Penganggaran Berbasis Kinerja PDF
Penganggaran Berbasis Kinerja PDF
Bambang Wicaksono2
Latar Belakang
Sejak pertengahan tahun 1980-an telah terjadi perubahan manajemen sektor publik
yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis,
dan hirarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih
mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan
sederhana. Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama dalam
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Paradigma baru dalam
manajemen sektor publik tersebut dikenal sebagai pendekatan New Public
Management.
UU Nomor 25 tahun 2004 dan UU Nomor 17 tahun 2003 di rinci lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja
Pemerintah (RKP), dan PP Nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana
Kerja dan Anggaran Kementrian Negara/Lembaga (RKA-KL) yang mengintegrasikan
proses perencanaan pembangunan dengan proses penganggaran. Penerapan
Sistem Anggaran Berbasis Kinerja, sesuai pasal 15 dari PP Nomor 21 tahun 2004
dilaksanakan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005, dengan tahap
implementasi proses reformasi dalam jangka waktu lima tahun yaitu hingga tahun
2010. Dimulai tahapan sejak tahun 2005 hingga tahun 2010, tahun 2009 merupakan
midlle term dari masa penerapan anggaran berbasis kinerja (ABK).
1
Policy Paper ini disusun dalam rangka mendukung penyusunan Rencana Strategis
(Renstra) Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015-2019, kerjasama Biro Perencanaan
KKP dengan IMACS USAID
2
Konsultan IMACS USAID Bidang Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Kebijakan
(Policy, Operational and institutional Strengthening) Specialist
3
Kementerian Keuangan RI. 2009. Buku 2 : Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis
Kinerja (PBK), Jakarta.
1
anggaran ini tidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus
dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan, namun lebih dititikberatkan pada
kebutuhan untuk belanja/pengeluaran dan sistem pertanggung jawabannya tidak
diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara efektif dan efisien
atau tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya
keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja namun jika anggaran
tersebut defisit atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut gagal. Dalam
perkembangannya, muncullah sistematika anggaran kinerja yang diartikan sebagai
suatu bentuk anggaran yang sumber-sumbernya dihubungkan dengan hasil dari
pelayanan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2013 telah memulai
menggunakan pendekatan BSC (Balanced Score Card) sebagai basis penyusunan
anggaran berbasis kinerja. Pada penyusunan Rencana Strategis (Renstra) KKP
2015-2019, pihak Biro Perencanaan KKP telah berkomitmen untuk memulai
menerapkan penggunaan penganggaran berbasis kinerja (PBK) untuk
pembangunan kelautan dan perikanan.
Pada desk study yang dilakukan oleh IMACS 4 , penggunaan konsep PBK telah
direkomendasikan atas dasar 4 (empat) aspek mendasar, yakni; Pertama,
keberadaan mandat organisasi KKP untuk melaksanakan reformasi birokrasi. Hal
utama dalam reformasi birokrasi sebagai agenda nasional adalah dalam rangka
menciptakan tata peemrintahan yang bersih dan berwibawa melalui keterbukaan/
transparansi, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, menjunjung tinggi supremasi hukum.
Serta membuka partisipasi masyarakat dalam menjamin keterpaduan dan
keserasian tugas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Amanat
undang-undang (UU) yang menjadi landasan perwujudan tujuan ini adalah UU No.
5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Regulasi ini merupakan penyempurnaan dari
barbagai payung hukum sebelumnya, yakni: UU No. 28/1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN; UU No.17/2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025; UU No 1/2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan; UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Kedua, visi pimpinan KKP. Dalam Rakornas Pembangunan Kelautan dan Perikanan
(KP) pada tahun 2013 dan 2014, para Pimpinan Eselon I KKP pun telah menjawab
tantangan untuk penguatan kelembagaan KKP dalam pengelolaan keuangan
pembangunan KP. Dalam berbagai dokumen dan paparan pimpinan KKP telah
dijelaskan pokok-pokok serta arah kebijakan untuk penguatan kelembagaan di
bidang pengelolaan keuangan pembangunan KP tersebut melalui penerapan PBK
(Penganggaran Berbasis Kinerja).
4
IMACS USAID memberikan dukungan kepada Biro Perencanaan KKP dalam proses
penyusunan Renstra KKP 2015-2019 melalui penyusunan berbagai bahan/materi (Work
Stream, WS 1-8) sebagai bahan dasar pembuatan Renstra pada bulan Juni 2014 s/d
Februari 2015).
2
atau tujuan yang ingin diwujudkan dengan pengeluaran anggaran tersebut. Sejalan
dengan itu, McNab (2001) memperkuat pemikiran tersebut dengan menyatakan
bahwa PBK dipergunakan untuk mengembangkan proses pengambilan kebijakan
yang jelas dan efektif dalam rangka memformulasikan anggaran unit-unit kerja
eksekutif. Pendekatan “New Public Management’ (Hughes, 1998), memberikan
perubahan fundamental terhadap aspek administrasi publik modern dimana
berdampak terhadap profil birokrasi modern yang adaptif terhadap dinamikia
lingkungan, efisien, fleksibel, dan berbasis pada pencapaian hasil atau kinerja.
Manajemen kinerja disokong oleh falsafah yang bersumber dari teori motivasi,
konsep efektivitas organisasi, dan keyakinan tentang bagaimana mengelola kinerja
(Rothwell, 2000) 5 . Teori motivasi yang paling banyak memberikan kontribusi
terhadap falsafah manajemen kinerja terkait dengan tujuan (goals), dorongan
(reinforcement), dan harapan (expectancy). Sedangkan teori dorongan menyatakan
bahwa keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi disertai dengan pemberian
insentif guna mendorong peirlaku yang berhasil, dan bila diulangi kebutuhan yang
sama dapat muncul kembali. Teori harapan menyatakan bahwa agar dapat
meningkatkan motivasi untuk menunjukkan kinerja tinggi, maka seorang
pegawai/karyawan harus merasa mampu mengubah perilaku mereka, memiliki
keyakinan bahwa perubahan perilaku mereka dapat menghasilkan imbalan (insentif),
serta pemberian insentif yang memadai akan membawa pada perubahan perilaku.
Suatu sistem untuk menilai, memberikan insentif dan pengembangan SDM telah
digunakan sebagai unsur yang esensial bagi efektivitas manajemen sumberdaya
manusia dan evaluasi kinerja (performance appraisal) dalam organisasi. Salah satu
teknik manajemen kinerja yang banyak diterapkan yakni "Management By Objective"
(MBO) atau Manajemen Berorientasi Sasaran. Esensi dari MBO adalah proses
penetapan sasaran (goal setting) bersama antara atasan dan bawahan. Melalui
penetapan sasaran, para pimpinan/manajer unit kerja bekerjasama dengan bawahan
untuk menetapkan sasaran dan rencana kinerja yang konsisten dengan tingkat
pekerjaan dan sasaran organisasi (Schermerhorn. R. John, wt.al, 1995).6
Lebih lanjut, Fletcher (1993)7 mengemukakan bahwa manajemen kinerja yang efektif
harus mengarahkan visi dan tindakan yang dilakukan oleh pimpinan unit
kerja/manajer kepada sasaran bersama. Baik atasan maupun bawahan harus saling
memahami terkait hasil kerja seperti apa yang diharapkan. Mereka harus mendorong
tumbuhnya standar kerja yang tinggi, dan menjadikannya sebagai cara untuk
mencapai peningkatan kinerja organisasi daripada kinerja individu.
5
Rothwell, J.W, et.al. 2000. Human Performance Improvement, Gulf Publishing Company,
Houston, USA.
6
Schermerhorn. R. John, Hunt G. James and Osborn. N. Richard. 1995. Basic Organization
Behavior, John Wiley & Sons. Inc, New York, USA.
7
Fletcher, C. 1993. Appraisal: Routes to Improved Performance, Institute of Personnel
Management, London.
3
Amstrong (1995) 8 memberikan perspektif mengenai manajemen kinerja yang
memfokuskan pada proses umpan balik yang memerlukan definisi sasaran
organisasi yang akan dijabarkan ke dalam sasaran bagi masing-masing unit kerja.
Pada tahap berikutnya, masing-masing pimpinan unit kerja/manajer harus
melakukan pembicaraan guna mensepakati mengenai hasil yang akan dicapai,
tindakan yang akan dilakukan, serta mengevaluasi ulang hasil capaian kinerja untuk
perbaikan sasaran dan rencana kinerja individu, unit kerja dan organisasi.
8
Amstrong, Michael. 1995. Performance Management, Mc Graw Hill, New York.
9
Anderson. C. Gordon. 1993. Managing Performance Appraisal System, Blackwell Publisher,
Oxford UK.
4
outcome tersebut. Banyak unit kerja di pemerintah yang menggunakan pendekatan
balance scorecard dalam merumuskan outcome/output-nya.
Kinerja dan pengukuran kinerja saat ini masih belum dipahami secara merata oleh
para penyelenggara pemerintahan. Kegiatan pemerintahan masih cenderung
dijalankan "as business as usual" sehingga risorsis yang sangat terbatas (anggaran)
tidak dapat memberikan dampak yang optimum bagi masyarakat. Kegiatan
pembangunan kelautan dan perikanan misalnya, harus diarahkan agar memberikan
dampak (outcome) yang benar-benar mampu mengatasi kebutuhan masyarakat
kelautan dan perikanan, serta menyelesaikan persoalan sosial ekonomi yang
diharapi masyarakat. Namun, pada banyak kasus penyelenggaraan pemerintahan
justru kerap terjadi overhead cost yang tinggi sehingga berakibat pada penggunaan
dana/anggaran yang lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan belanja rutin
birokrasi pemerintah. Hal ini dapat dilihat belanja publik yang tidak terlalu besar
proporsinya dibandingkan dengan belanja aparatur. Belanja publik tersebut tidak
banyak diarahkan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat dan meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk berusaha, serta memecahkan persoalan sosial
ekonomi yang dihadapinya.
10
Donald Kettle, 2005. The Next Governent of the United States: Challenges for
Performance in the 21st.
11
Mark D. Abraham and Mary Noss Reavely, 1998. Avtivity Based Costing: Illustrations from
the State of IOWA 1998.
5
(2) memiliki indikator kinerja; (3) memiliki metode pengukuran kinerja dan evaluasi
program; serta (4) adanya sistem informasi mengenai kinerja.
Model New Public Management (NPM) mulai dikenal tahun 1980-an dan kembali
populer tahun 1990-an dengan mengalami beberapa bentuk inkarnasi, seperti
misalnya kemunculan konsep "managerialism" (Pollit, 1993); "market-based public
administration" (Lan, Zhiyong, and Rosenbloom, 1992); "post-bureaucratic paradigm"
(Barzelay, 1992); dan "enterpreneurial government" (Osborne and Gaebler, 1992.
NPM berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan
berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Management tersebut
telah menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah, yakni munculnya tuntutan untuk
melakukan efisiensi, pemangkasan biaya, dan kompetisi kinerja.
Salah satu model pemerintahan di era New Public Management adalah model
pemerintahan yang diajukan oleh Osborne dan Gaebler (1992) yang tertuang dalam
pandangannya yang kemudian dikenal dengan konsep "reinventing government"
atau mewirausahakan pemerintah. Perspektif baru pemerintah menurut Osborne dan
Gaebler ini memiliki 10 prinsip dasar, yaitu :
6
Birokrasi harus memiliki inovasi dari setiap aktivitas yang dilakukannya guna
menghasilkan pendapatan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku, misalnya; pemberian hak guna usaha,
penyertaan modal, dsb.
8. Pemerintahan antisipatif. Birokrasi harus memiliki kapasitas untuk melakukan
tindakan pencegahan daripada 'mengobati' atau bersikap reaktif terhadap
suatu permasalahan. Birokrasi seharusnya mampu bersikap pro aktif, dimana
akan selalu mencoba untuk mencegah masalah, serta berupaya keras untuk
mengatisipasi masa depan melalui penggunaan perencanaan strategis guna
menciptakan visi.
9. Pemerintahan desentralisasi. Organisasi birokrasi harus mampu melakukan
perubahan diri (transformasi) dari hierarkhi menuju model partisipasi dan tim
kerja. Kondisi saat ini sudah sangat berbeda dengan 50 tahun lalu dimana
perkembangan teknologi informasi sudah sangat pesat, kebutuhan dan
keinginan masyarakat dan dunia usaha (bisnis) sudah sangat kompleks,
sumber daya manusia di birokrasi semakin berpendidikan tinggi dan
profesional. Oleh karena itu, pola pengambilan keputusan harus berubah dari
sentralistik dan hierarkhis digeser ke tangan masyarakat, asosiasi, pengguna
layanan, dan lembaga swadaya masyarakat agar lebih partisipatif dan
memberikan porsi tanggungjawab penyelesaian masalah publik kepada
masyarakat.
10. Pemerintahan berorientasi pada pasar. Birokrasi perlu melakukan
penyesuaian cara mengalokasian sumber daya dari mekanisme administratif
(prosedur dan pemaksaan) ke mekanisme pasar (sistem insentif). Melalui
penggunaan mekanisme pasar, birokrasi tidak memerintahkan atau
mengawasi tapi mengembangkan dan menggunakan sistem insentif agar
orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat luas.
7
Penerapan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) di Indonesia
Ciri utama PBK adalah anggaran yang disusun memperhatikan keterkaitan antara
pendanaan (input) dengan hasil yang diharapkan (outcomes) sehingga mampu
memberikan informasi tentang efisiensi dan efektivitas kegiatan.12
Sasaran Strategis
(Outcome/Impact)
Kementerian Kelautan
Renstra KKP 2015-2019
& PerikananVisi & Misi
Tupoksi Mendukun
Penjabaran g
pencapaia
Unit Kerja Eselon I
Program Sasaran Program
(Outcome)
Tupoksi
IK
Penjabaran
U
Unit Kerja Eselon II/ Mendukun
Kegiatan
Satker g
pencapaia
Tupoksi
Sasaran Kegiatan
(Output
IK IK IK
U U U
12
Kementerian Keuangan RI. 2009. Buku 2 : Pedoman Penerapan Penganggaran Berbasis
Kinerja (PBK)
8
1) Pada tingkat nasional, pengalokasian anggaran didasarkan pada target
kinerja sesuai prioritas dan fokus prioritas pembangunan, serta pemenuhan
kewajiban sesuai amanat konstitusi;
2) Target kinerja sesuai prioritas dan fokus prioritas selanjutnya dijabarkan
dalam kegiatan-kegiatan prioritas;
3) Pada tingkat K/L (KKP), pengalokasian anggaran mengacu pada Program
dan Kegiatan masing-masing unit kerja sesuai tugas dan fungsinya, termasuk
kebutuhan anggaran untuk memenuhi angka dasar (baseline) serta alokasi
untuk kegiatan prioritas yang bersifat penugasan;
4) Penghitungan kebutuhan anggaran untuk masing-masing kegiatan mengacu
pada standar biaya dan target kinerja yang akan dihasilkan;
5) Rincian penggunaan dana menurut jenis belanja, dituangkan ke dalam
dokumen anggaran hanya pada level jenis belanja (tidak dirinci sampai
dengan kode akun).
Penerapan prinsip tersebut berkaitan erat dengan kinerja yang menjadi tolok
ukur efektivitas pengalokasian anggaran. Hal ini didasarkan pada
argumentasi sebagai berikut:
9
b) Pencapaian output dan outcome dapat dilakukan secara optimal,
karena kegiatan yang diusulkan masing-masing unit kerja benar-
benar merupakan pelaksanaan dari tugas dan fungsinya.
1. Indikator Kinerja.
Indikator kinerja merupakan alat ukur untuk menilai keberhasilan suatu
program atau kegiatan. Indikator Kinerja Utama (Key Performance indicators)
terdiri dari Indikator Kinerja Program/IKU Program) digunakan untuk menilai
kinerja program, Indikator Kinerja Utama Kegiatan/IKU Kegiatan untuk
menilai kinerja kegiatan, dan Indikator Keluaran untuk menilai kinerja sub-
kegiatan (tingkatan di bawah kegiatan).
2. Standar Biaya.
Dalam konteks penerapan PBK di Indonesia, standar biaya memiliki peran
unik. Standar biaya tidak dikenal oleh negara-negara yang terlebih dahulu
menerapkan PBK. PBK menggunakan standar biaya sebagai alat untuk
menilai efisiensi pada masa transisi dari sistem penganggaran bercorak 'input
based' ke penganggaran yang bercorak 'output based'.
Standar biaya yang digunakan merupakan standar biaya masukan pada awal
tahap perencanaan anggaran berbasis kinerja, dan nantinya menjadi standar
biaya keluaran. Pengertian tersebut diterjemahkan berupa Standar Biaya
Umum (SBU), dan Standar Biaya khusus (SBK). SBU digunakan lintas
kementerian negara/lembaga, dan/atau lintas wilayah, sedangkan SBK
digunakan oleh kementerian negara/lembaga tertentu dan/atau wilayah
tertentu.
3. Evaluasi Kinerja
Evaluasi kinerja merupakan proses penilaian dan pengungkapan masalah
implementasi kebijakan untuk memberikan umpan balik bagi peningkatan
kualitas kinerja baik dari sisi efisiensi maupun efektivitas dari suatu
program/kegiatan.
10
Penganggaran berbasis kinerja akan memberikan informasi kinerja atas
pelaksanaan suatu program/kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja pemerintah,
serta hasil dan dampaknya bagi masyarakat luas. Dengan demikian, inti dari
penerapan PBK berupa informasi kinerja yang memuat siklus penganggaran yang
terdiri dari 8 tahapan sebagai berikut :
Yang perlu dicermati, dari kedelapan tahapan tersebut di atas sampai dengan tahun
2009 lalu baru sampai pada tahapan ke-3. Dengan kata lain, sebagian besar
kementerian/lembaga yang telah mencoba mengadopsi konsep PBK baru dapat
menjalankan pada step ke-3 saja. Sebenarnya penerapan PBK pada instansi
pemerintah di Indonesia sudah dicanangkan melalui pemberlakuan UU No. 17/2003
tentang Keuangan Negara dimana penerapannya dilakukan secara bertahap mulai
tahun anggaran 2005. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP No. 20/2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP No. 21/2004 tentang Penyusunan
Rencana kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) sebagai basis
operasionalisasi kebijakan penganggaran berbasis kinerja. Bahkan, Kementerian
Keuangan telah mengatur lebih rinci penerapa PBK melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 54/PMK.02/2005, serta membangun aplikasi program
komputer RKA-KL-nya.
Secara faktual, yang banyak terjadi saat ini adalah format RKA-KL baru sekedar
'menempelkan' nama program, kegiatan, dan sub kegiatan ke dalam dokumen
anggaran, namun substansi ukuran kinerjanya belum terlihat secara konkret, serta
proses penyusunannya belum sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran berbasis
kinerja. Bahkan, banyak staf dari kementerian/lembaga yang justru mengeluhkan
penerapan PBK yang dipandang terlalu rumit dan tidak fleksibel yang terkadang
menghambat kelancaran proses pencairan anggaran.
Kondisi di atas tentu saja sangatlah jauh dari esensi anggaran kinerja yang
mengkaitkan kinerja dengan anggaran, menjanjikan fleksibilitas dalam pelaksanaan
anggaran, memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya (let's the
managers manage), dan memiliki mekanisme pelaporan yang dapat memberikan
umpan balik untuk peningkatan kinerja.
11
Dalam praktik PBK baik di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah, masih
banyak dijumpai banyak kelemahan mendasar sejak melakukan perencanaan
kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran, sampai dengan
penuangannya ke dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan
APBN/APBD). Meski pemeirntah telah memiliki Rencana Kerja Pemerintah (RKP),
namun RKP tersebut cenderung hanya berupa kompilasi berbagai usulan program
kementerian/lembaga dengan indikator yang juga beragam yang menjadikan
Bappenas mengalami kesulitan untuk merumuskan indikator kinerja nasional. Di
dalam RKP sangat sulit ditemukan secara jelas apa kinerja yang spesifik dan terukur
yang akan dihasilkan dari program-program pemerintah, setiap instansi akan
memberikan bentuk kontribusi atau melakukan apa, serta bagaimana mengukur
semua kontribusi dari masing-masing instansi pemerintah guna mewujudkan kinerja
bersama. Kalaupun dalam RKP tercantum sasaran kinerja program, biasanya
dirumuskan dalam bahasa yang 'bombastis' sehingga kurang jelas bagaimana cara
mengukurnya, serta berapa target yang harus dicapai.
12
Ketiga, belum adanya standar biaya (unit cost) yang mengakibatkan penyusunan
anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur
efisiensinya.
Opsi-Opsi Kebijakan
Kedua, perlu melakukan penyusunan standar biaya umum (unit cost) yang lebih
berorientasi ke output/outcome. Setiap unit kerja eselon I di lingkup KKP harus
didorong dan difasilitasi agar mampu menyusun Harga Standar Biaya Khusus per
program dan kegiatan sehingga akan diperoleh suatu kesamaan benchmark antar
unit kerja dalam melakukan efisiensi penggunaan anggaran guna menghasilkan
kinerja yang telah ditetapkan.
Keempat, pengaturan mekanisme pelaporan kinerja yang responsif. Satu hal yang
penting untuk diingat adalah bahwa penganggaran berbasis kinerja tidak boleh
berhenti hanya sampai tahap penyusunannya, namun harus diatur mekanisme
pelaporannya agar dapat memberikan umpan balik untuk peningkatan kinerja. Oleh
karena itu, perlu dirancang pelaporan realisasi anggaran berbasis kinerja yang
mengintegrasikan laporan kinerja dan anggaran.
13
Penutup
Esensi penerapan PBK adalah setiap "Rupiah" yang dibelanjakan oleh unit kerja
eselon I dan II dengan menggunakan anggaran KKP harus dapat menghasilkan
kinerja (output/outcome) yang bisa terukur secara konkret, serta berkontribusi nyata
pada pencapaian Indikator Kinerja Utama (IKU) pada tingkat (level 0), serta Sasaran
Strategis KKP. Hal ini sesuai dengan prinsip dan filosofi dasar penerapan PBK yakni
menghubungkan antara perencanaan, penganggaran, dan hasil kinerja dari setiap
unit kerja dalam rangka mencapai target-target pembangunan kelautan dan
perikanan yang terdapat di Renstra KKP 2015-2019, serta RPJMN 2015-2019.
Untuk menyusun anggaran dengan pendekatan kinerja seperti ini, diperlukan tolok
ukur kinerja dari setiap unit kinerja yang kemudian diterjemahkan melalui berbagai
program dan kegiatan yang dapat ditentukan satuan ukur dan target kinerja, serta
standar analisis belanjanya.
14