Anda di halaman 1dari 21

Mini Referat

SEVERE MALARIA VIVAX

Oleh:
Fitrinilla Alresna
NPM. 1306399733

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FKUI/RSCM


JAKARTA
2016
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................2

BAB 1 PENDAHULUAN...............................................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................4

2.1. Epidemiologi………………………………………………………………….....................4

2.2 Definisi..................................................................................................................................6

2.3. Manifestasi Klinis Malaria Vivax Berat...............................................................................7

2.4. Patofisiologi Malaria Vivax Berat........................................................................................7

2.4.1. Perbandingan Plasmodium Vivax dengan Falciparum.................................................7

2.4.2. Sekuestrasi pada Infeksi Plasmodium Vivax................................................................9

2.4.3. Anemia Berat pada Malaria Vivax..............................................................................10

2.4.4. Gagal Napas pada Malaria Vivax................................................................................11

2.4.5. Patofisiologi Manifestasi Malaria Vivax Berat yang Lebih Jarang............................11

2.4.6. Kemungkinan Lain Mekanisme Patofisiologi Malaria Vivax Berat...........................12

2.5. Tata Laksana Malaria Vivax Berat.....................................................................................13

BAB 3 KESIMPULAN.................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................21

2
BAB I
PENDAHULUAN

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah
kesehatan di masyarakat luas yang dapat menyebabkan kematian terutama pada
kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, dan secara langsung
menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. Penyakit ini
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi oleh protozoa
genus Plasmodium yang selanjutnya hidup dan berkembang biak dalam eritrosit
manusia. Saat ini dikenal 5 macam spesies antara lain Plasmodium falciparum,
Plasmodium vivax, Plasmodium malariae, Plasmodium ovale, dan Plasmodium
knowlesi. Parasit yang disebutkan terakhir ini belum banyak dilaporkan di Indonesia.1
World Malaria Report 2015 menyebutkan bahwa malaria telah menyerang 106
negara di dunia. Morbiditas pada suatu wilayah ditentukan dengan Annual Parasite
Incidence (API) per tahun. Tren API secara nasional dari tahun 2011 hingga 2015
terus mengalami penurunan.2
Ketika individu terinokulasi oleh Plasmodium, manifestasi klinis yang muncul
dapat bervariasi. Saat ini tidak hanya Plasmodium falciparum saja yang menjadi
penyebab utama malaria berat, baik P. vivax dan P. knowlesi juga dapat menyebabkan
malaria berat, meskipun kontribusinya lebih kecil dibandingkan P. falciparum dimana
data epidemiologi yang mendukung hipotesis bahwa malaria vivax juga bisa berakibat
fatal sudah cukup banyak dipublikasikan. 3 Malaria berat merupakan keadaan yang
emergensi, terapi yang tepat dan cepat diharapkan dapat mengurangi mortalitas akibat
penyakit ini. Untuk itulah dalam tinjauan kepustakaan ini akan diuraikan mengenai
maaria berat, pathogenesis, maifestasi klinik, dan penatalaksanaannya.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi
Data WHO menunjukkan bahwa kematian yang diakibatkan oleh malaria pada
tahun 2012 yaitu sekitar 627.000 jiwa di seluruh dunia, termasuk diantaranya
kematian yang disebabkan secara tidak langsung oleh malaria seperti kematian
bayi berat lahir rendah akibat malaria yan diderita oleh ibu. Dimana kurang dari
setengah kasus yang menderita malaria berat dapat mencapai fasilitas kesehatan
yang memadai, sehingga diasumsikan 80% case-fatality rate terjadi di rumah dan
20% terjadi di rumah sakit, dengan global annual incidence dari malaria berat
diprediksikan sekitar 2 juta kasus.3
Pada daerah yang transmisi malarianya tinggi, malaria berat umumnya
terjadi pada anak usia awal bulan sampai dengan usia sekitar 5 tahun, dan
menjadi semakin jarang pada anak yang usia lebih tua dan dewasa dimana
imunitas yang didapat sudah meningkat. Di sub-Sahara Afrika, 90% malaria
berat menyerang anak usia muda. Pada daerah yang endemisitasnya rendah,
malaria berat dapat terjadi baik pada anak maupun dewasa. Wisatawan yang
belum memiliki imunitas dan pekerja migran sangat mudah terserang malaria
berat, tanpa memandang endemisitas daerahnya.3
Di Indonesia, penyakit ini masih endemis di sebagian besar wilayah
walaupun tren API malaria di Indonesia mengalami penurunan. API merupakan
jumlah kasus positif malaria per 1.000 penduduk dalam satu tahun.2
Gambar 1. Tren API Malaria di Indonesia tahun 2011-20152

4
Jika dilihat secara provinsi pada tahun 2015, tampak bahwa wilyah timur
Indonesia masih memiliki angka API tertinggi. Sedangkan DKI Jakarta dan Bali
memiliki angka API nol dan sudah masuk dalam kategori provinsi bebas
malaria.2
Gambar 2. Annual Parasite Incidence (API) tahun 2015 menurut provinsi2

Sebaan kasus malaria di Indonesia dapat dilihat dari jumlah dan persentase
kabupaten/kota endemis. Berikut disajikan peta endemisitas malaria di Indonesia
tahun 2012-2015.
Gambar 3. Endemisitas malaria di Indonesia tahun 2012-20152

Plasmodium vivax adalah kelompok Plasmodium terbesar kedua setelah


Plasmodium falciparum dengan kontribusi mencakup 8-41% dari seluruh kasus

5
malaria dunia, terutama di daerah-daerah di luar Afrika.5 Meskipun 60% kasus
malaria berat memang disebabkan malaria falciparum, namun risiko kejadian
malaria berat terbukti lebih tinggi pada malaria vivax (23%) daripada falciparum
(20%, OR= 1,19 [95% CI 1,07–1,32], p= 0.001). Tingkat mortalitas pada infeksi
Plasmodium vivax juga terbukti setara dengan Plasmodium falciparum atau
infeksi campuran (1,6%, 2,2%, dan 2,3% secara berurutan, p= 0,126).6

2.2 Definisi
Malaria vivax berat didefinisikan jika minimal memenuhi salah satu dari kriteria
berikut ini, dan tidak ditemukan penyebab lain dari gangguan tersebut, serta
ditemukanya parasit aseksual dalam darah atau RDT positif
 Gangguan kesadaran/koma: nilai GCS < 11 pada dewasa atau Blantyre coma
score < 3 pada anak-anak
 Kelemahan otot: tidak bisa duduk/berjalan tanpa bantuan
 Tidak bisa makan dan minum
 Kejang berulang: lebih dari dua episode dalam 24 jam
 Gagal sirkulasi/syok: tekanan darah sistolik < 70 mmHg pada anak atau < 80
mmHg pada dewasa, disertai berkurangnya perfusi ke perifer (akral dingin
atau waktu pengisian kapiler yang memanjang)
 Ikterus disertai adanya disfungsi organ vital
 Black water fever
 Perdarahan spontan: termasuk perdarahan berulang dari hidung, gusi,
hematemesis atau melena
 Edema paru: terbukti secara radiologi atau saturasi oksigen < 92% room air
dengan frekuensi nafas > 30 kali/menit, sering disertai tarikan dinding dada
dan krepitasi pada auskultasi
 Asidosis: ph <7.25, defisit basa > 8 mEq/L atau jika tidak tersedia, nilai
bikarbonat plasma < 15 mmol/L atau laktat plasma vena ≥ 5 mmol/L. Distress
pernafasan dapat terjadi pada asidosis berat (pernafasan kussmaul)
 Hiperlaktatemia: laktat > 5 µg/L
 Hipoglikemia: gula darah < 2.2 mmol/L (< 40 mg/dl)
 Anemia berat: Hb < 5 g/dl atau hematocrit ≤ 15% pada anak < 12 tahun, atau
Hb < 7 g/dl dan < 20% pada dewasa dengan hitung parasite > 100.000/µl

6
 Hemoglobinuria
 Gagal ginjal akut: urin < 0.5 ml/kgBB/jam dalam 6 jam, kreatinin > 3 mg/dl
atau ureum darah > 20 mmol/L
 Hiperbilirubinemia: bilirubin serum > 3 mg/dl dengan hitung parasite >
100.000/µl
 Hiperparasitemia: di daerah endemis rendah > 2% atau > 100.000 parasit/µL,
daerah endemis tinggi > 5% atau > 250.000 parasit/µL
Definisi malaria vivax berat ini sama dengan definisi malaria falciparum
berat, namun pada malaria vivax tidak terdapat nilai ambang untuk kepadatan
parasite, dan tanpa kriteria hiperparasitemia.(tropical) Walaupun spesifisitasnya
berkurang tanpa adanya nilai ambang parasitemia, kepdatan parasite pada malaria
vivax biasanya lebih rendah dari P. falciparum (< 2% total eritrosit).1,3

2.3. Manifestasi klinis malaria vivax berat


Infeksi akibat P. vivax lebih jarang berkembang menjadi malaria berat jika
dibandingkan dengan infeksi P. falciparum. Gejala yang muncul dapat serupa
dengan yang ditemui pada malaria berat akibat P. falciparum, dan dapat berakibat
fatal.7 Pada infeksi P. vivax eritrosit yang tidak terinfeksi dapat hancur 4-5 kali
lipat lebih banyak daripada P. falciparum namun dengan kepadatan parasite yang
rendah, sehingga P. vivax dapat menyebabkan anemia berat walaupun jumlah
parasite dalam darahnya sedikit.8 Anemia yang berat dan distres pernafasan
terjadi pada semua usia, meskipun anemia berat pada umumnya terjadi pada anak
usia muda.7
Manifestasi klinik lainnya antara lain distres pernafasan dan acute lung
injury (ALI), acute kidney injury (AKI), rupture lien, asidosis metabolik, ikterik,
disfungsi multi-organ, syok, dan sangat jarang terjadi koma. 3 Adanya penyakit
komorbid juga dapat menjadikan infeksi P. vivax menjadi berat, seperti
malnutrisi, pneumonia, emfisema, diabetes, stroke hemmorhagic, sirosis
dekompensata, gagal jantung kongestif, dan infeksi HIV.9

2.4 Patofisiologi Malaria Vivax Berat


2.4.1 Perbandingan Plasmodium Vivax dengan Falciparum

7
Untuk memahami lebih jauh mengenai patofisiologi malaria berat pada
Plasmodium vivax, perlu diketahui patofisiologi malaria berat pada Plasmodium
falciparum yang sudah lebih banyak diteliti. Salah satu patofisiologi utama
malaria berat pada infeksi Plasmodium falciparum melibatkan adanya
sekuestrasi dari eritrosit di dinding pembuluh-pembuluh kapiler sehingga
menyebabkan timbulnya sumbatan aliran darah dan pada akhirnya memicu
nekrosis dan kaskade inflamasi.3,10 Plasmodium falciparum pada fase tropozoit
dapat membentuk antigen yang disebut sebagai Plasmodium falciparum
erytrosit membran 1 (PfEMP1) di permukaan luar eritrosit. Antigen yang secara
mikroskopis memiliki bentuk seperti tonjolan (knob) ini akan memicu proses
sitoaderens dengan cara berikatan dengan CD-36, trombospondin, ICAM-1,
VCAM-1, ELAM-1, dan kondroitin sulfat di dinding endotel. PfEMP1 juga
akan menimbulkan ikatan antar eritrosit sehingga membentuk gumpalan eritrosit
yang disebut rosett.3,10,11 Proses ini tidak ditemukan pada infeksi oleh
Plasmodium vivax karena spesies ini tidak memiliki PfEMP1. Eritrosit yang
diinvasi oleh Plasmodium vivax justru dikatakan memiliki kelenturan yang
meningkat (walau juga menjadi lebih rapuh) sehingga tidak menimbulkan
sumbatan.3,10 Meskipun begitu, penumpukan eritrosit yang terinfeksi di beberapa
organ spesifik seperti limpa telah dilaporkan pada infeksi Plasmodium vivax dan
rosett juga telah ditemukan secara in vitro pada infeksi ini, walau mekanisme
yang mendasarinya belum diketahui dengan jelas.12
Tidak seperti Plasmodium falciparum yang bisa menyerang seluruh sel
eritrosit pada semua dearajat kematangan, Plasmodium vivax hanya mampu
menyerang sel eritrosit muda, yaitu retikulosit. Mengingat jumlah retikulosit di
darah tidak sebanyak eritrosit matur, maka infeksi Plasmodium vivax tidak akan
menghasilkan parasitemia dengan massa parasit yang tinggi seperti infeksi
Plasmodium falciparum. Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah parasit
pada malaria vivax jarang melebihi 2% dari seluruh jumlah eritrosit yang
beredar.3,10 Meskipun diketahui memiliki jumlah parasit yang lebih kecil, infeksi
oleh Plasmodium vivax dapat memicu respon inflamasi (produksi sitokin,
aktivasi endotel, dan inflamasi lokal di paru-paru) dengan derajat yang sama
atau bahkan lebih tinggi dari falciparum. Hal ini menunjukkan adanya ambang
batas inflamasi yang lebih rendah pada infeksi vivax pada derajat parasitemia
yang sama. Plasmodium vivax dikatakan bisa memicu respon demam hanya
8
dengan jumlah 180 parasit/μL, jauh lebih rendah bila dibandingkan falciparum
yang membutuhkan 1000 parasit/μL.13 Data epidemiologi yang ada juga
menunjang temuan ini dengan dilaporkan pasien dengan malaria vivax berat
cenderung memiliki demam yang lebih tinggi dan lebih lama daripada
falciparum.14 Penyebab yang mendasari fenomena ini masih belum diketahui
dengan jelas, namun diduga berhubungan dengan beberapa senyawa yang
dilepaskan secara spesifik oleh Plasmodium vivax sehingga sistem kekebalan
tubuh lebih mengenali plasmodium ini sebagai bakteri.15
Perbedaan selanjutnya dari infeksi Plasmodium vivax dengan falciparum
adalah kemampuan Plasmodium vivax membentuk fase hipnozoit yang dorman
di hati. Akibatnya adalah adanya kemungkinan relaps dari malaria vivax,
teruatama bila tidak diobati dengan tuntas.3,10 Selain itu, dari data klinis yang
ada, pasien dengan malaria vivax cenderung memiliki kemungkinan ikterus dan
hepatomegali yang lebih tinggi daripada falciparum, suatu kondisi klinis yang
diduga berhubungan dengan fase hipnozoit parasit ini di hati.14
2.4.2 Sekuestrasi pada Infeksi Plasmodium Vivax
Data terbaru menunjukkan bahwa sekuestrasi mungkin saja terjadi pada infeksi
Plasmodium vivax. Tanda awal adanya fenomena ini disadari para ahli karena
rendahnya jumlah skizon vivax yang beredar di peredaran darah.10 Penelitian
lebih lanjut secara ex vivo menunjukkan bahwa eritrosit yang terinfeksi
Plasmodium vivax dapat menempel pada jaringan plasenta dan paru-paru
manusia, walaupun dengan kemampuan berikatan yang 10-15 kali lebih rendah
daripada Plasmodium falciparum.12 Mengingat Plasmodium vivax tidak bisa
menginisiasi munculnya knob pada eritrosit, para peneliti menduga kemampuan
adhesi ini berhubungan dengan gen lain pada Plasmodium vivax, yaitu gen vir.
Studi yang ada menunjukkan bahwa transfer gen ini pada plasmodium jenis lain
yang memiliki kemapuan adhesi alami yang rendah akan meningkatkan
kemampuan eritrosit yang diinfeksi untuk berikatan dengan ICAM-1 di dinding
endotel.16 Apakah temuan ini berhubungan dengan malaria berat pada malara
vivax masih belum bisa disimpulkan dengan pasti. Namun beberapa studi post
mortem pada pasien malaria vivax yang meninggal akibat edema paru
menunjukkan adanya penumpukan eritrosit yang terinfeksi parasit dalam jumlah
besar di jaringan alveolus. Studi-studi ini juga menunjukkan adanya peningkatan

9
jumlah monosit di alveolus yang menandakan adanya peran inflamasi di lokasi
ini.17
2.4.3 Anemia Berat pada Malaria Vivax
Patofisiologi anemia berat pada malaria vivax melibatkan penghancuran dari
eritrosit yang terinfeksi, eritrosit sehat, dan penurunan produksi. Penghancuran
eritrosit bisa terjadi intravaskular atau ekstravaskular di limpa. Mengingat
jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit pada malaria vivax tidak sebanyak
malaria falciparum, untuk mencapai derajat anemia yang sama maka
patofisiologi anemia pada malaria vivax pasti melibatkan destruksi eritrosit yang
tidak terinfeksi.3,10 Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang menunjukkan bahwa
pada malaria vivax, terdapat 34 sel eritrosit sehat yang ikut hancur untuk setiap
1 eritrosit terinfeksi. Sementara pada falciparum, hanya 8 eritrosit sehat yang
ikut hancur untuk setiap eritrosit terinfeksi.18 Limpa diduga memiliki peranan
penting pada proses ini. Hal ini dibuktikan oleh adanya penurunan risiko anemia
pada pasien malaria vivax relaps yang sudah menjalani splenektomi. Selain itu
pada malaria vivax tidak ditemukan adanya aktivitas hemolitik yang seberat
falciparum, artinya destruksi sel darah merah lebih banyak terjadi secara
ekstravaskular di limpa. Namun mekanisme yang mendasari hal ini masih belum
dipahami dengan jelas. Penurunan produksi eritrosit juga diduga memegang
peranan, dan sejauh ini yang bisa dismpulkan hanya bahwa beberapa sitokin
terbukti menimbulkan diseritropoiesis. Hipotesis lain mencakup adanya efek
toksik langsung dari parasit malaria ke sumsum tulang. Plasmodium vivax
sendiri tidak ditemukan di sumsum tulang. Apapun penyebabnya, gangguan
pembentukan eritrosit ini masih bisa ditemukan sampai 2 minggu setelah
malaria vivax diobati.3,10,18 Sebuah literatur lain juga menunjukkan data bahwa
infeksi pada fase retikulosit saja sudah cukup untuk menurunkan kadar
hemoglobin total secara signifikan dalam periode beberapa bulan. Hal ini cocok
dengan sifat infeksi Plasmodium vivax yang lebih kronik daripada falciparum.18
Faktor lain yang juga diduga memegang peranan adalah sifat malaria vivax
yang menimbulkan relaps. Akibatnya tubuh pejamu dipajankan pada
penghancuran eritrosit dalam waktu yang lebih lama tanpa ada jeda yang cukup
untuk melakukan pemulihan hematopoietik yang sempurna.10 Hipotesis peranan
relaps dalam patofisiologi malaria vivax berat juga didukung temuan bahwa
laporan-laporan kasus malaria berat umumnya muncul dari daerah-daerah yang
10
memiliki tingkat resistensi klorokuin yang tinggi seperti Indonesia, Papua
Nugini, dan Brazil. Manifestasi utama malaria berat di daerah ini juga umumnya
konsisten berupa anemia berat. Hal ini diduga berhubungan dengan bersihan
parasit yang tidak optimal sehingga menimbulkan angka relaps yang lebih
tinggi.10 Peranan sistem imun dalam patofisiologi anemia pada malaria vivax
masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun diketahui bahwa respon imun
pada malaria vivax lebih berat daripada falciparum, namun studi yang ada tidak
menunjukkan adanya hubungan peningkatan aktivitas imun ini dengan derajata
anemia. Meskipun begitu, aktivasi makrofag dan tingginya tingkat aktivitas
fagositosis dapat menimbulkan lingkungan yang bersifat oksidatif sehingga
memperpendek usia sel darah merah. Data yang ada juga menunjukkan adanya
penurunan kadar glutation pada malaria vivax, senyawa yang berperan dalam
melindungi sel eritrosit terhadap stress oksidatif.18
Data yang ada menunjukkan bahwa wanita cenderung lebih rentan
menderita anemia pada malaria vivax. Hal ini diduga terkait dengan kadar
hemoglobin normal wanita yang memang lebih rendah daripada pria. Wanita
hamil juga diketahui memiliki risiko anemia karena malaria vivax 2 kali lebih
besar daripada wanita yang tidak hamil.18
2.4.4 Gagal Napas pada Malaria Vivax
Mekanisme kerusakan paru pada malaria vivax berat setengahnya diduga
diakibatkan sekuestrasi yang telah dijelaskan sebelumnya. Adanya inflamasi
menyeluruh juga telah terbukti dengan ditemukannya banyak sel monosit dan
netrofil pada pemeriksaan post mortem. 3,17 Adanya proses inflamasi ini akan
menimbulkan edema yang menghambat proses difusi oksigen dan karbon
dioksida. Satu hal yang menarik dan belum bisa dijelaskan adalah adanya data
bahwa kasus gagal napas pada malaria vivax berat umumnya muncul setelah
terapi anti malaria diberikan. Sampai saat ini masih belum ada penjelasan untuk
fenomena ini.3
2.4.5 Patofisiologi Manifestasi Malaria Vivax Berat yang Lebih Jarang
Patofisiologi yang melandasi terjadinya gangguan ginjal pada malaria vivax
lebih kurang dipahami daripada anemia atau gagal napas. Beberapa laporan
kasus yang ada memberikan gambaran patologi yang berbeda-beda untuk kasus
gangguan ginjal ini, mulai dari nekrosis tubular akut, nekrosis kortikal akut,
sampai mikroangiopati trombotik. Mekanisme yang melandasi masing-masing
11
kejadian ini masih belum jelas, namun menigkatnya faktor von Willebrand dan
rendahnya kadar enzim yang berfungsi memetabolisme faktor ini pada kasus
malaria vivax diduga berperan dalam proses mikroangiopati trombotik di
ginjal.3,10
Kejadian koma pada malaria vivax sebetulnya sangat jarang terjadi. Salah
satu literatur bahkan menyatakan bahwa risiko koma pada malaria vivax 23 kali
lebih kecil daripada falciparum.15 Hal ini disebabkan ketidakmampuan
Plasmodium vivax dalam mencetuskan sekuestrasi di pembuluh darah otak
seperti layaknya Plasmodium falciparum. Beberapa laporan kasus koma pada
malaria vivax juga belum berhasil membuktikan adanya ketelibatan parasit ini di
jaringan otak. Sebagian ahli berpendapat bahwa pada kasus koma, kemungkinan
telah terjadi infeksi campuran dengan Plasmodium falciparum.3
Kejadian syok dan gagal organ multipel pada malaria vivax berat diduga
berhubungan dengan respon inflamasi yang lebih mudah terpicu pada infeksi
vivax. Akibatnya tubuh memberikan respon layaknya infeksi bakteri. Beberapa
laporan juga menunjukkan adanya infeksi sekuder oleh bakteri pada kasus syok
dan gagal organ multipel pada malaria vivax berat. Bukti lebih lanjut untuk
hipotesis ini masih sulit didapat kaena sedikitnya kasus yang dilaporkan.3,10
Meskipun secara in vitro diketahui bahwa eritrosit yang terinfeksi
Plasmodium vivax dapat menempel pada jaringan plasenta, pada kasus-kasus
gangguan kehamilan akibat malaria vivax, tidak ditemukan adanya parasit
dalam jumlah besar di plasenta. Hal ini mengaburkan lagi kemungkinan
patofisiologi gangguan pertumbuhan janin pada malaria vivax. Salah satu faktor
yang bisa menjadi pertimbangan adalah beratnya anemia pada infeksi malaria
vivax yang pada akhirnya menurunkan tingkat oksigen yang masuk ke janin.3
2.4.6 Kemungkinan Lain Mekanisme Patofisiologi Malaria Vivax Berat
Hipotesis lain yang juga patut dipertimbangkan mencakup adanya infeksi
berat lain yang juga menimbulkan demam dan memicu reaktivasi dari fase
dorman Plasmodium vivax. Beberapa infeksi bakterial dan juga infeksi
Plasmodium falciparum diketahui dapat mereaktivasi hipnozoit Plasmodium
vivax. Apabila ini terjadi, bentuk tropozoit Plasmodium vivax dapat ditemukan
lagi di darah, dan malaria vivax dapat dijadikan kambing hitam untuk
manifestasi berat dari penyakit yang sebenarnya. Sebuah meta-anlisis
menunjukkan bahwa usaha menyingkirkan infeksi sekunder dari studi-studi
12
malaria vivax berat yang sudah ada sebetulnya belum cukup maksimal sehingga
kemungkinan salah diagnosis ini terbuka cukup lebar.15,19
Kemungkinan lain adalah adanya efek dari obat primakuin yang digunakan
untuk mengobati fase hipnozoit Plasmodium vivax. Kemungkinan ini terpikirkan
karena durasi dan total dosis obat inilah pembeda utama terapi Plasmodium
vivax dari Plasmodium lainnya. Namun hipotesis ini masih memerlukan
pembuktian lebih lanjut.3,19

2.5 Tatalaksana malaria vivax berat


Pengobatan malaria berat secara garis besar terdiri atas 3 komponen penting yaitu
(1) pengobatan spesifik dengan obat anti malaria, (2) pengobatan supportif
(termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik), (3) pengobatan
terhadap komplikasi. Malaria vivax berat memiliki tatalaksana yang sama dengan
malaria falciparum berat. Derivat Artemisinin memberikan efektivitas yang
tinggi terhadap strain yang multi resisten. Artemisinin mempunyai kemampuan
farmakologik sebagai berikut, yaitu : i) mempunyai daya bunuh parasit yang
cepat dan menetap ii) efektif terhadap parasit yang resisten, iii) memberikan
perbaikan klinis yang cepat, iv) menurunkan gametosit, v) bekerja pada semua
bentuk parasit baik pada bentuk tropozoit dan schizont maupun bentuk-bentuk
lain, vi) untuk pemakaian monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari. Artemisinin
juga menghambat metabolisme parasit lebih cepat dari obat antimalaria lainnya.
Ada 3 jenis artemisinin yang di per-gunakan parenteral untuk malaria berat yaitu
artesunate, artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior dibandingkan
artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT, artesunate telah dibandingkan
dengan kina HCl, artesunate menurunkan mortalitas 34.7%. 20 Tatalaksana
suportif yang lain termasuk diantaranya transfusi darah, antibiotic intravena,
pemberian vasopressor, hemodialisa, dan vetilasi dg intubasi dapat diberikan
sesuai dengan manifestasi klinis malaria berat yang muncul.3
Tatalaksana pada malaria berat adalah dengan pemberiaan artesunat
intravena atau intramuskuler selama setidaknya 24 jam dan apabila sudah dapat
mentoleransi terapi oral, maka terapi artesunat dilanjutkan selama 3 hari dengan
terapi kombinasi berbasis artemisinin (artemisinin-based combined therapy,
ACT). Artesunat diberikan dengan loading dose secara bolus 2.4 mg/kgBB
intravena selama 2 menit dan diulang setelah 12 jam dengan dosis yang sama.
13
Selanjutnya artesunat diberikan 2.4 mg/kgBB intravena sekali sehari sampai
penderita mampu minum obat. Artesunat juga bisa diberikan secara
intramuskuler dengan dosis yang sama. Apabila preparat artesunat tidak
tersedia, dapat digunakan preparat artemeter intramuskuler. Artemeter diberikan
sebagai injeksi intramuskuler di paha sisi anterior dengan dosis inisial 3.2
mg/kgBB per hari. Selanjutnya artemeter diberikan 1.6 mg/kgBB intramuskuler
sekali sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah
dapat menerima terapi oral makan dilanjutkan dengan ACT berupa kombinasi
artemeter + lumefantrine, artesunat + amodiakuin, artesunat + meflokuin,
artesunat + sulfadoksin-pirimetamin, dihidroartemisinin + piperakuin.
Meflokuin sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan manifestasi malaria
serebral karena terdapat risiko gangguan neuropsikiatri.20
Gambar 4. Skema pemberian artesunat20

Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada
daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil
trimester pertama. Kina diberikan dengan loading dose 20 mg/kgBB dilarutkan
dalam 500 mL dextrose 5% atau NaCl 0.9% dan diberikan selama 4 jam
pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5%
atau NaCl 0.9%. Setelah itu diberikan kina dengan dosis maintenance 10
mg/kgBB dalam 500 mL dextrose 5% atau NaCl 0.9% dan diberikan selama 4
jam. Empat jam selanjutnya hanya diberikan lagi cairan dextrose 5% atau NaCl
0.9%. Setelah itu diberikan lagi dosis maintenance seperti diatas sampai
penderita dapat minum kina per oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian
3x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang
pertama). Kina tidak boeh diberikan secara bolus intravena karena toksik bagi
jantung dan dapat menimbulkan kematian. Dosis maksimum dewasa adalah
2000 mg/hari.20

14
Gambar 5. Penatalaksanaan malaria berat di pelayanan primer dan sekunder1

Gambar 6. Penatalaksanaan malaria berat di RS Rujukan1

15
Gambar 7. Penatalaksanaan malaria serebral1

Gambar 8. Penatalaksanaan malaria berat dengan gagal nafas1

16
Gambar 9. Penatalaksanaan malaria berat dengan gagal ginjal1

Gambar 10. Penatalaksanaan malaria berat dengan ikterus1

17
Gambar 11. Penatalaksanaan malaria berat dengan anemia1

Gambar 12.
Penatalaksanaan malaria berat
dengan black water
fever/hemoglobinuri a1

Gambar 13.
Penatalaksanaan malaria berat
dengan hipoglikemia1

Gambar 14.
Penatalaksanaan malaria berat
dengan DIC1

18
BAB 3
KESIMPULAN

Infeksi malaria masih merupakan masalah kesehatan yang mendapat penanganan


prioritas secara nasional dan global untuk dilakukan eliminasi. Salah satu strategi
untuk eliminasi ialah penanganan/pengobatan yang tepat dan efektif. Malaria vivax
merupakan salah satu jenis malaria yang paling sering ditemukan di Indonesia. Tidak
seperti yang sebelumnya diketahui, penyakit yang disebabkan infeksi Plasmodium
vivax ini juga bisa bersifat mengancam nyawa. Beberapa manifestasi klinis yang
pernah dilaporkan dijumpai pada kasus malaria vivax berat mencakup anemia berat,
gagal napas, gagal ginjal, koma, dan kegagalan organ multipel yang disertai syok.
Beberapa dugaan yang telah muncul mengenai patofisiologi malaria vivax
berat mencakup adanya sekuestrasi lewat jalur yang berbeda dari falciparum, adanya
peningkatan aktivitas respon imun, pengaruh adanya hipnozoit di hati, pengaruh
relaps berulang, adanya infeksi campuran, dan adanya efek obat malaria vivax.
Diagnosis yang cepat dan tepat, serta penangan yang tepat pada malaria berat apat
menurunkan mortalitas sebesar 34.7%.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian


Kesehatan RI. Buku saku penatalaksanaan kasus malaria. Jakarta:Kemenkes
RI;2015.
2. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI. Infodatin malaria. Jakarta:
Kemenkes RI; 2016
3. WHO. Severe malaria. Trop Med Int Health Sept 2014:19(1):7-131.
4. Thwing J, Eisele TP, Steketee RW. Protective efficacy of malaria case
management and intermittent preventive treatment for preventing malaria
mortality in children: a systematic review for the Lives Saved Tool. BMC Public
Health 201111(3);14.
5. WHO. World Malaria Report 2008. diunduh dari
http://www.who.int/malaria/wmr2008/malaria2008.pdf pada 30 November 2016.
6. Tjitra E, Anstey NM, Sugiarto P, Warikar N, Kenangalem E, Karyana M, et al.
Multidrug-resistant Plasmodium vivax associated with severe and fatal malaria: a
prospective study in Papua, Indonesia. PLoS Med. 2008 Jun 17;5(6):128.
7. WHO. Guidelines for the treatment of malaria. 3rd ed. Geneva:WHO;2015.
8. Price R, Douglas NM, Anstey NM, Von Seidlein L. Plasmodium vivax
treatments: what are we looking for?. Current Opinion Infectious Diseases
2011;24:578–585.
9. Lacerda MV, Fragoso SC, Alecrim MG. Postmortem characterization of patients
with clinical diagnosis of Plasmodium vivax malaria: to what extent does this
parasite kill?. Clinical Infectious Diseases 2012;55:67–74.
10. Wassmer SC, Taylor TE, Rathod PK, Mishra SK, Mohanty S, Arevalo-Herrera M,
et al. Investigating the Pathogenesis of Severe Malaria: A Multidisciplinary and
Cross-Geographical Approach. Am J Trop Med Hyg. 2015 Sep;93(3 Suppl):42-
56.
11. Aird WC, Mosnier LO, Fairhurst RM. Plasmodium falciparum picks (on) EPCR.
Blood. 2014 Jan 9;123(2):163-7.
12. Carvalho BO, Lopes SC, Nogueira PA, Orlandi PP, Bargieri DY, Blanco YC, et
al. On the cytoadhesion of Plasmodium vivax-infected erythrocytes. J Infect Dis.
2010 Aug 15;202(4):638-47.

20
13. Collins WE, Jeffery GM, Roberts JM. A retrospective examination of the effect of
fever and microgametocyte count on mosquito infection on humans infected with
Plasmodium vivax. Am J Trop Med Hyg. 2004 Jun;70(6):638-41.
14. Saravu K, Rishikesh K, Kamath A, Shastry AB. Severity in Plasmodium vivax
malaria claiming global vigilance and exploration--a tertiary care centre-based
cohort study. Malar J. 2014;13:304.
15. Rahimi BA, Thakkinstian A, White NJ, Sirivichayakul C, Dondorp AM,
Chokejindachai W. Severe vivax malaria: a systematic review and meta-analysis
of clinical studies since 1900. Malar J. 2014;13:481.
16. Bernabeu M, Lopez FJ, Ferrer M, Martin-Jaular L, Razaname A, Corradin G, et
al. Functional analysis of Plasmodium vivax VIR proteins reveals different
subcellular localizations and cytoadherence to the ICAM-1 endothelial receptor.
Cell Microbiol. 2012 Mar;14(3):386-400.
17. Valecha N, Pinto RG, Turner GD, Kumar A, Rodrigues S, Dubhashi NG, et al.
Histopathology of fatal respiratory distress caused by Plasmodium vivax malaria.
Am J Trop Med Hyg. 2009 Nov;81(5):758-62.
18. Douglas NM, Anstey NM, Buffet PA, Poespoprodjo JR, Yeo TW, White NJ, et al.
The anaemia of Plasmodium vivax malaria. Malar J. 2012;11:135.
19. Naing C, Whittaker MA, Nyunt Wai V, Mak JW. Is Plasmodium vivax malaria a
severe malaria?: a systematic review and meta-analysis. PLoS Negl Trop Dis.
2014 Aug;8(8):3071.
20. Harijanto P. Eliminasi malaria pada era desentralisasi. Dalam: Kemenkes RI.
Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: Epidemiologi malaria di
Indonesia. Jakarta:Kemenkes RI;2011.23-7

21

Anda mungkin juga menyukai