Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Congestive Heart Failure


2.1.1 Pengertian
Congestive Heart Failure (CHF) adalah ketidakmampuan jantung untuk
memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi
jaringan tubuh, yang disebabkan oleh kelainan sekunder dari
abnormalitas struktur jantung atau fungsinya yang dapat merusak
kemampuan ventrikel kiri untuk mengisi atau mengeluarkan darah
(Maulidta, 2015).

Gagal jantung (Cogestive Heart Failure/CHF) adalah suatu kondisi


ketidakcukupan jantung untuk memenuhi kebutuhan metablolik tubuh
baik saat istirahat ataupun beraktivitas. CHF adalah suatu syndrome
klinis sebagai respon terhadap kegagalan ventrikel, yang ditandai oleh
kongesti pulmonar dan atau kongesti vena sistemik (Marrelli, 2007).
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan jantung yang masih
mampu mempertahankan kapasitas kerja pompa mekaniknya secara
bertahap dan terjadi penurunan kemampuan pompa (Ronny, Setiawan,
& Fatimah, 2009).

2.1.1.2 Etiologi
CHF penyebab utamanya adalah hipertensi dan penyakit arteri
koronaria. Beberapa faktor resikonya adalah kebiasaan merokok,
kurang aktivitas fisik, perubahan pola diet, kelebihan berat badan,
hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, usia, jenis kelamin, dan keturunan
(Kasron & Engkartini, 2019). Kondisi yang mencetuskan adalah
distrimia (takikardi), sebsis, anemia, gangguan tiroid, emboli pumonal,
defisiensi tiamin, penyakit paru kronis, perubahan dosis obat, stres,
endokarditis, miokarditis, perikarditis, retensi cairan, alkohol (Black &
Hawks, 2014). Penyebab kegagalan jantung kongestif dibagi atas 2
kelompok yaitu (1) Gangguang yang langsung merusak jantung seperti
infark miokardium, miokarditis, fibrosis miokardium, dan aneurisma
ventrikular. (2) Gangguan yang menyebabkan kelebihan beban
ventrikel. Kelebihan beban ventrikel dibagi atas preload, afterload
(Baradero, Dayrit & Siswandi, 2008).

Preload yaitu volume darah ventrikel pada akhir diastole. Kontraksi


jantung menjadi kurang efektif bila volume ventrikel sudah melampaui
batasnya. Mingkatnya preload dapat diakibatkan oleh regurgitasi aorta
atau mitral, terlalu cepat pemberian cairan infus terutama pada lansia
dan anak kecil. Afterload adalah kekuatan yang harus dikeluarkan
jantung untuk memompakan darah keseluruh tubuh (sistem sirkulasi).
Meningkatnya afterload akibat stenosis aorta, stenosis pulmonas,
hipertensi sistemis, dan hipertensi pulmonal. Penyakit jantung
hipertensif yaitu perubahan pada jantung akibat hipertensi yang terus
berlangsung dan meningkatkan afterload. Jantung membesar sebagai
kompensasi. Hipertensi tidak diatasi menyebabkan gagal jantung
(Baradero, Dayrit & Siswandi, 2008).

Klasifikasi gagal jantung berdasarkan gejala dan intensitas gejalanya


yaitu (1) gagal jantung akut dimana timbulnya secara mendadak,
bisanya selama beberapa hari atau beberapa jam. (2) gagal jantung
kronik perkembangan gejala selama beberapa bulan sampai beberapa
tahun dan menggambarkan keterbatasan kehidupan sehari-hari.
Klasifikasi lain gagal jantung berdasarkan letaknya adalah (1) gagal
jantung kiri merupakan kegagalan ventrikel kiri untuk mengisi atau
mengosongkan dengan benar dan dapat lebih lanjut diklasifikasikan
menjadi disfungsi sistolik dan diastolik. (2) gagal jantung kanan
merupakan kegagalan ventrikel kanan untuk mempompakan darah
ringan. Penyebab gagal jantung kanan yang paling sering terjadi adalah
gagal jantung kiri, tetapi dapat terjadi dengan adanya ventrikel kiri
benar-benar normal. Dapat juga disebabkan oleh penyakit paru dan
hipertensi arteri pulmonary primer (Nurarif & Kusuma, 2015). Berikut
ini terdapat klasifikasi menurut NYHA.
Kelas Keluhan
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik.
I Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas.
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat
II istrahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan
III saat istrahat, tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak.
Tidak dapat melakukan aktifitasfisik tanpa keluhan. Terdapat
IV gejala saat istrahat. Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas

Tabel 2.1 Klasifikasi berdasarkan kapsitas fungsional (NYHA)


(Siswanto, Hersunarti, Erwinanto, Barack, Pratiko, Nauli & Lubis,
2015 ).

2.1.1.3 Patofisiologi
Peristiwa awal yang menurunkan kapasitas pompa. Dimana mekanisme
yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kontraktilitas jantung,
yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal (Black & Hawks, 2014). Dengan terjadinya akibat peristiwa
awal tersebut akan mempengaruhi beban pengisian atau awal (preload)
dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel. Akibatnya menigkatkan
daya kontraksi jantung menjadi lebih kuat. Dan menurunkan
kontaktilitas, sehingga terjadi hambatan pengosongan ventrikel.
Mempengaruhi penurunan cardiac output. (Nurarif & Kusuma, 2015).
Jika curah jantung tidak memenuhi kebutuhan tubuh akan terjadi
kompensasi (Black & Hawks, 2014). Curah jantung yang baik
dijelaskan dengan persamaan cardiac output, fungsi frekuensi jatung
(Heart Rate), dan volume sekuncup (Stroke volume) (Smeltzer & Bare,
2001).
Frekuesni jantung adalah fungsi sistem saraf otonom. Bila curah
jantung berukurang, sistem saraf simpatis akan meningkatkan frekuensi
jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme
kompensasi gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan maka
volume sekuncup yang menyesuaikan diri untuk mempertahankan
curah jantung. Volume sekuncup yaitu jumlah darah yang dipompakan
setiap kontraksi jantung dipengaruhi 3 faktor yaitu preload,
kontraktilitas, dan afterload (Smeltzer & Bare, 2001).

preload jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung


dengan tekanan yang ditimbulkan panjangannya regangan serabut
jantung. Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi
yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium. Afterload mengacu pada
besarnya tekanan pada ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa
darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan
arteriole. Pada gagal jantung jika salah satu dari 3 faktor tersebut
terganggu hasilnya mempengaruhi curah jantung menurun(Smeltzer &
Bare, 2001).

Jika curah jantung tidak cukup, terjadi kompensasi, termaksud respon


neurohormal. Mekanisme ini meningkatkan kontraksi dan
mempertahankan integritas sirkulasi, tetapi jika terus berlangsung
terjadi pertumbuhan otot abnormal dan konfigurasi (remodelling)
jantung. Respon kompensatoris berupa dilatasi ventrikel, peningkatan
stimulasi sistem saraf simpatis, dan aktivasi sistem renin-angiostensin.
(Black & Hawks, 2014). Bila mekanisme sudah dilakukan dan sirkulasi
belum terpenuhi akan terjadi gagal jantung (Rachma, 2014). Berikut ini
penjelasan dari respon kompensatorisnya.

Dilatasi ventrikel. Permulaan dari meningkatan pelepasan


katekolamin meningkatkan curah jantung, baik menambah frekuensi
denyut jantung atau menggeser kurva isovolumetrik sistolik kekiri.
Akhirnya otot jantung mengalami hipertrofi dan volume ventrikel
bertambah yang menggeser kurva diastolik kekanan (McPhee &
Ganong, 2010). Dengan manjangan serabut otot yang meningkatkan
volume di dalam ruangan jantung. Dapat meningkatkan preload dan
curah jantung karena sebuah otot terenggang akan berkontraksi lebih
kuat. Tetapi memiliki keterbatasan kompensasi. Serabut yang
direnggangkan melebihi titik tertentu akan menjadi tidak efektif.
Jantung berdilatasi membutuhkan lebih banyak oksigen, jadi jantung
berdilatasi dengan aliran darah normal akan mengalami kekurangan
oksigen. Hipoksia pada jantung akan mengurangi kemampuan kontraksi
otot (Black & Hawks, 2014).

Peningkatan stimulasi sistem saraf simpatis. Pembebanan jantung


lebih besar meningkatkan simpatis. Akibatnya kadar kelatonin dalam
darah meningkatkan (Rachma, 2014). Stimulasi andregenik simpatis
berupa kelatonin menghasilkan kontriksi arteriolar, takikardi, dan
peningkatkan kontraktilitas miokardial, yang meningkatkan curah
jantung, memperbaiki hantaran oksigen dan nutrient ke jaringan.
Baroreseptor arterial merupakan komponen penting respon ini. Efek
kompensasi terjadi jika peningkatan tahanan vaskuler perifer (afterload)
dan beban kerja miokardium. Stimulasi simpatis mengurangi aliran
darah ke ginjal dan menstimulasi sistem renin-angiotensin.

Stimulasi sistem renin-angiotensin, jika aliran darah melalui arteri


renalis berkurang. Reflek baroreseptor terangsang dan renin dilepaskan
ke aliran darah. Dan berinteraksi dengan Angiostensi I & II,
meningkatkan vasokontriksi, terjadi pelepasan nonadrenalin dan
aldosteron yang meningkatkan penyerapan air & natrium.
Mengakibatkan volume plasma bertambah dan peningkatan preload
(Black & Hawks, 2014).

2.1.1.1.4 Manifestasi klinis


Tanda dominan yaitu meningkatnya volume intravaskuler. Peningkatan
pada vena pulmonalis menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru
ke alveoli, akibatnya terjadi edema paru yang menimbulkan gejala nafas
pendek dan batuk. Meningkatnya tekanan vena sistemik mengakibatkan
edema perifer umum dan penambahan berat badan. Turunnya curah
jantung dimanifestasikan secara luas karena darah tidak dapat mencapai
jaringan dan organ (perfusi rendah) untuk menyampaikan oksigen.
Efek yang ditimbulkan pusing, konfusi, kelelahan, tidak toleran
terhadap latihan dan panas, ekstremitas dingin, dan terjadinya
penurunan haluaran urin. Manifestasi berbeda tergantung dimana
kegagalan ventrikel yang terjadi. Ventrikel kanan dan ventrikel kiri
menunjukan gejala yang khas dan berbeda (Smelzer & Bare, 2001).

Pada gagal jantung kiri dapat menimbulkan dyspnea akibat penimbunan


cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas. Ortopnu
dimana kesulitan bernafas saat berbaring, biasanya pasien tidak mau
berbaring tetapi menggunakan bantal agar bisa tegak ditempat tidur atau
duduk dikursi. Ortopnu pada malam hari disebut paroxismal nokturnal
dispnea (PND). Batuk tersering batuk basah yang menghasilkan
sputum berbusa dan terdapat bercak darah. Mudah lelah akibat curah
jantung yang berkurang menghambat jaringan dan meningkatnya energi
yang digunakan saat bernafas. Kegelisahan dan kecemasan akibat
gangguan oksigen jaringan, stres akiba kesakitan bernafas (Smelzer &
Bare, 2001). Adapun gejala yang timbul pada gagal jantung ventrikel
kanan. takipnea, takikardi terdengar suara gallop (S3 dan S4), dan
ronkhi paru (Patric, 2005).

Pada gagal jantung kanan gejala yang tampak timbul edema ekstremitas
bawah (edema dependen), biasanya pitting edema akan tetap cekung
bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari. Pertambahan berat
badan. Hepatomegali dan nyeri kuadran kanan atas abdomen akibat
pembesaran vena dihepar. Bila proses berkembang tekanan pembuluh
portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar abdomen disebut
asites (penimbunan cairan didalam rongga peritonium). Distensi vena
jugularis. Anoreksia dan mual akibat perbesaran vena dan statis vena
didalam rongga abdomen. Nokturia karena perfusi renal didukung
posisi saat berbaring, diuresis paling sering pada malam hari karena
curah jantung membaik saat istirahat, dan kelemahan (Smelzer & Bare,
2001).

2.1.1.1.1.5 Komplikasi
Tromboemboli. Resiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam
atau DVT (deep venous thrombosis), dan emboli paru (EP), serta
emboli sistemik tinggi. Fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang
menyebabkan perburukan dramatis, hal tersebut indikasi untuk
pemantauan denyut jantung. Kegagalan pompa progresif, karena
penggunaan diuretik dengan dosis yang ditinggikan. Aritmia ventrikel
sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian jantung
mendadak (25-50% kematian pada penderita). (Patrick, 2005).
Terdapat beberapa komplikasi lain yang teradi pada CHF selain diatas.

Komplikasi lainnya tersebut berupa: (1) Edema pulmoner apabila


terjadi pada gagal jantung ventrikel kiri. (2) Hiperkalemia terjadi akibat
penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme. (3) Perikarditis
akibat efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk sampah
uremik dan dialisi yang tidak adekuat. (4) Malfungsi dari sistem renin-
angiostensin-aldosteron. (5) Anemia akibat penurunan eritropoietin
(Austaryani, 2012). (6) Hepatomegali karena lobus hati kongestif
dengan darah vena menyebabkan perubahan fungsi hati. Serta
penumpukan cairan yang membuat tekanan pada hati meningkat. Cairan
ini dapat membuat jaringan parut.(7) Syok kardiogenik akibat jantung
mengalami dekompensasi sehingga cardiac output menurun
mengakibatkan vaskularisasi jantung tak efektif. Tandanya tekanan
darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak, akral dingin.
(Bakar, Kurniawati, Suryono, & Harmayetty, 2013)

2.1.6 Pemeriksaan penunjang


1. Elektro kardiogram (EKG). Untuk mengetahui hipertrofi atrial atau
ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, distrimia, takikardi, dan
fibrilasi atrial.
2. Scan jantung. Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan
pergerakan dinding.
3. Sonogram (echocardiogram, echokardiogram doppler). Memberikan
hasil terhadap dimensi bertambahnya besar ventrikel, serta
perubahan fungsi atau struktur katub, atau area penurunan
kontraktilitas ventricular.
4. Kateterisasi jantung. Tekanan abnormal yang menunjukan dan
membantu membedakan gagal jantung pada bagian kanan atau kiri.
Serta mengetahui stenosis katub atau insufisiensi.
5. Rongent dada. Dapat menunjukan pembesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan abnormal
dalam pembuluh darah.
6. Oksimetri nadi. Saturasi oksigen mungkin rendah terutama pada
gagal jantung kongestif akut menjadi kronik.
7. Pemeriksaan laboratorium yang meliputi : (1) Analisa gas darah
(AGD). Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratori
ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir). (2)
Pemeriksaan tiroid. Peningkatan aktivitas tiroid menunjukan
hiperaktivitas tiroid sebagai pre pencetus gagal jantung kongestif.
(3) Elektrolit. Mungkin berubah akibat perpindahan cairan/
penurunan fungsi ginjal, dan terapi diuretik.
(Austaryani, 2012)

2.1.7 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan non-famakologi
1. Manajemen perawatan diri. Perannya dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna
perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas
hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemennya defnisikan
sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk
kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
2. Ketaatan pasien berobat. Dapat memperbaiki jumlah kejadian
morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan
literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
3. Pemantauan berat badan mandiri. Pasien harus memantau berat
badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg
dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)
(Siswanto, Hersunarti, Erwinanto, Barack, Pratiko, Nauli &
Lubis, 2015 ).
4. Meninggikan kepala klien. Ditempatkan dengan posisi fowler
atau semi fowler untuk mengurangi kongestif vena dan
mengurangi dypsnea. Tungkai dipertahankan posisinya sebebas
mungkin. Tungkai yang mengalami edema sebaiknya tidak
diangkat, karena akan meningkatkan aliran balik vena yang
cepat.
5. Mengurangi retensi cairan. Dengan pengendalian natrium dan
air memperbaiki kemampuan jantung. Pembatasan natrium
diterapkan pada diet untuk mencegah, mengendalikan, atau
menghilangkan edema. Biasaya natrium diresepkan 2-4 g.
Tidak perlu pembatasan cairan pada klien gagal jantung ringan
dan sedang. Pada kasus lebih lanjut pembatasan cairan sampai
1000 ml/hari (1L) bermanfaat. Karena asupan air berlebih
cenderung mengencekan jumlah natrium dan menghasilkan
sindome rendah garam (hiponatremia), ditandai latergi dan
kelelahan.
6. Kurangi stress. Karena penggunaan istirahat pada tahap awal
mengutungkan, yaitu meningkatkan diuresis, meperlambat
denyut jantung, dan mengurangi sesak (Black & Hawks, 2014).
B. Farmakologi
Terapi farmakologinya berupa angiostensin-converting inhibitors
(ACEI), penyekat ß, antagonis aldosteron, angiostensin receptor
blockers (ARB), hydralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN),
digoksin, dan diuretik (Siswanto, Hersunarti, Erwinanto, Barack,
Pratiko, Nauli & Lubis, 2015). Obat lainnya berupa morfin,
dobutamin, milrinon, antikoagulan, dan depoksamin (Black &
Hawks, 2014). Penjelasannya meliputi :
1. Angiostensin-converting enzyme inhibitors (ACEI). Menjadi
pilihan utama dan inti terapi pengobatan gagal jantung. Obat ini
dapat memperlambat perkembangan gagal jantung dan
mengurangi perubahan remodeling jantung. Kerja obat ini
mengurangi afterload dengan menghambat produksi
angiostensin. Meningkatkan aliran darah keginjal dan
mengurangi tahanan vaskuler ginjal dan meningkatkan diuresis
Efek samping meliputi hipotensi ortostatik, batuk kasar
persisten, dan masalah ginjal, ruaam kulit, gangguan
pengecapan dan hiperkalemia. Kadar kalium dimonitor terutama
yang mendapatkan terapi diuretik dan suplementasi kalium.
2. Penyekat ß (antagonis adrenergik beta). Digunakan untuk
menghambat efek sistem saraf simpatis dan mengurangi
kebutuhan oksigen miokardium. Meningkatkan perbaikan klinis
dan mengurangi kematian. Pengobatan ini ditemukan jika klien
mendapat terapi ACE, secara bersamaan sehingga menimbulkan
efek penghambat kedua agen yang memiliki penghambat sistem
neurohormonal memiliki efek yang aditif. Bekerja dengan
mengembalikan aktivitas reseptor betal atau melalui pencegahan
aktivitas katekolamin.
3. Dobutamin. Obat yang bermanfaat bagi gagal jantung, karena
menghasilkan efek pemacauan beta yang kuat didalam
miokardium. Mampu meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen atau
mengurangi aliran darah koroner.
4. Dopamin. Katekolamin alami dengan aktivitas alfa adrenergik,
beta adrenergik, dan dopaminergik. Diberikan dalam dosis kecil
(<4 mcg/kg/menit). Memberi vasodilatasi pada gnjal bermanfaat
memperbaiki laju fitrasi glomelurus, keluaran urin, dan eksresi
natrium. Apabila diberikan dosis yang besar menghasilkan
takikardi dan distrimia.
5. Diuretik. Mengurangi beban miokardil. Aspek penting
pengobatan karena peran utama ginjal sebagai organ target
banyak perubahan neurohormonal sebagai respon jantung
mengalami kegagalan. Terapi pertama berupa furosemid yang
akan menghambat reabsorbsi natrium klorida pada ansa henle
asenden. Serta mengurangi volume darah yang bersirkulasi,
mengurangi preload, dan mengurangi kongestif sistemik dan
pulmonal.
6. Vasodilator. Mengurangi beban miokardium dengan cara
mengurangi preload dan afterload. Nitrogliserin mengurangi
kebutuhan oksigen miokardium dengan menurunkan preload
dan afterload. Diberikan secara intravena. Morfin intravena
diberikan pada penderita gagal jantung akut. Mempunyai efek
berupa ansiolitik (pengurangan kecemasan), analgetik, dan
venodilatasi preload (Black & Hawks, 2014).
7. Angiostensin receptor blockers (ARB). Direkomendasi pada
gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40 % yang
tetap simtomatik walaupun diberi ACEI dan penyekat ß. Dapat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup pasien.
Direkomendasikan sebagai alternatif dari pasien yang toleran
terhadap ACEI. Serta mengurangi kematian karena penyebab
kardiovaskular.
8. Hydralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN). Altenaif jika
pasien intoleran terhadap ACEI.
9. Digoksin. Pada gagal jantung dengan fibrilasi atrial, dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat. Pada
gagal jantung simtomatik fraksi ejeksi ventrikel kiri <40 %
dengan irama sinus, dapat mengurangi gejala. menurunnya
angka perawatan di rumah sakit. (Siswanto, Hersunarti,
Erwinanto, Barack, Pratiko, Nauli & Lubis, 2015 )

2.2 Gangguaan Oksigenasi


Gangguan oksigenasi pada pasien CHF dapat terjadi diakibatkan oleh hal
dimana kekurangan oksigen dapat terjadi pada bagian miokardium. Karena
dilatasi ventrikel, efek dari dilatasi ventrikel tersebut membutuhkan banyak
oksigen. Tetapi jantung yang berdilatasi tersebut mendapatkan aliran darah
yang normal, akan mengalami kekurangan oksigen. Hipoksia pada jantung
tersebut mempengaruhi kontraksi otot jantung (Black & Hawks, 2014).
Kontraksi berkurang terjadi turunnya curah jantug, dimanifestasikan secara
luas karena darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ tertentu (perfusi
rendah) untuk menyampaikan oksigen yang diperukan (Smeltzer & Bare,
2001). Terdapat tiga macam perubahan fungsi perubahan pernafasan akibat
jumlah oksigen.

Perubahan fungsi pernafasan dapat berupa :


1. Hiperventilasi. Bisa disebabkan bahan kimia, keracunan salisilat karena
kelebihan karbondioksida. Dapat terjadi pada tubuh yang berusaha
mengkompensasi asidosis metabolik dengan memproduksi alkalosis
respitratorik. Ventilasi meningkat untuk menurunkan kadar karbon
dioksida. Menimbulkan gejala takikardi, nafas pendek, nyeri dada, pusing,
sakit kepala ringan, disorientasi, parasteesia, baal, tinitus, pandangan
kabur.
2. Hipoksia. Keadaan oksigen jaringan tidak adekuat. Disebabkan oleh (1)
penurunan kadar hemoglobin, dan penurunan kapasitas darah yang
membawa oksigen. (2) Penurunan konsentrasi oksigen yang diinspirasi.
(3) Ketidakmampuan jaringan untuk mengambil oksigen dari darah,
contoh pada kasus sianida. (4) Penurunan difusi oksigen dari alveoli ke
darah. Menimbulkan gejala gelisah, rasa takut, ansietas, disorientasi,
penurunan konsentrasi dan tingkat kesadaran, peningkatan keletihan,
pusing, peningkatan frekuensi nadi, peningkatan frekuensi dan kedalaman
pernafasan, peningkatan tekanan darah, pucat, sianosis, clubbing, dispnea.
3. Hipoventilasi. Ketika ventilasi alveolar tidak kuat memenuhi kebutuhan
oksigen tubuh atau mengeliminasi karbon dioksida secara adekuat.
Atelektasis dapat mengakibatkan hipoventilasi. Tanda gejala pusing, nyeri
kepala (didaerah oksipital), latergi, disorientasi,distrimia jantung,
ketidakseimbangan elektrolit, koma, henti jantung (Potter & Perry, 2005).

2.3 Asuhan Keperawatan Gangguan Oksigenasi


2.3.1 Pengkajian
2.1.1.1.1.3.1.1 Riwayat keperawatan.
Berfokus pada kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan
oksigen. Riwayat kerperawatan terhadap fungsi respirasi dan
kardiologi meliputi adanya batuk, nafas pendek, wheezing, rasa
nyeri, paparan lingkungan, frekuensi terkena infeksi saluran
nafas, faktor resiko pulmonal, masalah respirasi terdahulu,
penggunaan obat, riwayat merokok atau paparan perokok pasif.
Riwayat perawatan terhadap fungsi jantung termaksud rasa
nyeri, karakteristik nyeri, dispnea, kelelahan, sirkulasi perifer,
faktor resiko jantung, dan adanya kondisi jantung terdahulu atau
yang terjadi bersamaan (Potter & Perry, 2010).

Dispnea tanda klinis hipoksia dan termanifesasi dengan sesak


nafas. Dimana sensasi subjektif pada pernafasan yang sulit, dan
tidak nyaman. Dikaitkan usaha nafas berlebih, nafas cuping
hidung, peningkatan frekuensi dan kedalaman pernafasan
(Potter & Perry, 2005).

2.3.1.2 Pengkajian ventilasi


Frekuensi nafas. Perhatikan saat inspirasi dan ekspirasi penuh
saat menghitung ventilasi. Kedalaman ventilasi. Dengan cara
mengamati gerakan dinding dada, sehingga dikategorikan
menjadi dalam, normal, atau dangkal. Pernafasan dalam
melibatkan pengembangan paru dengan ekshalasi penuh.
Pernafasan dangkal jika udara yang melewati paru hanya sedikit
dan gerakan ventilasi sulit dilihat. Ritme ventilasi. Tentukan
pola nafas dengan memperhatikan dada atau abdomen.
Pernafasan diagfragma akibat kontraksi dan relaksasi
diagfragma yang lebih jelas dilihat dengan pengamatan gerakan
abdomen. Pernafasan paksa melibatkan otot pernafasan aksesori
yang terlihat pada leher. Pernafasan teratur tampak adanya
interval yang teratur. Pengkajian lanjut difusi dan perfusi
(Potter & Perry, 2010).

Pengkajian difusi dan perfusi. Dengan mengukur saturasi


oksigen darah. Aliran darah dari paru memberi sel darah merah
berkaitan dengan oksigen. Bisa menggunakan oksimetri nadi
yaitu terdapat pemancar cahaya (LED) dan fotodektor. LED
memancarkan cahaya gelombang panjang yang diserap oleh
hemoglobin yang dioksigenasi dan dideoksigenasi (Potter &
Perry, 2005).

2.1.3.1.3 Pemeriksaan Fisik


Pada sistem pernafasan meliputi keadaan umum, serta inspeksi
palpasi, perkusi, dan auskultasi pada sistem pernafasan.

Inspeksi. Melakukan observasi dari kepala sampai ujung kaki


terhadap kulit dan warna membrane mukosa, penampakan
secara umum, tingkat kesadaran, sirkulasi sistemik yang
adekuat, pola nafas, dan gerakan dinding dada. Amati ujung
kuku apakah ada clubbing finger yaitu hilangnya sudut normal
antara dasar kuku dan kulit sering terjadi pada pasien defisiensi
oksigen lama, endokarditis, dan defek jantung kongenital.
Frekuensi nafas normal 16-20 x/menit, takipnea frekuensi nafas
lebih dari 35x/menit, bradipnea frekuensi nafas kurang dari
10x/menit (Potter & Perry, 2005). Perhatikan bentuk dada.
Menilai gerak pernafasan dengan kesimetrisan dada. Adanya
sisi cembung karena cairan, udara, pus dirongga pelura,
aneurisma aorta, cairan dalam perikardium, tumor paru, dan
perbesaran jantung. Gerakan dinding dada unilateral akibat
fibrosis paru (Muttaqin, 2008). Selanjutnya setelah inpeksi
adalah palpasi.
Palpasi. Pada ekstremitas untuk memberikan sirkulasi perifer,
adanya dan kualitas denyut perifer, suhu kulit, warna, dan
pengisian kapiler. Pada tungkai bawah untuk mengetahui
adanya edema perifer, khususnya pada gagal jantung kongestif
atau hipertensi. (Potter & Perry, 2010). Pada thoraks untuk
melihat adanya kelainan pada dinding thoraks berupa gerakan
dinding thoraks, getaran suara (fremitus fokal) yang terasa oleh
tangan pemeriksa yang diletakan pada dada klien saat
mengucapkan kata (Muttaqin, 2008). Tahap berikutnya berupa
perkusi.

Perkusi. Pada thoraks untuk menunjukan apakah jaringan


dibawah terisi oleh udara, cairan, bahan padat, atau tidak. Serta
untuk memperkirakan ukuran dan letak struktur tertentu dalam
thoraks. Perkusi pada struktur padat atau daerah konsolidasi
paru menimbulkan bunyi redup. Perkusi paru normal
menimbulkan nada sonor (Muttaqin,2008). Tahap lanjut.

Auskultasi. Untuk mengkaji aliran udara melalui bronkhial dan


mengevaluasi apakah ada cairan atau obstruksi padat pada paru.
Mengetahui bunyi nafas normal, dan tambahan (Muttaqin,
2008).

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


Dari data pengkajian pernafasan untuk gangguan oksigenasi adalah
karakteristik penentu dari berbagai diagnosa keperawatan seperti : (1)
Gangguan pertukaran gas, (2) bersihan jalan nafas tidak efektif (3) Pola
nafas tidak efektif, (4) perfusi jaringan tidak efektif, (5) nyeri akut, (6)
kegelisahan, (7) respon pelepasan ventilasi yang disfungsional, (8)
intoleransi aktivitas (9) Kelelahan, (10) gangguan komunikasi verbal,
(11) resiko ketidakseimbangan volume cairan, (12) resiko infeksi
(Potter & Perry, 2010). Pada klien yang mengalami gangguan
oksigenasi dapat memiliki diagnosa keperawatan yang awalnya
kardiovaskuler, berdasarkan etiologi dan karakteristik yang terkait.

Diagnosa tersebut pada gangguan oksigenasi yang awalnya memiliki


diagnosa keperawatan dari kardiovaskuler adalah : (1) ketidakefektifan
bersihan jalan nafas b.d gangguan batuk, nyeri insisi, penurunan tingkat
kesadaran. (2) Gangguan pertukaran gas b.d penurunan ekspansi paru,
adanya sekresi paru, pemasukan oksigen tidak adekuat. (3)
Ketidakefektifan pola nafas b.d imobilitas, kerusakan neuromuskular,
obstruksi jalan nafas. (4) Penurunan curah jatung b.d irama jantung tak
teratur, denyut jantung cepat. (5) Resiko infeksi b.d sekresi paru statis.
(6) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan, asupan nutrisi tidak adekuat,
keletihan (Potter & Perry, 2005).

2.1.3.3 Intervensi Keperawatan


Perencanaan pada klien yang mengalami gangguan oksigenasi
ditunjukan untuk memenuhi oksigenasi. Apabila terjadi gangguan
oksigenasi pada pasien CHF berpusat pada klien fungsi kardiopulmonal
diperbaiki dan dipertahankan. (Potter & Perry, 2005). Tujuannya
untuk meningkatkan kenyamanan dan kemudahan pernafasan,
mempertahankan atau meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi.
Intervensi dapat berupa memastikan kepatenan jalan nafas, mengatur
posisi, mendorong pengambilan nafas dalam dan batuk, dan
memastikan keadekuatan hidrasi (Kozier, Erb, Berman, & Snyder,
2010). Fokus utama pada interveni yang pengamat lakukan pada pasien
kelolaan adalah melatih pasien melakukan teknik nafas dalam (deep
breathing exercise). Pengamat melakukan tindakan telah didasari dari
jurnal penelitian sebelumnya, dimana memberikan manfaat untuk
mempengaruhi tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan, serta saturasi
oksigen.

2.1.1.3.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi yaitu tahap untuk melaaksanakan tindakan keperawatan
yang di rencanakan. Tujuannya untuk membantu klien mencapai tujuan
yang ditetapkan oleh perawat. Yang harus dimiliki perawat pada tahap
ini adalah kemampuan komunikasi untuk mencipatakan hubungan
saling percaya, melakukan teknik psikomotor, melakukan observasi
sistematis, memberikan penkes, advokasi, dan evaluasi (Asmadi, 2008).
Fokus utama pada pengamatan ini adalah melakukan deep breathing
exercise (Latihan nafas dalam). Tindakan mandiri keperawatan yang
dilakukan dengan latihan nafas dalam khususnya dengan latihan deep
diaphragmatic breathing (Sepdianto, Tyas, & Anjaswari, 2013).

2.1.1.1.3.5 Evaluasi Keperawatan


Setelah dilakukan deep breathing exercise (latihan nafas dalam) ,
lakukan monitor terhadap tekanan darah, nadi, frekuensi pernafasan,
dan saturasi oksigennya.Evaluasi yang diharapkan pada pasien CHF
yang dilakukan deep breathing exercise (latihan nafas dalam) adalah :
menurunkan respirasi, penurunan persepsi terhadap dyspea,
menurunkan tekanan darah, nadi, dan peningkatan saturasi oksigen
dengan meningkatkan volume tidal dan menurunkan kecepatan
pernafasan (Sepdianto, Tyas, & Anjaswari 2013).

2.4 Deep Breathing Exercise


2.4.1 Pengertian
Breathing exercise adalah latihan untuk meningkatkan pernafasan dan
kinerja fungsional. Salah satunya adalah deep breathing exercise atau
disebut dengan atihan nafas dalam, yang mempunyai pengertian
aktivitas keperawatan mandiri yang berfungsi meningkatkan
kemampuan otot pernafasan, sehingga terjadi meningkatkan
compliance paru dalam meningkatkan fungsi ventilasi dan memperbaiki
oksigenasi. Oksigenasi yang adekuat akan menurunkan dypsnea yang
dirasakan pasien CHF (Nirmalasari, 2017). Pengamatan yang penulis
lakukan, didukung dengan jurnal sebelumnya, berdasarkan penelitian
Nirmalasi, 2017 : didapat bahwa pasien CHF terjadi penurunan dyspnea
dengan deep breathing exercise. Hasilnya dari kelompok intervensi
p<0,001, sedangkan pada kelompok kontrol p=0,001. Sehingga terjadi
penurunan dypsnea pada hari pertama sampai ketiga. Terdapat
pengertian lain tentang nafas dalam.

Latihan nafas dalam meningkatkan sensitivitas barorefleks dengan


meningkatkan aktivitas vagal serta menurunkan aktifitas simpatis.
Akibatnya tejadi penurunan tekanan darah, nadi, dan respirasi.
(Sepdianto, Tyas, & Anjaswari 2013). Pengamat mendapatkan hasil
penelitian Sepdianto, Tyas, & Anjaswari 2013 : bahwa latihan nafas
dalam, dapat berpengaruh pada saturasi oksigen, derajat dyspnea,
tekanan darah, nadi dan respirasi gagal jantung dalam waktu 14 hari.
Menunjukan hasil pada kelompok intervensi dengan saturasi oksigen
meningkat sebanyak 0,8 %, dyspnea terjadi penurunan 2,14 poin, pada
tekanan darah sistolik menurun 3 mmHg, pada diastolik menurun 6,2
mmHg, pada nadi terjadi penurunan 2,98 kali/menit, dan frekuensi
pernafasan menurun 4,76 x/menit. Sehingga nafas dalam memberi
dampak positif terhadap tubuh.

Bernafas dalam dan lambat diharapkan dapat menciptakan respon


relaksasi. Menjelaskan bahwa dengan relaksasi adekuat, sistem saraf
parasimpatis menjadi dominan. Dan akan mengendalikan pernafasan
dan detak jantung (Fadil, 2016). Pengamat mendapatkan hasil
penelitian juga sebelumnya melalui jurnal Fadil, 2016, dimana
menunjukan kelompok A yang mendapatkan intervensi pada hari 3
terjadi perubahan. Hasilnya tersebut tekanan darah sistol 124, 4 mmHg,
tekanan darah diastol 68, 3 mmHg, nadi 81,8 x/menit, pernafasan 21,5
x/menit. Dalam latihan nafas dalam terdapat batuk efektif dan ajarkan
pernafasan diagfragma.

2.1.1.1.4.2 Tujuan
Tujuan utama pemberian latihan nafas dalam adalah agar masalah
keperawatan terutama ketidakefektifan pola nafas dan bersihan jalan
nafas dapat segera teratasi (Muttaqin, 2008). Pernafasan diagfragma
untuk mengurangi frekuensi pernafasan, meningkatkan ventilasi
alveolar. Pernafasan ini menggunakan bibir yang dirapatkan untuk
mengendalikan frekuensi dan kedalaman pernafasan, serta untuk rileks
(Smeltzer & Bare, 2001).

2.4.4 Mekanisme
Dengan melakukan latihan nafas dalam, menyebabkan peregangan pada
alveolus. Peregangan tersebut akan merangsang pengeluaran surfaktan
yang disekresi oleh sel aveolus tipe II. Sehingga tegangan pada
permukaan alveolus diturunkan. Akibat menurunya tegangan tersebut
bermanfaat untuk meningkatkan compliance paru, serta menurunkan
paru yang menciut sehingga tidak kolaps. Akan berdampak
meningkatkan pengembangan paru sehingga ventilasi alveoli meningkat
dan terjadi peningkatan konsentrasi kebutuhan oksigen darah (Aminah
& Novitasari, 2018). Akibat oksigenasi terpenuhi mempengaruhi hasil
terhadap frekuensi nafas, dyspnea, dan saturasi oksigen klien. Latihan
nafas dalam mempengaruhi tekanan darah terdapat mekanismenya.

Latihan nafas dalam, untuk mempengaruhi tekanan darah


mekanismenya dengan secara otomatis merangsang sistem saraf
simpatis untuk menurunkan kadar zat ketokolamin yang mana adalah
zat yang membuat kontriksi pembuluh darah sehingga menyebabkan
tingginya tekanan darah. Ketika sistem saraf simpatis aktivitasnya
menurun maka produksi ketokolamin berkurang juga. Sehingga terjadi
dilatasi pembuluh darah, akibatnya tekanan darah menjadi menurun
(Cahyanti & Febriyanto, 2019).

2.1.4.3 Prosedur
Sebelum dilakukan latihan nafas dalam adalah observasi kemampuan
fisik klien dalam melakukan latihan nafas dalam, auskultasi suara nafas,
observasi irama frekuensi dan kedalaman pernafasan, kaji kemampuan
batuk efektif apabila klien mengalami batuk yang tidak efektif.
Implementasinya yaitu instruksikan klien untuk melakukan nafas
dalam, intruksikan klien untuk batuk efektif apabila klien mengalami
batuk yang tidak efektif, ajarkan klien untuk melakukan pernafasan
diagfragma, lalu evaluasi klien setelah melakukan latihan (Muttaqin,
2008). Menurut penelitian sebelumnya dari jurnal keperawatan
Nirmalasari, 2017, latihan nafas dalam ini dilakukan selama 5 siklus (1
siklus 1 menit terdiri dari 5 kali nafas dalam dengan jeda 2 detik setiap
1 kali nafas).

Untuk yang nafas dalam, atur posisi klien duduk atau tiduran ditempat
tidur, demonstrasikan langkahnya, letakan tangan pada sisi bawah iga,
anjurkan klien untuk bernafas pelan dan dalam melalui hidung sampai
memenuhi rongga dada dan otot abdominal terangkat, perhatikan
kontraksi otot interkostalis dan diafragma, anjurkan klien mengeluarkan
nafas melalui hidung, lalu evaluasi respon klien. Apabila klien
mengalami batuk yang tidak efektif anjurkan klien untuk duduk, atur
posisi duduk dan bagian depan disangga dengan bantal, lalu lakukan
dahulu nafas dalam 2-3 x, untuk yang ke 3 kalinya mengulang nafas
dalam minta klien untuk menahannya 1-2 detik, kemudian dibatukan
menggunakan otot abdominal dan otot bantu nafas lain (Muttaqin,
2008). Setelah itu lakukan latihan pernafasan diafragma.

Pernafasan diafragma (abdomen) lakukan dengan posisi duduk atau


berbaring ditempat tidur, letakan salah satu atau kedua tangan diatas
abdomen tepatnya dibawah tulang rusuk, anjurkan klien untuk ambil
nafas melalui hidung dan pertahankan mulut tetap tertutup, lalu rasakan
abdomen meninggi dan tetap rileks, kemudian dorong bibir seperti
ingin bersiul dan keluarkan nafasnya secara perlahan dan lembut
dengan membuat suara “wuss” tanpa menggembungkan pipi. Rasakan
abdomen turun atau menciut, dan kencangkan otot abdomen saat
mengeluarkan nafas untuk meningkatkan ekshalasi, hitung sampai tujuh
selama ekshalasi (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2010).

Anda mungkin juga menyukai