Anda di halaman 1dari 7

RAHUL FAJRI

1814201119
S1 Keperawatan / 4

A. Konsep Dasar Medis


1. Pengertian

Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) adalah suatu kondisi yang sering terjadi sebagai
hasil dari pertumbuhan dan pengendalian hormon prostat (Yuliana Elin, 2011).

Hipertropi prostat merupakan kelainan yang sering ditemukan. Istilah hipertrofi


sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah hiperplasia kelenjar
periuretral yang mendesak jaringan prostat asli ke perifer dan menjadi simpai bedah
(Sjamsuhidajat & de Jong, 2005).

Benigna prostat hyperplasia adalah pertumbuhan nodul-nodul fibriadenomatosa


majemuk dalam prostate, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai
proliperasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa (Sylvia
A. Price, 2006).

Benigna prostate hyperplasia adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria
lansia dan penyebab kedua yang paling sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia
60 tahun (Brunner & Suddarth, 2005). \

Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa BPH adalah suatu kondisi
dimana sistem perkemihan mengalami gangguan yang disebabkan oleh terjadinya
pertumbuhan kelenjar prostat mengelilingi saluran kemih pada pria dengan usia diatas 50
tahun yang mengakibatkan kurang lancarnya berkemih.

2. Anatomi & Fisiologi

a. Anatomi Prostat

Menurut Wibowo d an Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung


kemih, mengelilingi u retr a p osterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-
buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital
yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.

b. Fisiologi prostat

Menurut Purnomo (2011) f isiologi p rostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung
kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti.
Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi pek a
terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami
hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-
sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pad a
pH 5.
Prostat bersifat difus dan bermuara ke dalam pelksus santorini. Persarafan prostat
terutama berasal dari simpatis pleksus hipoglaktikus dan serabut yang berasal dari nervus
sakralis ketiga dan keempat melalui pleksus sakralis. Drainase limfe prostat ke nodi limfatisi
obturatoria, iliaka eksterna dan pre sakralis, serta sangat penting dalam mengevaluasi luas
penyebaran penyakit dari prostat (Andra Yessie, 2013).

Sedangkan menurut Smeltzer (2005), sewaktu perangsangan seksual, prostat


mengeluarkan cairan encer seperti susu yang mengandung berbagai enzim dan ion ke dalam
duktus ejakulatorius. Cairan ini menambah volume cairan vesikula seminalis dan sperma.
cairan prostat bersifat basa (alkalis). Sewaktu mengendap di cairan vagina wanita, bersama
ejakulat yang lain, cairan ini dibutuhkan karena motilitas sperma akan berkurang dalam
lingkungan dengan pH rendah.

3. Etiologi

Menurut R. Sjamsuhidajat dan Wim de jong (2010) dengan bertambahnya usia, akan
terjadi perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen karena produksi estrogen menurun
dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikrokopik
ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun
angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut
menyebabkan gejala dan tanda klinis.

Menurut Nursalam (2006), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab
prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :

a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut.

b. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma
kelenjar prostat.

c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. Diduga
hormon androgen berperan menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan
kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostate. Estrogen diduga
mampu memperpanjang usia sel-selprostate.

d. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.

4. Pathofisiologi

Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (2005), menyebutkan bahwa pada umumnya


gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian paling
dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar. Pembesaran adenoma
yang progresif menekan atau mendesakn jaringan jaringan prostat yang normal ke kapsula
sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya dan
adenoma cenderung tumbuh ke dalam lumennya, yang membatasi pengeluaran urin.
Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk mengosongkan kandung kemih. Serat –
serat muskulus destrusor berespon hipertropi, yang menghasilkan trabekulasi di dalam
kanndung kemih.

Pada beberapa kasus jika obstruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi
kandung kemih menjadi struktur yang flasid (lemah), berdilatasi dan sanggup berkontraksi
secara efektif. Karena terdapat sisa urin, maka terdapat peningkatan infeksi dan batu kandung
kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan hidronefrosis. Retensi progresif bagi
air, natrium, dan urea dapat menimbulkan edema hebat.

Menurut Mansjoer Arif, (2003) pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan


pada traktus urinarius, terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat
sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat,
leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat. Sebagai akibatnya
serat destrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat destrusor ke dalam mukosa
buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam
vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat destusor
sehingga terbentuk tojolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sekula dan apabila besar
disebut diverkel. Fase penebalan destrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut
destrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan
disfungsi saluran kemih atas.

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan


menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urine, buli–buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tekanan itu.
Kontraksi yang terus menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli–buli berupa
hipertropi otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli–buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut yang oleh pasien dirasakan sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal
dengan gejala prostatismus (Nursalam, 2006).

5. Manifestasi Klinik

Menurut Yuliana Elin (2011), pasien BPH dapat menunjukkan berbagai macam tanda
dan gejala. Gejala BPH berganti-ganti dari waktu-kewaktu dan mungkin dapat semakin
parah, menjadi stabil, atau semaki buruk secara spontan.

Berbagai tanda dan gejala dapat dibagi dalam dua kategori: obstruktif (terjadi ketika
faktor dinamik/atau faktor static mengurangi pengosongan kandung kemih) dan iritatif (hasil
dari obstruksiyang sudah berjalan lama pada leher kandung kemih).

Menurut Andra Saferi dan Yessie Mariza (2013), timbulnya gejala LUTS (lower
urinary tract symptom) merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli untuk untuk
mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami kepayahan (fatique) sehingga
jatuh kepada fase dekompensasi yang diwujudkan dalam bentuk retensi urine akut.

Adapun gejala dan tanda yang nampak pada pasien dengan BPH :

 Retensi urine

Kurangnya atau lemahnya pancaran kencing

 Miksi yang tidak puas

 Frekuensi kencing bertambah terutama malam hari (nocturia)

 Miksi harus mengejan

 Terasa panas, nyeri atau sekitar waktu miksi (disuria)

 Massa pada abdomen bagian bawah (hematuria)

 Urgency (dorongan yang mendesak dan mendadak untuk mengeluarkan urin)

 Kesulitan mengawali dan mengakhiri miksi

 Kolik renal

 Berat badan turun

B. Konsep Dasar Keperawatan

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang membutuhkan perawatan


tidak terlepas dari pendekatan dengan proses keperawatan. Proses keperawatan yaitu suatu
proses pemecahan yang dinamis dalam usaha untuk memperbaiki dan melihat pasien sampai
ketaraf optimum melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu
memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan
tindakan, dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan.

1. Fokus Pengkajian

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan.


Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :

a. Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan darah. Peningkatan nadi
sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.

b. Integritas
Ego Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena
memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda
seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.

c. Eliminasi

Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang terjadi karena tindakan
invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk
mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh
: merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan
viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga
ada kemugkinan terjadinya konstipasi.

d. Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek


penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi
BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan
yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.

e. Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang
utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien
post operasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri
punggung bawah.

f. Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput
dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan
akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda
infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre operasi), sedang pada
postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka
bedah maupun pada saluran perkemihannya.

g. Seksualitas

Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi terkadang mengalami masalah
tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama
hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri
tekan pada prostat.

h. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi maupun post operasi
BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi urin,
BUN/kreatinin, asam fosfat serum, sel darah putih. Sedangkan pada post operasinya perlu
dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit
untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.

2. Prioritas Diagnosa Masalah

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul dari hasil pengkajian pada pasien
dengan BPH menurut Doengoes, dkk (2006) dan NANDA (2007), adalah :

a. Pre operasi

Diagnosa keperawatan pre operasi BPH, yaitu :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (resistensi vesika, penebalan destrusor
dan disuria).

2. Perubahan pola eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik (penebalan


destrusor dan retensi urin).

3. Cemas berhubungan dengan status kesehatan (kemungkinan prosedur operasi).

4. Kurang pengetahuan berhubugan dengan keterbatasan paparan.

5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan pemberian obat diuretik


serta distensi kandung kemih.

6. Resiko infeksi berhubungan dengan destruksi jaringan serta refluks vesiko ureter.

b.Pasca operasi

Diagnosa keperawatan pasca operasi BPH, yaitu :

1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis
dari drainase kandung kemih yang terlalu cepat.

2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi (terputusnya kontinuitas jaringan
akibat pembedahan).

3. Kerusakan mobolitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovakuler (nyeri).

4. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.

5. Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan lingkungan terhadap patogen


(adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).

3. Fokus Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan menurut Diagnosa Keperawatan Nanda (NIC & NOC) (2007),
yaitu pada tabel 2.3 tentang intervensi pre operasi dan tabel 2.4 tentang intervensi post
operasi.
Tabel 2.3 Intervensi Keperawatan Pre Operasi

No. DX NOC NIC


1 Setelah dilakukan tindakan keperawatan NIC: Manajemen Nyeri
diharapkan nyeri berkurang atau hilang. a. Kaji secara menyeluruh tentang
NOC 1: Level Nyeri nyeri termasuk lokasi, durasi,
frekuensi, intensitas, dan faktor
Indikator Awal Akhir penyebab
Laporan frekuensi nyeri b. Observasi isyarat non verbal
Kaji frekuensi nyeri dari ketidaknyamanan terutama
Lamanya nyeri jika tidak dapat berkomunikasi
berlangsung secara efektif
Ekspresi wajah terhadap c. Berikan analgetik dengan tepat.
nyeri d. Berikan informasi tentang
Perubahan vital sign nyeri, seperti penyebab
nyeri,berapa lama akan
berakhir, dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur.
e. Ajarkan tekniknon formakologi
(misalnya; relaksasi, distraksi).

Anda mungkin juga menyukai