iii
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. IDENTITAS
Nama : Ilfandi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/Tanggal Lahir : Bone, 07 November 1998
Agama : Islam
Suku Bangsa : Makassar
Alamat Rumah : Desa Borimatangkasa Rt, 001 Rw,001 Kec,
Barat Kab, Gowa
B. PENDIDIKAN
1. SD INPRES Doang Tahun 2004 sampai dengan Tahun 2010
2. SMP Negri 1 Bajeng Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2013
3. SMA Aksara Bajeng Tahun 2013 sampai dengan Tahun 2016
4. Akper Pelamonia Makassar Tahun 2016 sampai dengan Tahun 2019
v
KATA PENGANTAR
vi
4. Ns. Masniati Arafah, S.Kep., M.Kep selaku pembimbing I yang dalam
kesibukan sehari-hari masih dapat menyempatkan diri untuk
mengarahkan dalam penelitian ini.
5. Haslinda DS, SKM., S.Kep., M.Kes selaku pembimbing II yang dalam
kesibukan sehari-hari masih dapat menyempatkan diri untuk
mengarahkan dalam penelitian ini.
6. Ns. Hj. Murtiani, S.Kep., M.Kep selaku pembimbing III yang dalam
kesibukan sehari-hari masih dapat menyempatkan diri untuk
mengarahkan penelitian ini.
7. Seluruh Dosen dan Staf Akper Pelamonia Makassar yang telah
mengabdikan seluruh hidupnya untuk mendidik mahasiswa.
8. Teruntuk orang tua saya ayahanda tersayang Arsyad dan ibunda
tercinta Hj. Ramlah BT Sahabu, saudara-saudara kandung saya yang
selalu memberikan dukungan materi dan do’a restunya kepada
peneliti dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah.
9. Teman-teman sesama Departement Jiwa yang selama ini selalu
bersedia berbagi motivasi dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
dan seluruh teman-teman Garuda XI (angkatan 2016) yang tidak bisa
peneliti sebutkan satu persatu namanya, tetap optimis dan semangat
untuk meraih gelar Amd.Kep.
Akhir kata semoga segala bantuan dan kebaikan yang telah
diberikan kepada peneliti merupakan amal kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat bagi rekan-
rekan perawat mencapai profesionalisme dalam meningkatkan mutu
pelayaran terkhusus bagi peneliti sendiri.
Peneliti
vii
ABSTRAK
Latar belakang, halusinasi pendengaran adalah gejala gangguan jiwa dimana pasien
merasakan stimulus berupa suara palsu yang berdampak akan terjadi perilaku
kekerasan, salah satu terapi yang diberikan dalam mengontrol halusinasi pada pasien
halusinasi pendengaran adalah pemberian terapi bercakap-cakap. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran penerapan terapi bercakap-
cakap pada pasien halusinasi pendengaran. Metode yang digunakan pada penelitian ini
adalah deskriptif observasional yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan
tujuan utama untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif.
Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, tanya jawab secara langsung dan
mengobservasi pasien. Hasil studi kasus yang didapatkan sebelum diberikan terapi
bercakap-cakap oleh kedua partisipan belum mampu memulai bercakap-cakap dengan
orang lain saat halusinasinya muncul, namun setelah diberikan terapi bercakap-cakap
kedua partisipan sudah mampu mengontrol halusinasi pendengarannya dengan cara
bercakap-cakap sesuai dengan apa yang telah di ajarkan. Kesimpulan dengan terapi
bercakap-cakap kedua partisipan mampu mengontrol halusinasi pendengaran, dari hasil
tersebut peneliti mengharapkan terapi ini bisa menambah wawasan masyarakat dan
terapi ini bisa diterapkan disetiap Rumah Sakit.
viii
ABSTRACT
ix
DAFTAR ISI
x
b. Diagnosis .............................................................. 14
c. Strategi Pelaksanaan ............................................ 14
d. Evaluasi ................................................................. 16
B. Terapi Bercakap – Cakap Pada Pasien Halusinasi
Pendengaran
1. Definisi ....................................................................... 17
2. Tujuan ....................................................................... 17
3. Setting ....................................................................... 17
4. Alat ............................................................................ 17
5. Langkah Kegiatan ..................................................... 17
6. Kemampuan Mengontrol Halusinasi ......................... 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Rancangan Studi Kasus ................................................. 23
B. Subjek Studi Kasus ........................................................ 23
C. Fokus Studi .................................................................... 23
D. Definisi Operasional Fokus Studi ................................... 23
E. Instument Studi Kasus ................................................... 23
F. Metode Pengumpulan Data ........................................... 24
G. Lokasi & Waktu Studi Kasus .......................................... 24
H. Analisi Data danPenyajian Data .................................... 24
I. Etika Studi Kasus ........................................................... 24
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Studi Kasus ........................................................... 28
B. Pembahasan ................................................................. 34
C. Keterbatasan Peneliti ..................................................... 36
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................... 37
B. Saran.............................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 8 : Dokumentasi
xiv
DAFTAR SINGKATAN
xv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sehat merupakan keadaan yang tidak terganggu baik tubuh,
psikis, maupun sosial, apabila fisiknya sehat, maka mental, jiwa dan
sosialpun akan sehat, demikian pula sebaliknya jika mentalnya
terganggu atau sakit maka fisik dan sosialpun akan sakit, depresi dan
jiwanya ikut terganggu (Stuart & Laraia, 2005 dalam Hidayati, 2012).
Data World Health Organization (2016) menunjukkan bahwa
terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena
bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,6 juta terkena dimensia.
Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensia gangguan jiwa berat
pada penduduk indonesia adalah 7 per mil. Gangguan jiwa berat
terbanyak terdapat di Bali 11%, Di Yogyakarta 10%, Nusa Tenggara
Barat 10%, Aceh, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan sebanyak 9%
(Kemenkes, 2018).
Berdasarkan data dari Riskesdas (2013) jumlah penderita
gangguan jiwa di Indonesia pada usia remaja sebesar 5,6%. Populasi
remaja pada tahun 2013 berjumlah 42.612.927 jiwa, maka secara
absolute jumlah remaja di Indonesia yang mengalami gangguan jiwa
terdapat sekitar 2.386.323 jiwa dan masalah gangguan jiwa yang
sering muncul adalah halusinasi, menurut Maramis (2004) yang
mengatakan bahwa penderita gangguan jiwa berat (psikosis) salah
satunya adalah skizofrenia, dari seluruh klien skizofrenia 70%
diantaranya mengalami gangguan halusinasi.
Salah satu gejala dan jenis-jenis halusinasi yang dimana
seseorang dapat mengalami perubahan sensori persepsi, seperti
merasakan sensasi palsu seperti halnya, halusinasi pengecapan yaitu
merasakan sesuatu rasa semisalnya merasakan manis atau asin
tetapi tidak ada dalam mulutnya, halusinasi penglihatan yaitu melihat
1
2
gambaran yang jelas atau samar tanpa stimulus yang nyata dan orang
lain tidak melihatnya, halusinasi penciuman yaitu mencium bau yang
muncul dari sumber tertentu tanpa stimulus yang nyata dan orang lain
tidak mencium, halusinasi perabaan yaitu merasakan sesuatu pada
kulit tanpa stimulus yang nyata dan yang paling umum terjadi adalah
halusinasi pendengaran yang di mana seseorang mendengar suara-
suara seperti alunan musik, langkah kaki, percakapan, tawa, jeritan
dan suara-suara lainnya tetapi orang lain tidak mendengarnya
(Damaiyanti, 2008).
Salah satu cara/upaya mengontrol yang pernah digunakan untuk
pasien halusinasi pendengaran adalah dengan cara bercakap-cakap.
Bercakap-cakap dengan orang lain dapat membantu mengontrol
halusinasi, ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain terjadi
distraksi, fokus perhatian pasien akan beralih dari halusinasi ke
percakapan yang dilakukan dengan orang lain (Keliat dan Akemat,
2012).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fresa, Rochmawati dan Arif
(2015) dengan judul efektifitas terapi individu bercakap-cakap dalam
meningkatkan kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien
halusinasi pendengaran di RSJ Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Jawa Tengah menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara
kemampuan mengontrol halusinasi posttest pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol, nilai p=0.000 (p kurang dari 0.05).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul penerapan terapi bercakap-cakap
pada pasian halusinasi pendengaran.
B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran penerapan terapi bercakap-cakap pada
pasien halusinasi pendengaran?
3
4
5
b) Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak terima
lingkungannya sejak bayi akan merasa disingkirkan,
kesepian, dan tidak percaya dan lingkungannya.
c) Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
gangguan jiwa. Adanya stres yang berlebihan dialami
seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu
zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stres berkepanjangan menyebabkan
teraktivitasnya neurotransmitter otak.
d) Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung
jawab mudah terjerumus pada penyalahgunaan zat
adaktif. Hal ini berpengaruh pada ketidakmampuan
klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan
sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam khayal.
e) Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang
diasuh oleh orang tua schizophrenia cenderung
mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang
sangat berpengaruh pada penyakit lain.
2) Faktor presipitasi
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan
bingung, perilaku menarik diri, kurang perhatian, tidak
mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata.
6
c. Manifestasi klinis
Menurut hamid (2000), perilaku klien yang terkait dengan
halusinasi adalah sebagai berikut :
1) Bicara sendiri
2) Senyum sendiri
3) Ketawa sendiri
4) Menggerakkan bibir tanpa suara
5) Pergerakan mata yang cepat
6) Respon verbal yang lambat
7) Menarik diri dari orang lain
8) Berusaha untuk menghindari orang lain
9) Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata
10) Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan
tekanan darah
11) Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya
beberapa detik
12) Berkonsentrasi dengan pangalaman sensori
13) Sulit berhubungan dengan orang lain
14) Ekspresi muka tegang
15) Mudah tersinggung, jengkel dan marah
16) Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat
17) Tampak tremor dan berkeringat
18) Perilaku panik
19) Agitasi dan kataton
20) Curiga dan bermusuhan
21) Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan
22) Ketakutan
23) Tidak dapat mengurus diri
24) Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang
7
b) Perilaku pasien
(1) Tersenyum/tertawa sendiri
(2) Menggerakkan bibir tanpa suara
(3) Pergerakan mata yang cepat
(4) Respons verbal yang lambat
(5) Diam dan berkonsentrasi
2) Tahap II
Menyalahkan tingkat kecemasan berat secara umum
halusinasi merupakan suatu kesenangan.
a) Karakteristik halusinasi
(1) Pengalaman sensori menakutkan
(2) Mulai merasa kehilangan kontrol
(3) Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori
tersebut
(4) Menarik diri dari orang lain
b) Perilaku pasien
(1) Peningkatan sistem saraf otak, tanda-tanda
ansietas, seperti peningkatan denyut jantung,
pernapasan, dan tekanan darah
(2) Rentang perhatian menyempit
(3) Konsetrasi dengan pengalaman sensori
(4) Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi
dari realita
3) Tahap III
Mengontrol tingkat kecemasan berat pengalaman
sensori tidak dapat ditolak lagi.
a) Karakteristik halusinasi
(1) Pasien menyerah dan menerima pengalaman
sensorinya
(2) Isi halusinasi menjadi atraktif
(3) Kesepian bila pengalaman sensori berakhir
10
b) Perilaku pasien
(1) Perintah halusinasi ditaati
(2) Sulit berhubungan dengan orang lain
(3) Rentang perhatian hanya beberapa detik atau
menit
(4) Gejala fisik ansietas berat berkeringat, tremor, dan
tidak mampu mengikuti perintah
4) Tahap IV
Menguasai tingkat kecemasan panik secara umum
diatur dan dipengaruhi oleh waham.
a) Karakteristik halusinasi
(1) Pengalaman sensori menjadi ancaman
(2) Halusinasi dapat berlangsung selama beberapa
jam atau hari
b) Perilaku pasien
(1) Perilaku panik
(2) Potensial tinggi untuk bunuh diri atau membunuh
(3) Tindakan kekerasan agitasi, menarik diri, atau
katatonia
(4) Tidak mampu berespons terhadap perintah yang
kompleks
(5) Tidak mampu berespons terhadap lebih dari satu
orang
f. Klasifikasi halusinasi
Klasifikasi halusinasi menurut Yusuf AH (2015) intensitas
level halusinasi adalah :
1) Halusinasi Pendengaran
Halusinasi pendengaran dapat berupa bunyi
mendenging atau suara bising yang tidak mempunyai arti,
tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Suara itu biasanya
11
3) Halusinasi Penciuman
a) Data objektif
(1) Mencium seperti membaui bau-bauhan tertentu
(2) Menutup hidung
b) Data subjektif
Membaui bau-bauan seperti bau darah, urine, feses,
dan kadang-kadang bau itu menyenangkan
4) Halusinasi Pengecapan
a) Data objektif
(1) Sering meludah
(2) Muntah
b) Data subjektif
Merasakan rasa seperti darah, urine, atau feses
5) Halusinasi perabaan
a) Data objektif
Menggaruk-garuk permukaan kulit
b) Data subjektif
(1) Mengatakan ada serangga di permukaan kulit
(2) Merasa seperti tersengat listrik
2. Konsep keperawatan Halusinasi
a. Pengkajian
Menurut Yusuf AH, (2015) pengkajian keperawatan pada
pasien halusinasi meliputi :
1) Faktor predisposisi
a) Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu
hubungan interpersonal yang dapat meningkatkan
stress dan ansietas yang dapat berakhir dengan
gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan
perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual
dan emosi tidak efektif.
13
b) Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin,
indolamin, serta zat halusigenik diduga berkaitan
dengan gangguan orientasi realitas termasuk
halusinasi
c) Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan
memanjang disertai terbatasnya kemampuan
mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya
gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang tidak
menyenangkan
d) Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan
gangguan orientasi realitas berkaitan dengan
perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan
sosial
15
b. Diagnosis
1) Pohon masalah
Isolasi Sosial
Causa
5. Metode
a. Penerapan individu
6. Langkah kegiatan
a. Persiapan
1) Persiapan
a) Menginginkan kontrak dengan responden yang telah
mengikuti sesi
b) Terapis membuat kontrak dengan responden
c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2) Orientasi
a) Salam terapeutik
(1) Salam dari peneliti kepada responden
(2) Responden dengan peneliti memakai papan nama
b) Evaluasi / validasi
(1) Menanyakan perasaan responden saat ini
(2) Menanyakan pengalaman pasien setelah
menerapkan cara yang telah dipelajari (bercakap-
cakap) untuk mencegah halusinasi
c) Kontrak
(1) Peneliti menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol
halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang
lain
(2) Peneliti menjelaskan aturan main berikut :
(a) Jika responden ingin meninggalkan kegiatan
dengan alasan tertentu semisalnya bak, harus
meminta izin kepada peneliti
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap kali mengikuti kegiatan dari awal
sampai akhir
20
3) Tahap kerja
a) Peneliti menjelaskan pentingnya bercakap-cakap
dengan orang lain untuk mengontrol dan mencegah
halusinasi
b) Peneliti meminta klien menyebutkan orang yang
biasa dan bisa diajak bercakap-cakap
c) Peneliti meminta klien menyebutkan pokok
pembicaraan yang biasa dan bisa dilakukan.
Pokok pembicaraan yang dianjurkan adalah
menceritakan bahwa partisipan mengalami
halusinasi dan meminta orang lain disekitarnya
mengajak bercakap-cakap. Orang disekitar
partisipan sebaiknya sudah diberikan penyuluhan
mengontrol halusinasi yang telah dilatihkan.
Misalnya mengingatkan cara menghardik, atau
bercerita tentang kegiatan yang sudah atau belum
dilakukan sesuai jadwal yang telah disusun.
d) Peneliti memperagakan cara bercakap-cakap jika
halusinasi muncul
e) Peneliti meminta partisipan untuk memperagakan
perbincangan dengan orang disebelahnya
f) Berikan pujian atas keberhasilan partisipan
g) Ulangi bagian e dan f sampai semua partisipan
mendapat giliran
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Peneliti menanyakan perasaan klien setelah
mengikuti terapi
(2) Peneliti menanyakan mengontrol halusinasi yang
sudah dilatih
(3) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
21
b) Tindak lanjut
Menganjurkan responden menggunakan cara
mengontrol halusinasi, yaitu bercakap-cakap
c) Kontrak yang akan datang
(1) Peneliti membuat kesepakatan dengan
responden untuk terapi berikutnya, yaitu belajar
cara mengontrol halusinasi dengan melakukan
kegiatan lain
(2) Peneliti menyepakati waktu dan tempat
5) Evaluasi dan dokumentasi
a) Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses terapi
berlangsung khususnya pada tahap kerja. Aspek
yang berevaluasi adalah kemampuan responden
sesuai dengan tujuan terapi. Untuk stimulasi
persepsi halusinasi 4, kemampuan yang diharapkan
adalah mencegah halusinasi dengan bercakap-
cakap. Formulir evaluasi sebagai berikut
Tabel aspek nilai yang dinilai
Nama Klien
No Aspek yang dinilai
Keterangan :
√ : responden mampu melakukannya
- : responden tidak mampu melakukannya
Berdasarkan dari hasil penelitian ninik retna widuri (2016),
didapatkan data bahwa klien mampu membina hubungan saling
percaya, klien mampu menyebutkan isi, frekuensi, waktu,
penyebab dan respon klien saat halusinasi muncul. Klien juga
mampu menurunkan intensitas halusinasi dengan cara mengontrol
halusinasi ditandai dengan klien sudah tidak takut saat halusinasi
muncul dan halusinasi berkurang sudah tidak terjadi pada malam
hari.
Sri wahyuni (2011) yang mengatakan sebanyak 9 dari 17
pasien dengan lama hari rawat maksimal >110 dari mempunyai
kemampuan dalam mengontrol halusinasi, terdapat 13 dari 17
pasien dengan lama hari rawat minimal 17-109 hari tidak mampu
mengontrol halusinasi.
Berdasarkan dari hasil penelitian Dwi Heppy Rochmawati,
M.,Syamsul Arif SN (2015), pada kelompok kontrol kemampuan
mengontrol halusinasi sebelum yaitu kemampuan kurang jumblah
27 responden (100.0%). Sesudah yaitu kemampuan baik 9
responden (33,3%).
Menurut penelitian Ayu (2010) apabila terapi dilatih secara
terus menerus memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam
membantu pasien untuk berlatih mengontrol halusinasi.
Menurut penelitian Halawa (2014) seseorang dengan
pendidikan rendah biasanya memiliki daya tangkap yang kurang
dalam menerima informasi sehingga informasi yang pernah
diberikan tidak semuanya tersimpan dalam ingatan responden
dimana kemampuan seseorang yang memiliki pendidikan tinggi
lebih mudah untuk mengerti dibandingkan dengan seseorang
yang pendidikannya rendah.
BAB III
METODOLOGI KEPERAWATAN
A. Rancangan Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan metode deskriptif
observasional studi kasus. Metode penelitian deskriptif observasional
adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama
untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif.
Metode ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab
permasalahan yang sedang dihadapi pada situasi sekarang (Setiadi,
2013).
B. Lokasi & waktu Studi Kasus
Penelitian telah dilakukan di Rumah Sakit Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 24 Mei
sampai dengan 2 Juni 2019.
C. Subjek Studi Kasus
Subjek studi kasus pada penelitian ini adalah 2 klien dengan
masalah halusinasi pendengaran. Kriteria inklusi pada penelitian ini,
yaitu:
1. Partisipan dengan masalah halusinasi pendengaran
2. Partisipan yang berusia 25 - 45 tahun
3. Partisipan dengan jenis kelamin laki-laki
4. Partisipan yang kooperatif
5. Partisipan yang telah diberikan asuhan keperawatan
Adapun kriteria eksklusi pada penelitian ini, yaitu:
1. Partisipan yang lari
2. Partisipan yang tiba-tiba pulang atas permintaan keluarga
D. Fokus Studi
Fokus studi kasus dalam penelitian ini adalah penerapan terapi
bercakap-cakap pada pasien halusinasi.
24
25
28
29
sendiri, senyum sendiri, serta merusak diri sendiri dan orang lain.
Partisipan mampu menghardik halusinasi, mampu menyebutkan
kegiatan yang biasa diakukan dan mampu minum obat secara benar
dan teratur. Berdasarkan teori Yosep (2010), menyatakan bahwa ada
2 penyebab halusinasi yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.
Faktor predisposisi meliputi faktor perkembangan, faktor
sosiokultural, faktor biologis, faktor psikologis, faktor genetik dan pola
asuh. Faktor presipitasi yang meliputi curiga, ketakutan, perasaan
tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Sejalan dengan teori
yang dikemukakan oleh Sutejo (2017), menyatakan bahwa ada dua
faktor yaitu predisposisi pasien dengan halusinasi di dapatkan faktor
sosial ekonomi rendah, riwayat penolakan lingkungan pada usia
perkembangan anak, tingkat pendidikan rendah dan kegagalan
dalam sosial lingkungan, (perceraian, hidup sendiri), serta tidak
bekerja.
Setelah diberikan terapi bercakap-cakap pada hari kedua dan
ketiga, Tn.A belum mampu melakukan kegiatan bercakap-cakap
yang telah diajarkan dikarnakan pada saat penerapan partisipan Tn.A
tidak fokus pada penerapan yang dilakukan, sibuk dengan dirinya
sendiri diakibatkan karena suara-suara yang sering timbul secara
tiba-tiba sedangkan pada Tn.E sudah mampu melakukan terapi
bercakap-cakap, meskipun belum lancar dan masih harus berlatih,
partisipan Tn.A pada saat diajarkan penerapan fokus perhatiannya
baik, fokus perhatian partisipan dikarenakan kemauannya ingin cepat
sembuh, Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Irmansyah
(2006) menyatakan bahwa pasien gangguan jiwa sering terdapat
gejala negatif seperti menurunnya jarak dan intensitas ekspresi
emosi, miskinya kemampuan bercakap-cakap, lambatnya
mengemukakan gagasan/ide, penurunan/kesulitan memulai dan
36
C. Keterbatasan
Dalam proses penelitian ini ditemukan beberapa rintangan yaitu:
1. Keterbatasan pengalaman
Studi kasus ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan
oleh peneliti, yang langsung diterapkan pada pasien jiwa
sehingga ini menjadi pengalaman pertama bagi peneliti dalam
melakukan penelitian dan melakukan penerapan.
2. Keterbatasan Kedua Partisipan
Karakter kedua partisipan berbeda, dimana partisipan yang
pertama memiliki tingkat pemahaman yang kurang dalam
menerima penerapan yang telah di berikan, partisipan kedua
memiliki respon yang baik dalam menerima penerapan yang telah
di berikan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama lima
hari mulai pada hari sabtu 28 Mei sampai 1 Juni 2019 tentang
penerapan strategi pelaksanaan tindakan halusinasi dengan
bercakap-cakap pada pasien halusinasi pendengaran di RSKD
Provinsi Sulawesi Selatan maka peneliti menyimpulkan yaitu :
Dari hasil studi kasus menunjukkan bahwa sebelum dilakukan
penerapan terapi kepada kedua partisipan, partisipan belum mampu
melakukan kegiatan bercakap-cakap. Setelah dilakukan penerapan
terapi bercakap-cakap selama tiga hari kepada kedua partisipan
maka hasil evaluasi yang di dapatkan adalah kedua partisipan
mampu melakukan kegiatan bercakap-cakap sesuai yang telah di
ajarkan oleh perawat.
B. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan meliputi:
1. Bagi Masyarakat
Peneliti mengharapkan dengan adanya penelitian yang
berjudul Penerapan Strategi Pelaksanaan Tindakan Halusinasi
Dengan Bercakap-Cakap Pada Pasien Halusinasi Pendengaran
ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam
mengontrol halusinasi.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi
dalam meningkatkan pengetahuan tentang penerapan strategi
pelaksanaan bercakap-cakap pada pasien halusinasi
pendengaran.
3. Bagi Pasien
Diharapkan partisipan mampu menerapkan terapi bercakap-
38
39
1. Definisi
Menurut Fresa (2015), Bercakap-cakap dengan orang lain dapat
membantu mengontrol halusinasi. Ketika pasien bercakap-cakap
dengan orang lain, terjadi distraksi fokus perhatian pasien akan
beralih dari halusinasi ke perbincangan yang dilakukan dengan orang
lain.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fresa, Rochmawati dan
Arif (2015) dengan judul efektifitas terapi individu bercakap-cakap
dalam meningkatkan kemampuan mengontrol halusinasi pada pasien
halusinasi pendengaran di RSJ Dr. Amino Gondohutomo Provinsi
Jawa Tengah menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara
kemampuan mengontrol halusinasi posttest pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol, nilai p=0.000 (p kurang dari 0.05).
2. Tujuan
a. Partisipan memahami pentingnya bercakap-cakap dengan orang
lain untuk mencegah munculnya halusinasi
b. Partisipan dapat bercakap-cakap dengan orang lain untuk
mencegah halusinasi
3. Setting
a. Penelitian dan responden duduk bersama dalam lingkungan
b. Ruangan yang nyaman dan tenang
4. Alat
a. Spidol dan whiteboard /papan tulis / flipchart
b. Jadwal kegiatan harian klien dan pulpen
5. Metode
a. Penerapan individu
6. Langkah kegiatan
a. Persiapan
1) Persiapan
a) Menginginkan kontrak dengan responden yang telah
mengikuti sesi
b) Terapis membuat kontrak dengan responden
c) Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2) Orientasi
a) Salam terapeutik
(1) Salam dari peneliti kepada responden
(2) Responden dengan peneliti memakai papan nama
b) Evaluasi / validasi
(1) Menanyakan perasaan responden saat ini
(2) Menanyakan pengalaman pasien setelah menerapkan
cara yang telah dipelajari (bercakap-cakap) untuk
mencegah halusinasi
c) Kontrak
(1) Peneliti menjelaskan tujuan, yaitu mengontrol
halusinasi dengan bercakap-cakap dengan orang lain
(2) Peneliti menjelaskan aturan main berikut :
(a) Jika responden ingin meninggalkan kegiatan
dengan alasan tertentu semisalnya bak, harus
meminta izin kepada peneliti
(b) Lama kegiatan 45 menit
(c) Setiap kali mengikuti kegiatan dari awal sampai
akhir
3) Tahap kerja
a) Peneliti menjelaskan pentingnya bercakap-cakap dengan
orang lain untuk mengontrol dan mencegah halusinasi
b) Peneliti meminta klien menyebutkan orang yang biasa dan
bisa diajak bercakap-cakap
c) Peneliti meminta klien menyebutkan pokok pembicaraan
yang biasa dan bisa dilakukan.
Pokok pembicaraan yang dianjurkan adalah menceritakan
bahwa partisipan mengalami halusinasi dan meminta
orang lain disekitarnya mengajak bercakap-cakap. Orang
disekitar partisipan sebaiknya sudah diberikan penyuluhan
mengontrol halusinasi yang telah dilatihkan. Misalnya
mengingatkan cara menghardik, atau bercerita tentang
kegiatan yang sudah atau belum dilakukan sesuai jadwal
yang telah disusun.
d) Peneliti memperagakan cara bercakap-cakap jika
halusinasi muncul
e) Peneliti meminta partisipan untuk memperagakan
perbincangan dengan orang disebelahnya
f) Berikan pujian atas keberhasilan partisipan
g) Ulangi bagian e dan f sampai semua partisipan mendapat
giliran
4) Tahap terminasi
a) Evaluasi
(1) Peneliti menanyakan perasaan klien setelah mengikuti
terapi
(2) Peneliti menanyakan mengontrol halusinasi yang
sudah dilatih
(3) Memberikan pujian atas keberhasilan kelompok
b) Tindak lanjut
Menganjurkan responden menggunakan cara
mengontrol halusinasi, yaitu bercakap-cakap
c) Kontrak yang akan datang
(1) Peneliti membuat kesepakatan dengan responden
untuk terapi berikutnya, yaitu belajar cara mengontrol
halusinasi dengan melakukan kegiatan lain
(2) Peneliti menyepakati waktu dan tempat
5) Evaluasi dan dokumentasi
a) Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses terapi berlangsung
khususnya pada tahap kerja. Aspek yang berevaluasi
adalah kemampuan responden sesuai dengan tujuan
terapi.
7. Tabel Kemampuan Mengontrol Halusinasi
Tabel Kemampuan
No Aspek yang dinilai
Ya Tidak
1 Menyebutkan jenis halusinasi klien
2 Menyebutkan isi halusinasi klien
3 Menyebutkan waktu halusinasi klien
4 Menyebutkan isi frekuensi halusinasi
klien
5 Menyebutkan situasi yang dapat
menimbulkan halusinasi klien
6 Menyebutan respon klien terhadap
halusinasi klien
7 Menyebutkan cara klien menghardik
halusinasi
8 Memperagakan cara klien
mengendalikan halusinasi dengan cara
berbincang-bincang dengan orang lain
9 Memperagakan cara klien
mengendalikan halusinasi dengan cara
melakukan kegiatan
Jumlah
Keterangan :
Keterangan :
DOKUMENTASI BERCAKAP-CAKAP