien dengan sepsis berat atau syok septik yang memiliki faktor resiko
perdarahan. Ketika profilaksis ini digunakan, PPI lebih dipilih daripada H2RA.
Pasien tanpa faktor resiko tidak memerlukan profilaksis.
Nutrisi Berikan makanan oral atau enteral yang dapat ditoleransi daripada
puasa total atau provisi dari hanya glukosa intravena dalam 48 jam pertama
setelah diagnosis sepsis berat/syok sepsis ditegakkan. Makanan tinggi kalori harus
dihindari dalam minggu pertama tetapi lebih direkomendasikan untuk dosis
rendah (hingga 500 kal/hari) sesuai toleransi. Pemberian glukosa intravena dan
nutrisi enteral lebih baik daripada hanya TPN (Total Parenteral Nutrition) atau
nutrisi parenteral dengan konjungsi dengan makanan enteral pada 7 hari pertama
setelah didiagnosis sepsis berat atau syok septik. Gunakan nutrisi tanpa suplemen
imunomodulasi yang tidak spesifik daripada nutrisi dengan suplemen
imunomodulasi pada pasien dengan sepsis berat.

2.9 Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari. Potensi
komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome) Milieu inflamasi dari
sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya cairan
inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas, mempermudah
timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian, dengan hasil akhir
gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia. Komplikasi ALI/ ARDS timbul
pada banyak kasus sepsis atau sebagian besar kasus sepsis yang berat dan
biasanya mudah terlihat pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru
bilateral yang konsisten dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada
mulanya tidak memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin
memerlukannya jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi
cairan.

24
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Pada DIC yang disebabkan
oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus sebagai bagian
respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem fibrinolitik, yang
normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade pembekuan,
diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana kedua sistem.
diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru terbentuk, lalu
diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan trombosit
dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian, pasien berisiko
mengalami komplikasi akibat thrombosis dan perdarahan. Timbulnya
koagulopati pada sepsis berhubungan dengan hasil yang lebih buruk.
3. Gagal jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung
molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis
memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu
sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama
pada pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor
(yang paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna
berhati-hati bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidakj dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi
sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status
hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5. Gagal ginjal
Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang utama terjadinya
gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang dimanifestasikan sebagai oliguria,
azotemia, dan sel-sel peradangan pada urinalisis. Jika gagal ginjal
berlangsung berat atau ginjal tidak mendapatkan perfusi yang memadai,
maka selanjutnya terapi penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis)
diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorgan

25
Disfungsi dua sistem organ atau lebih sehingga intervensi diperlukan
untuk mempertahankan homeostasis.
 Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh infeksi
atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan fungsi
jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
 Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau ARDS
pada keadaan urosepsis.

26
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. U
Usia : 72 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Susoh
Agama : Islam
Suku : Aceh
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal masuk Rumah Sakit : 15 Desember 2019
3.2 Anamnesis ( Aloanamnesis)
Keluhan utama
Penurunan kesadaran ± 2 hari
Keluhan tambahan
Demam ± 1 minggu
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien dataang dibawa oleh keluarga ke IGD RSUTP pada tanggal
09 Desember 2019 dengan keluhan penurunan kesadaran sejak ± 2 hari
yang lalu. Sebelumnya keluarga pasien mengatakan bahwa pasien
mengalami demam yang naik turun sejak kurang lebih 1 minggu terakhir.
Nafsu makan berkurang, lemas, dan pasien sudah tirah baring ditempat
tidur ± selama 3 bulan terakhir.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien memiliki riwayat hipertensi dan stroke.
Riwayat penyakit keluarga

27
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan
pasien.
Riwayat penggunaan obat
Pasien tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan

Pemeriksaan umum
Primary Survey

A. Airway

Snoring (+)

B, Breathing: Spontan, Takipneu RR 28 kali/menit

Hemitoraks dextra Hemitoraks sinistra


Inspeksi Simetris, jejas tidak ada
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus melemah
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Vesikuler menurun, Vesikuler menurun,
Rhonki (+), Wheezing (-) Rhonki (+), Wheezing (-)

Circulation: Tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 109 kali/menit, T:


38,5oC
akral dingin, CRT <3 detik, Output urin <0,5 ml/kg
Dissability: Samnolen

, pupil bulat isokor (3 mm/3 mm), RCL dan RCTL (+/+)

Exposure:

 S/L ar facialis:

Upper face

L: Wound (-), Simetris (+), Jejas (-), hematom (-), swelling (-)

F: nyeri (-)

Middle face

28
L: Wound (-), Simetris (+), Jejas (-), hematom (-), swelling (-)

F: nyeri (-)

Lower face

L: Simetris (+), swelling dan hematom (+) kanan mandibula,

F: nyeri (+), Maloklusi (-), cross bite (-), open bite (-)

 S/L ar Abdomen:

I: simetris (+), distensi (-), jejas (-)

A: Bising usus (+)

P: defans muskular (-), nyeri tekan (+) regio kanan atas

P: Timpani (+)

 S/L ar Pelvic

I: simetris, jejas (-), wound (-), swelling (+)

F: nyeri (+)

Secondary Survey
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva palpebral inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Luka (-)
Hidung : Sekret (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)
Thorax :
Inspeksi : simetris, jejas (-)
Palpasi : nyeri tekan (-) dan krepitasi (-), Sf kanan > Sf kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler (↓/↓), rhonki (+/+), wheezing (-/-)
Cor :

29
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat di ICSV linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan di linea parasternalis dekstra, batas
jantung kiri di ICS V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : BJI> BJ II, regular (+), bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : simetris, distensi (-)
Palpasi : soepel, nyeri tekan (+), hepar/lien/renal tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : peristaltik (+) , bising usus (-)
Ekstremitas:
Ekstremitas superior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin (-/-)
Ekstremitas inferior : sianosis(-/-), edema(-/-), pucat(-/-), akral dingin(-/-)
Laboratorium

Nilai Rujukan
Hemoglobin 14,0-17,0 g/dL 10,0
Hematokrit 45-55 % 34
Eritrosit 4,7-6,1 106/mm3 4,3
Leukosit 4,5-10,5 103/mm3 22,7
Trombosit 150-450 103/mm3 100
Eosinofil 0-6 % 0
Basofil 0-2 % 0
Netrofil Segmen 50-70 % 87
Netrofil Batang 2-6 % 0
Limfosit 20-40 % 9
Monosit 2-8 % 4
Ureum 13-43 mg/dL 49,8
Kreatinin 0,67-1,17 mg/dL 2,19
Natrium 132-146 mmol/L 136
Kalium 3,7-5,4 mmol/L 3,8
Clorida 98-106 mmol/L 106
Kgd <200 127
3.4 Diagnosis Kerja

Syok septik ec Pneumonia


3.5 Terapi

Nonmedikamentosa:

- Head up 30 drajat

30
- Pemasangan O2 sungkup 6 liter/menit
- Pemasangan kateter urin
- Pemasangan NGT
Medikamentosa:
-Infus RL 1000 cc/24 jam
-Infus NaCl 500 cc/24 jam
- Infus Aminofluid 500 cc/24 jam
- Infus Paracetamol/8 jam
- Inj. Meropenem 1 amp/8 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 gr /12 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
3.6 Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad malam

Quo ad Functionam : Dubia ad malam

Quo ad Sanactionam : Dubia ad malam

3.7 Follow-Up Harian


Tanggal S O A Th

16 Pasien masih TD: 100/80 Sepsis ec -Infus RL 1000


Desember tidak sadar mmHg pneumonia cc/24 jam
2019 N: 102 -Infus NaCl 500
kali/menit cc/24 jam
RR: 26 - Infus Aminofluid
kali/menit 500 cc/24 jam
T: 37,6oC -Infus
S/L ar Paracetamol/8 jam
Thorax -Inj. Meropenem 1
I: Simetris amp/8 jam
P: SF kanan -Inj. Ceftriaxone 1
menurun gr /12 jam
P: sonor -Inj. Ranitidin 50

31
(+/+) mg/12 jam
A: Ves (↓/↓),
rhonki (-/-),
wheezing
(-/-)
17 TD: Sepsis ec -Infus RL 1000
Desember 100/860mmH Pneumonia cc/24 jam
2019 g -Infus NaCl 500
N: 106 cc/24 jam
kali/menit - Infus Aminofluid
RR: 26 500 cc/24 jam
kali/menit -Infus
T: 37,5oC Paracetamol/8 jam
S/L ar -Inj. Meropenem 1
Thorax amp/8 jam
P: SF ka = ki -Inj. Ceftriaxone 1
P: sonor gr /12 jam
(+/+) -Inj. Ranitidin 50
A: Ves (/), mg/12 jam
rhonki (+/+),
wheezing
(-/-)

32
BAB IV
PEMBAHASAN
Keluhan pada Ny. U dengan sepsis dan pneumonia dapat berupa hipotensi,
demam atau hipotermia, peningkatan laju nadi, takipneu. Keluhan tipikal tersebut
didapat pada pasien Ny. U yaitu berupa keluhan penurunan kesadaran disertai
demam tinggi yang memburuk seiring berjalannya waktu dan sesak napas serta
peningkatan laju nadi. Terdapat faktor risiko yang didapat pada pasien tersebut,
yaitu adanya riwayat tirah baring lama dan riwayat demam yang berulang sejak 1
minggu terakhir. Perubahan yang terjadi pada system respirasi akibat tirah baring
dapat membuat komplikasi paru-paru. Komplikasi paling sering adalah pneumonia.
Pneumonia dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan sepsis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru (pneumonia). Pada
pasien dengan tirah baring lama, adanya penurunan kemampuan pasien untuk
batuk produktif, sehingga penyebaran mucus dalam broncus meningkat, terutama
pada pasien posisi telentang, telungkup, atau lateral. Tirah baring yang lama
meningkatkan resiko terbentuknya ateletasis absorbsi, karena berbaring
menyebabkan terbentuknya secret didaerah tersebut berkurang. Akumulasi mucus
dapat meningkatkan resiko pneumonia karena mucus dapat berfungsi psebagai
perkembangbiakan organisme.
Selain itu juga beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan sepsis
diantaranya yaitu usia diatas 65 tahun dengan insidensi cenderung meningkat pada
usia tersebut, jenis kelamin juga berhubungan dengan tingkat kejadian sepsis
dimana laki-laki lebih berisiko 2 kali menderita sepsis dibandingkan wanita, penyakit
komorbid, genetik, terapi kortikosteroid, kemoterapi dan obesitas.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan darah rutin dan didapatkan bahwa
terjadi peningkatan leukosit (leukositosis) yaitu 22,7 x 103 /uL (H) yang menunjukkan
adanya respon inflamasi terhadap infeksi dari tubuh pasien. Peningkatan cepat ini
dipacu oleh adanya infeksi yang menyebabkan pelepasan leukosit khususnya
neutrofil dari sumsum tulang dan juga karena kontrol granulosit-macrophage colony
stimulating factor (GCSF) yang dikeluarkan oleh limfosit dan monosit pada saat
terjadi infeksi. Dan didapatkan kadar hemoglobin yang tidak normal yaitu 10,0 g/dL

33
(L) menunjukkan bahwa adanya gangguan pada perfusi jaringan. Untuk memiliki
kapasitas pembawa oksigen yang cukup pasien membutuhkan jumlah sel darah
merah yang cukup. Pada pasien dengan sepsis kadar hematokrit dan hemoglobin
akan bervariasi karena pergesaran cairan antara kompartemen dalam tubuh, dan
seiring waktu nilai sel darah merah akan lebih rendah karena produksi sel darah
merah dan kelangsungan hidupnya akan menurun selama sepsis. Terjadi penurunan
trombosit pada pasien ini yaitu 100 x 103 /uL (L) yang menunjukkan disfungsi organ
dimana respon tubuh terhadap inflamasi sistemik adalah meningkatkan jumlah
trombosit sebagai kompensasi terhadap kebocoran vaskular akibat inflamasi
sistemik tersebut yang pada akhirnya dapat mengakibatkan penurunan jumlah
trombosit secara keseluruhan. Mediator inflamasi menyebabkan ekspresi tissue
factor (TF) yang secara langsung mengaktifkan jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui
lengkung umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik.
Hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut saling berkaitan dan sama, yaitu protrombin
diubah menjadi trombin dan fibrinogen diubah menjadi fibrin. Akibat konsumsi
berlebihan faktor-faktor koagulasi ini maka sepsis sering menyebabkan komplikasi
yang disebut Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Trombosit akhirnya
dipakai secara berlebihan dalam proses DIC tersebut sehingga menyebabkan
jumlahnya berkurang dalam sirkulasi. Trombositopenia juga terjadi akibat proses
destruksi yang berlebihan, serta penekanan pada sumsum tulang sehingga terjadi
kegagalan produksi trombosit. Trombositopenia ini sering merupakan petanda awal
dari sepsis.
Pada pasien ini didiagnosis dengan syok septik ec pneumonia karena
pneumonia dikaitkan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan sepsis.
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru (pneumonia).
Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang
sesuai, Resusitasi pada pasien harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan
hipoperfusi. Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien
sepsis-induced hypoperfusion adalah
1) Tekanan vena sentral (CVP) 8-12mmHg

34
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians ventrikular
yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal tinggi, target CVP nya
lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.
2) Tekanan arterial rata-rata (MAP) ≥65mmHg
3) Saturasi oksigen vena sentral (SavO2) ≥70% Saturasi oksigenisasi superior
vena cava (Scvo2) atau mixed venous oxygen saturation (SvO2) 70%
or 65%,
4) Urine output ≥0,5ml/kg/jam (menggunakan transfusi, agen inotropik, dan
oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi mekanik).
Pada pasien diberikan terapi antibiotic golongan betalaktam, menurut teori
pemberian terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama
sejak diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur
diambil. Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan
mortalitas. Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki
aktivitas melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan dapat penetrasi ke
tempat yang diduga sumber sepsis. Menghambat aktivitas bakteri dengan
menghambat sintesis dinding sel gram-positif and gram-negatif. Meropenem
adalah salah satu jenis antibiotik yang digunakan untuk mengobati berbagai jenis
infeksi yang khusus disebabkan oleh bakteri. Obat ini dapat digunakan untuk
mengobati kondisi neutropenia febril, yaitu kondisi demam yang disertai dengan
penurunan jumlah sel darah putih jenis netrofil.

35
BAB V
KESIMPULAN

Sepsis adalah keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dikarenakan


respon tubuh terhadap infeksi yang mengalami disregulasi. Sepsis adalah masalah
kesehatan utama di dunia yang menyerang jutaan orang di dunia setiap tahunnya dan
menyebabkan kematian pada 1 dari 4 orang.
Pengenalan dan penanganan awal untuk sepsis dan septik syok akan meningkatkan
prognosis yang baik. Pengawasan terus menerus terhadap tanda vital, saturasi
oksigen, dan jumlah urin yang dihasilkan termasuk pemeriksaan laboratorium seperti
pemeriksaaan akan adanya laktat asidosis, disfungsi ginjal dan hepar, abnormalitas
koagulasi, gagal nafas akut harus dilakukan sesegera mungkin pada pasien yang
dicurigai menderita sepsis. Pengenalan tanda dan sumber infeksi harus dilakukan
secara bersamaan. Dan pemberian antibiotik harus diberikan sesegera mungkin.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Bataar O, Lundeg G, Tsenddorj G, Jochberger S, Grander W, Baelan I, et al.


Nationwide survey on resource availability for implementing current sepsis
guidelines in Mongolia. [Internet]. 2010 . [cited 2018 Jan 5].

2. Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care
TSS. 2017; 1(1): 3-5.

3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.


Riset kesehatan dasar 2013. 2013. Hal. 65

4. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL,
et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe
sepsis. N Eng J Med. 2001; 344 (10): 699-709.

5. Vincent JL, Moreno R, Takala J, Willatts S, De Mendonca A, Bruining H, et


al.The SOFA (sepsis-related organ failure assessment) score to describe organ
dysfunction/ failure. Intensive Care Med. 1996; 22: 707-10.

6. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Hari MS, Annane D, Bauer M, et


al. The third international concensus definitions for sepsis and septic shock
(sepsis-3). JAMA. 2016: 315 (8): 801-10.

7. Dries JD, editors. Fundamental Critical Care Support. 5nd ed. Mount
Prospect: Third Printing; 2014.

37

Anda mungkin juga menyukai