KESIMPULAN
Ilmu ushul fiqh dilihat dari sejarah dan perkembangannya, maka dapat dibagi
secara umum menjadi dua; yakni ushul fiqh sebelum pembukuan dan pembukuan
ushul fiqh. Ushul fiqh sebelum pembukuan dimulai dari masa Rasulullah SAW
dilanjutkan generasi Sahabat, generasi Tabi’in, generasi imam mujtahid sebelum
Imam Syafi’i.
Pada Masa Rasululah SAW sendiri ushul fiqh sudah terbukti dengan peristiwa
yang dialami oleh dua sahabat sedang bepergian lalu tiba waktu shalat, lalu mereka
hendak mengerjakan shalat akan tetapi tidak ada air. Keduanya lalu bertayammum
dengan debu yang suci dan melaksanakan shalat. Kemudian mereka menemukan air
pada waktu shalat belum habis. Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain
tidak. Keduanya lalu mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan kejadian
tersebut. Kepada yang tidak mengulang, Rasulullah bersabda: “Engkau telah
memenuhi sunnah dan shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudlu dan
mengulang shalatnya, Rasulullah saw. menyatakan: “Bagimu dua pahala.”
Pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang
sering berbeda pandangan dan berargumentasi untuk mengkaji persoalan hukum.
Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah
bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran pikiran yang dilakukan sahabat
lebih bersifat praktis untuk menjawab permasalahan. Pembahasan hukum yang
dilakukan sahabat masih terbatas kepada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
permasalahan yang muncul, belum sampai kepada perluasan kajian hukum Islam
kepada masalah metodologi.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan
para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan
sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-
shahabi, ijma’ahl al madinah, fatwa ash shahabi, qiyas, dan maslahah
mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Selanjutnya, pada masa Imam Mujtahid sebelum Imam Syaf’i adalah seperti
pada masa Imam Malik dengan alirannya (malikiyyah), dan Imam Hanafi dengan
alirannya (hanafiyyah). Imam maliki mempunyai metode ijtihad yang cukup jelas,
seperti mempertahankan praktih penduduk madinah sebagai sumber hukum.
Sedangkan imam hanafi menjelaskan dasar-dasar istinbatnya yakni; berpegang
kepada Kitabullah, jika tidak ditemukan di dalamnya, ia berpegang pada Sunnah
Rasulullah. Jika tidak didapati di dalamnya ia berpegang kepada pendapat yang
disepakati para sahabat. Jika mereka berbeda pendapat, ia akan memilih salah satu
dari pendapat-pendapat itu dan tidak akan mengeluarkan fatwa yang menyalahi
pendapat sahabat. Dalam melakukan ijtihad, Abu Hanifah terkenal banyak
melakukan qiyas dan istihsan.
Selanjutnya masa pembukuan ushul fiqh yakni pada penghujung abad kedua
dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150 H-204 H) tampil
berperan dalam meramu, mensistematisasi, dan membukukan Ushul Fiqh. Imam
Syafi’i banyak mengetahui tentang metodologi istinbath para imam mujtahid
sebelumnya, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan metode istinbath para
sahabat, serta mengetahui di mana kelemahan dan keunggulannya.
Aliran dalam ushul fiqh terbagi menjadi tiga, yakni;
aliran mutakallimin (Syafi’iyyah), aliran fuqaha’ (hanafiyyah), dan aliran gabungan.
Aliran Mutakallimin; aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni
tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam
menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli,
tanpa dipengaruhi masalah furu’ dan madzhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut
sesuai dengan masalahfuru’ dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap
permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
Aliran yang kedua ini dikenal dengan aliran fuqaha yang dianut oleh para
ulama madzhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha karena dalam sistem penulisannya
banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqh. Dalam merumuskan kaidah ushul fiqh,
mereka berpedoman pada pendapat-pendapat fiqh Abu Hanifah dan pendapat-
pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.
Pada perkembangannya muncul tren untuk menggabungkan kitab ushul fiqh
aliranmutakallimin dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqh aliran gabungan
adalah dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqh.
Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah
yang menjadi sandarannya dan itu dikatakan sebagai aliran gabungan.
DAFTAR PUSTAKA