Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

DISUSUN OLEH :

SERLY DEVINDIA A. 2017.01.028

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
2020
Konsep Fraktur

A. Anatomi Fisiologi

Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang kompleks

dan tersusun atas tulang, sendi, otot ligamen, tendon, serta jaringan

lain yang menghasilkan struktur dan bentuk tulang. Sistem ini juga

melindungi organ-organ vital, memungkinkan terjadinya gerakan,

menyimpan kalsium serta mineral lain di dalam matriks tulang yang

dapat dimobilisasi bila terjadi difesiensi, dan tempat berlangsungnya

hematopoiesis (produksi sel darah merah) di dalam sum-sum tulang.

Rangka manusia memiliki 206 tulang byang tersusun atas garam-

garam anorganik (terutama kalsium serta fosfat), yang terbenam di

dalam kerangka serabut kolagen.


Menurut Drs. H. Syaifuddin, AMK 2010 susunan tulang secara garis besar

meliputi :

1. Tulang panjang.

Di tengahnya terdapat diafise dan kedua ujungnya disebut

epifise. Ujung tulang dilapisi oleh tulang rawan yang

memudahkan gerakan. Sendi rawan ini disebut kartilago

artikulasio (rawan sendi). Permukaan luar tulang dibungkus oleh

selaput tulang yang disebut periosteum yang sifatnya menyerupai

jaringan ikat. Jika tulang dibelah secara memanjang, pada bagian

diefise terdapat lubang yang meneyerupai pipa, dinding bagian

dalam pipa dilapisi olehsubstansi yang padat atau rapat, dan

bagian ujung tulang substansia makin tipis. Pada bagian epifise

tulang ini terdapat banyak lubang kecil yang menyerupai bunga

karang yang disebut spongeosa. Pada lubang bagian dalam diafise

terdapat ruang yang disebut kavum medula yang berisi sumsum

tulang kuning (medula osseum palva) dan pada lubang substansia

spongeosa terdapat sumsum merah (medula osseum rubra)

permukaan dalam substansia kompakta diliputioleh selaput tipis

yang disebut endosteum.

2. Tulang atap kepala

Teriri dari dua lapisan yaitu substansi kompakta tubula eksterna

(lapisan luar) dan substansia kompakta tubula interna (lapisan

dalam). Diantara kedua lapisan ini terdapat substansia spongosa.

Substansi kompakta dan spongosa termasuk jaringan penunjang,

jaringan antar-sel (substansia interselularis) banyak mengandung


kalisum (zat kapur), fosfat, kalsium karbonat, dan rangkaian

organisasi sehingga sifatnya keras sekali. Pada anak-anak, zat-zat

organis lebih banayak terdapat dalam tulang daripada orang tua

sehingga tulangnya lebih lentur (bingkas). Dalam substansia

kompakta terdapat saluran yang dikelilingi beberapa lapisan yang

disebut lamella havers (keping tulang yang membentuk saluran),

di bawah periosteum dan di sekitar endosteum terdapat lapisan

tulang.

Fungsi tulang secara umum Menurut Drs. H. Syaifuddin, AMK 2010 :

1. Formasi kerangka: tulang membentuk rangka tubuh untuk

menentukan bentuk dan ukuran tubuh. Tulang-tulang menyokong

struktur tubuh yang lain.

2. formasi sendi: tulang-tualng membentuk persendian yang bergerak

atau yang tidak bergerak bergantung pada kebutuhan fungsional.

sendi yang bergerak menghasilkan bermacam-macam pergerakan.

3. perlekatan otot : Tulang- tulang menyediakan permukaan untuk

tempat melekatnya otot, tendon, dan ligamentum. sebagai

pengungkit untuk bermacam-macam aktivitas pergerakan

4. menyokong berat badan : Memelihara sikap tegak tubuh manusia

dan menahan gaya tarikan dan gaya tekanan yang terjadi pada

tulang sehingga dapat menjadi kaku dan lentur.

5. Proteksi : tulang membentuk rongga yang mengandung dan

melindungi struktur-struktur yang halus seperti otak, medula


spinalis, jantung, paru, alat- alat dalam perut dan panggul.

6. Hemopoiesis : Sumsum tulang tempat pembentukan sel darah.

7. Fungsi imunologi : Limfosit “B” dan makrofag-makrofag dibentuk

dalam sistem retikuloendotel sumsum tulang. Limfosit B diubah

dalam sel-sel plasma membentuk antibodi guna kekebalan

kimiawi, sedangkan makrofag merupakan fagositotik.

8. Penyimpanan kalsium : Tulang mengandung 97% kalsium yang

terdapat dalam tubuh baik dalam bentuk anorganik maupun

garam-garam terutama kalsium fosfat. Sebagian besar fosfor

disimpan dalam tulang dan kalsium dilepas dalam darah bila

dibutuhkan.

Fungsi tulang secara khusus :

1. Sinus-sinus paranasalis dapat menimbulkan nada khusus pada suara.

2. Email gigi dikhususkan untuk memotong, menggigi, dan mengilas

makanan. Email merupakan struktur yang terkuat dari tubuh manusia.

3. Tulang-tulang kecil telinga dalam mengonduksi gelombang suara

untuk fungsi pendengaran. panggul wanita dikhususkan untuk

memudahkan proses kelahiran bayi

B. Pengertian Fraktur

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, fraktur terjadi ketika tekanan

yang kuat diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada

tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis (Grace & Borley, 2017 :

85). Atau bisa juga diartikan Fraktur atau yang seringkali disebut dengan
patahan tulang, adalah sebuah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh

trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan

tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur

yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006 dalam

Wijaya & Putri, 2013 : 235).

C. Etiologi Fraktur

Jenis fraktur dibedakan menjadi :

a. Cedera Traumatik

Cedera traumatic pada tulang dapat disebabkan oleh :

Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga

tulang patah seacara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan

fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.

2.) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari

lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan

menyebabkan fraktur klavikula.

3.) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot

yang kuat.

b. Fraktur Patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan

trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti :

1.) Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan baru

yang tidak terkendali atau progresif.

2.) Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi

akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif,
lambat dan sakit nyeri.

3.) Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi

Vitamin D.

4.) Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas di

kemiliteran (Sachdeva, 2000 dalam Kristiyanasari,2012 :16).

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014). Mendiagnosis fraktur

harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan

temuan radiologis.

Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:

a. Deformitas

Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan

deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan

pemendekan tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.

Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki

deformitas yang nyata.

b. Pembengkakan

Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan

serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan

sekitar.

c. Memar

Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.

d. Spasme otot

Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk


mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.

e. Nyeri

Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi

fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada

masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus , meningkat jika

fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen

fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.

f. Ketegangan

Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.

g. Kehilangan fungsi

Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau

karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang

terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.

h. Gerakan abnormal dan krepitasi

Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang

atau gesekan antar fragmen fraktur.

i. Perubahan neurovaskular

Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau

struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa

kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari

fraktur

j. Syok

Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar

atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.


E. Klasifikasi Fraktur

Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan

fraktur terbuka. Fraktur tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas

lokasi cedera, sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh robeknya kulit

diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada

fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan

Hawks, 2014) :

a) Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal

b) Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang Derajat 3 :

Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan

lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan

derajat 3 harus sedera ditangani karena resiko infeksi.

Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara

lain:

a. Fraktur tertutup

Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan

luka pada bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang

yang patah tidak berhubungan dengan bagian luar.

b. Fraktur terbuka

Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan

adanya luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang

berhubungan dengan udara luar, biasanya juga disertai adanya

pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol

keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka

membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan


pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor

penyulit lainnya.

c. Fraktur kompleksitas

Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian

ekstermitas terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi

dislokasi.

Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya

antara lain:

a. Fraktur transversal

Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak

lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-

segmen tulang yang patah direposisi atau direkduksi kembali

ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan

biasanya dikontrol dengan bidai gips.

b. Fraktur kuminutif

Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang

terdiri dari dua fragmen tulang.

c. Fraktur oblik

Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat

sudut terhadap tulang.

d. Fraktur segmental

Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu

tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari

suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani.

e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang

menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.

f. Fraktur spiral

Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini

menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung

cepat sembuh dengan imobilisasi.

F. Patofisiologi fraktur

Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan

fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka

tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat

ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah berkeping-

keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang dapat

terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur

keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme

yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar, seperti femur.

Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap pada tempatnya,

namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab patah

maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser

ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa

segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.

Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta

sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat

menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi

karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada

saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-


fragmen tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar

lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon peradangan yang

hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan

fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga

merupakan tahap penyembuhan tulang., menurut Black dan Hawks

(2014).
G. PATHWAY
H. Pemeriksaan Penunjang

1. X-ray : untuk menentukan luas/lokasi fraktur.

2. Scan tulang untuk memperlihatkan fraktur lebih jelas,

mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3. Arteriogram, dilakukan untuk memastikan ada tidaknya

kerusakan vaskuler.

4. Hitung darah lengkap, homokonsentrasi mungkin meningkat,

menurun pada perdarahan : peningkatan leukosit sebagai respon

terhadap peradangan.

5. Kretinin : trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk

klirens ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan

darah, tranfusi atau cedera hati (Doengoes, 2000 dalam Wijaya

& Putri,2013 : 241).

I. Penatalaksaan fraktur

Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan

ke posisi semula dan mempertahankan posisi itu selama masa

penyembuhan patah tulang. Cara pertama penangan adalah proteksi

saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya menggunakan mitela.

Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak.

Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan

pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah

reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi,

biasanya dilakukan pada patah tulang radius distal. Cara keempat

adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa

tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi

akan terdislokasi di dalam gips. Cara kelima berupa reposisi yang

diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Cara keenam berupa

reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang

secara operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti

dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open

Reduction Internal Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi

fragmen patahan tulang dengan prostesis (Sjamsuhidayat dkk, 2010).

Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain :

a) Diagnosis dan penilaian fraktur

Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan


untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal pengobatan

perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik

yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi selama

pengobatan.

b). Reduksi

Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran

garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi

terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau

mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi

untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi tertutup

gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan reduksi terbuka.

Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan alat fiksasi internal

untuk mempertahankan posisi sampai penyembuhan tulang menjadi

solid. Alat fiksasi interrnal tersebut antara lain pen, kawat, skrup, dan

plat. Alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam fraktur melalui

pembedahan ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Pembedahan

terbuka ini akan mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang

patah dapat tersambung kembali.

c). Retensi

Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen dan

mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan. Pemasangan

plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan reduksi

ekstremitas yang mengalami fraktur.

d). Rehabilitasi

Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin.Setelah


pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.

Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi menjadi

tiga kategori yaitu :

1) Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien

mempertahankan rentang gerak sendi dan mencegah

timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak serta

mencegah strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post

bedah.

2) Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan

meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan

yang sehat, katrol atau tongkat

Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan memperkuat

otot.Latihan biasanya dimulai jika kerusakan jaringan lunak telah pulih,

4-6 minggu setelah pembedahan atau dilakukan pada pasien yang

mengalami gangguan ekstremitas atas.

J. Komplikasi fraktur

menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :

Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis

cedera , usia klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan

penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin,

kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur

antara lain :

a. Cedera saraf

Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan

cedera dapat menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan


terdapat pucat dan tungkai klien yang sakit teraba dingin, ada

perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakkan jari-jari

tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan nyeri yang

meningkat.

b. Sindroma kompartemen

Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah

dilapisi oleh jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak

akan membesar jika otot mengalami pembengkakan. Edema yang

terjadi sebagai respon terhadap fraktur dapat menyebabkan

peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi perfusi

darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi

kebutuhan metabolik jaringan, maka terjadi iskemia. Sindroma

kompartemen merupakan suatu kondisi gangguan sirkulasi yang

berhubungan dengan peningkatan tekanan yang terjadi secara

progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan oleh apapun

yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau

faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang

berkelanjutan akan menyebabakan pelepasan histamin oleh otot-

otot yang terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan

perfusi lebih lanjut.

Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak

metabolisme anaerob dan peningkatan aliran darah yang

menyebabakn peningkatan tekanan jaringan. Hal ini akan

mnyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan kompartemen.

Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi paling


sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan

sensasi kesemutanatau rasa terbakar (parestesia) pada otot.

c. Kontraktur Volkman

Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat

sindroma kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu,

tekanan yang terus-menerus menyebabkan iskemia otot kemudian

perlahan diganti oleh jaringan fibrosa yang menjepit tendon dan

saraf. Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia dapat

menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan mengalami

deformasi.

d. Sindroma emboli

lemak Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul

pada pasien fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah

fraktur dari tulang panjang seperti femur, tibia, tulang rusuk,

fibula, dan panggul.

Kompikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:

a. Kaku sendi atau artritis

Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekauan sendi

dapat terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan

ligamen, atau atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus

dilakukan semampunya klien. Latihan gerak sendi pasif untuk

menurunkan resiko kekauan sendi.

b. Nekrosis avaskular
Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur

di proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan

sirkulasi lokal. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya

nekrosis vaskular dilakukan pembedahan secepatnya untuk

perbaikan tulang setelah terjadinya fraktur.

c. Malunion

Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang

tidak tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang

serta gravitasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban

pada tungkai yang sakit dan menyalahi instruksi dokter atau

apabila alat bantu jalan digunakan sebelum penyembuhan yang

baik pada lokasi fraktur.

d. Penyatuan terhambat

Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan

melambat tapi tidak benar-benar berhenti, mungkin karena adanya

distraksi pada fragmen fraktur atau adanya penyebab sistemik

seperti infeksi.

e. Non-union

Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6

bulan setelah cedera awal dan setelah penyembuhan spontan

sepertinya tidak terjadi. Biasanya diakibatkan oleh suplai darah

yang tidak cukup dan tekanan yang tidak terkontrol pada lokasi

fraktur.

f. Penyatuan fibrosa

Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur.


Kehilangan tulang karena cedera maupun pembedahan

meningkatkan resiko pasien terhadap jenis penyatuan fraktur.

g. Sindroma nyeri regional kompleks

Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma

disfungsi dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan

pembengkakan tungkai yang sakit.

J. Asuhan Keperawatan Fraktur

Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan sistem atau

metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi

lima tahap yaitu pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi.

2. Pengkajian :

a. Anamnesis

1) Identitas klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa

yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,

asuransi, golongan darah, nomer register, tanggal masuk

rumah sakit, diagnosis medis (Padila, 2012).

2) Keluhan utama
Keluhan utamanya adalah rasa nyeri akut atau kronik. Selain

itu klien juga akan kesulitan beraktivitas. Untuk memperoleh

pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan

menurut Padila (2012) :

a) Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi

faktor presipitasi nyeri

b) Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau

digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,

atau menusuk

c) Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda,

apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa

sakit terjadi.

d) Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang

dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit memepengaruhi

kemampuan fungsinya.

e) Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah

bertambah buruk pada malam hari atau siang hari

3) Riwayat penyakit sekarang

4) Riwayat penyakit dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur

dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan

menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang

menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk

menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka sangat


beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga

diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Padila,

2012).

5) Riwayat penyakit keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang

merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur,

seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa

keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara

genetik (Padila, 2012).

6) Riwayat psikososial

Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang

dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat

serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari

(Padila, 2012).

7) Pola-pola

a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadi

kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksaan

kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.

Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien

seperti penggunaan obat steroid yang dapat menggangu

metabolisme kalsium, pengonsumsian alkohol yang bisa

mengganggu keseimbangannya dan apakah klien

melaksanakan olahraga atau tidak (Padila, 2012).

b) Pola nutrisi dan metabolisme


c) Insufisiensi pancreas/DM (predisposisi untuk hipoglikemia

atau ketoasidosis), malnutrisi termasuk obesitas, membran

mukosa kering karena pembatasan pemasukan atau periode

post puasa (Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari,

2010). Pada klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi

melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat

besi, protein,

vitamin untuk membantu proses penyembuhan tulang dan

pantau keseimbangan cairan (Padila, 2012).

d) Pola eliminasi

Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna,

bau, dan jumlah apakah terjadi retensi urine. Retensi urine

dapat disebabkan oleh posisi berkemih yang tidak alamiah,

pembesaran prostat dan adanya tanda infeksi saluran kemih

Kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses.

e) Pola tidur dan istirahat

Klien akan merasakan nyeri, keterbatasan gerak sehingga

hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.

Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya

tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan

tidur serta penggunaan obat tidur (Padila, 2012). Tidak

dapat beristirahat, peningkatan ketegangan, peka terhadap

rangsang, stimulasi simpatis.

f) Pola aktivitas

Timbulnya nyeri, keterbatasan gerak maka semua bentuk


kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu

banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji

adalah bentuk aktivitas (Padila, 2012).

g) Pola hubungan dan peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan

masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap

(Padila, 2012).

h) Persepsi dan konsep diri

Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut akan

kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan dirinya

yang salah (Padila, 2012).

i) Pola sensori dan kognitif

Klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian

fraktur, sedangkan pada indera yang lainnya tidak timbul

gangguan begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami

gangguan (Padila, 2012).

j) Pola reproduksi seksual

Klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus

menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa

nyeri. Selain itu, klien juga perlu dikaji status

perkawinannya termasuk jumlah anak, lama

perkawinannya (Padila, 2012).

k) Pola penanggulangan stress

Perasaan cemas, takut, marah, apatis, faktor-faktor stress


multiple seperti masalah finansial, hubungan, gaya hidup

(Doenges dalam Jitowiyono dan Kristiyanasari, 2010)

l) Timbul kecemasan akan kecacatan pada diri dan fungsi

tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien

biasanya tidak efektif (Padila, 2012).

m) Pola tata nilai dan keyakinan

Klien tidak dapat melakukan kebutuhan beribadah dengan

baik terutama frekuensi dan konsentrasi (Padila, 2012).

Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

Keadaan baik dan buruknya pasien tanda-tanda yang perlu dicatat

adalah kesadaran pasien (compos mentis, somnolen, apatis, spoor dan

koma yang bergantung pada keadaan pasien, ringan, sedang dan berat

dan pada kasus fraktur biasanya akut) tanda-tanda vital tidak normal

karena ada gangguan lokal baik fungsi maupun bentuk.

1.)B1(Breath

g) 2.)B2

(Blood)

3.)B3 (Brain)

4.)B4(Bladde
)

5.)B5 (Bowel)

6.)B6 (Bone)

Adanya fraktur pada femur akanmengganggu secara lokal baik fungsi

sensorik, motorik maupun peredaran darah.

1. Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang femur terbuka,

umumnya di dapatkan hal-hal berikut ini.

a.) Look

Terlihat adanya luka terbuka pada paha dengan deformitas yang

jelas.Kaji berapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji

apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan apakah

terdapat adanya kerusakan pada arteri yang beresiko akan

meningkatkan respons syok hipovolemik.

Pada fase awal trauma sering didapatkan adanya serpihan di

dalam luka terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang

mempunyai indikasi pada resiko tinggi infeksi.

b.) Feel

Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya

krepitasi. c.) Move

Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh dilakukan

karena akan memberikan respons trauma pada jaringan lunak disekitar

ujung fragmen tulang yang patah. Pasien terlihat tidak mampu

melakukan pergerakkan pada sisi yang patah (Helmi,2014 : 511).

Pada pemeriksaan fisik regional fraktur femur tertutup, umumnya


didapatkan hal-hal berikut.

a. ) Look

Pasien fraktur femur mempunyai komplikasi delayed union, non-union, dan

malunion. Kondisi yang paling sering didapatkan di klinik adalah

terdapatnya malunion terutama pada pasien fraktur femur yang telah lama

dan telah mendapat intervensi dari dukun patah. Pada pemeriksaan lookakan

didapatkan adanya pemendekan ekstremitas dan akan lebih jelas derajat

pemendekan dengan cara mengukur kedua sisi tungkai dari spina iliaka ke

maleolus.

b.) Feel

Adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah fraktur.

c.) Move

Pemeriksaan yang didapat seperti adanya gangguan/keterbatasan gerak

tungkai.Didapatkan ketidakmampuan menggerakkan kaki dan

penurunan kekuatan otot ekstremitas bawah dan melakukan

pergerakkan.

2.1.2 Diagnosis Keperawatan


suatu pernyataan yang menjelaskan respons manusia (status kesehatan
atau risiko perubahan pola) dari individu atau kelompok dimana perawat
secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi
secara akuntabilitas (carpanito, 2000 dalam Nursalam,2011 : 59).
Diagnosis keperawatan yang muncul pada fraktur menurut (SDKI :
2016) adalah sebagai berikut :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik,
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan Kerusakan integrits
struktur tulang.
3. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan.
2.1.3 Intervensi

Intervensi adalah penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang


dibutuhkan untuk mencegah, menghilangkan, atau mengurangi masalah-
masalah pasien.

Perencanaan merupakan langkah ketiga dalam proses keperawatan yang


membutuhkan berbagai pengetahuan dan ketrampilan, diantarannya
pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan dari pasien, nilai dan
kepercayaan pasien, batasan praktik keperawatan, peran dari tenaga ksehatan
lainnya, kemampuan dalam memcahkan msalah, mengambil keputusan,
menulis tujuan, serta memilih dan membuat strategi keperawatan yang aman
dalam memenuhi tujuan, menulis instruksi keperawatan, dan bekerja sama
dengan tenaga kesehatan lain (Setiadi, 2012 : 45).

INTERVENSI

Intervensii Nyeri (SIKI :2016)


Intervensi Rasional

1. Dengan pengkajian yang optimal,


1. Observasi tingkat nyeri dan respons
perawat akan mendapatkan data
motorikpasien
yang objektif untuk mencegah
2. Atur posisi imobilisasi pada daerah
kemungkinan komplikasi dan
yang fraktur
melakukan intervensi yang tepat
3. Bantu pasien dalam
2. Imobilisasi yang adekuat dapat
mengidentifikasi faktor pencetus.
mengurangi pergerakan fragmen
4. Jelaskan dan bantu pasien terkait
tulang yang menjadi unsur utama
dengan tindakan pereda nyeri
penyebab nyeri pada daerah yang
nonfarmakologi dan noninvasif.
fraktur .
5. Ajarkan relaksasi : teknik-teknik
3. Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan,
mengurangi ketegangan otot rangka
ketegangan, suhu, distensi kandung
yang dapat mengurangi intensitas
kemih, dan berbaring lama.
nyeri. Tingkatkan relaksasi masase
4. Pendekatan dengan menggunakan
6. Ajarkan metode distraksi selama
relaksasi dan non farmakologi
nyeri akut
lainnya efektif dalam mengurangi
7. Berikan kesempatan waktu
nyeri
istirahat bila terasa nyeri dan
5. Teknik ini kan melancarkan
berikan posisi yang nyaman,
peredaran darah sehingga
misalnya waktu tidur, belakang
kebutuhan oksigen pada jaringan
tubuh pasien dipasang bantal kecil.
terpenuhi dan nyeri berkurang.
8. Pemberian analgesik.
6. Mengalihkan perhatian pasien

terhadap nyeri ke hal-hal yang

menyenangkan

7. Istirahat merelaksasi semua

jaringan sehingga akan

meningkatkan kenyamanan.

8. Analgesik memblok lintasan nyeri

sehingga nyeri akan berkurang.


Tabel 1.

Intervensi Gangguan mobilitas fisik

Intervensi Rasional

1. Mengobservasi immobilitas akibat 1. Dengan mengetahui persepsi

cedera dan persepsi klien terhadap immobilitas dapat

terhadap immobilitas. menentukan intervensi

2. Libatkan pasien untuk melakukan selanjutnya.

aktivitas terapeutik dan rekreasi, 2. Aktivitas terapeutik dapat

misalnya mendengarkan music, mempertahankan harga diri dan

menonton tv, atau berkomunikasi menurunkan isolasi sosial pasien.

dengan teman. 3. Latihan gerak pasif aktif dapat

3. Bantu dan ajarkan pasien meningkatkan aliran darah ke

melakukan latihat rentang gerak otot, memberikan latihan gerak

pasif dan aktif. sendi dan mencegah kontraktur.

4. Bantu kebutuhan ADL pasien. 4. Personal hygiene dapat

5. Bantu aktivitas klien dengan meningkatkan kebersihan diri

memperhatikan adanya vertigo, pasien.

mual muntah dan hipotensi. 5. Imobilisasi dini dapat

6. Hindari dari gerakan mendadak. menurunkan resiko komplikasi

7. Kolaborasi pemberian analgesic. dari tirah baring yang lama

6. Pasien immobilitas

membutuhkan adaptasi

pergerakan secara bertahap untuk

mengembalikan fungsi anggota


tubuh.

7. mobilitas yang lama

memungkinkan penimbunan

laktat sehingga menimbulkan

nyeri. Penggunaan alanlgesik

dapat dilakukan sebagaiusaha

menurunkan nyeri.

Intervensi 3 DIAGNOSA 3 (SIKI :2016)

Intervensi Rasional
1. Mengobservasi immobilitas 1. Dengan mengetahui persepsi

akibat cedera dan persepsi klien terhadap immobilitas dapat

terhadap immobilitas. menentukan

2. Libatkan pasien untuk intervensi selanjutnya.

melakukan aktivitas terapeutik 2. Aktivitas terapeutik dapat

dan rekreasi, misalnya mempertahankan harga diri dan

mendengarkan music, menurunkan isolasi sosial

menonton tv, atau pasien.


berkomunikasi dengan teman.
3. Latihan gerak pasif aktif dapat
3. Bantu dan ajarkan pasien
meningkatkan aliran darah ke
melakukan latihat rentang
otot, memberikan latihan gerak
gerak pasif dan aktif.
sendi dan mencegah kontraktur.
4. Bantu kebutuhan ADL pasien
4. Personal hygiene dapat
5. Bantu aktivitas klien dengan
meningkatkan kebersihan diri
memperhatikan adanya vertigo,
pasien.
mual muntah dan hipotensi.
5. Imobilisasi dini dapat
6. Hindari dari gerakan mendadak.
menurunkan resiko komplikasi

7. Kolaborasi pemberian analgesic. dari tirah baring yang lama.

6. Pasien immobilitas

membutuhkan adaptasi

pergerakan secara bertahap

untuk mengembalikan fungsi

anggota tubuh.

7. Penggunaan analgesik dapat

Dilakukan sebagai usaha

menurunkan nyeri.
2.1.4 Implementasi

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk

mencapai tujuan yang sprsifik (lye et al., 1996).Tahap implementasi dimulai

setelah rencana intervensi disussun dan ditujukan pada nursing orders untuk

membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu rencana

intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi masalah kesehatan klien (Setiadi, 2012 : 42).

2.1.5 Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses

keperawatan yang menandakan keberhasiln dari diagnosis keperawatan,

rencana/ontervensi, dan implementasinya. Tahap evaluasi memungkinkan

perawat untuk memonitor “kealpaan” yang terjadi selama tahap pengkajian,

analisis, perencanaan, dan mplementasi (ignatavicius & bayne, 1994 dalam

nursalam 2011 : 135.

Evaluasi adalah stadium proses keperawatan dimana taraf keberhasilan

dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan kebutuhan untuk

memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan ditetapkan.

Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan frakturadalah :

a. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan.

b. Pasien memiliki cukup energy untuk beraktifitas.

c. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.

d. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.


e. Infeksi tidak terjadi/terkontrol.

f. Pasien mengenal faktor-faktor resiko, mengenal tindakan

pencegahan/mengurangi faktor risiko infeksi,

dan menunjukkan/mendemonstrasikan teknik-teknik untuk meningkatkan

lungkungan yang aman.

g. Pasien dapat menunjukkan (nadi dalam batas normal, irama jantung dalam

batas yang diharapkan, frekuensi nafas dalam batas normal, natrium serum,

kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan PH darah serum dalam bats

normal.

h. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan

pengobatan.

i. Pasien mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau

faktor yang mempengaruhinya, dan pasien menerima tentang keadaannya

(Nurarif & Kusuma, 2015 : 341).


DAFTAR PUSTAKA

Appley, G. A. 2015. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley, Edisi VII. Jakarta: Widya

Medika.

Barbara, J. Gruendemann. 2013. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif, Volume I.

Jakarta: EGC.

Marilyn. E. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan

Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi III. Jakarta: EGC. Eliastham,

Grace & Borley. 2017. Buku Saku Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta: EGC. Elise,

R. P. 2018. Older Cancer Patients Information and Support Needs Surrounding

Treatment: An Evaluation Through The Eyes of Patients, Relatives and Professionals.

BMC Nursing Journal (online) Volume 8 (http://www.biomedcentral.com/1472-

6955/8/1, diakses pada tanggal 2 November 2019).

Elizabeth, J. Corwin. 2013. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Pearce, C.

Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama. Juniartha. 2007. Angka Kejadian Fraktur. http://okezone.com diakses pada

tanggal 3 Oktober 2014. Mansjoer, Arief. 2003. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III.

Jakarta: Media Aesculapius. Muzana, Darise. 2010. Observasi Peran Perawat dalam

Penerapan Teknik Aseptik pada Perawatan Luka Pasca Bedah di RSUP Dr. Wahidin

Sudiro Husodo. Makasar: Universitas Negeri Makasar. Skripsi.

Nursalam. 2013. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika.

SDKI (PPNI). 2016. Dewan pengurus pusat PPNI


Syaifuddin. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC. Doengoes,

Anda mungkin juga menyukai