Anda di halaman 1dari 8

REFERAT

HUBUNGAN ANTARA HIPOALBUMINEMIA PERIOPERATIVE


DENGAN KEJADIAN AKI

Oleh :

dr. Muhamad Akbar Sidiq

pembimbing

dr. Rudy Vitraludyono SpAn

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2020
Albumin

Albumin merupakan molekul yang penting dalam kondisi fisiologis dan patofisiologis.
Albumin memiliki berbagai macam efek, antara lain regulasi tekanan osmotic, karier molekul
yang larut air seperti hormon, kolestrol, kalsium, zat besi, bilirubin, asam lemak bebas serta
memiliki property antioksidan1

Struktur

Abumin memiliki struktur rantai peptide tunggal yang terdiri dari 585 asam amino. Berat
molekul albumin adalah 66 kDA. Dalam larutan, jembatan disulfide menciptakan tiga domain
yang masing-masing mengandung dua subdomain yang bergerak relatif ke satu sama lain,
membuat molekul ellipsoid yang sangat fleksibel dan memfasilitasi ikatan dengan berbagai
substansi. Bentuk ellipsoid ini membuat molekul albumin non viscous dan fleksibel, dan
membantu albumin mempertahankan bentuk dari sel darah merah. Albumin pada pH 7,40
bersifat negatif. Dengan konsentrasi plasma sekitar 4g/dL, albumin merepresentasikan sekitar
60% dari total protein plasma.1

Sintesis

Albumin terutama disintesis di liver sekitar 12 sampai 20 g per hari. Setelah sintesis, albumin
didistribusikan ke kompartemen intravaskuler dan ekstravaskuler. Komponen intravaskuler
mengandung 40% dari total albumin, sementara pada cairan intestitial di mana konsentrasi
albumin lebih rendah (1,4g/dL) namun memiliki volume lebih besar, mengandung 60%
albumin. Otot dan kulit mengandung sekitar 15% total albumin. Albumin tidak disimpan
dalam tubuh, sehingga tidak ada cadangan albumin. Kapasitas sintesis pada liver yang sehat
sekitar 30% dari total, sehingga peningkatan 2,5-3 kali dalam situasi yang peningkatan
kehilangan albumin atau peningkatan kebutuhan. Regulator utama pada sintesis albumin
adalah tekanan osmotic koloid, namun sintesis albumin bergantung dari beberapa factor :
status nutrisi individu, dengan ketersediaan asam amino dan kalori sebagai factor yang
penting. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kondisi hormon; growth hormone,
adrenocorticopic hormone, insulin, dan testosterone. Kondisi inflamasi, dengan sitokin
inflamasi, seperti tumor necrosis factor dan interleukin mengurangi ketersediaan RNA
messenger albumin, sehingga menurunkan sintesis albumin.1
Metabolisme

Jumlah total albumin pada individu dewasa dalam satu waktu adalah sekitar 300g. Terdapat
pergerakan konstan albumin intravascular dan ekstravaskular, dengan sejumlah total
kandungan plasma (120g) keluar dari intravaskuler tiap harinya; dan kebanyakan ekmbali
melalui system limfatik. Mekanisme keluarnya albumin dari intravaskuler ke ruang intestitial
merupakan proses yang kompleks, yang dipengaruhi oleh tekanan hidrostatik, tekanan
osmotic koloid, dan ukuran porus di kapiler, yang berbeda-beda di tiap jaringan. Sekitar 50%
albumin di katabolisasi di otot dan kulit, 15% di liver, dan 10% hilang melalui system
digestif. Pada individu yang sehat, sangat kecil atau bahkan tidak ada kehilangan albumin
yang terjadi. Half life dari albumin adalah 18-20 hari. 1

Efek Fisiologis Albumin


Mempertahankan colloid osmotic pressure (COP)
Adanya COP adalah akibat lebih tingginya konsentrasi protein dalam darag, dengan
konsentrasi di plasma sekitar 7g/dL dibandingkan konsentrasi 2-3g/dL di cairan intersisial.
Albumin sebagai protein transport
Struktur albumin membuatnya dapat mengikat berbagai macam molekul. Molekul endogen
yang berikatan dengan albumin antara lain garam empedu, metaboli asam arakidonat, vitamin
Dm asam lemak, hormone, dan logam penting. Selain itu, albumin juga berperan sebagai
transport sekunder atau tersier untuk substansi lain yang memiliki protein transport primer,
contohnya tiroksin. Albumin juga mengikat dan mentranspor nitric oxide (NO). Albumin
juga berperan dalam transport berbagai obat antara lain antibiotic, obat antiepilepsi,
antikoagulan dan sedatif. 1
Albumin sebagai antioksidan
Albumin memiliki efek antioksidan yang signifikan, Beberapa efek tersebut dicapai dengan
pengikatan molekul seperti besi dan tembaga, sehingga lebih sulit bereaksi dengan oksigen
menjadi spesies oksigen reaktif.
Albumin sebagai antikoagulan
Albumin memiliki efek antikoagulan yang mirip dengan heparin, namun jauh lebih tidak
poten, yaitu memperkuat netralisasi factor Xa oleh antithrombin. Albumin juga menghambat
agregasi platelet.
Efek protektif pada mikrosirkulasi
Albumin dapat melindungi mikrovaskuler dan mengurangi permeabilitas vaskuler melalui
efek antioksidan dan efek antiinflamasinya. Albumin juga mempengaruhi jalannya molekul
melalui mikrovaskuler, dengan arus negative pada albumin menolak molekul negative lain
pad amembran, atau dengan berikatan dengan sel endotel sehingga mengurangi ukuran
lubang pada vaskuler.
Fisiologi Albumin pada Pasien Kritis
Pada pasien kritis, banyak aspek dari fisiologi albumin yang terganggu. Sintesis albumin
berkurang akibat malnutrisi dan disfungsi liver serta perubahan prioritas sintesis protein
inflamasi. Mediator inflamasi juga dapat mempengaruhi secara langsung transkripsi gen yang
berperan dalam sintesis albumin. Terdapat peningkatan degradasi albumin dan hilangnya
labumin melalui system digestif, perdarahan, dll.
Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler, khususnya pada kondisi respon inflamasi seperti
sepsis, menganggu distribusi albumin. Albumins erum menjadi berkurang dan pasien kritis
seringkali dalam kondisi hipoalbumin. Hipoalbumin berasosiasi dengan meningkatnya
komplikasi dan prognosis yang buruk pad pasien dengan dialysis, pasien dengan gagal
jantung sistolik, pasien yang menjalani pembedahan dengan karsinoma, pasien denfgan
cedera kepala beratm pasien dengan perdarahan saluran cerna atas, pasien menjalani
cardiopulmonary bypass, dan pasien kritis secara umum. 1
Acute Kidney Injury (AKI)
AKI (Acute Kidney Injury) merupakan komplikasi yang sering pada operasi non kardiak
dengan insidens antara 6,8 – 39,3%. Beberapa factor risiko terjadinya AKI antara lain usia
tua, CKD sebelumnya, diabetes, sepsis, operasi mayor, dan instabilitas hemodinamik.
Beberapa bukti menunjukkan bagwa AKI secara independent berhubungan dengan waktu
rawat yang lebih lama, komplikasi menjadi CKD dalam satu tahun, dan mortalitas yang
tinggi sesuai dengan derajat AKI. Tindakan preventif dengan identifikasi factor risiko AKI
menjadi pilihan pada pasien dengan risiko tinggi. 2
AKI adalah suatu sindrom di mana terjadi penurunan fungsi ginjal secara cepat dalam
hitungan jam atau hari. AKI ditandai dengan peningkatan kreatinin serum dan penurunan
produksi urin. Klasifikasi AKI terus berkembang mulai kriteria RIFLE, AKIN dan hingga
sekarang sesuai KDIGO. 1

AKI merupakan penyakit sistemik akut yang menyebabkan konsekuensi berat terhadap organ
lainnya, dan menimbulkan efek signifikan jangka pendek ( abnormalitas cairan, elektrolit,
asam basa, akumulasi toksin ureum, peningkatan sitokin, inflamasi sistemik) dan jangka
Panjang (infark miokard, CKD, mortalitas). 2

Penyebab AKI antara lain penyebab yang didapat seperti infeksi ( malaria,dengue,
pneumonia), penyakit glomerular akut, dan trauma. Penyebab lainnya adalah pembedahan,
perdarahan, sepsis, dan toksisitas obat. Patogenesis AKI bersifat multifactorial dan beberapa
factor risiko dapat diidentifikasi, baik bisa diubah (dehidrasi, hypovolemia, hipotensi,anemia
hipoksia) serta yang tidak dapat diubah ( usia, jenis kelamin,pembedahan sebelumnya) 2

Hipoalbuminemia dan AKI

Hipoalbuminemia merupakan factor risiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas


pada pasien penyakit akut. Hubungan antara hypoalbuminemia dengan AKI telah secara
konsisten terbukti pada banyak penelitian observasional. Walaupun mekanisme terjadinya
AKI pada hipoalbumin belum bisa sepenuhnya dimengerti, serum albumin mungkin berperan
mempertahankan perfusi renal, mempertahankan integritas dan fungsi tubulus proksimal,
pengikatan toksin dan obat-obat nefrotoksik, pencegahan kerusakan oksidatif, dan
pengantaran asam lisofosfatidik protektif. Karena itu, hipoalbumin perioperative mungkin
merupakan factor risiko terjadinya AKI pada pasien operasi non kardiak2

Kriteria yang dilihat adalah terjadinya AKI postoperative. AKI dan tingkat keparahannya
didefinisikan berdasarkan kriteria Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)
menggunakan perubahan nilai kreatinin serum dan produksi urin dalam 7 hari pertama.

Hal utama lainnya yang dilihat adalah pengguanan ventilator mekanik dan durasinya,
lamanya perawatan di ICU, jumlah komplikasi postoperative lain yang terjadi. Komplikasi
postoperative lainnya adalah indeksi paru, efusi pleura, atelectasis, gagal nafas, CHF,
insufisiensi hemodinamik2
Insidens AKI pada pasien dengan albumin serum <37,5g/dL secara signifikan lebih tinggi
daripada pasien dengan serum albumin >37,5 dengan Odds ratio 2,2 (95% CI 1,624 – 3,194)

Hasil dari studi retrospektif ini menunjukkan bahwa hypoalbuminemia perioperative


berhubungan dengan AKI postoperative pada operasi non kardiak. Selain itu, tingkat AKI
yang lebih berat ditemukan pada pasien dengan hypoalbuminemia.

Ada beberapa mekanisme yang bisa menjelaskan hubungan antara hypoalbuminemia dan
AKI. Albumin berfungsi sebagai scavenger dari ROS (reactive oxygen species) dan memiliki
efek antiinflamasi, sehingga membatasiterjadinya apoptosis sel tubular. Beberapa data juga
menunjukan bahwa integritas dari glycocalyx dapat terganggu pada pasien dengan
hypoalbuminemia, sehingga menyebabkan hilangnya gradien tekanan onkotik, kebocoran
cairan ke intersisial, dan gangguan aliran mikrovaskuler. Selain itu, ligase dari toksin
endogen, modulasi nitric oxide, serta efek farmakodinamik dan farmakokinetik dari albumin
juga memilik peran dalam proteksi renal.

Batas hypoalbuminemia berbeda-beda antar studi. Suatu penelitian menetapan nilai batas
37,5g/L dengan nilai sensitivitas 0,54 spesifisitas 0,67 dan positive predictive value 0,36.
Pada pasien dengan komorbid yang lebih berat atau menjalankan operasi mayor, toleransi
terhadap hipoalbumin lebih rendah terhadap terjadinya AKI, sehingga membutuhkan nilai
albumin yang lebih tinggi untuk proteksi renal perioperative.

Sampai sekarang, belum ada tatalaksana yang benar-benar efektif untuk AKI. Oleh karena iti,
identifikasi factor risiko dan pencegahan terjadinya AKI merupakan pilihan utama pada
praktik klinis. Beberapa studi menunjukkan keuntungan mengoreksi hypoalbuminemia untuk
proteksi renal. Pada suatu penelitian dilakukan perbandingan pemberian albumin 20%
dibandingkan dengan normal saline pada pasien hypoalbuminemia (<4,0) yang menjalani
operasi CABG. Didapatkan insidens AKI lebih rendah pada pasien yang mendapatkan
koreksi albumin 20%. Analisis multivariat logistic menunjukkan efek proteksi renal pada
pemberian albumin infus dengan pengurangan risiko AKI sebesar 60%. Cara lain dalam
meningkatkan status albumin perioperative adalah dengan memperbaiki status nutrisi
preoperative. Pada suatu studi didapatkan pasien dengan hypoalbuminemia memiliki skor
NRS (Nutritional Risk Screening) >3 yang mengindikasikan bahwa malnutrisi merupakan
factor penting terjadinya hypoalbuminemia. 3,4,5
Daftar Pustaka

1. Vincent JL. Relevance of albumin in modern critical care medicine. Best practice &
research Clinical anaesthesiology. 2009 Jun 1;23(2):183-91.
2. Li N, Qiao H, Guo JF, Yang HY, Li XY, Li SL, Wang DX, Yang L. Preoperative
hypoalbuminemia was associated with acute kidney injury in high-risk patients
following non-cardiac surgery: a retrospective cohort study. BMC anesthesiology.
2019 Dec 1;19(1):171.
3. Cochrane Injuries Group. Human albumin administration in critically ill patients:
systematic review of randomized controlled trials. BMJ (Clinical Research Ed.) 1998;
317: 235–240.
4. Wilkes MM & Navickis RJ. Patient survival after human albumin administration. A
meta-analysis of randomized, controlled trials. Annals of Internal Medicine 2001;
135: 149–164.
5. Finfer S, Bellomo R, Boyce N et al. A comparison of albumin and saline for fluid
resuscitation in the intensive care unit. The New England Journal of Medicine 2004;
350: 2247–2256.

Anda mungkin juga menyukai