Anda di halaman 1dari 3

MEMBANGUN KETAHANAN ENERGI FOSIL NASIONAL

Oleh
Maxensius Tri Sambodo
Peneliti di Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI

Terbit Pada Koran Kontan 5 NOVEMBER 2007

Energi fosil masih mendominasi sumber energi primer di Indonesia. Di tahun


2003, peranan bauran minyak, gas dan batu bara terhadap total energi primer
mencapai sekitar 95% dan minyak bumi menyumbangkan lebih dari
setengahnya. Dalam blue print energi nasional, pemerintah bertekad untuk
mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan di tahun 2025 yaitu
pada skenario optimis, peranan energi berbasis fosil terhadap bauran energi
primer diharapkan akan menjadi sekitar 89%. Namun demikian dalam
skenario business as usual prosi energi berbasis fosil tetap tidak bergeming di
level 95%. Dengan memperlihatkan trend yang diharapkan terjadi di tahun
2025, maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, dalam konteks bauran
energi fosil terlihat upaya pemerintah untuk mengurangi peran minyak dan
memperbesar kontribusi gas dan batubara. Hal inilah yang menyebabkan
mengapa bauran energi primer berbasis fosil tidak mengalami penurunan
yang berarti. Kedua, diversifikasi energi terutama dengan memanfaatkan
energi di luar fosil nampaknya belum dilakukan secara progresif. Hal ini
tercermin dari kontribusinya energi baru dan terbarukan yang ditahun 2003
porsinya baru sekitar 5%, namun dalam skenario business as usual porsinya
menjadi 3% dan dalam skenario optimis porsinya meningkat menjadi 10,6%.

Runtuhnya suatu Masyarakat

Meningkatnya akan kebutuhan energi fosil khususnya bahan bakar minyak


yang tidak diimbangi oleh sisi ketersediaan yang mencukupi akan
mengancam ketahanan energi nasional dan bukan tidak mungkin hal ini dapat
menghancurkan suatu peradaban. Belajar dari pengalaman keruntuhan suatu
peradaban dunia katakanlah dalam kasus Pulau Rapa Nui atau Easter Island
yang mengalami penurunan jumlah penduduk secara drastis, terjadi karena
masyakat disana lalai dalam menyikapi perubahan ketersediaan sumber daya
yang telah semakin langka akibat dari pertambahan penduduk, meningkatnya
kegiatan produksi, dan konsumsi. Demikian juga dengan sikap kepemimpinan
dan budaya lokal yang tidak adaptif menyebabkan sumber daya vital yang
ada di pulau tersebut menjadi punah. Joseph Tainter seorang sejarawan
Amerika Serikat mengatakan bahwa faktor utama yang membuat suatu
peradaban menjadi hancur adalah faktor kompleksitas dan terjadinya
tambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Tentu saja,
dengan berjalannya waktu masalah yang dihadapi oleh suatu komunitas akan
semakin rumit dan membutuhkan biaya dan sumber daya yang besar untuk
mengatasinya. Pada sisi lain biaya untuk mempertahankan suatu sistem
birokrasi yang besar, tenaga profesional, dan kelompok lapisan masyarakat
atas akan semakin membengkak. Jika kompleksitas seperti ini terjadi maka
tanda-tanda kehancuran suatu masyarakat sudah ada di depan mata.

1
Selanjutnya bagaimana kunci untuk bertahan (keys to survival)? Leeb dan
Strathy (2006) mengemukakan tiga langkah yang harus dilakukan. Pertama,
dengan melakukan penyederhaan atau memutus rantai kompleksitas yang
akan membuat biaya untuk memecahkan masalah semakin besar dan
mengarah pada terjadinya deminishing return. Tentu saja memutus rantai
kompleksitas akan berakibat pada kahancuran pada sisi lainnnya. Namun
demikian yang terpenting yang perlu dilakukan yaitu membuat proses
transformasi yang terencana sehingga pemutusan rantai kompleksitas
menelan biaya paling kecil. Pengalaman menunjukkan bahwa gradual
approach akan jauh memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan big
bang approach dalam menjalani suatu masa transisi. Langkah kedua yang
dapat dilakukan yaitu dengan mengendalikan laju pertumbuhan populasi,
produksi, dan konsumsi dalam istilah (a zero-growth society). Langkah
terakhir yang paling penting yaitu mengembangkan sumber energi baru dan
terbarukan yang tentu saja dapat dipertahankan keberadaannya sekalipun
dalam kondisi yang semakin kompleks dan tanpa harus menyebabkan
kerentanan pada masyarakat.

Langkah Kedepan

Menyikapi ancaman akan kerentanan masyarkat terhadap ketersediaan


pasokan energi maka hal-hal berikut penting untuk diperhatikan. Pertama,
membangun kesamaan visi di antara para stakeholder menjadi hal penting
dibalik keberhasilan progam efisiensi energi dan membangun keamanan
energi. Agar hal ini dapat berjalan dengan optimal maka evaluasi dan
koordinasi perlu terus-menerus dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
taget yang direncanakan dapat tercapai. Proses ini juga penting dalam upaya
mempertahankan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan tidak hanya di
tingkat pemerintah pusat tetapi juga dalam konteks daerah. Kedua, market
based approach perlu menjadi media alokasi sumber daya termasuk basis
dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Agar pendekatan ini dapat
berjalan secara optimal dan efisien maka diperlukan transparansi pasar, level
of plying field yang sama serta mendorong lebih banyak aktor untuk terlibat.
Ketiga, pengembangan teknologi menjadi kata kunci bagi pembangunan
sektor energi yang berkelanjutan termasuk dalam hal ini teknologi dalam
untuk mengurangi emisi (emission cutting). Investasi untuk infrastruktur energi
juga penting bagi upaya akselerasi pemerataan akses energi.

Keempat, meningkatkan efesiensi penggunaan energi. Efesiensi penggunaan


energi dapat dilakukan melalui berbagai bentuk. Di sektor transportasi, hal
yang dapat dilakukan yaitu dengan mengembangkan sarana angkutan massal
(mass rapid trasportation) terutama di dalam menghubungkan beberapa
lokasi yang memiliki tingkat kepadatan yang sangat tinggi. Membangun
sarana transportasi yang efesien mampu mengerem pertumbuhan konsumsi
BBM yang pada gilirannya dapat menunda terjadinya kelangkaan. Hal yang
juga penting pengembangan sarana transportasi masal yang berkualitas
dapat menghindari terjadinya kemacetan.

Kelima, keterkaitan yang erat antara sektor energi dan lingkungan membuat
kebijakan yang dibangun di sektor energi ataupun lingkungan harus saling

2
berhubungan antara yang satu dan lainnya. Model insentif dapat diberikan
kepada sektor ekonomi yang mampu mengembangkan kemampuan teknologi
guna meningkatkan efisiensi pemakaian energi sekaligus mengurangi
intensitas emisi gas karbon dioksida. Model insentif seperti ini perlu didukung
oleh pemerintah dan sektor perbankan. Jika kedua saran tersebut dapat
dilakukan maka kelangkaan bahan bakar berbasis fosil dapat diperlambat.

Anda mungkin juga menyukai