Anda di halaman 1dari 14

POLICY PAPER

PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA (PBK)


UNTUK PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015-20191

Bambang Wicaksono2

Latar Belakang

Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik
yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis,
dan hirarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih
mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan
sederhana. Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama dalam
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru dalam
manajemen sektor publik tersebut dikenal sebagai pendekatan New Public
Management.

Bergesernya paradigma manajemen pemerintahan dalam dua dekade terakhir yang


semula menggunakan pendekatan proses menjadi pendekatan hasil, telah
berkontribusi besar dalam mereformasi sistem pengelolaan keuangan di berbagai
negara. Di Indonesia, reformasi pengelolaan keuangan negara dimulai sejak
dikeluarkannya UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. UU ini telah memberikan
perubahan mendasar dengan diperkenalkannya pendekatan penganggaran berbasis
kinerja (performance based budgeting) dalam penyusunan anggaran pemerintah.

UU Nomor 25 tahun 2004 dan UU Nomor 17 tahun 2003 di rinci lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah (RKP), dan PP Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga (RKA-KL) yang mengintegrasikan
proses perencanaan pembangunan dengan proses penganggaran. Penerapan
Sistem Anggaran Berbasis Kinerja, sesuai pasal 15 dari PP Nomor 21 tahun 2004
dilaksanakan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005, dengan tahap
implementasi proses reformasi dalam jangka waktu lima tahun yaitu hingga tahun
2010. Dimulai tahapan sejak tahun 2005 hingga tahun 2010, tahun 2009 merupakan
midlle term dari masa penerapan anggaran berbasis kinerja (ABK).

Sebagai tindak lanjut reformasi pengelolaan keuangan negara di atas, pengelolaan


keuangan negara didasarkan pada prinsip bahwa rencana kerja dan anggaran
disusun dengan menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yakni: (a) anggaran terpadu
(unified budget); (b) kerangka pengeluaran jangka menengah atau disebut KPJM;
dan (c) penganggaran berbasis kinerja atau disebut dengan PBK 3 . Pada
perkembangannya, penggunaan pendekatan PBK yang menjadi fokus, sedangkan
kedua pendekatan lainnya berfungsi mendukung penerapan PBK.

Sebelum berlakunya sistem Anggaran Berbasis Kinerja, metode penganggaran yang


digunakan adalah metode tradisional atau item line budget. Cara penyusunan

1
Policy Paper ini disusun dalam rangka mendukung penyusunan Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015-2019, kerjasama Biro Perencanaan
KKP dengan IMACS USAID
2
Konsultan IMACS USAID Bidang Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Kebijakan
(Policy, Operational and institutional Strengthening) Specialist
3
Kementerian Keuangan RI. 2009. Buku 2 : Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis
Kinerja (PBK), Jakarta.

1
anggaran ini tidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus
dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan, namun lebih dititikberatkan pada
kebutuhan untuk belanja/pengeluaran dan sistem pertanggung jawabannya tidak
diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara efektif dan efisien
atau tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya
keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja namun jika anggaran
tersebut defisit atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut gagal. Dalam
perkembangannya, muncullah sistematika anggaran kinerja yang diartikan sebagai
suatu bentuk anggaran yang sumber-sumbernya dihubungkan dengan hasil dari
pelayanan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2013 telah memulai
menggunakan pendekatan BSC (Balanced Score Card) sebagai basis penyusunan
anggaran berbasis kinerja. Pada penyusunan Rencana Strategis (Renstra) KKP
2015-2019, pihak Biro Perencanaan KKP telah berkomitmen untuk memulai
menerapkan penggunaan penganggaran berbasis kinerja (PBK) untuk
pembangunan kelautan dan perikanan.

Pada desk study yang dilakukan oleh IMACS 4 , penggunaan konsep PBK telah
direkomendasikan atas dasar 4 (empat) aspek mendasar, yakni; Pertama,
keberadaan mandat organisasi KKP untuk melaksanakan reformasi birokrasi. Hal
utama dalam reformasi birokrasi sebagai agenda nasional adalah dalam rangka
menciptakan tata peemrintahan yang bersih dan berwibawa melalui keterbukaan/
transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum.
Serta membuka partisipasi masyarakat dalam menjamin keterpaduan dan
keserasian tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Amanat
undang-undang (UU) yang menjadi landasan perwujudan tujuan ini adalah UU No.
5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Regulasi ini merupakan penyempurnaan dari
barbagai payung hukum sebelumnya, yakni: UU No. 28/1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; UU No.17/2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025; UU No 1/2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan; UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Kedua, visi pimpinan KKP. Dalam Rakornas Pembangunan Kelautan dan Perikanan
(KP) pada tahun 2013 dan 2014, para Pimpinan Eselon I KKP pun telah menjawab
tantangan untuk penguatan kelembagaan KKP dalam pengelolaan keuangan
pembangunan KP. Dalam berbagai dokumen dan paparan pimpinan KKP telah
dijelaskan pokok-pokok serta arah kebijakan untuk penguatan kelembagaan di
bidang pengelolaan keuangan pembangunan KP tersebut melalui penerapan PBK
(Penganggaran Berbasis Kinerja).

Ketiga, perkembangan kajian keilmuan terkait pengelolaan keuangan negara yang


akuntabel dan transparan. Secara konseptual, Performance Based Budgeting (PBB)
yang dikembangkan pada era 1990-an tersebut bertujuan untuk mengkoreksi sistem
penganggaran tradisional yang berbasis ‘line-item budgeting’ yang hanya
berorientasi pada pengeluaran (expenditure) dan basis alokasinya yang tidak jelas.
Diamond (2003) menyebutkan bahwa “Planning-Programming Budgeting System”
memperkenalkan konsep pengelolaan anggaran yang mencoba menghubungkan
secara rasional antara besaran anggaran yang ditetapkan (alokasi) dengan hasil

4
IMACS USAID memberikan dukungan kepada Biro Perencanaan KKP dalam proses
penyusunan Renstra KKP 2015-2019 melalui penyusunan berbagai bahan/materi (Work
Stream, WS 1-8) sebagai bahan dasar pembuatan Renstra pada bulan Juni 2014 s/d
Februari 2015).

2
atau tujuan yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran anggaran tersebut. Sejalan
dengan itu, McNab (2001) memperkuat pemikiran tersebut dengan menyatakan
bahwa PBK dipergunakan untuk mengembangkan proses pengambilan kebijakan
yang jelas dan efektif dalam rangka memformulasikan anggaran unit-unit kerja
eksekutif. Pendekatan “New Public Management’ (Hughes, 1998), memberikan
perubahan fundamental terhadap aspek administrasi publik modern dimana
berdampak terhadap profil birokrasi modern yang adaptif terhadap dinamikia
lingkungan, efisien, fleksibel, dan berbasis pada pencapaian hasil atau kinerja.

Keempat, kebutuhan sinergi kebijakan antar kementerian/lembaga terkait. Dalam


konteks pengembangan kolaborasi dan sinergi antar kementerian/lembaga (K/L),
pengembangan praktik good governance oleh pemerintah dilakukan secara
sistematis melalui pembentukan unit kerja Presiden UKP4 untuk memonitor
akuntabilitas kinerja K/L, pengembangan WBK (Wilayah Bebas Korupsi) oleh KPK
maupun BPK.

Isu Strategik Terkait Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja

Manajemen kinerja disokong oleh falsafah yang bersumber dari teori motivasi,
konsep efektivitas organisasi, dan keyakinan tentang bagaimana mengelola kinerja
(Rothwell, 2000) 5 . Teori motivasi yang paling banyak memberikan kontribusi
terhadap falsafah manajemen kinerja terkait dengan tujuan (goals), dorongan
(reinforcement), dan harapan (expectancy). Sedangkan teori dorongan menyatakan
bahwa keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi disertai dengan pemberian
insentif guna mendorong peirlaku yang berhasil, dan bila diulangi kebutuhan yang
sama dapat muncul kembali. Teori harapan menyatakan bahwa agar dapat
meningkatkan motivasi untuk menunjukkan kinerja tinggi, maka seorang
pegawai/karyawan harus merasa mampu mengubah perilaku mereka, memiliki
keyakinan bahwa perubahan perilaku mereka dapat menghasilkan imbalan (insentif),
serta pemberian insentif yang memadai akan membawa pada perubahan perilaku.

Suatu sistem untuk menilai, memberikan insentif dan pengembangan SDM telah
digunakan sebagai unsur yang esensial bagi efektivitas manajemen sumberdaya
manusia dan evaluasi kinerja (performance appraisal) dalam organisasi. Salah satu
teknik manajemen kinerja yang banyak diterapkan yakni "Management By Objective"
(MBO) atau Manajemen Berorientasi Sasaran. Esensi dari MBO adalah proses
penetapan sasaran (goal setting) bersama antara atasan dan bawahan. Melalui
penetapan sasaran, para pimpinan/manajer unit kerja bekerjasama dengan bawahan
untuk menetapkan sasaran dan rencana kinerja yang konsisten dengan tingkat
pekerjaan dan sasaran organisasi (Schermerhorn. R. John, wt.al, 1995).6

Lebih lanjut, Fletcher (1993)7 mengemukakan bahwa manajemen kinerja yang efektif
harus mengarahkan visi dan tindakan yang dilakukan oleh pimpinan unit
kerja/manajer kepada sasaran bersama. Baik atasan maupun bawahan harus saling
memahami terkait hasil kerja seperti apa yang diharapkan. Mereka harus mendorong
tumbuhnya standar kerja yang tinggi, dan menjadikannya sebagai cara untuk
mencapai peningkatan kinerja organisasi daripada kinerja individu.

5
Rothwell, J.W, et.al. 2000. Human Performance Improvement, Gulf Publishing Company,
Houston, USA.
6
Schermerhorn. R. John, Hunt G. James and Osborn. N. Richard. 1995. Basic Organization
Behavior, John Wiley & Sons. Inc, New York, USA.
7
Fletcher, C. 1993. Appraisal: Routes to Improved Performance, Institute of Personnel
Management, London.

3
Amstrong (1995) 8 memberikan perspektif mengenai manajemen kinerja yang
memfokuskan pada proses umpan balik yang memerlukan definisi sasaran
organisasi yang akan dijabarkan ke dalam sasaran bagi masing-masing unit kerja.
Pada tahap berikutnya, masing-masing pimpinan unit kerja/manajer harus
melakukan pembicaraan guna mensepakati mengenai hasil yang akan dicapai,
tindakan yang akan dilakukan, serta mengevaluasi ulang hasil capaian kinerja untuk
perbaikan sasaran dan rencana kinerja individu, unit kerja dan organisasi.

Berbagai keyakinan mengenai bagaimana seharusnya kinerja itu dikelola telah


memberikan kontribusi terhadap penggunaan manajemen kinerja pada tataran
praktik (Anderson, 1993) 9 , seperti penggunaan model input, proses, output dan
dampak, dan penciptaan kemitraan antara para pimpinan unit kerja/manajer dan staf
dalam mengelola kinerja, pada prinsipnya dapat menjadi contoh penerapan
manajemen kinerja berdasar kesepakatan daripada manajemen berdasarkan
perintah.

Reformasi menuju penganggaran yang berorientasi kepada hasil sudah mulai


diterapkan di banyak negara. Penerapan penganggaran berbasis kinerja dimulai dari
Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an, kemudian diikuti oleh Canada,
Denmark, Finlandia, Prancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada
awal sampai pertengahan tahun 1990-an. Selanjutnya, pada akhir tahun 1990-an
sampai dengan awal tahun 2000-an diterapkan di Austria, Jerman, dan Swiss.

Cara yang digunakan dalam penganggaran kinerja di antara negara-negara tersebut


ternyata berbeda-beda. Di Amerika Serikat misalnya, mengembangkan perencanaan
stratejik dan perencanaan kinerja yang berisi target-target kinerja. Sedangkan di
negara lain, seperti Inggris dan Canada menggunakan "kontrak kinerja" antara
menteri dengan unit kerja di bawahnya. Dalam upaya mengkaitkan antara kinerja
dengan anggaran, Australia mengintegrasikan data kinerja dalam dokumen utama
anggarannya. Demikian pula Prancis menyajikan informasi pemetaan kinerja dan
keterkaitan outcome dengan output sebagai lampiran dokumen utama anggaran.
Meskipun sebagian besar negara-negara tersebut telah memasukkan informasi non
keuangan ke dalam dokumen anggarannya, tapi kenyataannya hanya sedikit negara,
Australia dan New Zealand, yang benar-benar melaksanakan anggaran kinerja
(mengaitkan pengeluaran dengan hasil), melaporkan kinerja atas capaian target-
target, dan menggunakan informasi kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi
anggaran pada masa mendatang.

Beberapa negara masih menghadapi kendala dalam mengintegrasikan kinerja ke


dalam dokumen anggaran, seperti di Canda, Inggris, dan Amerika Serikat.
Perubahan menuju penganggaran berbasis kinerja memang merupakan proses yang
kompleks karena terkait dengan perubahan fundamental pada sistem, manajemen,
dan perilaku manusia di dalamnya. Namun, Australia terbukit menjadi salah satu
negara yang paling berhasil menerapkan penganggaran berbasis kinerja ini dengan
mengintegrasikan antara sistem akuntansi dengan sistem penganggarannya, serta
merestrukturisasi keduanya dengan berorientasi pada outcome. Dalam perencanaan
kinerjanya, pemerintah Australia mengembangkan outcomes-outputs approach
dimana pemerintah menetapkan prioritas dan platform kebijakannya yang menjadi
rujukan bagi menteri guna merumuskan outcome dan output yang mendukung

8
Amstrong, Michael. 1995. Performance Management, Mc Graw Hill, New York.
9
Anderson. C. Gordon. 1993. Managing Performance Appraisal System, Blackwell Publisher,
Oxford UK.

4
outcome tersebut. Banyak unit kerja di pemerintah yang menggunakan pendekatan
balance scorecard dalam merumuskan outcome/output-nya.

Perubahan menuju era manajemen berbasis kinerja di beberapa negara Eropa


merupakan bagian dari gerakan welfare reform guna melakukan reformasi sektor
publik. Gerakan ini terutama terlihat di Inggris, Amerika Serikat, Canada dan
Australia yang memfokuskan pada kinerja unit pelayanan publik pemerintah dalam
rangka memenuhi kebutuhan pengguna layanan mereka. Sebelum reformasi ini
dilakukan, fokus manajemen sektor publik adalah pengendalian input, pemenuhan
standar dan kepatuhan anggaran. Setelah reformasi ini, fokus kinerja bergeser pada
pengukuran outcome (manfaat) dan dampak pada masyarakat.

Osborne & Gaebler (1992) 10 menyatakan bahwa pemerintah selalu menghitung


sesuatu atau mengeluarkan laporan-laporan statistik yang cukup banyak jumlahnya.
Namun, sebagian besar hitungan tersebut berfokus pada input atau output saja,
contohnya berapa dana yang dibelanjakan, berapa orang yang dilayani, pelayanan
apa yang diterima oleh tiap-tiap orang, dsb. Namun, jarang mereka berfokus pada
apa hasil perubahan (outcome) yang terjadi di masyarakat atau kelompok sasaran.
Scrensen & Grove (1977)11 menyatakan bahwa organisasi sektor publik seharusnya
menggunakan teknik penilaian kinerja yang befokus pada analisis cost-outcome dan
cost effectiveness atas program yang diberikan. Pendekatan cost outcome adalah
biaya yang dikonsumsi untuk menghasilkan outcome tertentu, sedangkan pada
pendekatan cost effectiveness mengacu pada efektivitas biaya yakni seberapa
efektif biaya yang dikeluarkan mampu mencapai tujuan yang ditetapkan.

Kinerja dan pengukuran kinerja saat ini masih belum dipahami secara merata oleh
para penyelenggara pemerintahan. Kegiatan pemerintahan masih cenderung
dijalankan "as business as usual" sehingga risorsis yang sangat terbatas (anggaran)
tidak dapat memberikan dampak yang optimum bagi masyarakat. Kegiatan
pembangunan kelautan dan perikanan misalnya, harus diarahkan agar memberikan
dampak (outcome) yang benar-benar mampu mengatasi kebutuhan masyarakat
kelautan dan perikanan, serta menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang
diharapi masyarakat. Namun, pada banyak kasus penyelenggaraan pemerintahan
justru kerap terjadi overhead cost yang tinggi sehingga berakibat pada penggunaan
dana/anggaran yang lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan belanja rutin
birokrasi pemerintah. Hal ini dapat dilihat belanja publik yang tidak terlalu besar
proporsinya dibandingkan dengan belanja aparatur. Belanja publik tersebut tidak
banyak diarahkan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk berusaha, serta memecahkan persoalan sosial
ekonomi yang dihadapinya.

Aspek utama dari reformasi penganggaran (budgeting reform) adalah perubahan


dari angggaran tradisional yang berfokus pada input ke anggaran berbasis kinerja
yang lebih memfokuskan pada output dan memperhatikan konsep value for money.
Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja mengutamakan upaya
pencapaian hasil kerja (output/outcome), serta berlandaskan pada asas efisiensi,
tepat guna, tepat waktu pelaksanaan, serta penggunaannya dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, komponen-komponen yang harus
dipergatikan dalam menyusun PBK mencakup: (1) struktur program yang jelas untuk
mencapai output dan outcome yang terukur, serta jelas siapa penanggungjawabnya;

10
Donald Kettle, 2005. The Next Governent of the United States: Challenges for
Performance in the 21st.
11
Mark D. Abraham and Mary Noss Reavely, 1998. Avtivity Based Costing: Illustrations from
the State of IOWA 1998.

5
(2) memiliki indikator kinerja; (3) memiliki metode pengukuran kinerja dan evaluasi
program; serta (4) adanya sistem informasi mengenai kinerja.

Pendekatan New Public Management (NPM)

Model New Public Management (NPM) mulai dikenal tahun 1980-an dan kembali
populer tahun 1990-an dengan mengalami beberapa bentuk inkarnasi, seperti
misalnya kemunculan konsep "managerialism" (Pollit, 1993); "market-based public
administration" (Lan, Zhiyong, and Rosenbloom, 1992); "post-bureaucratic paradigm"
(Barzelay, 1992); dan "enterpreneurial government" (Osborne and Gaebler, 1992.
NPM berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan
berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut
telah menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah, yakni munculnya tuntutan untuk
melakukan efisiensi, pemangkasan biaya, dan kompetisi kinerja.

Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model
pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam
pandangannya yang kemudian dikenal dengan konsep "reinventing government"
atau mewirausahakan pemerintah. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan
Gaebler ini memiliki 10 prinsip dasar, yaitu :

1. Pemerintahan katalis. Pemerintah tidak harus terlibat secara langsung


dengan proses produksi barang dan jasa. Pemerintah sebaiknya
memfokuskan diri pada pemberian arahan atau fasilitasi, sedangkan proses
produksi dapat diserahkan pada swasta atau pihak ketiga lainnya, seperti
lembaga swadaya masyarakat atau lembaga non profit lainnya;
2. Pemerintah milik masyarakat. Pemerintah sebaiknya memberdayakan
masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri (self help
community). Misalnya, untuk dapat lebih mengembangkan usaha kecil, maka
sebaiknya memberikan wewenang yang lebih optimal kepada asosiasi
pengusaha kecil guna memecahkan masalah yang sering dihadapi.
3. Pemerintahan yang kompetitif. Pemerintah harus memiliki kemampuan untuk
mendorong samangat kompetisi dalam pemberian pelayanan publik. Melalui
kompetisi banyak jenis pelayanan publik yang dapat ditingkatkan kualitasnya
tanpa harus memperbesar biaya.
4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi. Pemerintah harus mampu
mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan (rule driven) menjadi
organisasi yang digerakkan oleh misi (mission driven).
5. Pemerintahan yang berorientasi hasil. Model alokasi anggaran pada
organisasi birokrasi pemerintah/unit kerjanya ditentukan berdasarkan
kompleksitas masalah yang dihadapi melalui pengembangan standar kinerja
yang mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan
permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya,
semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua
dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut.
6. Pemerintahan berorientasi pada pelanggan. Organisasi pemerintah harus
mengutamakan kebutuhan pelanggan, bukan pejabat/aparatur birokrasi atau
anggota legislatif. Pemerintah akan mengindentifikasi siapa pelanggan
sesungguhnya yang akan dilayaninya sehingga birokrasi tidak bersikap
arogan pada masyarakat. Melalu cara ini, birokrasi akan menciptkan sistem
pertanggungjawaban ganda (dual accountability) yakni kepentingan legislatif
dan masyarakat.
7. Pemerintahan wirausaha. Organisasi birokrasi memiliki kemampuan untuk
menciptakan pendapatan bukan sekedar membelanjakan uang negara.

6
Birokrasi harus memiliki inovasi dari setiap aktivitas yang dilakukannya guna
menghasilkan pendapatan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku, misalnya; pemberian hak guna usaha,
penyertaan modal, dsb.
8. Pemerintahan antisipatif. Birokrasi harus memiliki kapasitas untuk melakukan
tindakan pencegahan daripada 'mengobati' atau bersikap reaktif terhadap
suatu permasalahan. Birokrasi seharusnya mampu bersikap pro aktif, dimana
akan selalu mencoba untuk mencegah masalah, serta berupaya keras untuk
mengatisipasi masa depan melalui penggunaan perencanaan strategis guna
menciptakan visi.
9. Pemerintahan desentralisasi. Organisasi birokrasi harus mampu melakukan
perubahan diri (transformasi) dari hierarkhi menuju model partisipasi dan tim
kerja. Kondisi saat ini sudah sangat berbeda dengan 50 tahun lalu dimana
perkembangan teknologi informasi sudah sangat pesat, kebutuhan dan
keinginan masyarakat dan dunia usaha (bisnis) sudah sangat kompleks,
sumber daya manusia di birokrasi semakin berpendidikan tinggi dan
profesional. Oleh karena itu, pola pengambilan keputusan harus berubah dari
sentralistik dan hierarkhis digeser ke tangan masyarakat, asosiasi, pengguna
layanan, dan lembaga swadaya masyarakat agar lebih partisipatif dan
memberikan porsi tanggungjawab penyelesaian masalah publik kepada
masyarakat.
10. Pemerintahan berorientasi pada pasar. Birokrasi perlu melakukan
penyesuaian cara mengalokasian sumber daya dari mekanisme administratif
(prosedur dan pemaksaan) ke mekanisme pasar (sistem insentif). Melalui
penggunaan mekanisme pasar, birokrasi tidak memerintahkan atau
mengawasi tapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar
orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat luas.

Kemunculan konsep New Public Management tersebut berpengaruh langsung


terhadap konsep anggaran publik. Salah satu bentuk pengaruh yang ditimbulkannya
yakni perubahan sistem anggaran birokrasi pemerintah dari model anggaran
tradisional menjadi sistem anggaran yang berorientasi pada kinerja, seperti
penggunaan Zero Based Budgeting (ZBB), Planning, Programming and Budgeting
System (PPBS), dan Performance Based Budgeting (PBB).

Tuntutan terhadap penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik (good


governance) kepada birokrasi pemerintah terus semakin menguat sejak 10 tahun
terakhir ini. Oleh karena itu, pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja menjadi
salah satu solusinya dimana menjadikan mekanisme penganggaran lebih
memfokuskan pada kinerja dan pencapaian hasil sebagai wujud
pertanggungjawabannya. Penganggaran berbasis kinerja merupakan metode
penganggaran bagi manajemen yang mengaitkan setiap biaya yang dituangkan
dalam kegiatan-kegiatan dengan manfaat yang dihasilkan. Manfaat tersebut
dideskripsikan pada seperangkat tujuan dan sasaran yang dituangkan dalam target
kinerja pada setiap unit kerja.

Penganggaran berbasis kinerja yang efektif akan mengindentifikasikan keterkaitan


antara nilai uang dan hasil, serta dapat menjelaskan bagaimana keterkaitan tersebut
dapat terjadi yang merupakan kunci pengelolaan program secara efektif. Jika terjadi
perbedaan antara rencana dan realisasinya, dapat dilakukan evaluasi sumber-
sumber input dan bagaimana keterkaitannya dengan output/outcome guna
menentukan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program. Keunggulan PBK adalah
penyusunannya dilakukan dengan mendasarkan pada program, fungsi, dan kegiatan
dengan menetapkan satuan pengukuran tertentu, serta tujuan (visi) yang telah
dirumuskan.

7
Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) di Indonesia

Ciri utama PBK adalah anggaran yang disusun memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan (input) dengan hasil yang diharapkan (outcomes) sehingga mampu
memberikan informasi tentang efisiensi dan efektivitas kegiatan.12

Kerangka Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) merupakan bagian dari


akuntabilitas kinerja pemerintahan. Kerangka PBK menggambarkan kinerja K/L
sebagai penjabaran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan dilaksanakan oleh unit
kerja di lingkungannya. Pada konteks KKP, kerangka PBK di tingkat KKP dapat
dilihat pada Diagram 1 di bawah ini:
Diaragm 1. Kerangka PBK Tingkat Kementerian
Kelautan dan perikanan

Sasaran Strategis
(Outcome/Impact)
Kementerian Kelautan
Renstra KKP 2015-2019
& PerikananVisi & Misi

Tupoksi Mendukun
Penjabaran g
pencapaia
Unit Kerja Eselon I
Program Sasaran Program
(Outcome)
Tupoksi
IK
Penjabaran
U
Unit Kerja Eselon II/ Mendukun
Kegiatan
Satker g
pencapaia
Tupoksi
Sasaran Kegiatan
(Output

IK IK IK
U U U

Diagram 1 di atas menggambarkan kerangka PBK di tingkat K/L (KKP) dan


hubungan dengan masing-masing tingkatan kinerja secara rinci dalam rangka
pencapaian outcome KKP sebagai berikut:

a) KKP melaksanakan rencana strategis (Renstra) dan rencana kerja (Renja)


dan menghasilkan outcome KKP beserta indikator kinerja utamanya (IKU);
b) Renstra dijabarkan ke dalam program yang menjadi tanggung jawab Unit
Kerja Eselon I, dan menghasilkan outcome program;
c) Selanjutnya program dijabarkan ke dalam kegiatan-kegiatan yang menjadi
tanggung jawab Unit Kerja Eselon II, dan menghasilkan output kegiatan
beserta indikator kinerja.

Jika mekanisme penganggaran dihubungkan dengan kerangka PBK di atas, maka


keterkaitannya dapat dijelaskan sebagai berikut:

12
Kementerian Keuangan RI. 2009. Buku 2 : Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis
Kinerja (PBK)

8
1) Pada tingkat nasional, pengalokasian anggaran didasarkan pada target
kinerja sesuai prioritas dan fokus prioritas pembangunan, serta pemenuhan
kewajiban sesuai amanat konstitusi;
2) Target kinerja sesuai prioritas dan fokus prioritas selanjutnya dijabarkan
dalam kegiatan-kegiatan prioritas;
3) Pada tingkat K/L (KKP), pengalokasian anggaran mengacu pada Program
dan Kegiatan masing-masing unit kerja sesuai tugas dan fungsinya, termasuk
kebutuhan anggaran untuk memenuhi angka dasar (baseline) serta alokasi
untuk kegiatan prioritas yang bersifat penugasan;
4) Penghitungan kebutuhan anggaran untuk masing-masing kegiatan mengacu
pada standar biaya dan target kinerja yang akan dihasilkan;
5) Rincian penggunaan dana menurut jenis belanja, dituangkan ke dalam
dokumen anggaran hanya pada level jenis belanja (tidak dirinci sampai
dengan kode akun).

Prinsip-prinsip dasar yang dipergunakan dalam penganggaran berbasis kinerja


meliputi:

1) Alokasi anggaran berorientasi (output dan outcome oriented).

Alokasi anggaran yang disusun ke dalam dokumen rencana kerja dan


anggaran dimaksudkan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya
dengan menggunakan sumberdaya yang efisien. Dalam hal ini,
program/kegiatan harus diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang
telah ditetapkan dalam rencana.

2) Fleksibilitas pengelolaan anggaran untuk mencapai hasil dengan tetap


menjaga prinsip akuntabilitas.

Prinsip tersebut menggambarkan keleluasaan manajer unit kerja (Kuasa


Pengguna Anggaran) dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai untuk
mencapai keluaran sesuai rencana. Keleluasaan tersebut meliputi penentuan
cara dan tahapan suatu kegiatan untuk mencapai keluaran dan hasilnya pada
saat pelaksanaan kegiatan, yang memungkinkan berbeda dengan rencana
kegiatan.

3) Money Follow Function, Function Followed by Structure

Money follow function merupakan prinsip yang menggambarkan bahwa


pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada
tugas dan fungsi unit kerja sesuai tujuan pendiriannya.
Selanjutnya, prinsip tersebut dikaitkan dengan function followed by structure,
yang bermakna bahwa struktur organisasi yang dibentuk sesuai dengan
fungsi yang diemban. Tugas dan fungsi organisasi dibagi habis dalam unit-
unit kerja yang ada dalam struktur organisasi dimaksud sehingga dipastikan
tidak terjadi duplikasi tugas-fungsi.

Penerapan prinsip tersebut berkaitan erat dengan kinerja yang menjadi tolok
ukur efektivitas pengalokasian anggaran. Hal ini didasarkan pada
argumentasi sebagai berikut:

a) Efisiensi alokasi anggaran dapat dicapai karena dapat dihindarkan


terjadinya overlapping tugas, fungsi, dan kegiatan;

9
b) Pencapaian output dan outcome dapat dilakukan secara optimal,
karena kegiatan yang diusulkan masing-masing unit kerja benar-
benar merupakan pelaksanaan dari tugas dan fungsinya.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, maka penerapan PBK diharapkan dapat


mencapai hal-hal berikut :

1) Menunjukkan keterkaitan antara pendanaan dengan prestasi kinerja yang


akan dicapai;
2) Meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelaksanaan;
3) Meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas
dan pengelolaan anggaran.

Penyusunan anggaran berbasis kinerja memerlukan 3 (tiga) komponen untuk


masing-masing program dan kegiatan sebagaimana uraian pasal 7 (ayat 2)
Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan
Anggaran Kementerian Negara/Lembaga berupa :

1. Indikator Kinerja.
Indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu
program atau kegiatan. Indikator Kinerja Utama (Key Performance indicators)
terdiri dari Indikator Kinerja Program/IKU Program) digunakan untuk menilai
kinerja program, Indikator Kinerja Utama Kegiatan/IKU Kegiatan untuk
menilai kinerja kegiatan, dan Indikator Keluaran untuk menilai kinerja sub-
kegiatan (tingkatan di bawah kegiatan).

2. Standar Biaya.
Dalam konteks penerapan PBK di Indonesia, standar biaya memiliki peran
unik. Standar biaya tidak dikenal oleh negara-negara yang terlebih dahulu
menerapkan PBK. PBK menggunakan standar biaya sebagai alat untuk
menilai efisiensi pada masa transisi dari sistem penganggaran bercorak 'input
based' ke penganggaran yang bercorak 'output based'.

Standar biaya yang digunakan merupakan standar biaya masukan pada awal
tahap perencanaan anggaran berbasis kinerja, dan nantinya menjadi standar
biaya keluaran. Pengertian tersebut diterjemahkan berupa Standar Biaya
Umum (SBU), dan Standar Biaya khusus (SBK). SBU digunakan lintas
kementerian negara/lembaga, dan/atau lintas wilayah, sedangkan SBK
digunakan oleh kementerian negara/lembaga tertentu dan/atau wilayah
tertentu.
3. Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah
implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan
kualitas kinerja baik dari sisi efisiensi maupun efektivitas dari suatu
program/kegiatan.

Keseriusan dalam menciptakan pemerintahan yang baik (good governance)


hendaknya dapat diwujudkan dengan keterbukaan dalam menyelenggarakan
pengelolaan keuangan negara dan akuntabilitas. Hal ini sesuai dengan kaidah-
kaidah dasar pengelolaan keuangan negara, yakni; (a) akuntabilitas berorientasi
pada hasil; (b) profesionalitas; (c) proporsionalitas; (d) keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan negara; dan (e) pemeriksaan keunagan oleh badan
pemeriksa yang bebas dan mandiri.

10
Penganggaran berbasis kinerja akan memberikan informasi kinerja atas
pelaksanaan suatu program/kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah,
serta hasil dan dampaknya bagi masyarakat luas. Dengan demikian, inti dari
penerapan PBK berupa informasi kinerja yang memuat siklus penganggaran yang
terdiri dari 8 tahapan sebagai berikut :

No Uraian Kegiatan Dok Sumber


1 Penetapan sasaran strategis KKP Renstra KKP 2015-2019
2 Penetapan outcome, program, output & kegiatan Renstra KKP 2015-2019
3 Penetapan IKU Program & IKU Kegiatan Renstra Eselon I
4 Penetapan Standar Biaya RKA-KL
5 Menghitung kebutuhan anggaran RKA-KL
6 Pelaksanaan kegiatan & pembelanjaan Lapora Monev
7 Pertanggungjawaban LAKIP
8 Pengukuran & evaluasi kinerja LAKIP

Yang perlu dicermati, dari kedelapan tahapan tersebut di atas sampai dengan tahun
2009 lalu baru sampai pada tahapan ke-3. Dengan kata lain, sebagian besar
kementerian/lembaga yang telah mencoba mengadopsi konsep PBK baru dapat
menjalankan pada step ke-3 saja. Sebenarnya penerapan PBK pada instansi
pemerintah di Indonesia sudah dicanangkan melalui pemberlakuan UU No. 17/2003
tentang Keuangan Negara dimana penerapannya dilakukan secara bertahap mulai
tahun anggaran 2005. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP No. 20/2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP No. 21/2004 tentang Penyusunan
Rencana kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) sebagai basis
operasionalisasi kebijakan penganggaran berbasis kinerja. Bahkan, Kementerian
Keuangan telah mengatur lebih rinci penerapa PBK melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 54/PMK.02/2005, serta membangun aplikasi program
komputer RKA-KL-nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak tahun 2005 beberapa kementerian/lembaga


(termasuk Kementerian Kelautan dan Perikanan) sudah menggunakan aplikasi
program PBK tersebut dalam penyusunan anggaran. Namun, pertanyaan paling
mendasar yang harus dijawab yakni "apakah kinerja benar-benar telah menjadi
basis dalam penyusunan anggaran dengan format RKA-KL tersebut?"

Kelemahan Penerapan PBK di Indonesia

Secara faktual, yang banyak terjadi saat ini adalah format RKA-KL baru sekedar
'menempelkan' nama program, kegiatan, dan sub kegiatan ke dalam dokumen
anggaran, namun substansi ukuran kinerjanya belum terlihat secara konkret, serta
proses penyusunannya belum sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran berbasis
kinerja. Bahkan, banyak staf dari kementerian/lembaga yang justru mengeluhkan
penerapan PBK yang dipandang terlalu rumit dan tidak fleksibel yang terkadang
menghambat kelancaran proses pencairan anggaran.

Kondisi di atas tentu saja sangatlah jauh dari esensi anggaran kinerja yang
mengkaitkan kinerja dengan anggaran, menjanjikan fleksibilitas dalam pelaksanaan
anggaran, memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya (let's the
managers manage), dan memiliki mekanisme pelaporan yang dapat memberikan
umpan balik untuk peningkatan kinerja.

11
Dalam praktik PBK baik di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, masih
banyak dijumpai banyak kelemahan mendasar sejak melakukan perencanaan
kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran, sampai dengan
penuangannya ke dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan
APBN/APBD). Meski pemeirntah telah memiliki Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
namun RKP tersebut cenderung hanya berupa kompilasi berbagai usulan program
kementerian/lembaga dengan indikator yang juga beragam yang menjadikan
Bappenas mengalami kesulitan untuk merumuskan indikator kinerja nasional. Di
dalam RKP sangat sulit ditemukan secara jelas apa kinerja yang spesifik dan terukur
yang akan dihasilkan dari program-program pemerintah, setiap instansi akan
memberikan bentuk kontribusi atau melakukan apa, serta bagaimana mengukur
semua kontribusi dari masing-masing instansi pemerintah guna mewujudkan kinerja
bersama. Kalaupun dalam RKP tercantum sasaran kinerja program, biasanya
dirumuskan dalam bahasa yang 'bombastis' sehingga kurang jelas bagaimana cara
mengukurnya, serta berapa target yang harus dicapai.

ketidakjelasan perencanaan kinerja pada level nasional berlanjut pada


ketidakjelasan rencana kinerja (Renja) pada masing-masing kementerian/lembaga.
Penamaan program dan kegiatan instansi (unit kerja eselon I & II) juga banyak yang
belum menunjukkan core business dari kementerian/lembaga yang bersangkutan
karena masih banyak terpengaruh oleh penamaan program dan proyek versi lama
atau versi Daftar Isian Proyek (DIP). Banyak nama program yang bersifat generik,
seperti Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, Program Pengelolaan Sumber
Daya Aparatur, serta Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan, yang
terdapat pada hampir semua instansi. Bahkan, untuk program yang sama, tiap
instansi/unit kerja bisa mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran programnya
dimana kemungkinan besar akan memiliki perbedaan yang pada akhirnya akan
menyulitkan pengukuran kinerjanya. Antara program-program pemerintah dan
program-program pada masing-masing kementerian/lembaga belum terstruktur
dengan baik sehingga sulit dipetakan keterkaitannya.

Dari sisi proses penyusunan anggaran, terdapat beberapa kelemahan mendasar,


yakni; Pertama, terkait pengisian formulir-formulir RKA-KL yang ternyata belum
mampu mendorong kementerian/lembaga untuk menyatakan kinerjanya, baik kinerja
hasil (outcome) program maupun keluaran (output) kegiatan. Formulir-formulir RKA-
KL justru mengharuskan kementerian/lembaga untuk melakukan penghitungan detil
anggaran per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja dan mata anggaran yang
akhirnya berdampak pada penganggaran yang sangat rinci dan kaku (rigid).
Informasi mengenai hasil program dan keluaran kegiatan sangat minim dalam
formulir RKA-KL, terlebih lagi mengenai penjelasan pencapaian target kinerjanya.

Kedua, pada Formulir 1.5 RKA-KL terlihat bahwa kementerian/lembaga diminta


membuat perhitungan anggaran per kegiatan seperti mengisi Lembaran Kerja pada
masa lalu yang masih berorientasi input, terinci per sub kegiatan, jenis belanja, dan
mata anggaran dengan mengalikan volume kegiatan dan harga satuannya.
Akibatnya, dalam RKA-KL menjadi sebuah dokumen yang berisi deretan angka-
angka perhitungan aritmatis anggaran. Dari format ini hampir tidak terbaca kinerja
apa yang akan dihasilkan dari penggunaan anggaran untuk program dan kegiatan
yang diusulkan. Jika hal ini dikaitkan dengan kriteria SMART (Specific, measurable,
achievable, relevant and time-bound) dalam anggaran, maka sangat sulit
mengharapkan pemenuhan kriteria SMART dalam RKA-KL tersebut.

12
Ketiga, belum adanya standar biaya (unit cost) yang mengakibatkan penyusunan
anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur
efisiensinya.

Opsi-Opsi Kebijakan

Penerapan penganggaran berbasis kinerja memang tidak mudah karena diperlukan


proses dan upaya serius dari berbagai pihak. Sebagai paradigma yang baru
diterapkan di kementerian/lembaga, sangat wajar bila masih ada beberapa
kelemahan. Namun, hal yang paling penting diperhatikan sesungguhnya adalah
upaya perbaikan dan penyempurnaan secara berkelanjutan agar penerapan PBK
tidak melenceng dari filosofi dan tujuannya. Oleh karena itu, beberapa langkah
kebijakan yang perlu dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)
agar implementasi PBK dapat sesuai dengan filosofi dasarnya yakni;

Pertama, pendefinisian program agar lebih mencerminkan outcome pemerintah.


Pengalaman negara lain, seperti Australia yang sudah berhasil menerapkan PBK
memperlihatkan bahwa diperlukan upaya untuk merestrukturisasi dan memetakan
penamaan program dan kegiatan dalam Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP), dan
RKA-KL sehingga program yang dilakukan sesuai dengan core business KKP dan
hasilnya dapat secara konkret dinikmati oleh masyarakat kelautan dan perikanan.
Keterkaitan antara output kegiatan dengan outcome program harus tergambar
secara jelas. Oleh karena itu, KKP bersama pemangku kepentingan kelautan dan
perikanan perlu menyiapkan tolok ukur kinerja untuk setiap unit kerja eselon I yang
akan menjadi ukuran keberhasilan kinerjanya.

Kedua, perlu melakukan penyusunan standar biaya umum (unit cost) yang lebih
berorientasi ke output/outcome. Setiap unit kerja eselon I di lingkup KKP harus
didorong dan difasilitasi agar mampu menyusun Harga Standar Biaya Khusus per
program dan kegiatan sehingga akan diperoleh suatu kesamaan benchmark antar
unit kerja dalam melakukan efisiensi penggunaan anggaran guna menghasilkan
kinerja yang telah ditetapkan.

Ketiga, format RKA-KL perlu disempurnakan dengan menambahkan kolom yang


berisi informasi tentang hasil program dan kegiatan secara lebih jelas dan terukur.
Perubahan ini akan membuat informasi yang terdapat pada format dokumen
pelaksanaan anggaran (DIPA) tidak perlu sampai rinci ke pengendalian input (ke
mata anggaran pengeluaran), tapi lebih fokus pada pengendalian atas kinerja yang
dihasilkan (output) dan manfaat yang dapat dinikmati oleh masyarakat/pemangku
kepentingan kelautan dan perikanan (outcome).

Keempat, pengaturan mekanisme pelaporan kinerja yang responsif. Satu hal yang
penting untuk diingat adalah bahwa penganggaran berbasis kinerja tidak boleh
berhenti hanya sampai tahap penyusunannya, namun harus diatur mekanisme
pelaporannya agar dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Oleh
karena itu, perlu dirancang pelaporan realisasi anggaran berbasis kinerja yang
mengintegrasikan laporan kinerja dan anggaran.

13
Penutup

Esensi penerapan PBK adalah setiap "Rupiah" yang dibelanjakan oleh unit kerja
eselon I dan II dengan menggunakan anggaran KKP harus dapat menghasilkan
kinerja (output/outcome) yang bisa terukur secara konkret, serta berkontribusi nyata
pada pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) pada tingkat (level 0), serta Sasaran
Strategis KKP. Hal ini sesuai dengan prinsip dan filosofi dasar penerapan PBK yakni
menghubungkan antara perencanaan, penganggaran, dan hasil kinerja dari setiap
unit kerja dalam rangka mencapai target-target pembangunan kelautan dan
perikanan yang terdapat di Renstra KKP 2015-2019, serta RPJMN 2015-2019.

Penggunaan pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) sebagaimana


sekarang ini mulai dilakukan, termasuk di Kementerian Kelautan dan Perikanan
sejak tahun 2013, dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan pendekatan
pengelolaan anggaran tradisional yang tidak memiliki tolok ukur yang dapat
dipergunakan guna mengukur kinerja, serta pencapaian tujuan dan sasaran
pelayanan publik.

Penganggaran berbasis kinerja merupakan sistem perencanaan, penganggaran dan


evaluasi yang menekankan pada keterkaitan antara anggaran dengan hasil yang
diinginkan. Penerapan penganggaran berbasis kinerja harus dimulai dengan
perencanaan kinerja, baik pada level nasional (pemerintah) maupun level instansi
(kementerian/lembaga) yang berisi komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan,
yang dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan. Setiap kementerian/lembaga selanjutnya menyusun kebutuhan anggaran
berdasarkan program dan kegiatan yang direncanakan dengan format RKA-KL, yang
selanjutnya dibahas dengan otoritas anggaran, seperti Kementerian Keuangan,
Bappenas, dan DPR.

Untuk menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja seperti ini, diperlukan tolok
ukur kinerja dari setiap unit kinerja yang kemudian diterjemahkan melalui berbagai
program dan kegiatan yang dapat ditentukan satuan ukur dan target kinerja, serta
standar analisis belanjanya.

14

Anda mungkin juga menyukai