TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1.2 Etiologi
CHF penyebab utamanya adalah hipertensi dan penyakit arteri
koronaria. Beberapa faktor resikonya adalah kebiasaan merokok,
kurang aktivitas fisik, perubahan pola diet, kelebihan berat badan,
hiperlipidemia, diabetes, hipertensi, usia, jenis kelamin, dan keturunan
(Kasron & Engkartini, 2019). Kondisi yang mencetuskan adalah
distrimia (takikardi), sebsis, anemia, gangguan tiroid, emboli pumonal,
defisiensi tiamin, penyakit paru kronis, perubahan dosis obat, stres,
endokarditis, miokarditis, perikarditis, retensi cairan, alkohol (Black &
Hawks, 2014). Penyebab kegagalan jantung kongestif dibagi atas 2
kelompok yaitu (1) Gangguang yang langsung merusak jantung seperti
infark miokardium, miokarditis, fibrosis miokardium, dan aneurisma
ventrikular. (2) Gangguan yang menyebabkan kelebihan beban
ventrikel. Kelebihan beban ventrikel dibagi atas preload, afterload
(Baradero, Dayrit & Siswandi, 2008).
2.1.1.3 Patofisiologi
Peristiwa awal yang menurunkan kapasitas pompa. Dimana mekanisme
yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kontraktilitas jantung,
yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung
normal (Black & Hawks, 2014). Dengan terjadinya akibat peristiwa
awal tersebut akan mempengaruhi beban pengisian atau awal (preload)
dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel. Akibatnya menigkatkan
daya kontraksi jantung menjadi lebih kuat. Dan menurunkan
kontaktilitas, sehingga terjadi hambatan pengosongan ventrikel.
Mempengaruhi penurunan cardiac output. (Nurarif & Kusuma, 2015).
Jika curah jantung tidak memenuhi kebutuhan tubuh akan terjadi
kompensasi (Black & Hawks, 2014). Curah jantung yang baik
dijelaskan dengan persamaan cardiac output, fungsi frekuensi jatung
(Heart Rate), dan volume sekuncup (Stroke volume) (Smeltzer & Bare,
2001).
Frekuesni jantung adalah fungsi sistem saraf otonom. Bila curah
jantung berukurang, sistem saraf simpatis akan meningkatkan frekuensi
jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme
kompensasi gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan maka
volume sekuncup yang menyesuaikan diri untuk mempertahankan
curah jantung. Volume sekuncup yaitu jumlah darah yang dipompakan
setiap kontraksi jantung dipengaruhi 3 faktor yaitu preload,
kontraktilitas, dan afterload (Smeltzer & Bare, 2001).
Pada gagal jantung kanan gejala yang tampak timbul edema ekstremitas
bawah (edema dependen), biasanya pitting edema akan tetap cekung
bahkan setelah penekanan ringan dengan ujung jari. Pertambahan berat
badan. Hepatomegali dan nyeri kuadran kanan atas abdomen akibat
pembesaran vena dihepar. Bila proses berkembang tekanan pembuluh
portal meningkat sehingga cairan terdorong keluar abdomen disebut
asites (penimbunan cairan didalam rongga peritonium). Distensi vena
jugularis. Anoreksia dan mual akibat perbesaran vena dan statis vena
didalam rongga abdomen. Nokturia karena perfusi renal didukung
posisi saat berbaring, diuresis paling sering pada malam hari karena
curah jantung membaik saat istirahat, dan kelemahan (Smelzer & Bare,
2001).
2.1.1.1.1.5 Komplikasi
Tromboemboli. Resiko terjadinya bekuan vena (trombosis vena dalam
atau DVT (deep venous thrombosis), dan emboli paru (EP), serta
emboli sistemik tinggi. Fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF, yang
menyebabkan perburukan dramatis, hal tersebut indikasi untuk
pemantauan denyut jantung. Kegagalan pompa progresif, karena
penggunaan diuretik dengan dosis yang ditinggikan. Aritmia ventrikel
sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau kematian jantung
mendadak (25-50% kematian pada penderita). (Patrick, 2005).
Terdapat beberapa komplikasi lain yang teradi pada CHF selain diatas.
2.1.7 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan non-famakologi
1. Manajemen perawatan diri. Perannya dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna
perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas
hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemennya defnisikan
sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk
kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
2. Ketaatan pasien berobat. Dapat memperbaiki jumlah kejadian
morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Berdasarkan
literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi.
3. Pemantauan berat badan mandiri. Pasien harus memantau berat
badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg
dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertimbangan dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)
(Siswanto, Hersunarti, Erwinanto, Barack, Pratiko, Nauli &
Lubis, 2015 ).
4. Meninggikan kepala klien. Ditempatkan dengan posisi fowler
atau semi fowler untuk mengurangi kongestif vena dan
mengurangi dypsnea. Tungkai dipertahankan posisinya sebebas
mungkin. Tungkai yang mengalami edema sebaiknya tidak
diangkat, karena akan meningkatkan aliran balik vena yang
cepat.
5. Mengurangi retensi cairan. Dengan pengendalian natrium dan
air memperbaiki kemampuan jantung. Pembatasan natrium
diterapkan pada diet untuk mencegah, mengendalikan, atau
menghilangkan edema. Biasaya natrium diresepkan 2-4 g.
Tidak perlu pembatasan cairan pada klien gagal jantung ringan
dan sedang. Pada kasus lebih lanjut pembatasan cairan sampai
1000 ml/hari (1L) bermanfaat. Karena asupan air berlebih
cenderung mengencekan jumlah natrium dan menghasilkan
sindome rendah garam (hiponatremia), ditandai latergi dan
kelelahan.
6. Kurangi stress. Karena penggunaan istirahat pada tahap awal
mengutungkan, yaitu meningkatkan diuresis, meperlambat
denyut jantung, dan mengurangi sesak (Black & Hawks, 2014).
B. Farmakologi
Terapi farmakologinya berupa angiostensin-converting inhibitors
(ACEI), penyekat ß, antagonis aldosteron, angiostensin receptor
blockers (ARB), hydralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN),
digoksin, dan diuretik (Siswanto, Hersunarti, Erwinanto, Barack,
Pratiko, Nauli & Lubis, 2015). Obat lainnya berupa morfin,
dobutamin, milrinon, antikoagulan, dan depoksamin (Black &
Hawks, 2014). Penjelasannya meliputi :
1. Angiostensin-converting enzyme inhibitors (ACEI). Menjadi
pilihan utama dan inti terapi pengobatan gagal jantung. Obat ini
dapat memperlambat perkembangan gagal jantung dan
mengurangi perubahan remodeling jantung. Kerja obat ini
mengurangi afterload dengan menghambat produksi
angiostensin. Meningkatkan aliran darah keginjal dan
mengurangi tahanan vaskuler ginjal dan meningkatkan diuresis
Efek samping meliputi hipotensi ortostatik, batuk kasar
persisten, dan masalah ginjal, ruaam kulit, gangguan
pengecapan dan hiperkalemia. Kadar kalium dimonitor terutama
yang mendapatkan terapi diuretik dan suplementasi kalium.
2. Penyekat ß (antagonis adrenergik beta). Digunakan untuk
menghambat efek sistem saraf simpatis dan mengurangi
kebutuhan oksigen miokardium. Meningkatkan perbaikan klinis
dan mengurangi kematian. Pengobatan ini ditemukan jika klien
mendapat terapi ACE, secara bersamaan sehingga menimbulkan
efek penghambat kedua agen yang memiliki penghambat sistem
neurohormonal memiliki efek yang aditif. Bekerja dengan
mengembalikan aktivitas reseptor betal atau melalui pencegahan
aktivitas katekolamin.
3. Dobutamin. Obat yang bermanfaat bagi gagal jantung, karena
menghasilkan efek pemacauan beta yang kuat didalam
miokardium. Mampu meningkatkan kebutuhan oksigen
miokardium tanpa meningkatkan kebutuhan oksigen atau
mengurangi aliran darah koroner.
4. Dopamin. Katekolamin alami dengan aktivitas alfa adrenergik,
beta adrenergik, dan dopaminergik. Diberikan dalam dosis kecil
(<4 mcg/kg/menit). Memberi vasodilatasi pada gnjal bermanfaat
memperbaiki laju fitrasi glomelurus, keluaran urin, dan eksresi
natrium. Apabila diberikan dosis yang besar menghasilkan
takikardi dan distrimia.
5. Diuretik. Mengurangi beban miokardil. Aspek penting
pengobatan karena peran utama ginjal sebagai organ target
banyak perubahan neurohormonal sebagai respon jantung
mengalami kegagalan. Terapi pertama berupa furosemid yang
akan menghambat reabsorbsi natrium klorida pada ansa henle
asenden. Serta mengurangi volume darah yang bersirkulasi,
mengurangi preload, dan mengurangi kongestif sistemik dan
pulmonal.
6. Vasodilator. Mengurangi beban miokardium dengan cara
mengurangi preload dan afterload. Nitrogliserin mengurangi
kebutuhan oksigen miokardium dengan menurunkan preload
dan afterload. Diberikan secara intravena. Morfin intravena
diberikan pada penderita gagal jantung akut. Mempunyai efek
berupa ansiolitik (pengurangan kecemasan), analgetik, dan
venodilatasi preload (Black & Hawks, 2014).
7. Angiostensin receptor blockers (ARB). Direkomendasi pada
gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri < 40 % yang
tetap simtomatik walaupun diberi ACEI dan penyekat ß. Dapat
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup pasien.
Direkomendasikan sebagai alternatif dari pasien yang toleran
terhadap ACEI. Serta mengurangi kematian karena penyebab
kardiovaskular.
8. Hydralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN). Altenaif jika
pasien intoleran terhadap ACEI.
9. Digoksin. Pada gagal jantung dengan fibrilasi atrial, dapat
digunakan untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat. Pada
gagal jantung simtomatik fraksi ejeksi ventrikel kiri <40 %
dengan irama sinus, dapat mengurangi gejala. menurunnya
angka perawatan di rumah sakit. (Siswanto, Hersunarti,
Erwinanto, Barack, Pratiko, Nauli & Lubis, 2015 )
2.1.1.1.4.2 Tujuan
Tujuan utama pemberian latihan nafas dalam adalah agar masalah
keperawatan terutama ketidakefektifan pola nafas dan bersihan jalan
nafas dapat segera teratasi (Muttaqin, 2008). Pernafasan diagfragma
untuk mengurangi frekuensi pernafasan, meningkatkan ventilasi
alveolar. Pernafasan ini menggunakan bibir yang dirapatkan untuk
mengendalikan frekuensi dan kedalaman pernafasan, serta untuk rileks
(Smeltzer & Bare, 2001).
2.4.4 Mekanisme
Dengan melakukan latihan nafas dalam, menyebabkan peregangan pada
alveolus. Peregangan tersebut akan merangsang pengeluaran surfaktan
yang disekresi oleh sel aveolus tipe II. Sehingga tegangan pada
permukaan alveolus diturunkan. Akibat menurunya tegangan tersebut
bermanfaat untuk meningkatkan compliance paru, serta menurunkan
paru yang menciut sehingga tidak kolaps. Akan berdampak
meningkatkan pengembangan paru sehingga ventilasi alveoli meningkat
dan terjadi peningkatan konsentrasi kebutuhan oksigen darah (Aminah
& Novitasari, 2018). Akibat oksigenasi terpenuhi mempengaruhi hasil
terhadap frekuensi nafas, dyspnea, dan saturasi oksigen klien. Latihan
nafas dalam mempengaruhi tekanan darah terdapat mekanismenya.
2.1.4.3 Prosedur
Sebelum dilakukan latihan nafas dalam adalah observasi kemampuan
fisik klien dalam melakukan latihan nafas dalam, auskultasi suara nafas,
observasi irama frekuensi dan kedalaman pernafasan, kaji kemampuan
batuk efektif apabila klien mengalami batuk yang tidak efektif.
Implementasinya yaitu instruksikan klien untuk melakukan nafas
dalam, intruksikan klien untuk batuk efektif apabila klien mengalami
batuk yang tidak efektif, ajarkan klien untuk melakukan pernafasan
diagfragma, lalu evaluasi klien setelah melakukan latihan (Muttaqin,
2008). Menurut penelitian sebelumnya dari jurnal keperawatan
Nirmalasari, 2017, latihan nafas dalam ini dilakukan selama 5 siklus (1
siklus 1 menit terdiri dari 5 kali nafas dalam dengan jeda 2 detik setiap
1 kali nafas).
Untuk yang nafas dalam, atur posisi klien duduk atau tiduran ditempat
tidur, demonstrasikan langkahnya, letakan tangan pada sisi bawah iga,
anjurkan klien untuk bernafas pelan dan dalam melalui hidung sampai
memenuhi rongga dada dan otot abdominal terangkat, perhatikan
kontraksi otot interkostalis dan diafragma, anjurkan klien mengeluarkan
nafas melalui hidung, lalu evaluasi respon klien. Apabila klien
mengalami batuk yang tidak efektif anjurkan klien untuk duduk, atur
posisi duduk dan bagian depan disangga dengan bantal, lalu lakukan
dahulu nafas dalam 2-3 x, untuk yang ke 3 kalinya mengulang nafas
dalam minta klien untuk menahannya 1-2 detik, kemudian dibatukan
menggunakan otot abdominal dan otot bantu nafas lain (Muttaqin,
2008). Setelah itu lakukan latihan pernafasan diafragma.